April 2013

“Sri, kamu kan perempuan. Untuk apa kamu maju ke medan perang?” tanya Antasena meragukan kemampuan Srikandi. Saat itu, Srikandi, yang dipanggilnya Sri, hendak mengajukan diri menjadi Senopati perang. Pada masa itu, telah banyak Senopati Pandawa yang gugur di tangan Bhisma(Kurawa). Sehingga Prabu Kresna memerintahkan Srikandi untuk menjadi Senopati, menghadapi Bhisma.
Perang menghadapi Bhisma bukanlah sebuah laga yang mudah. Namun, Srikandi tak gentar. Dia menjawab diplomatis, “Apa yang salah dengan perempuan maju ke medan perang?” Di belakang Srikandi sejumlah perempuan mendukung gerakannya. Dengan keberanian, kegigihan, dan penuh semangat, perempuan-perempuan ini berjuang dengan menembakkan panah untuk membantu Srikandi memenangkan peperangan.
Cerita di atas adalah sepenggal kisah Ketoprak Tari “Srikandi Senopati” yang dibawakan oleh kelompok Kartini Balai Budaya Minomartani (BBM) bekerja sama dengan Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta Universitas Gadjah Mada (UKJGS UGM). Acara ini diadakan dalam rangka memperingati hari Kartini di Balai Budaya Minomartani, di desa Minomartani, Condongcatur, Sleman, DI Yogyakarta pada 29 April 2013. 

Dalang pementasan, Ki Sukisno, berhasil menggabungkan kisah pewayangan yang dinamis melalui teater, tari, gamelan dan wayang kulit. Ramuan pementasan itu membuat penonton menikmati suasana pertunjukan yang sering kali diselingi humor-humor jenaka.

 

Peran Perempuan

Mayoritas lakon, penari, dan pengrawit dalam “Srikandi Senopati” diperankan oleh perempuan. Acara yang rutin digelar sebagai peringatan hari Kartini ini bertujuan untuk menghayati peran Kartini yang selama ini telah memberikan banyak kontribusi positif bagi rakyat Indonesia. Selain itu, acara ini sekaligus untuk nguri-uri budaya jawi.

“Kalau biasanya kami mengadakan pementasan wayang kulit, kali ini kami membawakan Ketoprak Tari agar penonton yang mayoritas anak muda tidak jenuh,” kata Bu Unay yang berperan sebagai Antasena dalam lakon Srikandi Senopati ini.

Pementasan Srikandi Senopati adalah perwujudan Kartini-kartini masa kini yang dengan segala daya upaya tetap giat melestarikan budaya agar tetap bisa dinikmati segala kalangan. Bravo! (DPN, 2013)
 

 

Read more

Berbicara dengan orang asing menjadi hal yang paling ditakuti. Safina, Jordan, Gulam, dan V, teman-teman UK, mengatakan, “Ini bukan Indonesia. Kalian tidak perlu beramah-tamah dengan orang asing. Lagipula, itu berbahaya.” Kata ‘berbahaya’ diulang hingga tiga kali. Menancap tepat dikepala. Kemanapun melangkah, dimanapun berada, jangan pernah coba-coba berbicara dengan orang asing.

Sebagai pendatang baru di Luton Town, saya harus waspada. Banyak imigran datang ke Luton dengan beragam budaya. Sebut saja Pakistan, Bangladesh, Karibia, Afrika, dan masih banyak orang dari negara antah berantah lainnya. Bersama warga kulit putih British dan Irish, mereka membentuk nadi kehidupan Luton.

Keberagaman Luton menjadi hal yang patut dirayakan sekaligus diwaspadai. Loyalitas komunitas membuat mereka sering berkonflik satu dengan lainnya. Belum lagi keisengan anak muda: mencoret-coret tembok, menendang tempat sampah, merusak pagar, parkir di tempat tak semestinya, dsb. Itulah mengapa, hampir setiap sudut kota dipasangi kamera pengintai. Gerak-gerik warga diawasi. Siapa melanggar, surat tilang langsung melayang. Denda ratusan pounds langsung menanti. Sebuah sistem yang patut diacungi jempol sekaligus membawa trauma tersendiri, salah-salah saya korban berikutnya yang ditilang karena dianggap melanggar aturan. Hmfh.

