March 2013

“Hi darling, what’s your name?” tanya saya pada bocah laki-laki berusia sekitar 5 tahun itu. Bukannya menjawab, dia malah asik melipat-lipat kertas. Sekali lagi saya bertanya padanya, “Hi darling, what’s your name?” Bocah itu tetap tidak menjawab.

Saya lalu menghampirinya dan menyentuh bahunya, “Hi darling, do you hear me? What’s your name?” Dia melihat saya sekilas, lalu kembali menunduk, sibuk dengan kertas lipatnya yang berwarna-warni.

Dalam hati saya mengumpat, sial nih anak…. kagak bisa denger apa yak?

Tarik napas, pasang senyum lebar, menyentuh bahunya lagi, berusaha sabar… berusaha sabar… lalu bertanya, “Hi darling, do you hear me?” Dan dia tetap tidak menjawab. Saya mengumpat sekali lagi, bener-bener deh ni bocah!!! Kagak punya kuping kali yaaa!!!

Tidak lama kemudian seorang wanita datang mendekat. Wanita berambut keriting yang mengenakan dress warna hitam itu lalu berbicara pada si bocah dalam bahasa yang tidak saya pahami. Si bocah mengangguk-angguk, lalu wanita itu menatap saya sambil berkata, “Sorry, he doesn’t speak English.” Saya melotot. Wh@t thE f#$%^&@! Saya mengumpat dalam hati.

“His name is Anton. He speaks russkiy.” Wanita itu memberitahu saya sebuah informasi paling penting abad ini. “I leave him here, I’ll be around here and I’ll be back soon.” katanya, lalu berlalu pergi. Bagoosss!

Kids Zone at BSF

Ini adalah hari kedua saya bertugas sebagai volunteer di arena Kids Zone dalam acara Bali Spirit Festival. Bali Spirit Festival sendiri merupakan festival perayaan yoga-dance-music yang diadakan sejak tanggal 20-24 Maret 2013 di Ubud, Bali. Acara ini dihadiri oleh sekitar 1500 orang setiap harinya yang mayoritas adalah orang berkewarganegaraan asing.

Ada 2 venue acara, lokasi pertama merupakan tempat pameran, workshop, dan yoga class yang terletak di Purnati Center for The Arts, Batuan, dan lokasi kedua untuk music concert terletak di Arma Museum and Resort. Walaupun di kedua lokasi itu ada Kids Zone, namun saya dan teman saya, Novi, bertugas di lokasi kedua.

Tugas kami sebenarnya sederhana, yakni bertanggung jawab pada arena Kids Zone. Dalam artian, kami harus bertanggung jawab akan keamanan, kenyamanan, kebahagiaan, dan kesejahteraan anak-anak yang berada di arena ini. Untuk itulah, sejak pagi hari kami sudah mempersiapkan berbagai permainan dan aktifitas untuk anak-anak, seperti mewarnai, melipat kertas, hingga face painting. Kami berharap anak-anak yang datang akan menikmati waktunya bersama kami.

Hari pertama, anak-anak yang datang tidak terlalu banyak. Usia mereka-pun sudah tergolong anak-anak besar, biasanya sekitar usia 8-10 tahun. Keadaan ini memudahkan saya dan Novi dalam mengatur mereka. Walaupun music concert pada hari pertama dihadiri ribuan manusia, namun singkat cerita, hari pertama arena Kids Zone berlangsur lancar dan aman.

Keadaan aman-tentram pada hari pertama sungguh berbeda ketika hari kedua datang. Pada hari kedua, yakni tanggal 22 Maret 2013, Kids Zone didatangi lebih dari 10 orang anak dengan variasi usia 3 hingga 10 tahun. Jumlah ini belum termasuk dengan anak-anak yang datang-dan-pergi tanpa permisi (Kids Zone mempersilakan anak-anak yang datang bersama orang tua untuk sign in, mereka diharuskan membayar tiket masuk, dan biasanya para orang tua sengaja menitipi anaknya untuk diasuh sementara oleh panitia. Namun anak-anak yang tidak sign-in bebas keluar-masuk arena Kids Zone, dan panita tidak bertanggung jawab pada keamanan mereka).

F*cking great karena di arena Kids Zone ini, hanya ada 2 orang yang bertugas, yakni saya dan Novi. Music Concert pada Bali Spirit Festival selalu dihadiri ribuan manusia setiap malamnya, sehingga yang paling menakutkan bagi saya dan Novi  adalah bagaimana anak-anak ini bisa aman berada di Kids Zone. Kami tidak bisa bayangkan bagaimana kalau suatu waktu anak ini hilang diantara ribuan manusia, OH BIG NO NO!

Dan hebatnya hari ini, selain hanya ada saya dan Novi yang bertugas dengan lebih dari 10 orang anak yang sign-in, kami memiliki Anton, si bocah Rusia tidak bisa bahasa Inggris itu! Sungguh sesuatu!

