March 2013

Dadang, vokalis Dialog Dini hari, memberi kesempatan penonton untuk ikut bernyanyi

Perkenalan saya dengan Dialog Dini Hari sudah sekitar 2 tahun lalu. Dalam sebuah pertunjukan di Jakarta, saya melihat tiga orang musisi naik ke atas pentas: seorang vokalis sekaligus gitaris dengan rambut gimbal berwajah lumayan ‘matang’, seorang basis yang (ehemm) tampan, dan seorang drummer gondrong yang sekilas nampak garang. Sempat berpikir bahwa ini adalah band rock. Lalu, begitu sang vokalis memulai pertunjukan dengan petikan gitarnya ditimpali suaranya yang serak dan rendah, semua perkiraan tadi langsung luruh.

Dialog Dini Hari bukan band beraliran musik keras grewo-grewo. Musik-musiknya sangat nge-soul dengan nada-nada blues dan folk dipadu lirik-lirik yang puitis. Wajah mereka yang sangar sempat mengecoh saya. Setelah mendengarkan lagu-lagu mereka  yang kebanyakan bertema perjalanan, cinta, dan manusia, sejak saat itu, saya langsung jatuh hati pada Dialog Dini Hari. Saya berharap bisa kembali menyaksikan penampilan memukau Dadang SH Pranoti [fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”][gitar & vocal], Bronzio Orah [bass], dan Deny Surya [drum]; lengkap dengan koor panjang penonton, persis seperti apa yang pernah saya alami sebelumnya.

Aksi Panggung Zio

Cita-cita saya untuk menyaksikan Dialog Dini Hari terwujud melalui sebuah konser musik bertajuk “Suara Tujuh Nada”. Acara ini merupakan sebuah tur musik 3 hari berturut-turut (6, 7, dan 8 Maret 2013), di tiga kota berbeda (Bandung, Yogyakarta, dan Bali), menampilkan tiga kelompok musik: Stars and Rabbit, Dialog Dini Hari, dan White Shoes and The Couples Company. Senang sekali, Yogyakarta menjadi salah satu kota yang dituju konser ini. Di Yogyakarta, “Suara Tujuh Nada” diadakan di Teater Garasi, sebuah ruang alternatif yang biasa digunakan untuk pertunjukan teater kontemporer.

Sejak pukul setengah 7 penonton sudah memadati pintu masuk venue Teater Garasi. Acaranya sendiri dimulai pukul 8 malam dengan kelompok musik “Stars and Rabbit” sebagai pembuka pertunjukan ini. Penonton langsung bersemangat menyambut duo vokalis dan gitaris Elda Suryani dan Adi Widodo.

Saya sudah pernah menyaksikan Stars and Rabbit sebelumnya sehingga bisa menebak kemana arah penampilan mereka. Sesuai dugaan, mereka tampil dengan nada-nada yang enak didengar. Lagu-lagu mereka kebanyakan bernada folk yang easy-listening. Permainan gitar Adi ditambah suara Elda yang sangat unik membawakan lagu-lagu berbahasa Inggris membuat mereka tampil ‘berkelas’. Elda juga sangat pintar untuk berbicara dengan penonton, sehingga pertunjukan menjadi terasa akrab dan intim.

Kelompok musik kedua yang tampil adalah Dialog Dini Hari (tentu saja kelompok ini yang paling saya tunggu-tunggu!). Dadang, si vokalis ‘matang’, membuka penampilan Dialog Dini Hari secara solo dengan single terbarunya (maaf saya nggak tahu judulnya). Penonton masih merasa asing dengan lagu ini, namun karena permainan gitar Dadang yang diatas rata-rata, penonton pun larut dalam alunan musik Dialog Dini Hari.