Pada pagi hari, seperti biasa, jalan-jalan di Luton masih sepi. Toko-toko baru sebagian yang sudah buka. Orang-orang berpakaian rapi melintas dengan berjalan kaki atau bersepeda. Bersama Tika, kami menyusuri area pusat kota. Di ujung sana, ada Caribbean Food paling enak sedunia, kata saya. Tentu paling enak, karena saya tidak pernah mencicipi makanan seperti itu di tempat lainnya. Tika tertarik, sudah rindu makan nasi katanya. Lalu Tika membeli satu paket Caribbean Food terdiri dari nasi-sayur-dan-lauk untuk disantap. Sementara Tika menikmati menu sarapannya, saya duduk di memandang Luton yang masih sepi.

Tidak lama kemudian seorang bapak paruh baya duduk di sebelah saya. “Sulit sekali mencari pekerjaan…” katanya tiba-tiba dalam bahasa Inggris, mencurahkan isi hatinya. “Sudah tiga hari saya berkeliling, namun tidak ada hasilnya…” lanjutnya lagi.

Teringat akan kata-kata teman-teman saya untuk tidak berbicara dengan orang asing, saya hanya diam. Terbayang sudah gambar-gambar menyeramkan di kepala. Jangan-jangan laki-laki ini ingin menawari narkoba. Jangan-jangan dia ingin merampok saya. Jangan-jangan dia….. Lelaki itu kemudian menoleh ke arah saya, “Dari mana asalmu?”

“Indonesia,” jawab saya singkat.

“Suka dengan Luton?”

Saya berkelana memandang sekeliling. Saya hanya menemukan wajah Luton yang pucat. Orang-orang tidak saling menyapa. Tidak ada canda tawa. Tidak ada gembira. Ah, sayang sekali…. Pada titik ini, saya merasa tanah air jauh-jauh lebih baik. Namun, tidak layak saya membandingkan Negri asal saya dengan suasana di tempat ini. Ada sesuatu yang belum terungkap. Dan tugas saya adalah, menemukannya.

“Apa yang paling kamu suka dari Luton?” lelaki itu mendesak saya.

Well…” saya menarik napas panjang, menghirup kesejukan kota Luton. “Sejauh ini, mungkin udaranya…” kata saya melanjutkan.

Pria itu tersenyum. “Udara!… Hahaha. I am sure, your country much more better than England.”

Kemudian dia berdiri. “Maaf sudah mengganggumu…” katanya sambil berlalu pergi.

Detik itu juga saya merasa tidak seharusnya saya bersikap acuh-tak-acuh pada orang asing atau memandang Luton sebelah mata. Apa yang terlihat di permukaan bukanlah sebuah kenyataan. Kebenarannya adalah, Luton memiliki keramahan-tamahan yang ditawarkan. Ada persaudaraan yang ingin dibangun. Tinggal bagaimana kita dapat menangkapnya. Luton membutuhkan canda tawa. Luton membutuhkan orang-orang yang saling menyapa. Namun siapa yang bisa memulai kalau bukan diri sendiri?

Read more

“Endonesya? MasyaAllah…… You come from Endonesya? Come! Come!” cerocos seorang wanita dengan kerudung berwarna biru yang menutupi kepalanya.

Dia lalu masuk ke dalam toko kainnya, memanggil kawan-kawan wanita-nya yang lain, yang juga berkerudung warna-warni. Mereka berbicara sebentar dalam bahasa Pakistan, lalu wanita-wanita itu menatap saya. “Endonesya? Endonesya? MasyaAllah… MasyaAllah…” kata mereka berulang-ulang. Mereka lalu memegang kepala saya. Merangkul saya. Memeluk saya, seolah sudah lama tak berjumpa.

