May 2013

Siang yang terik, membakar kulit. Saya bertanya kepada Penang Island Municipal Council President, Hajjah Ar Patahiyah Ismail, “Apakah ibu mau pakai payung?”

Beliau menggeleng. “Tak usahlah!” jawabnya. Bersama Bapak Haji Mohamed Akbar Bin Mustapha, Ibu Noorizan Haji Abdul Hamid, seorang pemandu dan seorang pengawal, kami pun mulai melangkah. Membelah ratusan turis lokal dan international yang memenuhi Candi Borobudur pada hari yang terik ini.

Pemandu mengajak kami menggunakan jarik/kain batik sebagai sarung. Katanya pengunjung Borobudur wajib memakai sarung ini untuk menghormati tradisi leluhur, sekaligus membatasi perilaku selama berada di lingkungan candi. Belakangan, Pemandu menceritakan bahwa banyak pengunjung candi yang suka naik ke stupa. Dengan memakai sarung maka pengunjung tidak akan bebas bergerak karena tingkah lakunya dibatasi oleh sarung ini.

Pemandu kemudian memberikan contoh cara memakai jarik, “Caranya mudah, tinggal dililitkan di pinggul dan diikat di ujungnya.” Kami lalu menirunya. Seumur-umur bolak-balik Borobudur, baru kali ini saya menggunakan kain seperti ini.

“Peraturan baru ya mas? Atau karena tamu istimewa? Hehehe.” tanya saya berbisik. Ibu Patahiyah (walikota George Town, Penang) dan dua orang delegasi lainnya, adalah tamu istimewa. Jauh datang ke Yogyakarta untuk menghadiri Rountable Discussion ke-4 yang diadakan oleh Tourism Promotion Organization (TPO) sekaligus untuk menandatangani kesepakatan kerjasama di bidang pariwisata, kebudayaan, pendidikan, dan perdagangan antara Yogyakarta dan George Town, Penang. Kebetulan saya bertugas untuk mendampingin Ibu Walikota selama di Yogyakarta, menemani kemana-pun Ibu mau pergi sekaligus memberi masukan lokasi-lokasi yan patut dikunjungi. Borobudur, salah satunya.

Pertanyaan saya tadi membuat pembandu salah tingkah. Mungkin merasa tersindir. “Ah tidak, sudah dari dulu kok, Mbak. Tapi kain-nya memang terbatas, padahal turis yang datang banyak sekali,” jawabnya mengelak. Memang benar kata-katanya. Saya melihat beberapa pengunjung candi menggunakan jarik yang sama, namun jumlahnya hanya sepersekian persen dari jumlah pengunjung keseluruhan. Satu banding seratus mungkin.

Pemandu mengajak kami mengawali perjalanan dari belakang Hotel Manohara yang mewah. Di sana Pemandu menunjukkan pada kami sebuah pohon yang katanya adalah pohon Bodhi, tempat Buddha bertapa dan mendapatkan pencerahan. Pemandu memetik sehelai daun, membaliknya lalu mengarahkan daun itu ke arah candi Borobudur yang terlihat megah.

“Lihat, bila dibalik, daun ini akan berbentuk menyerupai candi Borobudur. Candi Buddha terbesar di seluruh dunia,” katanya yakin.

Ibu Patahiyah, para delegasi, dan termasuk saya, menyipitkan sebelah mata, lalu memandang ke arah Borobudur kemudian ke arah daun di tangan Pemandu secara bergantian. Ke arah Borobudur, lalu daun. Lalu kembali ke Borobudur, lalu ke daun. Ya, bentuknya memang mirip. Termasuk lekukan-lekukan yang membentuk lantai-lantai candi. Menurut Pemandu, dari bentuk daun inilah design candi Borobudur di buat. Menurut saya, ini adalah sebuah keagungan karya seni. Keindahan yang tiada taranya.

Pemandu kemudian mengawali langkahnya menuju candi Borobudur yang megah. Kami mengikutinya dari belakang. Menembus ribuan orang yang berdesak-desak-an naik menuju wilayah candi paling atas.