Sejak pukul 6 sore, saya dan Novi berusaha keras membuat anak-anak ini betah di arena. Kami mengajari mereka menggambar, do some face paintings, melipat kertas, dll. Dua jam kemudian, anak-anak mulai tidak bisa diam. Anak-anak besar pillow fighting, anak-anak kecil mulai mencari ibu mereka… saya dan Novi sungguh-sungguh kewalahan. Novi memaksa saya berpikir, “Ayo kita main games….. Ayo Dent, main apa?” tanya Novi setengah menjerit menghadapi tingkah laku anak-anak ini.

Patah semangat, saya berkata pada anak-anak, “Let’s play an Indonesian: DOMIKADO!” Dalam hati saya tertawa ngakak, bisa-bisa-nya saya kepikiran permainan ini. Hahaha. Dan ajaib, permainan ini bisa membuat anak-anak ini menjadi tenang untuk sesaat, horeee! :p

Anton, “Mama… Mama…”

Dari antara kami yang senang dan menikmati permainan DOMIKADO, mungkin Anton satu-satu-nya anak yang tidak bisa mengerti permainan ini. Daritadi dia coba bicara, namun kami tak mengerti. Daritadi saya coba bicara padanya, dia pun tidak mengerti.

Lalu tiba-tiba, Anton berlari keluar ruangan. Saya mengejarnya. Novi memberitahu saya agar membawa Anton masuk kembali ke dalam ruangan. “I tried! I tried!” kata saya dalam hati. Tapi berbicara pada Anton tidak semudah itu. Satu-satu-nya hal yang bisa saya lakukan adalah membiarkannya pergi dengan tetap mengawasinya dari belakang.

Anton menyelinap di antara ribuan manusia, saya mencoba tetap berada di belakangnya. Saya tahu, Anton sedang mencari ibu-nya. “Mama… Mama…” hanya itu yang saya pahami dari kalimatnya.

Saya memeluk Anton sambil berkata, “Anton, I’ll call your mom,” lalu saya menggandengnya menuju arena Kids Zone. Begitu Anton sadar bahwa saya membawanya kembali ke arena, Anton lalu melepaskan genggaman tangan saya dan berlari. “Oh my God, Anton!” kata saya sambil mengejarnya.

Anton mencoba menemukan ibunya. Beberapa kali dia memeluk wanita dari belakang yang disangka ibunya, padahal ternyata bukan. “Anton, I don’t know where’s your mom. Let’s come back to the Kids Zone. We’ll wait your mom there,” saya coba memberikan penjelasan pada Anton. Namun Anton tak mengerti. Hingga kemudian saya melihat kedua mata Anton merah dan berkaca-kaca. Saya tahu, Anton ingin menangis dalam ketidakberdayaan kami menemukan ibunya.

Saya tatap mata Anton iba, lalu saya berkata, “Anton, please trust me! I’ll help you finding your mom, but please don’t cry.” Saya tahu, ketika saya mengatakan ini mata saya-pun mulai berkaca-kaca.

Saya sangat ingin menemukan Ibu-nya Anton, tapi bagaimana mungkin saya bisa menemukan wanita dengan dress hitam itu diantara ribuan manusia yang hadir dalam music concert ini. Dalam kesedihan ini, sekali lagi saya mencoba bicara pada Anton si bocah Rusia, “Anton, I’ll help you finding your mom… but please don’t cry.”

Anton mengangguk, lalu berkata, “Okay,” dengan tatapan mata yang sedih dan tak berdaya. Sebuah kata yang membuat saya terkejut. He understands what I said!

Anton lalu menyerahkan dirinya untuk saya gendong. Saya memeluknya berusaha memberi kehangatan. Tidak lama kemudian, dari balik punggung Anton saya melihat seorang wanita berlari ke arah kami. Wanita berambut keriting dengan dress hitam itu. Dia bertanya pada saya, “What happened?”

“Anton tried to find you, but we don’t know where you are,” jawab saya sedih.

Wanita itu lalu memeluk Anton dan berbicara dalam bahasa yang tak saya pahami. Sempat saya merasa kehilangan karena tak mengerti bahasa mereka. Saat saya mulai bergerak meninggalkan ibu-anak ini, saya mendengar Anton berkata, “Thank you.”

Saya kembali ke arena Kids Zone. Sesaat kemudian, saya sudah merindukan Anton… hingga hari ini.

Untuk melihat beberapa foto kegiatan Bali Spirit Festival:

NAHKO Bear and Medicine for the People

Rupa and the April Fishes

Read more

 

Apa sih menariknya melihat monyet di tengah hutan?

Pikiran itu melintas dalam benak saya ketika Novi, mengajak mengunjungi Monkey Forest pada hari terakhir kami di Ubud (Senin, 25/3). Pengalaman menelusuri hutan menuju ke sebuah pura dan pemakaman tua dengan jalur setapak yang di kiri-kanan-nya terdapat banyak monyet sudah pernah saya alami beberapa tahun lalu. Karena sudah pernah mengalami, sebenarnya saya jadi kurang semangat untuk kembali ke sana.

Namun Novi terus membujuk saya. Novi adalah salah seorang teman saya yang bekerja part-time sebagai baby-sitter untuk dua orang anak dari Brooklyn New York bernama Leo dan Caleb. Leo berusia 7 tahun, sedangkan Caleb berusia 5 tahun.

