Sudah beberapa hari belakangan dusun Randusari, di kaki gunung Merapi, diguyur hujan deras. Hujan deras ini tentu meresahkan masyarakat. Trauma akan banjir lahar dingin akibat erupsi Merapi masih berbekas di ingatan. Hujan seperti ini, selain membuat volume air sungai bertambah, juga akan membuat aktifitas masyarakat di luar rumah menjadi terhalang.
Namun cuaca yang kurang bersahabat itu tidak menyurutkan niat 8 orang mahasiswa/i dari Universitas Sanata Dharma untuk melaksanakan agenda kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Selama 27 hari tinggal di dusun Randusari, sejak tanggal 4 hingga 31 Januari 2013, mahasiswa/i KKN USD angkatan XLV Kelompok 40 memiliki berbagai agenda kemasyarakatan, khususnya agenda di sektor perikanan.
Beberapa hari menjelang usainya tugas KKN, kami memiliki sebuah agenda yang cukup berbeda. Agenda ini melibatkan kerjasama dan kreatifitas anak-anak. Tentu saja, seluruh mahasiswa KKN berharap kondisi cuaca yang buruk tidak mematahkan semangat anak-anak untuk tetap berkarya. Agenda itu adalah “Pagelaran Jathilan Turonggo Muda Randusari”.
Jathilan, atau yang juga dikenal dengan nama Jaran Kepang, merupakan tarian yang mempertontonkan kegagahan seorang prajurit di medan perang dengan menunggang kuda. Dalam pertunjukan ini para penari menggunakan anyaman bambu sebagai jaran (kuda)-nya. “Pagelaran Jathilan Turonggo Muda Randusari” menjadi berbeda karena tarian ini dibawakan oleh anak-anak yang mayoritas masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Acara diadakan pada hari Sabtu, 27 Januari 2013, di halaman rumah Bu Tunik, orang tua salah seorang penari Jathilan.
Seperti biasa, langit pagi itu diliputi awan mendung. Anak-anak tidak peduli. Satu per-satu dari mereka datang ke Pondokan mahasiswa di Rumah Bapak Suharyono, Kepala Dukuh Randusari. Sambil berteriak, mereka memanggil nama anggota KKN. Kata mereka, “Ayo Mas, Mbak, kita jadi jathilan nggak?”
“Jadi dong,…” jawab Awang, KORMADUS (Koordinator Mahasiswa Dusun). “Jam 2 ya!” lanjutnya lagi. Anak-anak langsung terlihat antusias.
Setelah melaksanakan program pembuatan kolam ikan pada pagi harinya, anggota KKN lalu mulai membagi tugas untuk mempersiapkan Jathilan. Helen dan We menempelkan poster acara, Sesi dan Astin membeli makanan ringan dan berbagai kebutuhan untuk ‘sajen’, sedangkan Awang, Putri, dan penulis mempersiapkan berbagai kebutuhan di TKP (Tempat Kejadian Perkara). Sayang, hari itu Rini, salah satu anggota KKN, sedang sakit sehingga tidak bisa ikut serta.
Sekitar pukul 11 siang, seluruh anggota KKN bersama anak-anak mulai mempersiapkan tempat Jathilan. Kami membabat pohon bambu, memotong-motongnya menjadi beberapa bagian, lalu mengikatnya di sekitar halaman rumah dengan menggunakan tali rafia. Di area inilah anak-anak akan mementaskan Jathilan-nya. Tak lupa kami memasang ‘sajen’ di beberapa sudut halaman pementasan. Sambil berdoa, kami berharap pementasan dapat berjalan dengan lancar dan tidak ada anak-anak yang terluka.
Mendekati pukul 2 siang, persiapan area sudah hampir selesai. Sebagian anak kemudian meletakan anyaman bambu yang disebut Jaran Kepang di tengah area. Persiapan dilanjutkan dengan mengenakan kostum berupa celana hitam sebatas lutut, kain batik sebagai bawahan, gelang tangan dan kaki, selendang pinggang (sampur), dan kain ikat kepala (udheng). Anak-anak ini membagi karakter menjadi prajurit, dan sebagian lainnya menjadi tokoh Gondoruwo (setan) atau Barongan (singa). Khusus untuk dua tokoh terakhir, mereka menggunakan topeng sebagi tambahan kostumnya.
Sebelum pukul 2 siang, para penonton yang terdiri dari anak-anak dan dewasa mulai berdatangan untuk melihat Jathilan. Hujan ringan yang turun membasahi tanah tidak menyurutkan semangat mereka untuk menyaksikan pertunjukan. Tepat pukul 2 siang, anak-anak memulai aksi. Anak-anak yang berjumlah sekitar 10 orang ini menari secara terus-menerus sambil berputar-putar hingga satu-per-satu dari mereka mulai mengalami trance atau semacam kesurupan. Para penari pun mulai mementaskan adegan-adegan yang kelihatan tidak masuk akal seperti mengupas buah kelapa dengan gigi. Karena ini adalah Jathilan Anak, tentu saja adegan-adegan tadi sudah direncanakan sebelumnya sehingga tidak berbahaya untuk dipentaskan.
Para penonton terhibur melihat tarian-tarian dan adegan-adegan selama pementasan. Sesekali mereka tertawa atau memberi tepuk tangan. Pukul 4 sore, pertunjukan selesai. Terlihat aura kepuasan dari wajah penonton dan penari yang baru saja pentas. Kerjakeras para penari terbayar lunas dengan suksesnya pertunjukan.
Anak-anak ini memang udah sejak lama berlatih tari Jathilan. Mereka berlatih dengan cara menonton CD pertunjukan dari kelompok-kelompok Jathilan yang sudah lebih dulu eksis. Mereka berlatih tanpa guru/pelatih khusus. Bahkan, anak-anak ini sendiri yang mengusulkan untuk membuat pagelaran Jathilan di dusun Randusari sebagai salah satu agenda KKN. Bu Tunik, ibu dari salah seorang penari, mengatakan, “Sebagi orang tua, saya sangat bangga pada semangat anak-anak…”
Bu Tunik lalu bercerita, kadang kala anak-anak ini mendapat job untuk pentas. “Uang hasil pementasan (yang tak seberapa), dipakai untuk membeli jarik (kain batik) atau alat-alat kebutuhan pentas lainnya.” Sebuah usaha dan kerjakeras dari anak-anak yang perlu diapresiasi. “Sayang, perhatian dari orang dewasa dalam segi fasilitas untuk anak-anak masih terasa kurang,” lanjutnya menyampaikan keprihatinan.
Seperti yang kita tahu, Jathilan merupakan tarian yang berusia paling tua di pulau Jawa. Anak-anak Randusari memiliki potensi besar dalam upaya mempertahankan kelestarian budaya Bangsa. Usaha anak-anak untuk mepertunjukan seni tradisi tidak hanya berkesan bagi para penonton, namun juga meninggalkan jejak kebanggaan di hati mahasiswa KKN. Semangat anak-anak ini mengajarkan kita untuk terus menghidupi peninggalan leluhur, tidak peduli dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki. Sebuah semangat luhur dari anak-anak Randusari, di kaki Gunung Merapi, yang patut ditiru bagi siapa saja yang menyaksikannya.
Penulis:
Denty Piawai Nastitie
Mahasiswi Universitas Sanata Dharma, program pendidikan Sastra Inggris
Phone: 08176303009 | Email: denty_nastitie@yahoo.com
loh kwe ra melu njathil? padal everidei kwe trance trus to ~(˘⌣˘)~