February 2013

  
 

Selama di Alor, saya berjumpa dengan banyak anak kecil. Khas anak pedalaman, mereka senang difoto. Saya juga senang memotret mereka. Hehe.

Ketika saya berada di desa adat Takpala (sekitar 30 menit perjalanan dengan motor dari bandara Alor ke atas bukit berbatu dan licin) saya juga berjumpa dengan anak-anak Alor. Mereka sedang bermain gundu dengan riang gembira. Kehadiran saya di tengah-tengah mereka, memotret dengan kamera berlensa pendek sepertinya tak berarti apa-apa. Yang bernilai bagi anak-anak adalah dunianya, kegembiraannya. Mereka tetap asik bermain, sama sekali tak canggung mendengar suara jeprat-jepret yang memburu gerak-gerik mereka satu persatu.


 

Read more

Indramayu masih pagi saat saya menelusuri perkampungan di sana, hari itu. Pintu sebagian rumah penduduk masih terkunci dan rumput-rumput pun masih basah sisa gerimis semalam. Kawan saya menyapa seorang ibu yang tengah mencabuti kangkung (baca: awalnya saya kira rumput liar) yang tumbuh di sela-sela tanaman mentimun.

“Loh, kok dibawa pulang bu? Kenapa tidak dibuang?” tanya saya heran.

“Ini untuk dimasak, mbak.” jawab si ibu sambil menunjukan segenggam kangkung petikannya.
“Emang sehari-hari ibu masak kangkung-kangkung liar itu ya?” tanya saya lagi ingin tahu.
Ibu itu menggeleng sambil tersenyum, “Tidak juga, paling kalau sedang tidak punya uang untuk belanja saja. Apa-apa bisa dimakan.”

Sesampainya di rumah, anak kedua dan ketiga si ibu langsung bergelayut manja di pelukannya. “Anak saya ada 4 saya merawat mereka sendirian. Bapak anak-anak sudah tidak ada.”

Nyess. Satu lagi sentuhan kecil mengetuk hati saya. Apapun yang kita miliki memang patut disyukuri dan dicintai sebagaimana mestinya.

Read more

 

Ngarot merupakan upacara adat masyarakat Lelea, Indramayu,Jawa Barat, yang diadakan sejak tahun 1868. Acara ini dikenal sebagai pesta perawan dan perjaka warga setempat. Dalam perkembangannya, Ngarot juga identik dengan pesta mencari jodoh. Hal ini disebabkan karena banyak anak muda yang terlibat dalam acara Ngarot merasa menemukan pasangan hidupnya dan hubungan biasanya berlanjut ke jenjang pernikahan. Selain untuk meningkatkan gotong royong muda-mudi dalam memelihara budaya tani, awalnya upacara ini dimaksudkan juga untuk mempererat tali persaudaraan di antara masyarakat.

Secara rutin Ngarot dilaksanakan pada bulan Desember sebagai penanda masuknya masa tanam yang baru. Acara ini diawali dengan berkumpulnya peserta yang sudah berdandan dan berpakaian apik di halaman rumah Kuwu sejak pagi hari. Seluruh pemuda mengenakan kemeja kuning terang dan celana panjang hitam, serta rambut yang ditata rapi. Pemudinya pun tak mau ketinggalan. Mereka mengenakan kebaya lengan panjang berwarna hijau daun dengan bawahan batik serta menambahkan aneka perhiasan emas yang membuat mereka nampak sangat berkilau. Selain didandani dengan make-up tebal, para perempuan Lelea juga menenakan perhiasan bunga kenanga, mawar, dan kanthil di atas kepalanya.

Konon, bunga kenanga akan segera layu apabila sang pemakainya sudah tidak perawan lagi. Bunga Kenanga yang dimaknakan sebagai kesegaran dan ketegaran hidup ini menjelma sebagai kontrol sosial masyarakat Lelea agar tetap menghormati adat-istiadat leluhur dan menjaga kesucian dirinya hingga mereka menikah kelak. Gak kebayang dong gimana malunya peserta di hadapan masyarakat apabila saat mengikuti acara ini tiba-tiba kembang kenanganya layu… bisa-bisa harapan mendapatkan jodoh menjadi isapan jempol belaka…

Setelah seluruh peserta berkumpul, mereka akan diarak keliling kampung dengan berjalan kaki diiringi music-musik tanjidor. Setelah sampai di aula balai desa, seluruh peserta akan duduk berhadap-hadapan. Saat itulah biasanya peserta akan mencari-cari jodohnya melalui pandangan mata. Acata ditutup dengan pementasan lagu dan tari-tarian untuk menghibur peserta, diantaranya Ronggeng Ketuk dan Tari Topeng yang dibawakan oleh Pak Carpan, penari yang kini usianya sudah lebih dari 60 tahun.