Kebetulan mereka berserta kedua orang tuanya sedang berlibur di Bali. Waktu liburan yang bersamaan dengan keberadaan kami di Ubud membuat mereka mengatur pertemuan dengan kami. Monkey Forest menjadi tempat pertemuan itu. Setelah menimbang-nimbang, walaupun pernah ke sebuah tempat yang sama, bukankah pengalaman dan cerita bisa jadi berbeda? Maka akhirnya saya setuju untuk bertemu dengan Leo dan Caleb di Monkey Forest.

Pukul 09.45 kami sudah sampai di lokasi. 15 menit lebih awal dari jadwal pertemuan yang sudah disepakati. Sambil menunggu kedatangan mereka, kami duduk di depan gerbang masuk Monkey Forest menikmati pemandangan hutan monyet yang masih segar dan sepi di pagi hari. Saya lalu bercerita pada Novi bahwa beberapa tahun yang lalu saya pernah ke sini bersama keluarga.

Novi bersama Leo, Caleb, dan Ziad

Salah seorang teman mengatakan bahwa monyet-monyet di tempat ini nakal. Mereka suka mengambil barang yang dibawa/dipakai turis yang datang. Kebetulan waktu itu ibu saya memakai kaca mata hitam. Ketika kunjungan sudah hampir usai, salah satu monyet berlari ke arah ibu saya, lalu dari arah belakang dia mengambil kaca-mata hitam yang dipakai ibu.

Ibu saya berteriak. Lalu petugas setempat pun memukul-mukulkan dahan pohon, menyuruh monyet tersebut mengembalikan kaca-mata milik ibu. Bukannya mengembalikan, monyet tersebut malah tertawa ngekek, memakai kaca-mata di kepalanya, lalu menghilang di balik hutan yang lebat. Sial. Sebuah pengalaman yang lucu namun menyebalkan bagi kami sekeluarga.

Digigit Monyet

Pukul 10 tepat, Leo dan Caleb datang bersama kedua orang tuanya, Caron dan Dave, serta sepupu mereka yang bernama Ziad, seorang paman yang bernama Dough, dan bibinya. Mereka adalah keluarga yang sangat baik dan ramah. Namun sayang hanya Leo, Caleb, Ziad, dan Daough, yang ikut masuk ke dalam monkey forest.

Sambil pamitan pergi, Dave berkata, “I had enough time with these two boys. Enough. Very enough, even too much. So, I leave them with Novi.” Tentu saja sebuah gurauan yang membuat saya tertawa.

Selama satu jam kami berjalan-jalan di Monkey Forest.

Belajar dari pengalaman, saya tidak ingin monyet itu mengambil barang-barang saya. Maka sudah sejak awal saya memasukkan semua benda-benda, seperti kaca-mata, tempat minum, kunci, dl,  dalam tas, lalu menyelempangkannya pada bahu saya.

Dalam perjalanan pulang, Leo dan Caleb bertengkar. Bukan pertengkarang serius. Ini hanya pertengkaran ala anak-anak, namun membuat saya berpikir, pantas saja Dave berkata: I had enough time with these two boys. LOL. Pertengkaran bocah-bocah ini pasti membuat orang tua mereka kewalahan. Hahaha.

Ketika sudah selesai berjalan-jalan, Dough membeli minuman mineral untuk Leo dan Caleb. Sambil menikmati air mineral, kami menunggu Dave datang menjemput. Saat Dave sudah datang dan anak-anak mulai masuk ke dalam mobil, saya melihat seekor monyet jalan perlahan ingin meraih air mineral milik Dough. Sejurus kemudian, saya mengulurkan tangan, mengambil botol minum tersebut. Saya ingin menyelamatkan botol minum itu karena saya tidak ingin Leo dan Caleb kehausan karena air minumnya dicuri monyet.

Monyet yang marah meloncat ke tangan saya, mencakar dan menggigitnya.

Novi yang melihat kejadian itu langsung memukul monyet dengan botol air mineral. Tindakannya membuat monyet itu terlepas dari tangan saya dan terjungkal ke belakang. Sukur! Novi, Dave, dan Dough panik melihat luka di tangan saya. Saya pastikan pada mereka kalau kondisi saya baik-baik saja karena lukanya tidak parah.

Ah, apa saya bilang!

Selalu ada cerita dalam setiap perjalanan. Digigit monyet bisa dibilang sebuah pengalaman sial untuk mengakhiri perjalanan di Ubud, Bali. Namun saya lebih suka memaknai-nya sebagai berkat dari tempat suci bernama:  Padangtegal Mandala Wisata Wanara Wana Sacred Monkey Forest Sanctuary.  Berkat dari monyet yang setia menjaga pura suci.

Read more

NAHKO Bear and Medicine for the People:
“We believe in the good things comin’, comin’, comin’….”
live performed at “Bali Spirit Festival”, Ubud, Bali, March 2013
Their lyric encourages faith in the face of discouragement:
“Don’t waste your hate/ rather gather and create/ be of service/ be a sensible person/ 
use your words and don’t be nervous/ you can do this/ you’ve got purpose/ 
find your medicine and use it.