Wanita-wanita itu terus-terusan mengerubuti saya dan tak henti-hentinya menyebut kebesaran nama Tuhan di hadapan saya. Mereka memperlakukan saya seperti baru saja menemukan anaknya yang hilang di medan perang. Saya merasa senang sekaligus pengap berada di tengah-tengah tumpukan kain dan ditambah kumpulan wanita yang berdiri mengelilingi saya.

Saya menoleh ke arah Safina, teman saya. Dia yang mengajak saya ke toko ini. Katanya, dia hendak membeli beberapa potong kain. Safina hanya tersenyum memandang wajah saya yang kebingungan.

“Many of these come from Endonesya,” kata seorang wanita paruh baya menjawab kebingungan saya. “This is from Endonesya. This is from Endonesya. This is from Endonesya.” Wanita itu menunjukkan pada saya satu per satu gulungan kain dagangannya. Ada yang berwarna merah renda-renda, ada yang berwarna kuning kerlap-kerlip, ada yang berwarna hitam polos, ada yang berwarna putih polos.

Saya hanya bisa memandangi kain-kain itu tanpa tahu apa yang harus saya lakukan. Bertepuk tangan? Berbalik merangkul mereka? Nyatanya saya hanya mengusap keringat yang mengucur di dahi sambil mengipas-ngipaskan wajah dengan jari-jari tangan. Siapa sangka, di Luton, yang jauhnya ribuan kilometer dari negara kepulauan Indonesia, kita bisa menemukan kain-kain asli tanah air?

“You don’t believe me? This is from Endonesya… Tanah Abang! Yes, Tanah Abang! This is from Tanah Abang. We have lots from Tanah Abang!”

Oh, God! Rasanya mau pingsan. Wanita-wanita ini menyebutkan Tanah Abang dengan fasihnya. Saya langsung membayangkan pasar Tanah Abang di tengah kota Jakarta yang penuh sesak dengan lautan manusia, jorok, becek, bau, dengan kemacetan bajay-ojek-angkot yang tidak keruan. Dengan Satpol PP yang sering menendang plat nomor angkot, dengan abang-abang yang menjual tas kresek atau tas kertas bermerek, dengan ibu-ibu yang memborong tas-tas KW. Semua gambar itu berputar-putar di kepala saya.

“Endonesya has very good quality one,” cerocos wanita itu lagi. “I have been to Jakarta. I have been to Tanah Abang.”

Saya meringis kepada mereka. Mereka terus-terus-an merangkul dan memeluk saya. Mereka kemudian menawari saya kain-kain Tanah Abang itu. “I will give you more discount!” Dengan mantap saya menggeleng. Ini adalah hari terakhir saya di Inggris, namun apa kata dunia, jauh-jauh ke England membawa oleh-oleh dari Tanah Abang??

Walaupun saya menolak tawaran potongan harga mereka, mereka tetap memperlakukan saya seperti saudara. Mengajak saya berputar-putar toko untuk melihat kain-kain dan pakaian jadi. “Do you like it? Do you want it?” Terus-terusan saya menggeleng sambil tersenyum. Wanita-wanita tadi akhirnya menyerah untuk menawari saya ini dan itu.

Keesokan harinya, Safina memberikan tas kertas kepada saya. Isinya beberapa potong kain dengan corak macan tutul dan beberapa potong kain berwarna biru.

“Now you can make very good salwar kameez. One for you, one for your mother.” kata Safina.

“Did you get it from the shop?”

“Yes! They gave me very good discount,” kata Safina girang mengingatkan saya pada wanita-wanita di pasar Burry Park tempo hari. “I told them that I wanna buy some for you, so they gave me very good discount. They gave me the best quality for your salwar kameez.”

Rasanya saya ingin melayang. Kembali ke toko kain itu. Merangkul mereka. Memeluk dan mencium mereka. Safina memeluk saya, “Have a safe flight back to Indonesia.” Terimakasih, Safina! Mengenang Luton dan Burry Park, adalah mengenang toko kain Tanah Abang.

