“Endonesya? MasyaAllah…… You come from Endonesya? Come! Come!” cerocos seorang wanita dengan kerudung berwarna biru yang menutupi kepalanya.
Dia lalu masuk ke dalam toko kainnya, memanggil kawan-kawan wanita-nya yang lain, yang juga berkerudung warna-warni. Mereka berbicara sebentar dalam bahasa Pakistan, lalu wanita-wanita itu menatap saya. “Endonesya? Endonesya? MasyaAllah… MasyaAllah…” kata mereka berulang-ulang. Mereka lalu memegang kepala saya. Merangkul saya. Memeluk saya, seolah sudah lama tak berjumpa.
Wanita-wanita itu terus-terusan mengerubuti saya dan tak henti-hentinya menyebut kebesaran nama Tuhan di hadapan saya. Mereka memperlakukan saya seperti baru saja menemukan anaknya yang hilang di medan perang. Saya merasa senang sekaligus pengap berada di tengah-tengah tumpukan kain dan ditambah kumpulan wanita yang berdiri mengelilingi saya.
Saya menoleh ke arah Safina, teman saya. Dia yang mengajak saya ke toko ini. Katanya, dia hendak membeli beberapa potong kain. Safina hanya tersenyum memandang wajah saya yang kebingungan.
“Many of these come from Endonesya,” kata seorang wanita paruh baya menjawab kebingungan saya. “This is from Endonesya. This is from Endonesya. This is from Endonesya.” Wanita itu menunjukkan pada saya satu per satu gulungan kain dagangannya. Ada yang berwarna merah renda-renda, ada yang berwarna kuning kerlap-kerlip, ada yang berwarna hitam polos, ada yang berwarna putih polos.
Saya hanya bisa memandangi kain-kain itu tanpa tahu apa yang harus saya lakukan. Bertepuk tangan? Berbalik merangkul mereka? Nyatanya saya hanya mengusap keringat yang mengucur di dahi sambil mengipas-ngipaskan wajah dengan jari-jari tangan. Siapa sangka, di Luton, yang jauhnya ribuan kilometer dari negara kepulauan Indonesia, kita bisa menemukan kain-kain asli tanah air?
“You don’t believe me? This is from Endonesya… Tanah Abang! Yes, Tanah Abang! This is from Tanah Abang. We have lots from Tanah Abang!”
Oh, God! Rasanya mau pingsan. Wanita-wanita ini menyebutkan Tanah Abang dengan fasihnya. Saya langsung membayangkan pasar Tanah Abang di tengah kota Jakarta yang penuh sesak dengan lautan manusia, jorok, becek, bau, dengan kemacetan bajay-ojek-angkot yang tidak keruan. Dengan Satpol PP yang sering menendang plat nomor angkot, dengan abang-abang yang menjual tas kresek atau tas kertas bermerek, dengan ibu-ibu yang memborong tas-tas KW. Semua gambar itu berputar-putar di kepala saya.
“Endonesya has very good quality one,” cerocos wanita itu lagi. “I have been to Jakarta. I have been to Tanah Abang.”
Saya meringis kepada mereka. Mereka terus-terus-an merangkul dan memeluk saya. Mereka kemudian menawari saya kain-kain Tanah Abang itu. “I will give you more discount!” Dengan mantap saya menggeleng. Ini adalah hari terakhir saya di Inggris, namun apa kata dunia, jauh-jauh ke England membawa oleh-oleh dari Tanah Abang??
Walaupun saya menolak tawaran potongan harga mereka, mereka tetap memperlakukan saya seperti saudara. Mengajak saya berputar-putar toko untuk melihat kain-kain dan pakaian jadi. “Do you like it? Do you want it?” Terus-terusan saya menggeleng sambil tersenyum. Wanita-wanita tadi akhirnya menyerah untuk menawari saya ini dan itu.
Keesokan harinya, Safina memberikan tas kertas kepada saya. Isinya beberapa potong kain dengan corak macan tutul dan beberapa potong kain berwarna biru.
“Now you can make very good salwar kameez. One for you, one for your mother.” kata Safina.
“Did you get it from the shop?”
“Yes! They gave me very good discount,” kata Safina girang mengingatkan saya pada wanita-wanita di pasar Burry Park tempo hari. “I told them that I wanna buy some for you, so they gave me very good discount. They gave me the best quality for your salwar kameez.”
Rasanya saya ingin melayang. Kembali ke toko kain itu. Merangkul mereka. Memeluk dan mencium mereka. Safina memeluk saya, “Have a safe flight back to Indonesia.” Terimakasih, Safina! Mengenang Luton dan Burry Park, adalah mengenang toko kain Tanah Abang.