Read more

Hore, Majalah TOS! sudah terbit 😉 *kudu tumpengan* :p

Setelah sempat mundur selama beberapa waktu, akhirnya majalah ini terbit juga. Senang! Bukan hanya karena (akhirnya) majalah ini terbit, tapi lebih karena mendapat feedback dari pembaca yang menyambut positif dan antusias majalah ini. Bahkan beberapa pembaca sudah ada yang mulai menawarkan diri menjadi koresponden, membuat optimis untuk berjalan pada langkah seanjutnya. *peluk satu-satu 😉

Jadi ceritanya… Majalah TOS! adalah project pertama Jurnal-Piawai. Jurnal-Piawai sendiri merupakan kolaborasi antara saya dan Rembrandt, seorang teman yang bisa dibilang masih satu keluarga (walau keluarga jauh, hehehe).

Suatu hari kami sms-an pengen membuat sebuah project yang bisa dikerjakan berdua. Pikir sana pikir sini, akhirnya project membuat majalah terasa paling pas untuk dikerjakan berdua. Pertama, karena saya hobi nulis dan fotografi. Kedua, karena Rembrandt hobi gambar. Dua modal yang sudah ada pada diri kami ini menjadi kekuatan awal membangun Jurnal-Piawai.

Awalnya saya ingin mengangkat topik-topik sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Seperti diskriminasi pada remaja jalanan, kehidupan transgender, dll. Sempat bertemu dengan beberapa kawan, lalu kami bertemu satu-dua kali untuk braindstorm ide, mulai mendekati narasumber, dan akhirnya… progres majalah ini terasa lambat. 🙁

Sebenarnya sayang juga karena waktu itu idenya adalah kami ingin hadir menjadi media alternatif menghadapi gempuran media yang sekarang ini terasa so mainstream. Beritanya itu-itu aja, nggak dalem, nggak sensitive issue. Belum lagi kalau ada satu topik dibahas kroyokan, satu narsum diwawancara ramean. Huh! Tapi ya balik lagi, ide dasar yang kuat belum berarti apa-apa kalau dalam pelaksanaannya kurang maksimal.

Karena progress majalah ini terasa lambat, satu-dua-kawan sudah mulai tidak terdengar lagi suaranya, akhirnya saya dan Rembrandt mulai berpikir ulang untuk membangun apa yang sudah kami cita-cita-kan ini. Kalau saya pikir-pikir ulang mengapa progress majalah ini terasa lambat, bisa jadi karena menulis tema-tema sosial membutuhkan kekuatan analisis yang tinggi (yang sayangnya tidak semua orang bisa, kuat, dan berani!), waktu pengerjaan yang lumayan lama, dan pendalaman narasumber yang juga nggak bisa main-main.

Lalu, saya mengatur jadwal pertemuan lagi dengan Rembrandt. Mulai dari awal lagi. Braindstorm ide lagi. Berpikir lagi. Saya sempat patah semangat, tapi syukurlah saya memiliki partner yang kuat. Partner yang nggak pernah menyerah untuk terus mencoba. Kami mulai menelaah hal-hal yang paling dekat dengan kami, hal-hal yang paling kami sukai, hal-hal yang menjadi kekuatan kami, yang bila dikerjakan akan membuat kami senang.

Lalu, tercetuslah ide membuat majalah kompilasi sastra dan ilustrasi. Dunia sastra sangat dekat dengan hidup saya, begitu pun dunia ilustrasi yang sangat dekat dengan hidup Rembrandt. Kami putuskan untuk memberi nama majalah ini sebagai Majalah TOS!

TOS, simply karena itu merupakan simbol keakraban, simbol kerja sama, simbol pertemuan… kami ingin dunia sastra dan dunia ilustrasi bisa bertemu, akrab, bekerja sama, untuk menghasilkan karya yang bisa dinikmati oleh pembaca.

Lalu mulailah kami menentukan tema, bergerilya menghubungi teman-teman yang suka menulis dan menggambar, mengkurasi karya-karya yang masuk, memikirkan ide tampilan artistiknya, dan lain-lain… project ini sempat terhenti karena saya harus KKN, harus ke luar kota, dan banyak hal lainnya… proses kreatif majalah ini melalui chat di ym, email-email-an naskah, sms-an, dan kemudian pada suatu waktu, dreng deng deng deng… majalah ini selesai dikerjakan! 🙂

Untuk sementara, majalah ini kami buat dalam bentuk digital untuk menekan biaya produksi. Suatu hari pastinya kami ingin mencetak majalah ini… tapi fokus kami sekarang adalah bagaimana membuat majalah ini bisa berjalan terus untuk ke depannya. (Good newsnya adalah: tadi sudah bertemu seorang kawan dan dia mau bergabung untuk menjadi tim redaksi majalah TOS! horeee!! Senang bukan kepalang! Kami akan mencoba menghubungi beberapa kawan lainnya yang satu jiwa untuk bekerja sama dalam tim ini).

