Malaikat Bejat

Adalah suatu ketika, seorang anak bernama Sandy Tattoo lahir ke dunia. Di sebut demikian karena di sekujur tubuhnya banyak tatto berupa bercak-bercak kehitaman bekas pemadaman sulut rokok. Di paha, di pipi, di dada-nya yang kelak akan bertumbuh bidang dan mungkin berbulu, bahkan di dekat penisnya pun ada. Tattoo, dia adalah musuh semua orang. Dibenci semua orang: teman-teman sekampung, tetangga, tukang bakso, tukang gado-gado, hingga ibu-nya sendiri menaruh amuk amurka padanya. Kalau bisa dia mati saja, saat ini.

Kebetulan ibu-nya seorang pelacur. Umurnya sudah hampir setengah abad. Tubuhnya sudah bergelambir dan kulit wajahnya sudah kempot dengan kerut. Teteknya-pun tak sesemok dulu.

Adalah suatu ketika, sang ibu terlanjur hamil. Entah lelaki mana yang menghamilinya. Terlalu banyak nama dan jabatan yang singgah. Semuanya bau keringat. Dia tidak peduli, yang penting dibayar. Beres. Dia terlanjur hamil. Dan dia membiarkan janin itu tumbuh. Bermanja-manja dalam rahim yang sudah puluhan bahkan mungkin belasan kali coba digerusnya. Ada makhluk mampu hidup di sana, adalah perkara lain. Rahimnya sudah seperti neraka, toh mampu pula menghidupi.

Sudah saatnya saya pensiun, begitu pikir si ibu. Maka melahirkan adalah pilihan bijak. Akan dibuat sang anak terlibat hutang-piutang dengannya. Lalu, pikir si ibu, sang anak harus membayar mahal tumpangan-nya selama di rahim dengan hidupnya. Tapi, tentu saja, dia tak akan membuat hidup anaknya mulus bak permadani. Toh kehidupan tak ada yang mulus. Sebuah masalah usai adalah pertanda datangnya masalah lain yang lebih berat.

Bermain-main dengan rokok yg dibakar di sekujur tubuh, juga botol Bir yang dipecahkan di kepala merupakan hal lumrah. Sejak si Tatto lahir, kekejaman dunia sudah dirasakan. Dia terlahir dengan bola mata dunia yang bercahaya, berkilat-kilatan.

Brengsek! Sang ibu mengumpat. Di hadapannya bukan anak manusia. Hewan-pun terasa lebih baik. Asal jangan malaikat. Asal jangan malaikat. Malaikat bejat.

Tatto tak pernah menangis. Tatto selalu berbelas kasih. Tatto adalah malaikat. Malaikat bejat bagi mereka yang hidup di dekatnya. Musuh semua orang, semua gegap gempita. Demit, juga dewa. Dia selalu tanpa hadir noda. Kata-kata mutiara yang keluar dari bibirnya yang merah adalah mutiara, pembawa derita. Selalu bernada duka. Selalu mengundang hujat.

Padahal umurnya baru 5 tahun, masih muda bukan?

Tanyakan pada Pak Min, tukang sate, siapa Tatto.

“Bocah edan! Kampret! Dia memuntahkan bumbu kacang. Tidak enak, katanya. Kampret! Kampret! Bumbu kacang rasa eek, katanya! Kampret! Sialan! Daganganku jadi tidak laku.”

Tanyakan pada Nurjanah, teman bermainnya. Siapa Tatto?

Nurjanah akan menangis. “Aku tak perawan… Aku tak perawan… Huaa… Huaa… Tatto memegang bokongku… Huaaaaaaaaaaaaaa…” Nurjanah menjerit dengan isak tangis yang menjadi-jadi.
Lalu ibunya Nurjanah, Bu Pang, akan mengambil sapu. Mencari Tatto dan menggebukinya setiap kali si Nur menangis.

Sekarang, tanyakan pada Atmo, preman pasar Kewer dekat pemukiman sumpek. Siapa Tatto?

“Bajingan! Asu Buntung! Kutu Kupret! Dia berteriak ketika saya nyopet dompet di ketek seorang ibu tua. Lalu saya digebukin!! Asu!! Asu!!”

Di ujung gang sana, ada seniman bernama Pajaitun. Kurus, krempeng, jarang bicara. Hanya melukis. Melukis. Membuat sampah lukisan di tembok ujung gang. Setiap hari tembok berganti rupa. Itulah seniman. Aneh. Tanyakan kepadanya, siapa Tattoo.

Dia akan membanting semua cat warna-nya. Lalu jongkok di pojok sambil memasang rupa sedu sedan. “Edan. Edan. Wong edan. Saya wong edan. Saya wong edan. Mencorat-coret tanpa makna. Wong edan. Wong edan.” Begitu dia mencerca dengan tatap derita.

Pasti ulah Tatto. Pasti karena komentar busuknya. Pasti karena sikapnya yang mandiri, sesuai kodrat malaikat bejat yang tak merasa memiliki cela. Tampil tanpa citra diri, apa adanya. Tanpa tending aling-aling. Toh dia bukan manusia opportunities, pencari keuntungan belaka. dia usung kodrat malaikat bejat tanpa cela setinggi-tingginya. Maka, jadinya, dia dia menjadi musuh bersama.
Ahh… Tattoo, kasihan kau Nak. Dibenci semua orang.

Tapi lihatlah, mereka masih hidup berhadap-hadapan. Di gang sumpek penuh kebusukan. Ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, bahkan ibunya sendiri menganggapnya musuh. Musuh kaliber Asu. Malangnya, mereka hidup tetap berdampingan. Betapa indah dunia, bukan? Penuh kemunafikan.
Salahkah Tatto bila yang keluar dari bibir merahnya adalah apa yang dia pandang, apa yang dia rasa, dan apa yang dia pikirkan tentangnya? Tentu menusuk siapapun yang cuping kupinya masih menyala. Panci melayang ke kepala. Sendal menyabet pantat. Itulah Sandy Tatto. Derita di umur 5 tahun. Derita panjang hidupnya semoga tak sepanjang umurnya.

Tatto tak pernah menangis. Berbeda dengan ibunya yang pelacur. Puluhan tahun membiarkan ratusan penis keluar masuk vaginanya. Dia sakit. Tak ada pelacur yang tak sakit dan menderita. Tapi dia bertahan, walau dalam tangis.

“Pelacur cengeng!” begitu Tatto menghardik ibunya agar diam dari muram durja.

Sang ibu lalu mengambil setrika panas, mengelus-elus pundak Tatto seperti dia membelai daster sutra kesayangannya. Tatto meringis-ringis, tak menangis.

*) seluruh nama dan peristiwa adlh rekaan belaka

One Comment, RSS

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*