“Mencapai puncak Borobudur sejatinya adalah sebuah penghayatan akan iman dan kehidupan,” Pemandu memulai penjelasannya.

“Candi ini memiliki sepuluh tingkatan, tiga tingkatan dari ajaran Budha yang mencerminkan kehidupan manusia: tingkatan pertama disebut Kamadathu, dalam bahasa Sansekerta berarti hawa nafsu; tingkatan kedua disebut Rupadhatu, ranah berwujud; dan tingkatan ketida disebut Aruphadatu, ranah tak berwujud.”

“Tingkatan pertama merefleksikan manusia yang masih dipengaruhi oleh hawa nafsu dan hal-hal negatif,  tingkatan kedua manusia telah mampu mengendalikan dirinya dari segala hawa nafsu, dan tingkatan ketiga adalah dunia tanpa bentuk, manusia tidak lagi mengejar keinginan-keinginan manusiawi. Pada titik itu, manusia telah mencapai nirwana, tempat para boddhisatva mencapai kesempurnaan.”

Penjelasan pemandu membuat saya terdiam. Seringkali kita mendengar bahwa candi Borobudur terbentuk dari tumpukan batu tanpa semen, memiliki nilai sejarah karena dibuat pada jaman wangsa Syailendra (800 tahun Masehi), bertahan hingga anak cucu, diakui UNESCO sebagai warisan dunia,… dsb dsb tapi lebih dari itu… Borobudur memiliki nilai filosofis yang begitu dalam, tercermin dalam tiap bentuk dan ukirannya. Sebuah pemaknaan yang mendalam akan kehidupan.

Pemandu membawa rombongan mengitari salah satu tingkatan candi. Melihat berbagai relief yang indah terlukis pada dinding-dindingnya. “Ada 1460 relief di candi ini, tiap relief memiliki ceritanya masing-masing. Mulai dari kelahiran Buddha, perjalanan hidup, kematian, hingga ajaran-ajarannya,” kata Pemandu menjelaskan. Kemudian dia menceritakan beberapa kisah. Salah satunya kisahnya merupakan sebuah cerita yang paling menyentuh (dan tentu saja paling saya ingat), berikut ini:

Alkisah ada seekor gajah putih yang mendengar rintihan dan tangisan dari sekelompok manusia. Gajah putih itu pun mendekati ratusan manusia itu, dan bertanya, “Mengapa kalian menangis?”

Orang-orang itu tertegun mendengar seekor gajah berbicara dengan bahasa manusia. Walaupun masih tidak percaya, namun akhirnya mereka menceritakan bahwa mereka adalah masyarakat yang diusir oleh seorang raja hingga lari ke dalam hutan belantara. Di hutan ini mereka menangis karena kelaparan. Tak ada yang bisa dimakan, semua terasa asing bagi mereka.

Karena merasa kasihan melihat orang-orang yang putuh asa itu, sang gajah memberitahu bahwa mereka harus berjalan jauh, mengitari sebuah bukit yang tinggi menjulang. Dari balik bukit itu mereka akan menemukan bangkai gajah yang bisa dimakan dagingnya sehingga mereka tidak akan kelaparan lagi. Orang-orang itu bersorak, kemudian melanjutkan perjalanan, mengelilingi bukit yang dimaksud.

Saat orang-orang itu melanjutkan perjalanan, gajah itu berlari. Mendaki ke atas bukit, lalu loncat dari bukit itu. Karena aksinya, gajah itu mati… menjadi bangkai yang nantinya ditemukan oleh orang-orang yang sedang kelaparan itu. Dengan kepedulian yang dimilikinya, gajah putih itu mengorbankan jiwa dan nyawanya demi menyelamatkan ratusan orang yang kelaparan. Sebuah pengorbanan diri demi sesama yang sungguh nyata.