Sambil mempersiapkan majalah TOS! edisi selanjutnya, Jurnal-Piawai juga memiliki project untuk menerbitkan sebuah buku sastra dengan topik feminisme.

Akhirnya saya bisa menyimpulkan, bahwa untuk menyuarakan topik-topik sosial tidak melulu harus melalui investigasi mendalam bak jurnalis papan atas… dengan membuat karya-karya yang kita suka, seperti karya sastra dan ilustrasi toh kita tetap bisa menyuarakan keresahan kita pada kondisi yang terjadi di sekeliling. Betul tidak?

Ingin mengunduh majalah TOS??
Silakan klik link berikut: Majalah TOS!

Saya tunggu feedback-nya ya! 🙂

Best, Denty.

Read more

It was my first time comin to Jakarta CFD. I thought its gonna be no-car-at-all, but it’s Jakarta man! People need to go somewhere even in sunday morning. So sometimes JCFD people need to stop in the crossroad allowing cars to pass the street.
It’s not bad to be here. As we know, run and walk is the cheapest healthy activity to be done, but since its difficult to find an open space in Jakarta, so JCFD is one of good ideas to provide Jakarta people’s need. 
While my mom and dad did their jogging activity, I grabbed my cam and did my photo shooting. 
Here the results are:
 

GUARDIAN

 
BUILDINGS
A KID
TWO WOMEN

CYCLING
DAD
CROSS ROAD

Read more

Sudah beberapa hari belakangan dusun Randusari, di kaki gunung Merapi, diguyur hujan deras. Hujan deras ini tentu meresahkan masyarakat. Trauma akan banjir lahar dingin akibat erupsi Merapi masih berbekas di ingatan. Hujan seperti ini, selain membuat volume air sungai bertambah, juga akan membuat aktifitas masyarakat di luar rumah menjadi terhalang.

Namun cuaca yang kurang bersahabat itu tidak menyurutkan niat 8 orang mahasiswa/i dari Universitas Sanata Dharma untuk melaksanakan agenda kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Selama 27 hari tinggal di dusun Randusari, sejak tanggal 4 hingga 31 Januari 2013, mahasiswa/i KKN USD angkatan XLV Kelompok 40 memiliki berbagai agenda kemasyarakatan, khususnya agenda di sektor perikanan.

Beberapa hari menjelang usainya tugas KKN, kami memiliki sebuah agenda yang cukup berbeda. Agenda ini melibatkan kerjasama dan kreatifitas anak-anak. Tentu saja, seluruh mahasiswa KKN berharap kondisi cuaca yang buruk tidak mematahkan semangat anak-anak untuk tetap berkarya. Agenda itu adalah “Pagelaran Jathilan Turonggo Muda Randusari”.