Read more

Sejak kecil, saya suka menulis di diary. Kalu di hitung-hitung jumlah diary saya sampai belasan buah, belum termasuk bertumpuk-tumpuk notes kecil dan berlembar-lembaran kertas buram yang semuanya berisi jeritan hati perempuan biasa-biasa saja seperti saya. Enggak jarang, tulisan-tulisan itu kelihatan lebih mirip sampah ketimbang jejak memori kehidupan sehari-hari.

Iseng-iseng, saya menengok ke bawah tempat tidur. Di sana ada kardus sepatu yang kalau dibuka, jelaslah sudah apa isinya. Diary beserta potongan-potongan kertas dan foto. Menurut orang lain, penemuan ini mungkin tidak penting, tapi bagi saya, seburuk dan seberdebu apapun keadaannya, di kotak sepatu itulah warna-warni kehidupan saya mampu terekam.

Satu per satu saya keluarkan diary-diary itu. Saya buka lembar demi lembarnya. Kenangan masa lalu-pun hadir beriringan dengan senyum yang merekah. Keluguan anak kecil memang sebuah kejujuran itu sendiri. Hhehe.

Ketika saya hampir sampai pada lembar terakhir, saya melihat sebuah kertas terselip di sana. Kertas kecil yang sudah sobek di beberapa bagiannya, berwarna kecoklatan karena debu, dan banyak coretan di atas tulisan cakar bebek, tulisan saya ketika masih duduk di bangku kelas 5 SD. Kertas ini berdiam diri di sana, hampir terlupakan, karena sang empunyanya sedang bergelut dengan waktu menjalankan aktifitas.

Penasaran saya buka kertas itu. Woow… coba tebak apa isinya?!! Ternyata, kertas itu berisi daftar mimpi-mimpi saya hingga akhir hayat nanti. Secara detail masa demi masanya tertuliskan. Masa SMP, SMA, kuliah, lalu bekerja, dst. Saya sudah melalui masa kecil, lalu remaja, sekarang saya berada pada jaman anak muda yang dikenal serba sok tahu, serba praktis, serba seenak udelnya sendiri.

Beberapa mimpi itu ada yang sudah terwujud berbentuk prestasi, namun banyak juga yang belum menjadi kenyataan. Kehidupan yang senantiasa bergerak membuat arah saya bisa berganti sewaktu-waktu. Mungkin apa yang tercetak di sana akan terlaksana, mungkin juga tidak.

Salah satu mimpi yang tertulis dan sedang berproses adalah belajar fotografi. Entahlah, mengapa saya, yang waktu itu masih berseragam putih merah dan sama sekali belum mengenal dunia kamera bisa memasukan unsur itu dalam jalinan kehidupan saya yang sederhana. Ajaibnya, koneksi antara perasaan-pikiran-tindakan-dan lingkungan membawa saya menuju ke sana.

Saya sedang berproses, dan terus berproses. Kebiasaan menuliskan mimpi-mimpi pun masih saya lakukan hingga sekarang. Manusia boleh berkeinginan, manusia boleh berusaha mencapai, namun Tuhan jua-lah yang menentukan. Ciao!!

May 30, 2009 

Read more

Seorang teman menyapa, “cah elek!”
Saya jawab, “blekedes!”

Seorang teman bertanya, “kemana belakangan?”
Saya jawab, “menyapa jalanan.”

Seorang teman berseru “gak percaya!”
Saya jawab, “ya terserah!”

Kini teman saya garuk-garuk kepala
sambil mengintip keluar jendela

Kata teman saya, “Hidungmu, tak pernah kelihatan.”
Jawab saya, “Dunia indah, tak bisa dilewatkan.”

Tanya teman saya, “Ngapain saja kau?”
Jawab saya, “bersendagurau.”

Teman saya mulai uring-uringan
ditakoni tenan, jawab’e ngono

Teman saya menyelidik, “dengan siapa?”
Saya menjawab, “bersama harum semesta”

Teman saya jengah, “hadoooww!!”
Saya menjawab, “HALAH!”

Akhir kata, teman saya berpesan,
“hati-hati di jalan.”

Akhir kata, saya terdiam,
“pasti,” saya pun angkat kaki.