Mendengar cerita Pemandu, rombongan menjadi sunyi. Rombongan larut dalam keheningan pikiran masing-masing. Dalam situasi demikian, Pemandu membiarkan rombongan mengamati relief gajah putih itu. Relief terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menggambarkan seekor gajah yang terlihat sedang berbincang-bincang dengan sekelompok masyarakat. Relief kedua menggambarkan sebuah bukit yang tinggi menjulang dengan deretan manusia berjalan di sekelilingnya. Relief ketiga adalah gambar bangkai gajah yang terkapar, memejamkan mata dengan sekelompok orang berada di sekitarnya.

Gajah putih itu adalah perwujudan boddhivasta yang selalu berusaha untuk berbuat baik. Buddha mengajarkan sebuah kebaikan yang universal, tak mengenal hambatan, tak mengenal perbedaan. Sesuai dengan kata-kata Dalai Lama berikut ini, “My religion is very simple. My religion is kindness.”

Hari semakin terik. Borobudur semakin ramai pengunjung. Tepat pukul 12 siang, saya bersama rombongan berjalan meninggalkan Borobudur. Kepala saya menunduk memandang tanah, betapa kecilnya kita manusia di hadapan kemegahan dunia. Seperti seekor gajah yang menyerahkan hidupnya untuk orang lain, sudahkah kita berani berkorban demi sesama?

“Selamat Hari Waisak 2013, Welas Asih Sesama Manusia.”

Read more

Sambil mengamati patung St. Francis Xavier di dekat St. Paul’s Church yang tua dan bersejarah, teringat bagaimana Thiago mengolok-olok saya. “Looser! looser!” begitu katanya menertawakan saya yang gagal mencapai garis finish penelusuran hutan damar minyak di puncak bukit Bendera tempo hari.

“You’re looser!” jawab saya tak mau kalah. Sebenarnya yang diolok-oloknya adalah dirinya sendiri karena kami jalan bersama, maka gagal bersama.

Candaan saya dan Thiago membuat Tika berpikir, “Sepertinya kita harus membuat tingkatan seorang pecundang.” Looser pertama adalah untuk mereka yang berbalik arah karena tak kuat melangkah di Penang Hill. Looser kedua adalah untuk mereka yang lari meninggalkan Singapura lebih awal karena mahal yang menjerat (Hahaha, saya dan Tika juaranya!). Dan nampak-nya hari ini, saya menemukan looser tingkat tiga, yakni: bagi mereka yang takut pada perjalanan pulang. Ketiganya muncul bergantian pada diri ini, namun saya belum berhasil menemukan mana di antara ketiganya yang paling kuat melekat.

*

Awan kelabu menyelimuti langit sungai Melaka keesokan hari-nya. “It’s rain…” kata saya pada Mr. Germany, seorang kawan baru, sama-sama pendatang di tanah Melaka. Dia menjawab, “Ah, just rain..”

Hujan masih rintik-rintik membasahi kota ketika kami memulai berjalan to explore around. Menyusuri sungai Melaka mengingatkan saya pada sebuah perjalanan yang hakikatnya adalah sebuah perpindahan meninggalkan zona nyaman.

Melaka adalah kota tua, salah satu pusat perdagangan Asia. Dulunya kota ini dipenuhi oleh orang-orang Portugis yang membangun berbagai zona pertahanan. Orang-orang Portugis berlalu, digantikan orang-orang Inggris yang menyempurnakan berbagai tatanan untuk melindungi masa depan. Untuk apa semua pertahanan-pertahanan ini? Semata-mata untuk melindungi diri dari musuh-musuh yang mungkin datang menyergap sewaktu-waktu.

Orang-orang Portugis dan Inggris berpindah, dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari sebuah zona nyaman, ke zona lainnya yang antah berantah. Sampai pada suatu kota, suatu Negara, memulai orientasi, beradaptasi, lalu tinggal mendiami. Itulah drama penjajahan yang terjadi.

Di pinggir sungai Melaka, saya sempat berpikir, apa arti kehadiran saya di sini? Ini adalah sebuah perjalanan dalam mencapai daftar-daftar destinasi yang dinanti. Setelah meninggalkan rumah sebagai zona nyaman, saya menemukan zona nyaman lainnya, yakni: perjalanan itu sendiri. Namun saya tahu, keberadaan saya di sini hanya untuk sementara waktu. Setelah ini saya akan berpindah, tak lagi menatap pagi di antara kepak sayap burung-burung yang menghiasi langit kota.