Jathilan, atau yang juga dikenal dengan nama Jaran Kepang, merupakan tarian yang mempertontonkan kegagahan seorang prajurit di medan perang dengan menunggang kuda. Dalam pertunjukan ini para penari menggunakan anyaman bambu sebagai jaran (kuda)-nya. “Pagelaran Jathilan Turonggo Muda Randusari” menjadi berbeda karena tarian ini dibawakan oleh anak-anak yang mayoritas masih duduk di bangku Sekolah Dasar.  Acara diadakan pada hari Sabtu, 27 Januari 2013, di halaman rumah Bu Tunik, orang tua salah seorang penari Jathilan.
Seperti biasa, langit pagi itu diliputi awan mendung. Anak-anak tidak peduli. Satu per-satu dari mereka datang ke Pondokan mahasiswa di Rumah Bapak Suharyono, Kepala Dukuh Randusari. Sambil berteriak, mereka memanggil nama anggota KKN. Kata mereka, “Ayo Mas, Mbak, kita jadi jathilan nggak?”
“Jadi dong,…” jawab Awang, KORMADUS (Koordinator Mahasiswa Dusun). “Jam 2 ya!” lanjutnya lagi. Anak-anak langsung terlihat antusias.
Setelah melaksanakan program pembuatan kolam ikan pada pagi harinya, anggota KKN lalu mulai membagi tugas untuk mempersiapkan Jathilan. Helen dan We menempelkan poster acara, Sesi dan Astin membeli makanan ringan dan berbagai kebutuhan untuk ‘sajen’, sedangkan Awang, Putri, dan penulis mempersiapkan berbagai kebutuhan di TKP (Tempat Kejadian Perkara). Sayang, hari itu Rini, salah satu anggota KKN, sedang sakit sehingga tidak bisa ikut serta.
Sekitar pukul 11 siang, seluruh anggota KKN bersama anak-anak mulai mempersiapkan tempat Jathilan. Kami membabat pohon bambu, memotong-motongnya menjadi beberapa bagian, lalu mengikatnya di sekitar halaman rumah dengan menggunakan tali rafia. Di area inilah anak-anak akan mementaskan Jathilan-nya. Tak lupa kami memasang ‘sajen’ di beberapa sudut halaman pementasan. Sambil berdoa, kami berharap pementasan dapat berjalan dengan lancar dan tidak ada anak-anak yang terluka.
Mendekati pukul 2 siang, persiapan area sudah hampir selesai. Sebagian anak kemudian meletakan anyaman bambu yang disebut Jaran Kepang di tengah area. Persiapan dilanjutkan dengan mengenakan kostum berupa celana hitam sebatas lutut, kain batik sebagai bawahan, gelang tangan dan kaki, selendang pinggang (sampur), dan kain ikat kepala (udheng). Anak-anak ini membagi karakter menjadi prajurit, dan sebagian lainnya menjadi tokoh Gondoruwo (setan) atau Barongan (singa). Khusus untuk dua tokoh terakhir, mereka menggunakan topeng sebagi tambahan kostumnya.
Sebelum pukul 2 siang, para penonton yang terdiri dari anak-anak dan dewasa mulai berdatangan untuk melihat Jathilan. Hujan ringan yang turun membasahi tanah tidak menyurutkan semangat mereka untuk menyaksikan pertunjukan. Tepat pukul 2 siang, anak-anak memulai aksi. Anak-anak yang berjumlah sekitar 10 orang ini menari secara terus-menerus sambil berputar-putar hingga satu-per-satu dari mereka mulai mengalami trance atau semacam kesurupan. Para penari pun mulai mementaskan adegan-adegan yang kelihatan tidak masuk akal seperti mengupas buah kelapa dengan gigi. Karena ini adalah Jathilan Anak, tentu saja adegan-adegan tadi sudah direncanakan sebelumnya sehingga tidak berbahaya untuk dipentaskan.
Para penonton terhibur melihat tarian-tarian dan adegan-adegan selama pementasan. Sesekali mereka tertawa atau memberi tepuk tangan. Pukul 4 sore, pertunjukan selesai. Terlihat aura kepuasan dari wajah penonton dan penari yang baru saja pentas. Kerjakeras para penari terbayar lunas dengan suksesnya pertunjukan.
Anak-anak ini memang udah sejak lama berlatih tari Jathilan. Mereka berlatih dengan cara menonton CD pertunjukan dari kelompok-kelompok Jathilan yang sudah lebih dulu eksis. Mereka berlatih tanpa guru/pelatih khusus. Bahkan, anak-anak ini sendiri yang mengusulkan untuk membuat pagelaran Jathilan di dusun Randusari sebagai salah satu agenda KKN. Bu Tunik, ibu dari salah seorang penari, mengatakan, “Sebagi orang tua, saya sangat bangga pada semangat anak-anak…”
Bu Tunik lalu bercerita, kadang kala anak-anak ini mendapat job untuk pentas. “Uang hasil pementasan (yang tak seberapa), dipakai untuk membeli jarik (kain batik) atau alat-alat kebutuhan pentas lainnya.” Sebuah  usaha dan kerjakeras dari anak-anak yang perlu diapresiasi. “Sayang, perhatian dari orang dewasa dalam segi fasilitas untuk anak-anak masih terasa kurang,” lanjutnya menyampaikan keprihatinan.

 

Seperti yang kita tahu, Jathilan merupakan tarian yang berusia paling tua di pulau Jawa. Anak-anak Randusari memiliki potensi besar dalam upaya mempertahankan kelestarian budaya Bangsa. Usaha anak-anak untuk mepertunjukan seni tradisi tidak hanya berkesan bagi para penonton, namun juga meninggalkan jejak kebanggaan di hati mahasiswa KKN. Semangat anak-anak ini mengajarkan kita untuk terus menghidupi peninggalan leluhur, tidak peduli dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki. Sebuah semangat luhur dari anak-anak Randusari, di kaki Gunung Merapi, yang patut ditiru bagi siapa saja yang menyaksikannya.
Penulis:
Denty Piawai Nastitie
Mahasiswi Universitas Sanata Dharma, program pendidikan Sastra Inggris
Phone: 08176303009 | Email: denty_nastitie@yahoo.com
Read more

Sendang Gile Water Fall

Still remember 3 things that I really wanted to do in Lombok?

The first one is climbing Mount Rinjani, the second one is coming to see Sendang Gile water falls, and the third one is snorkeling in Gili Islands. Yesterday I already post about my experience snorkeling in Gili Air

Today, I wanna share my experience coming to see Sendang Gile and Tiu Kelep water fall. It is located in the foot of Mount Rinjani. Exactly located in Bayan, the north of Lombok. It takes 3 hours driving from Mataram, the capital city of Lombok. Although it takes a long journey to reach here, but we will be served with a beautiful panorama such as Malimbu Hill and the coast of Senggigi beach along the trip.

To reach Sendang Gile water falls takes 20 minutes walks down five hundreds stairs from Senaru Village. Senaru is the main access to climb Mount Rinjani national park. Sendang Gile is not the only one of the water falls located in this area. There are two other water falls, called Tiu Kelep and Betara Lejang. The journey to reach those water falls is longer and more challenging. Tiu Kelep for example, it takes another hours walk upriver great trail and steps from Sendang Gile. Betara Lejang is located farther. It takes a day walking through Mount Rinjani. Since I hadn’t made enough preparation to reach Betara Lejang,  I decided coming to see Sendang Gile and Tiu Kelep in this journey. Surely as usual, I keep Betara Leja for another time 😀

Both Sendang Gile and Tiu Kelep are great water falls.