DPN, 2010 ^^
(sabar ya Jon, hahahahaha)

Read more

Lihatlah, lihat: kaki-kaki berserakan di jalan-jalan. Tanpa badan, tanpa kepala. Lihatlah, lihat: kaki-kaki berkejaran di jalan-jalan. Menghindari hujan, menghindari basah dan kuyup.

Kaki saya berjalan lunglai. Menerabas keramaian lampu merah, bergelinding di tengah aspal yang sedang hiruk pikuk dengan jam kerja yang hampir usai.

Di pojokan sana, tukang bakso ramai dengan kaki-kaki kelaparan. Di pojok satunya lagi, tukang seragam laris manis dengan kaki para ibu yang melangkah berat beriringan dengan rengek kaki anak menghendaki baju baru untuk tahun ajaran baru.

Saya tetap berjalan, tanpa badan, tanpa kepala.

Kalau-pun saya punya badan, mungkin tubuh saya kini sama lunglainya dengan kaki. Merunduk rendah-rendah, serendah-rendahnya hingga saya bisa cium lutut saya yang berbunyi kopong dengan perut kosong. Kalau-pun saya punya kepala, mungkin kepala saya kini sedang bergoyang-goyang oleng seperti daun-daun kelapa nyinyir di tepi pantail.

Untunglah untung, tak ada badan, tak ada kepala. Setidaknya hanya kaki yang lunglai, itupun cukup. Janganlah lagi ada derita selain di kedua belah kaki yang berjalan tertatih, bertasbih, setiap pagi -dan (kadang!) bertambah sedih di sore hari.

Hari semakin gelap ketika saya sampai di gang kecil dekat pekarangan. Lampu kuning di ujung sana sudah menyala menandakan kewaspadaan. Siapa saja bisa tewas di gang ini. Anak-anak hingga tua renta. Tertabrak jeruji kereta ataupun pembunuhan berencana. Gang ini selalu ramai di pagi hari, saat semua-semua-nya mengejar matahari dan berangsur sepi saat gelap mulai sergap. Waspadalah, siapa saja bisa renggut kaki anda, juga nyawa anda.

Kaki lunglai saya menginjak kerikil, ini masih bagus. Kadang malah paku atau beling. Kadang berdarah-darah karena tak pernah saya berkenalan dengan sandal, sepatu, ataupun sepatu sandal. Cukuplah saya menyeker seperti kaki-kaki ayam yang kepalanya selalu terpenggal di tukang jagal dekat pasar.

Saya buka pekarangan saya. Hanya ini yang saya dapat hasil menjumpai mereka dalam ruang-ruang kelas. Hasilnya tak seberapa, tak perlulah dibandingkan dengan pengabdian berpuluhan tahun kerja. Toh mereka, istri dan anak-anak saya tak pernah menuntut lebih. Berapa beruntungnya saya!

Kaki istri saya menyapa kedatangan saya dengan menyodorkan segelas teh jahe.

Saya hirup aroma-nya. Aroma teh jahe… Aroma istri saya.. dan Ah, aroma anak-anak saya…

Berangsur-angsur saya rasakan kelopak-kelopak tubuh menyatu di atas kaki saya. Paha, pinggul, pinggang, dada, dan terakhir kepala. Saya mulai mendengar suara-suara. Sapaan renyah anak-anak, juga istri saya. Saya mulai mengecap, sejumput teh di ujung lidah saya, teh yang sama seperti yang saya hirup tadi. Lalu secara perlahan, kedua mata saya terbelah terbuka.

IniLah yang saya jumpai: keluarga saya yang utuh. Istri dengan senyum mengembang, juga anak-anak dengan tawa panjang. Yang saya temui di sini bukan kaki-kaki buntung tak bertuan -tanpa badan, tanpa kepala- yang terus-terusan berdetak-detak di jalan-jalan raya sepanjang hari ada.
“Thanks God, untuk hari ini!” kata saya sebelum terlelap.

DPN, 2010

Read more

Fak. Berapa juta kali sih saya harus bilang, saya bukan peramal. Saya tidak bisa menebak isi hatimu. Baiklah, boleh saya bertanya. Lalu bila tanya dijawab diam (karena diam juga bahasa, katamu) maka diamlah saya dengan sejuta persepsi yang dikalikan.

Malam masih menyisakan dingin dan segudang preman yang bisa menghabisi saya sewaktu-waktu. Sayangnya saya bukan pengecut. Air mata adalah simbol keperawanan karena ibu berkata, pria tak boleh menangis. Saya lebih berani darimu, akan saya buktikan.