Selanjutnya dua personil Dialog Dini Hari naik ke pentas, mereka adalah: Zio, si basis tampan :p, dan Denny Surya, si drummer gondrong. Mereka bertiga lalu membawakan lagu-lagu yang mayoritas diambil dari album pertama, seperti: seperti Rehab Sekejap, Satu Cinta, Renovasi Otak, Beranda Taman Hati, Pagi, dll. Koor panjang penonton mengiringi penampilan mereka.

Para penonton ini awalnya masih malu-malu untuk ikut menyanyi, setelah Dadang mengecilkan volume suaranya dan menyuruh penonton mengeluarkan suara dengan lebih keras, penonton pun menjadi percaya diri untuk ikut menyanyikan lagu-lagu Dialog Dini Hari. Dadang mengatakan, “Penonton Jogja ternyata seru yaaa…. tahu gitu dari tahun lalu kita pentas di sini.” Kata-kata Dadang disambut tepuk tangan penonton. “Sayang, sebelumnya nggak ada sponsor,” gurau Dadang yang membuat penonton tertawa.

Setelah membawakan sekitar 10 lagu pada konser “Swara Tujuh Nada”, Dialog Dini Hari harus menyudahi penampilannya. “Harus dibagi-bagi ya waktunya, supaya semua band bisa tampil,” kata Dadang seolah menjawab kekecewaan penonton yang masih ingin menikmati penampilan mereka. Oksigen pun menutup penampilan Dialog Dini Hari.

WSATCC

Kelompok musik yang ketiga dan tentu saja sebagai pamungkas adalah “White Shoes and The Couples Company”. Direktur Ruangrupa yang ikut serta dalam konser ini mengatakan, “WSATCC adalah kelompok musik yang berhasil mengkomersialisasikan style ala 60’s dan 70’s.” Kemudia dia memanggil WSATCC untuk naik ke atas panggung.

Ini pertama kalinya saya melihat WSATCC perform. Saya terkesima dengan bagaimana mereka beraksi yang sungguh di atas bayangan saya. Mereka tampil sangat energik, penuh percaya diri, dan terlihat betapa hebatnya mereka menguasai panggung. Sari, si vokalis dengan wardrobe ala 60’s beraksi membawa kita ke pertunjukan ala jaman baheula yang sangat meriah.

Yang menarik dari penampilan WSATCC pada pertunjukan ini adalah mereka membuat arrangement yang berbeda dari beberapa lagu yang ada.  Ketidakhadiran Mela, sang keyboardist, tidak melemahkan penampilan mereka. Justru mereka semakin kreatif dengan mengubah ulang arrangement lagu yang sudah ada. Selain itu, mereka juga membawakan lagu-lagu traditional seperti Lembe-lembe dan Te O Rendang. Sari, vokalis WSATCC mengatakan, “kita punya hak yang sama untuk menikmati lagu traditional.” Suatu tindakan yang perlu diapresiasi penikmat musik Indonesia.

Akhir kata, konser “Suara Tujuh Nada” di Teater Garasi tadi malam berhasil menyatukan musisi dan penonton dalam sebuah ruang yang menyatu dan menyenangkan. Mungkin saya tidak pernah merasa sesenang ini menyaksikan sebuah konser pertunjukan. Dalam release-nya mereka mengatakan bahwa tur musik ini penting untuk menyebarkan karya dan “membangun serta memperkuat fan base di setiap kota yang dikunjungi”. Terimakasih “Suara Tujuh Nada” (terutama terimakasih karena sudah menghadirkan Dialog Dini Hari :p) 😉

Bravo!

Penulis bersama Zio dan Dadang, personil Dialog Dini Hari

Klik  http://www.piawai-nastitie.com/2013/03/wsatcc-at-teater-garasi.html untuk melihat lebih banyak foto WSATCC

Klik http://www.piawai-nastitie.com/2013/03/dialog-dini-hari-at-teater-garasi.html untuk melihat lebih banyak foto Dialog Dini Hari[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]

Read more

Adalah suatu ketika, seorang anak bernama Sandy Tattoo lahir ke dunia. Di sebut demikian karena di sekujur tubuhnya banyak tatto berupa bercak-bercak kehitaman bekas pemadaman sulut rokok. Di paha, di pipi, di dada-nya yang kelak akan bertumbuh bidang dan mungkin berbulu, bahkan di dekat penisnya pun ada. Tattoo, dia adalah musuh semua orang. Dibenci semua orang: teman-teman sekampung, tetangga, tukang bakso, tukang gado-gado, hingga ibu-nya sendiri menaruh amuk amurka padanya. Kalau bisa dia mati saja, saat ini.