Tiu Kelep Water Fall

Sendang Gile has a height about 40 meters. This water fall emerges from the cliff and falls directly into the river below it. The water that comes straight from Mount Rinjani makes Sendang Gile becomes so clean and fresh. I took a moment standing under Sendang Gile water fall. It hurts lil bit, but feeling fresh after all.

Satisfied enjoying Sendang Gile, I walked to the next water fall, which is Tiu Kelep. As I said before, the journey to reach here is about an hour from Sendang Gile. Walking above the path of volcanic rocks decorated with the exotic wood, acrossing the river, and enjoying the view of wilderness scenery makes this journey becomes really amazing. All of this greatness becomes perfect when I already reached Tiu Kelep water fall. 

Tiu Kelep water fall is more powerful than Sendang Gile. From a distance our clothes had become wet because the splashes. In Sasak language, Tiu interpreted as vortex. Unlike Sendang Gile which only had a shallow pond, in Tiu Kelep the visitors can swim in the pool directly above the water fall. With a depth about 1 meter, this pool become safe to swim. I love swimming here so much!! The greatness become complete with the color of rainbow arises because the water bias.

If normally Lombok, as well as Bali, well known with its beautiful beaches and attractive clubs and cafes, coming to see water falls become a picturesque experience! Love it so muchh!! 🙂

Read more

There were three things that I really wanted to do in Lombok. The first one was climbing Mount Rinjani, the second one was coming to see Sendang Gile water falls, and the third one was snorkeling in Gili Islands. Even, I made the near-perfect itinerary long before my departure to Lombok. I just wanted to make sure that there is no destination I skip.

I planned to enjoy Lombok with one of my friends. Unfortunately,  she canceled her trip. It made me felt upset at the first time. Then I saw my father became excited to go Lombok. He said, “Let’s do it!” Then here I was….. going to Lombok with my family. Dad, Mom, Brother, and I. Perfect!

From three destinations that I really wish to go, only two of them that already accomplished: coming to see Sendang Gile, and snorkeling in Gili Islands. No worry, surely I will keep the first one, climbing Mount Rinjani, for another time 😀

In this post, I talk about snorkeling around Gili Air. It was a tiny island near Lombok, located in a group of island consis of Gili Air, Gili Trawangan, and Gili Meno. All of those islands well known as Gili Islands. I have chosen Gili Air for snorkeling simply because Gili Air was more quite and nearest to Lombok. So it gonna be the best way to enjoy other side of Lombok, either it didnt take too many times reaching the island. 

I reached Gili Air through Bangsal port. There were two options to reach here, we can ride a charter boat (IDR 200,000 fixed price, one way ticket), or joint with a regular boat run by local people (of course the price will be much much cheaper than the other one!). In this time, I got special price: round trip ticket + snorkeling trainer and equipment rental for IDR 500,000. It took 30-45 minutes to get here.

Gili Air was a really “wow” island. The circumstance was only two and a half hours walk around by foot. The population was about a thousand people. It was a good place for those who really want to escape from the hustle-bustle daily life. Gili Air had some places to hang out, such as club and cafe, but the number was not as many as in Gili Trawangan. It also had some good restaurants and various range of accommodation.

There were various activities that we can do in Gili Air (besides chill out in bungalow of course :D). We can did swimming, snorkeling, or scuba diving. Since I didn’t have diving license, so snorkeling was the perfect option to do! 🙂

Gili Air had really wonderful sea garden. I saw many fish, sea turtle, and colorful seaweed. After all, I had a really great time and it was one of the best experience in my life.

 
Read more

Have you planned your weekend? Exploring Pindul Cave Tubing can be used as your reference!

The meaning of cavetubing it self is go along the river, which is flowing inside the cave, using rubber boat or winder tire as its instrument. So the most interesting thing is not go along the cave, but you will go along the underground river inside the cave. Of course, this cool outdoor activity will be fun yet challenging experience! 🙂

Pindul cave tubing is located in Dusun Gelaran I, Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul, DIY. It takes around 90 minutes driving from Yogyakarta. Pindul is one of 7 cave series in around. Although the underground river that flowing inside Pindul Cave Tubing looks quite and calm, but actually the depth reaches 12 meters. So everyone should use life vest since the begining of the adventure.

If you have feelings like, “Oh no! I never get into the cave before,” or “I don’t have any skill of exploring the cave,” all I can tell you is: don’t worry! You don’t need any specific practices or skills to explore Pindul Cave Tubing. All of you need is: be careful, don’t say any rude words, and just have fun! Pindul Cave Tubing provides local experts that will guide you along the river. They will aslo explain the natural phenomena that occurs in the cave. So you will get not only the adventure experience, but also a new knowledge of nature. Great! 😀

Other than driving or riding your motorbike, you can reach Pindul Cave Tubing by bus Yogyakarta-Wonosari. I suggest you to contact the ticket box before the day, so they can pick you up when you’ve arrived at Wonosari square. It will be easier than looking the place by your self.