Selama sirine ini masih menyala, maka jalan pulang pun terbentang.

*

“Hey gadis manis, ini kota bukan eropa!”

Di depanmu terbentang kompromi. Hadapilah. Tunjukan kebesaran jiwamu yang mampu menampung segala keluh kesah. Sekalipun kamu resah dengan ujung rok-mu yang basah. Jangan menyerah, karena lihat energimu sebesar asa, dan itu harus disebarkan.

“Cup, cup. Saya tahu, kamu butuh tempat untuk menampung duka.”

Ada, tempat itu sungguh ada. Kamu hanya perlu menembus belukar semesta yang menyaringmu dengan endapan-endapan luka. Hahahaha. Saya tertawa waktu itu, ketika melihatmu menyemberutkan bibir. Seperti kamu seratus tahun dulu, yang menangis sendu sendan karena wujudmu masih menjadi hujan.

“Hey, lihatlah! Di sana pelangi masih punya warna.”

Marun, emas, logam, juga warna air dan api. Warna-warna yang kau racik seolah-olah dunia ada di genggaman. Setuju, kata saya waktu itu. Biarkan dunia ada di gengaman. Jangan letak-kan di hati karena itu akan menguasai ragamu.

“Lalu, Bolehkah saya berharap, ada saya di hatimu.”

Biarkan saya menjadi penguasa. Memotong kesepuluh jarimu-pun saya rela, agar rasa-rasa padam. Agar tak ada lagi jiwa yang tersihir pancaran bola matamu yang meredup, mekar, meredup, dan mekar berganti-gantian sesuai irama hati.

*

Ziing. Kamu menatap saya dingin. “MATI KUTU!” Hentakmu pada dinding-dinding. Katamu adalah kutukan untuk hari-hariku selanjutnya. Sungguh, malam-pun masih menyisakan satu-dua ragu. Kalau begitu, hari esok masih ada, masih ada untuk segera diselesaikan. Selamat malam.

Read more

Ini kali tiada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal,perahu tiada berlaut
Gerimis mempercepat kelam.

Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyusur semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sendu penghabisan bisa berdekap

Written by. Chairil Anwar
Picture by. Piawai-Nastitie on Tedy’s Bar Beach-Kupang

Read more

Dulu, saya pernah menonton tayangan Kick Andy di Metro TV yang menampilkan Mama Gizela sebagai bintang tamunya. Beliau adalah seorang suster biarawan dari Jerman yang mendedikasi hidupnya untuk merawat dan menyembuhkan orang-orang dengan penyakit kusta di pulau Alor. Saat itulah untuk pertama kalinya saya kalinya saya melihat keindahan pulau Alor dengan lautnya yang begitu jernih, angin bertiup sejuk, matahari bersinar terang, dan sejumlah anak-anak dengan riang gebira bermain sampan hingga tengah lautan. Tak sangka, ada tempat seperti ini di pelosok Indonesia. 

Semua serba tak diduga. Bergabung dengan Youth Advisory Panel UNFPA (Lembaga Kependudukan PBB) memungkinkan saya untuk berangkat ke Alor. Senang rasanya bisa menikmati pulau Alor. Dan yang lebih membuat saya gembira, saya memiliki kesempatan untuk berjumpa dengan Mama Putih (sapaan akrab Mama Gizela). 

Perjumpaan terjadi di siang hari yang terik di Panti Asuhan Damian –diambil dari nama Damian, “Bapa Orang Dengan Penyakit Kusta” asal Belgia. Di tempat itulah Mama Gizela mencurahkan cintanya untuk anak-anak yatim piatu dan janda-janda. Di tempat itu pula Mama Putih biasa menyembuhkan orang-orang Kusta.

Perjumpaan yang hanya sesaat ini meninggalkan kesan tersendiri bagi saya. Kesederhanaan, keuletan, dan cinta yang begitu nyata sungguh sebuah contoh yang baik untuk tak menyerah melakukan perjuangan kemanusiaan.

Read more

–>

Anda harus merasakan teriknya Kupang yang gersang untuk memahami betapa air terjun oenesu dapat sangat diminati anak-anak ini sepulang sekolah. Kupang sungguh gersang: pohon-pohon kering, panas matahari membakar kulit, dahaga haus sungguh menyiksa di bulan puasa, maka melompat dari ketinggian air terjun +/- 100m dan bermain-main air di sekitarnya menjadi jalan keluar untuk mendapatkan kesegaran baru.

Read more