Read more

Pagi-pagi benar saya sudah dibangunkan warga. “Ayo teh, ikut ziarah leluhur.”
Angin dingin berhembus dari sela-sela jendela. Dingin yang membekukan tulang gemulang hingga ulu hati. Saya merapatkan selimut, bergulung sesaat di atas matras tipis yang saya bawa dari Jakarta. Jari tangan dan kaki seperti kaku-kaku. Dari balik bilik kamar bambu ini saya mendengar hujan rintik-tintik jatuh membasahi tanah. Tes… tes… suaranya mendamaikan jiwa.
Perlu waktu beberapa saat sebelum saya betul-betul membuka mata dan melemaskan pergelangan kaki dan tangan. “Jauh nggak?” tanya saya.
“Ada dua tempat, yang jauh dan dekat. Boleh pilih yang mana.”
Sambil menguap saya menjawab, “Ah, saya yang dekat saja!” Bukankah jauh atau dekat keduanya akan berakhir pada satu destinasi yang sama, satu akhir yang sama. Sebuah makam. Saya lalu bangun, membuka jendela…  Selamat pagi Sindangbarang!
Namun saya lupa menanyakan satu hal. Bukan soal jarak atau waktu yang akan saya lewati! Bukan, bukan itu! Yang saya lupa tanyakan adalah soal medan yang akan saya tempuh. Bagaimana medannya?
Belum sempat saya menanyakan hal tersebut, di hadapan saya sudah terhampar semak belukar dengan jalan setapak. Pohon-pohon tinggi menjulang ke atas. Glek, saya menelan ludah dan mengeringkan keringat di pelipis mata. Selamat datang Gunung Salak!
*
 
Sudah hampir dua jam saya mendaki. Rasanya ingin menangis. Dimana akhir yang dinanti? Sementara kaus semakin basah berkat hujan yang semakin deras dan peluh yang menjadi satu.
Saya menoleh ke belakang. Warga tersenyum. Mereka tahu penderitaan saya. Mereka tahu mungkin saja saya tak sanggup berjalan lagi dan mencapai akhir yang dinanti. Tapi warga setia menemani. Dari pancaran matanya, mereka percaya kami akan sampai bersama-sama.
“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau medannya curam begini?” keluh saya. Ini pertama kalinya saya mendaki gunung. Saya merasa tertipu. Seharusnya saya tahu lebih awal, ketika mereka bilang dekat bukan tak mungkin berarti berat. Muka saya memerah, menahan letih tak terkira.
“Kalau dikasih tau, nanti teteh malah nggak sampai sini.” Jawab warga sambil terkekeh.
Tubuh saya semakin kesakitan. Beberapa kali saya terpeleset. Kaus putih saya pun sudah berubah warna menjadi kecoklatan, serupa dengan lumpur yang membalut luka dan lecet di tangan dan kaki.
Setelah jalan, terpeleset, jatuh, bangkit, jalan lagi, terpleset lagi, berpegangan pada akar dan rerumputan, akhirnya saya sampai pada sebuah akhir. Makam leluhur!
Bersama warga, saya bersujud. Di hadapan saya terlihat segumpal tanah yang dipercaya sebagai makam leluhur. Makam ini dikelilingi pohon jati yang tinggi menjulang ke angkasa. Saya menengadah. Hujan turun membasahi tanah. Tanah yang dipercaya sebagai leluhur, nenek moyang, asal muasal warga Sindangbarang berada.
Doa-doa dilagukan. Alam sungguh agung, Tuhan maha besar. Di hadapan alam ini, saya melihat keindahan maharencana. Keindahan tak terbandingkan. Hujan dan kabut turun memberi kesan mistis, seolah leluhur sungguh hadir. Menyapa setiap anak dan cucunya yang berjuang mendaki gunung demi menemuinya.
Saya langsung menyesali keluhan yang tadi saya lontarkan. Letih tak sebanding dengan keagungan ini. Ah, mengapa seringkali kita manusia tak mensyukuri nikmat yang diberikan alam. Bersama warga Sindangbarang, Bogor, saya belajar sebuah makna kehidupan. Kehidupan adalah perjuangan yang tak pernah usai untuk sampai pada sebuah akhir (DPN, 2013).
Read more