To explore Pindul Cave Tubing, you only need to spend Rp 25.000,00/adult. It opens Monday- Sunday (at 08 a.m. – 16 p.m.). Wirawisataas the organization that in charge in this pleasure thing also offers various different outdoor activities, such as rafting, cave tubing extreme experience, and hiking. I have experienced cave tubing and rafting, both are really fun!🙂 I swam a lots (using my life vest of course!).


The most lovely thing is there were water falls in the river when we di rafting! Love it so much!! Below are the pictures of exploring Pindul Cave Tubing, enjoy and have a great weekend! 🙂

Ps: If you interested to come, don’t forget to bring your extra clothes because you’ll get wet.
Morning is the best time to come. Crowded during the day, especially in weekend and holiday.

Read more

Ternyata Eyang Kung-Kung-ku pernah belajar foto. “Kapan, yang?” tanyaku enggak percaya sehabis sungkeman di hari lebaran kemarin.

“Ya jaman dulu. Pas Eyang masih jadi pegawai negri. Walau tidak berprestasi, gini-gini eyang pengalamannya banyak lohh..” jawabnya sambil nyengir sehingga gigi ompongnya kelihatan.

Iya dehh.. percaya!! Tapi kok yo aku sampe gak ngerti gitu loh!!

Menurut eyang, jaman susah dulu, dikantornya ada satu kamera. Apa mereknya, eyang kung-kung lupa. Eyang punya teman yang bisa motret, nah temennya eyang ini yang pertama kali mengenalkan dan mengajari eyang cara memotret.

“Kalo motret benda diam, mudah! Kalo bergerak, seperti kuda yang lewat, itu baru susah!”

Beberapa kali, eyang kung-kung pernah mengundang temannya main ke rumah. Undangan ini bersifat permohonan tolong untuk mendokumentasikan keluarga eyang. Lucunya, yang didokumentasikan bukan hanya keluarga kecil (istri dan anak-anak), tapi juga keluarga besar (tetangga sekampung!)

Sambil membuka-buka album foto hitam-putih miliknya, eyang menjelaskan siapa saja yang ada di gambar. Eyang kungkungku ternyata ganteng loh:D dan eyang utiku, ternyata cantik juga:D mereka pasangan serasi dehh..

Lucunya, pas bagian foto sekampung, kita bisa lihat perbedaan status alias pengkastaan dari alas kaki. Dari pakaian juga sih, tpai dari alas kaki yang paling kelihatan. Mereka yang termasuk orang berada mengenakan sepatu, yang lainnya cekeran. Eyangku termasuk manusia-manusia bersepatu. Hahhaha. Di kampung, Eyangku merupakan satu-satunya orang yang menjadi pegawai negri. Hebat euy..

“Kalau teman eyang datang untuk memotret, orang-orang pasti berdatangan ke rumah. Mereka berpakaian rapih, lalu berdiri berjejeran minta difoto.”

Dari pakaian, kita juga bisa lihat status seseorang. Makanya eyang utiku dn teman-teman perempuanya memilih pake kebaya. Alasannya sih biar kelihatan luwes dn njawani. Dalam kesehariannya, eyang uti tidak selalu berkebaya. Biasanya berpakaian baju terusan dengan lengan dan rok menggelembung. Hanya saat berpergian dan acara khusus saja eyang memakai kebaya. Kesimpulannya, kebaya adalah pakaian paling ‘pantas’ atau sopan untuk perempuan saat itu. Makanya, di hampir semua fotonya, eyang terlihat berkebaya.

Kata eyang uti, sebelum foto, eyang selalu mancak (berdandan!) juga. Bahkan enggak lupa pake parfum. Hhahahaa. Padahal, mana kecium pake parfum apa enggak?!! Namanya juga wong ndeso..he he.

Dengan berdandan dan berpakaian pantas, eyangku sedang membuat sebuah image (pencitraan diri). Semua fotonya terlihat ‘niat’. Anak-anak eyangku, yang berjumlah 6 orang (mamaku, bude, pakde, tante, dan om) semuanya memakai baju seragam -hasil jahitan eyang utiku sendiri- eyang kung-kung pake baju dinas pegawai negrinya dan sepatu hitam, dan eyang utiku tentu saja pake kebaya dengan rambut disanggul dan sampir (selendang kecil) menghiasi bahunya. Kalau diamati, tempat fotonya padahal enggak spesial-spesial amat loh. Hanya di depan pintu, di dekat sumur, di halaman rumah, di teras, atau di lapangan kampung. Tapi kelihatan banget kalau mereka ‘berniat’ foto.

Niatnya memang mendokumentasikan -merekam peristiwa-. Tapi dibalik itu sebetulnya ada niat lain, yaitu untuk menciptakan sebuah image, sebuah profile, akan keberadaan keluarga ini (keluarga yang dipimpin oleh seorang pegawai negri dengan isteri njawani dan anak-anak penurut dengan pakaian kompaknya itu).

Read more