Kebetulan ibu-nya seorang pelacur. Umurnya sudah hampir setengah abad. Tubuhnya sudah bergelambir dan kulit wajahnya sudah kempot dengan kerut. Teteknya-pun tak sesemok dulu.

Adalah suatu ketika, sang ibu terlanjur hamil. Entah lelaki mana yang menghamilinya. Terlalu banyak nama dan jabatan yang singgah. Semuanya bau keringat. Dia tidak peduli, yang penting dibayar. Beres. Dia terlanjur hamil. Dan dia membiarkan janin itu tumbuh. Bermanja-manja dalam rahim yang sudah puluhan bahkan mungkin belasan kali coba digerusnya. Ada makhluk mampu hidup di sana, adalah perkara lain. Rahimnya sudah seperti neraka, toh mampu pula menghidupi.

Sudah saatnya saya pensiun, begitu pikir si ibu. Maka melahirkan adalah pilihan bijak. Akan dibuat sang anak terlibat hutang-piutang dengannya. Lalu, pikir si ibu, sang anak harus membayar mahal tumpangan-nya selama di rahim dengan hidupnya. Tapi, tentu saja, dia tak akan membuat hidup anaknya mulus bak permadani. Toh kehidupan tak ada yang mulus. Sebuah masalah usai adalah pertanda datangnya masalah lain yang lebih berat.

Bermain-main dengan rokok yg dibakar di sekujur tubuh, juga botol Bir yang dipecahkan di kepala merupakan hal lumrah. Sejak si Tatto lahir, kekejaman dunia sudah dirasakan. Dia terlahir dengan bola mata dunia yang bercahaya, berkilat-kilatan.

Brengsek! Sang ibu mengumpat. Di hadapannya bukan anak manusia. Hewan-pun terasa lebih baik. Asal jangan malaikat. Asal jangan malaikat. Malaikat bejat.

Tatto tak pernah menangis. Tatto selalu berbelas kasih. Tatto adalah malaikat. Malaikat bejat bagi mereka yang hidup di dekatnya. Musuh semua orang, semua gegap gempita. Demit, juga dewa. Dia selalu tanpa hadir noda. Kata-kata mutiara yang keluar dari bibirnya yang merah adalah mutiara, pembawa derita. Selalu bernada duka. Selalu mengundang hujat.

Padahal umurnya baru 5 tahun, masih muda bukan?

Tanyakan pada Pak Min, tukang sate, siapa Tatto.

“Bocah edan! Kampret! Dia memuntahkan bumbu kacang. Tidak enak, katanya. Kampret! Kampret! Bumbu kacang rasa eek, katanya! Kampret! Sialan! Daganganku jadi tidak laku.”

Tanyakan pada Nurjanah, teman bermainnya. Siapa Tatto?

Nurjanah akan menangis. “Aku tak perawan… Aku tak perawan… Huaa… Huaa… Tatto memegang bokongku… Huaaaaaaaaaaaaaa…” Nurjanah menjerit dengan isak tangis yang menjadi-jadi.
Lalu ibunya Nurjanah, Bu Pang, akan mengambil sapu. Mencari Tatto dan menggebukinya setiap kali si Nur menangis.

Sekarang, tanyakan pada Atmo, preman pasar Kewer dekat pemukiman sumpek. Siapa Tatto?

