February 2013

Dinding undeground London berteriak sepi.
Dia hanya mendengar derap langkah kaki.
Dia hanya mendengar auman lorong panjang dari mancung kereta super cepat.
Dia hanya mendengar gesekan tubuh manusia yang sedang bercumbu dengan kopi, buku, atau roti mentah bawah tanah.
Sedih, tak ada yang mendengar teriakan sepi dinding undeground London. Semakin banyak orang berlalu-lalang datang dan pergi, semakin banyak orang tak peduli. Sekalipun dia bertambah kotor hitam pekat karena asap. Atau sekalipun dia bertambah pucat karena panas, dingin, yang dibawa manusia, hujan, dan matahari.
___

August 2010, all pictures was taken on the way from Luton to London, UK
It was a great journey with great team called “Global Xchange”
My pleasure to see u, guys!

Read more

Saya tidak tahu siapa itu Patricia Poole atau Terry, atau nama-nama lain yang tercetak dalam bangku taman sekitar Dunstable Downs. Satu hal yang saya tahu pasti, mereka, siapapun itu.. yang nama-nya tercetak di sana, sangat mencintai dunstable downs semasa hidupnya sehingga terekamlah kehadiran mereka di sana untuk menemani orang-orang yang rindu akan sunyi.

Bagi saya, Dunstable Downs memang sunyi dengan keleluasaan alam pandangnya. Di bawah sana, hamparan hijau bukit-bukit yang luas tak terbatas. Tidak terlalu banyak orang di sana. Saya menjumpai seorang ibu yang sedang jogging bersama 2 anjing-nya, beberapa remaja yang sedang memotret, dan seorang anak yang coba menerbangkan layang-layang. Di belakangnya, sang ayah mengerjar langkah kaki gadis kecil itu dengan sabar. Sesekali gadis kecil itu merajuk ayahnya agar terus membantunya menerbangkan layangan. Sang ayah nampak kelelahan, tapi tetap memenuhi permintaan gadis kecil itu. Ah… Saya jadi ingat ayah saya yang saat itu sedang berbaring di Rumah Sakit 🙁


Kalau kita beruntung mendapati cuaca cerah, ada glade -pesawat tanpa mesin- yang terbang mengitari bukit. Lebih beruntung lagi kalau kita cukup kaya dengan 40 pounds di kantong celana, kita bisa menjadi pengendara glade tersebut dan merasakan sensasinya melayang-layang di udara.

Saat itu sudah sore, untuk pertama kali-nya saya tiba di Dunstable Downs. Hujan sedang sedikit-sedikit membasahi tanah. Kekuatan pikat cerita dari seorang teman yang pernah berkunjung berhasil menarik saya untuk berkunjung ke bukit indah itu. Bedanya, teman saya naik mobil sedangkan saya harus berjalan kaki.

Bersama salah seorang teman, Jordan Trenchfield, kami naik bus antar kota (Luton-Dunstable) dilanjutkan bis ke arah Dunstable Downs. Sebenarnya saya lupa nama jalannya apa. Waktu itu kami melihat di peta dan memilih jalur bis yang paling dekat dengan Dunstable Downs sehingga saya lupa menghapal nama jalannya. Setelah ini kami harus berjalan kaki sejauh 14 miles melintasi jalan aspal yang berliku, menanjak, dan banyak dilintasi mobil berkecepatan tinggi.


Ah, sial. Beberapa kali saya hampir saja keserempet.


Tidak ada pilihan lain, tetap berjalan tanpa complaining atau menjumpai nothing. Saya memilih yang pertama. Jordan, akhirnya ikut melangkah juga walau disertai sumpah serapah selama perjalanan. Ini pertama kali-nya dia berjalan kaki ke Dunstable Downs, sekaligus perjalanan paling panjang baginya.

Dia pikir saya gila, tapi memang inilah saya. Harus ada yang dibayar untuk sebuah akhir yang sempurna. Jordan terpaksa mengikuti kemauan saya. Yes! Yes! Hahahaha.


Saya katakan pada Jordan: “Its okay, keep walking, keep trying for something big!”


Dan kami-pun terus berjalan hingga sampai di sana.


*


Hasil yang kami jumpai sepadan dengan usaha yang kami lakukan. Saya menjumpai Dunstable Downs berwarna hijau dengan kabut putih yang begitu indah….. Udara sore itu sejuk, cukup menyenangkan.
Saya menoleh ke arah Jordan. Dia pun terpana memandang Dunstable Downs. Mata-nya terbelalak, “Wow…” katanya. Kami tidak terlalu lama menikmati Dunstable Downs karena sesuai perhitungan, kami harus mengejar jadwal bis terakhir. Selain itu udara semakin dingin sehingga rasa-nya terlalu memaksa jika kami tetap bertahan di sana dalam balutan jaket yang tipis ini.
Dalam perjalanan pulang, Jordan berkata berkata: terimakasih untuk mengajari saya hal penting, berhenti mengeluh dan tetap tersenyum.. seperti apa yang selalu kamu lakukan.
Jordan, Jordan…..  kapan-kapan kita jalan lagi, ya? 🙂 🙂
_

Pendakian Dunstable Downs saya lakukan pada bulan Agustus, 2010. Saat itu saya bergabung dalam program Global Xchange (GX) – British Council. Jordan adalah salah seorang volunteer dari total 17 orang (7 orang Inggris dan 10 orang Indonesia) volunteer GX.

Pendakian ini salah satu pengalaman indah selama saya tinggal di Inggris. Saya ingat sekali kami berlari membeli makanan dan pulsa sebelum naik bis. Bis selalu datang tepat waktu dan kami hanya memiliki waktu 2 menit untuk belanja kebutuhan sebelum akhirnya bis datang. Sambil ngos-ngosan, akhirnya kami bisa masuk bis. Sesaat sebelum bis itu berjalan.

Cerita paling kocak adalah saat kami turun dari Dunstable Downs. Saat itu karena sudah kelelahan berjalan, kami memutuskan untuk menumpang mobil yang melintas, tapi mereka semua menolak. Emang agak aneh sih memberi tumpangan orang asing. Lalu tidak sengaja kami melihat “mobil goyang” yang lagi asik di pojokan jalan. Hahahaha.

Saya katakan pada Jordan, “Biasanya, 2 manusia yang habis “asik-asik-an” akan menjadi lebih bahagia. Orang bahagia biasanya jadi baik. Kalau mereka baik, pasti mereka mau memberi kita tumpangan.”

Jordan tertawa, tapi kata-kata saya terbukti.

Read more