“Bajingan! Asu Buntung! Kutu Kupret! Dia berteriak ketika saya nyopet dompet di ketek seorang ibu tua. Lalu saya digebukin!! Asu!! Asu!!”

Di ujung gang sana, ada seniman bernama Pajaitun. Kurus, krempeng, jarang bicara. Hanya melukis. Melukis. Membuat sampah lukisan di tembok ujung gang. Setiap hari tembok berganti rupa. Itulah seniman. Aneh. Tanyakan kepadanya, siapa Tattoo.

Dia akan membanting semua cat warna-nya. Lalu jongkok di pojok sambil memasang rupa sedu sedan. “Edan. Edan. Wong edan. Saya wong edan. Saya wong edan. Mencorat-coret tanpa makna. Wong edan. Wong edan.” Begitu dia mencerca dengan tatap derita.

Pasti ulah Tatto. Pasti karena komentar busuknya. Pasti karena sikapnya yang mandiri, sesuai kodrat malaikat bejat yang tak merasa memiliki cela. Tampil tanpa citra diri, apa adanya. Tanpa tending aling-aling. Toh dia bukan manusia opportunities, pencari keuntungan belaka. dia usung kodrat malaikat bejat tanpa cela setinggi-tingginya. Maka, jadinya, dia dia menjadi musuh bersama.
Ahh… Tattoo, kasihan kau Nak. Dibenci semua orang.

Tapi lihatlah, mereka masih hidup berhadap-hadapan. Di gang sumpek penuh kebusukan. Ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, bahkan ibunya sendiri menganggapnya musuh. Musuh kaliber Asu. Malangnya, mereka hidup tetap berdampingan. Betapa indah dunia, bukan? Penuh kemunafikan.
Salahkah Tatto bila yang keluar dari bibir merahnya adalah apa yang dia pandang, apa yang dia rasa, dan apa yang dia pikirkan tentangnya? Tentu menusuk siapapun yang cuping kupinya masih menyala. Panci melayang ke kepala. Sendal menyabet pantat. Itulah Sandy Tatto. Derita di umur 5 tahun. Derita panjang hidupnya semoga tak sepanjang umurnya.

Tatto tak pernah menangis. Berbeda dengan ibunya yang pelacur. Puluhan tahun membiarkan ratusan penis keluar masuk vaginanya. Dia sakit. Tak ada pelacur yang tak sakit dan menderita. Tapi dia bertahan, walau dalam tangis.

“Pelacur cengeng!” begitu Tatto menghardik ibunya agar diam dari muram durja.

Sang ibu lalu mengambil setrika panas, mengelus-elus pundak Tatto seperti dia membelai daster sutra kesayangannya. Tatto meringis-ringis, tak menangis.

*) seluruh nama dan peristiwa adlh rekaan belaka

Read more

Seseorang menyapa saya, lalu kita berkenalan satu sama lain. Belakangan saya baru tahu, dia adalah Hengky, adik Alex, salah seorang teman saya. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, saya rasa Hengky mengalami banyak perubahan. Kalu bukan karena Alex yang kembali mengingatkan, rasanya sulit untuk mengenalinya lagi (haha, how stupid I was). Hmm, mungkin lebih tepatnya Hengky is growing up, tumbuh menjadi berbeda. Dia pun mengatakan hal yang sama. Beberapa kali dia mengamati saya sambil berkata, “Kamu kelihatan beda.” Yes, of course I do, kata saya dalam hati.

Saya kenal Alex, kemudian Henky, sudah sejak beberapa tahun lalu. Selain Hengky, Alex juga memiliki seorang adik laki-laki bernama Robert, dan seorang kakak laki-laki bernama Hendri. Mereka adalah musisi jalanan yang suka “ngamen” di sekitar Alun-alun Kidul (Alkid).

Penasaran, saya bertanya pada Alex: “Kamu nggak ke Alkid lagi, Lex?” Alex menjawab, “Udah jarang, Alkid rame banget sekarang. Pusing lihatnya.” Alex kemudian bercerita tentang bisnis yang sekarang sedang dia jalani. “Bisnis play-station dan sepeda tandem,” katanya. Saya selalu kagum setiap bertemu Alex. Saya pun merasa nyaman berada di antara saudara-saudaranya yang lain. Walaupun hingga saat ini musisi dan anak jalanan masih sering dianggap sebelah mata oleh kebanyakan orang Indonesia, namun nyatanya, bukan hal itu yang saya rasakan ketika bersama Alex dan saudara-saudaranya. Mereka, sama seperti kita, punya cita-cita dan terus berusaha. Keberadaan Alkid Musicmen, band yang terdiri dari Alex, Hengky, Robert, dan salah seorang temannya, adalah bukti keberadaan dan kerjakeras mereka.

Alkid Musicmen, (Alex yang pake topi :D)

Temu Budaya

Sehari sebelumnya, saya dihubungi oleh Mas Gama, salah seorang teman yang bekerja di PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) DIY, sebuah LSM yang banyak bekerja bersama orang-orang yang dimarjinalkan, seperti anak dan remaja jalanan, LGBT, Pekerja Seksual, dll. Mas Gama memberitahu saya bahwa akan ada pentas komunitas jalanan di halaman gedung DPRD Yogyakarta. Pentas bertajuk “Temu Budaya, Dari Jalanan Untuk Keistimewaan” diadakan pada hari Minggu, 24 Februari, 2013. Acara ini bertujuan untuk menampilkan potensi besar di balik anggapan “penyakit masyarakat” yang menempel pada mereka.

Sambil membawa kamera, saya berangkat ke sana. Sempat bertanya, apakah saya akan bertemu dengan Alex? Sudah lama sekali saya tidak tahu kabarnya, mungkin 2 atau 3 tahun belakangan ini saya tak pernah bertemu dengannya. Sempat pesimis juga karena saya tahu Alex adalah orang yang lumayan sibuk (Alex sering kerja di luar daerah). Tapi toh ternyata, tanpa disangka-sangka langkah kaki ini membawa saya berjuma dengan Alex. Bersama Alkid Musicmen, Alex dkk turut memeriahkan acara. Mereka tampil membawakan 6 lagu, diantaranya: “Jogjakarta”, “Darah Juang”, “Bongkar (Iwan Fals)”, “Hey Cantik (Shaggy Dog)”, “Bebas Merdeka”, dan satu lagu ciptaan mereka sendiri berjudul “Semua Belum Berakhir’.

Semangat Alex sebagai musisi jalanan, mungkin sama seperti semangat anggota komunitas jalanan lainnya yang hadir pada acara malam itu. Mereka menyuarakan untuk STOP terhadap diskriminasi dan stigma kepada komunitas jalanan. Sama seperti kita, masyarakat umum yang memiliki kesempatan untuk sekolah dan bekerja, yang mereka lakukan di jalanan juga untuk mempertahankan kehidupan.

Dalam sebuah sesi, Mas Agus, salah seorang yang hadir dari komunitas jalanan, menuturkan bahwa sebagai orang yang hidup di jalanan, dia dan kawan-kawang sering diperlakukan sewenang-wenang. Mereka sering ditangkap dan dipukul oleh Satpol PP. Kata Mas Agus dari kursi rodanya, tak ada orang yang terlahir ingin jadi pengamen atau pengemis, karena itulah seharusnya tidak ada lagi diskriminasi terhadap komunitas jalanan.

Malam itu, usai pemabacaan orasi, hujan deras mengguyur kota Yogyakarta. Saya pamit pulang duluan, berjalan di antara rintik hujan, melewati jalanan-jalanan yang basah dan berlubang. Di tengah dinginnya malam, tentu ada harapan agar perjuangan komunitas jalanan bisa membuahkan hasil. Sebuah perjuangan yang terasa masih panjang, namun bukan berarti tak mungkin dikabulkan.

Best, Denty.

Read more