Malam tadi ibu mengirim pesan, “Kapan pulang?” Dalam hati saya menjawab, akankah pulang. Pada pinggir sungai Melaka saya telah menambatkan hati. Ingin rasanya melanjutkan perjalanan ini, mencapai daftar-daftar destinasi yang selama ini menjadi mimpi. Vietnam, Myanmar, India, Nepal, Peru……

*

Tawa Thiago masih berbekas, “Looser. Looser.” Ya, betapa pecundangnya saya bila menyerah dalam langkah ini. Bukankah pulang juga bagian dari sebuah perjalanan? Sambil menatap gelombang air yang menuju Selat Melaka, saya berharap suatu saat bisa kembali menyusuri waktu dalam sebuah perjalanan menuju tempat-tempat yang dituju.

Read more

Prologue:

Sesuatu itu telah pergi. Pada bayangan yang masih tersisa, air mata jatuh tak tertahan. Ibu mengelus lembut kepala saya. “Tidak apa, tidak apa. Jangan lagi menangis, perjalanan harus tetap dilanjutkan…..” Ada kalanya kesedihan datang menerjang, namun perjalanan harus tetap dilanjutkan.

*

Satu rangkulan dari seorang kawan di pulau Penang melepas saya dan Narastika untuk melanjutkan perjalanan. Sempat bergurau pada Tika, “Ah, kita terlalu banyak tertawa. Jangan-jangan habis ini menangis.” Tawa dan tangis, keduanya adalah bagian dari perjalanan. Dan kita harus siap dalam tiap detilnya.

Bus yang kami tumpangi melaju larut malam. Udara dingin dari air-conditioner sungguh mengganggu. Walau tak kuat menahan dingin, namun rasanya sudah tak sabar ingin segera melempar tubuh di atas coach, merebahkan diri, dan tidur.

Saat bus mulai bergerak meninggalkan kota tua George Town di pulau Penang, terbayang di kepala kepingan-kepingan cerita bagaimana saya dan Narastika, bersama Thiago dan Hudson, dua kawan baru, menyusuri bukit bendera, mendaki temple Kek Lok Si yang tinggi menjulang, menikmati laksa dan berlomba menghabiskan es kacang……… kepingan-kepingan itu mengingatkan saya pada perjalanan kehidupan yang sering kali “up-and-down” bak roller coaster. Ada kalanya kita bertemu dan tertawa, ada kalanya harus berpisah, kembali pada alur perjalanan masing-masing. Semua pikiran ini menghantar saya terlelap dalam tidur yang panjang. 8 jam menuju Singapura!

Terbangun ketika supir bus berteriak-teriak, “Passport! Passport!”

Bersama puluhan penumpang lainnya, saya berlari menuju kantor imigrasi. Mengantre di antara ratusan orang, lengkap sambil membawa tas-tas besar berisi pakaian dan kamera. Matahari pagi menyambut kedatangan kami. Baru saja saya duduk kembali di dalam bis, mengintip deretan mobil (mereka menyebutnya sebagai kereta) yang berbaris padat memasuki garis batas antar negara, supir bus kembali berteriak, “Passport! Passport!”

Rangkaian cerita yang terjadi selanjutnya sungguh diluar dugaan. Petugas immigrasi Singapura berwajah garang, bersenjata laras panjang, dengan sepatu boot semata kaki, menggiring saya dan Narastika masuk ke dalam lift, menuju ruang yang kaku dan dingin.

Tak ada senyum atau sapa, hanya deretan pertanyaan demi pertanyaan yang muncul dari layar monitor yang harus segera kami jawab. Tak kurang dari 70 pertanyaan secara terus menerus dilontarkan. Pertanyaan-pertanyaannya seputar aktifitas saya, seperti apakah saya pernah terlibat dalam tindak kriminal, pencurian, pembangkangan, ikut serta dalam kelompok-kelompok penjahat (mereka menyebutnya: slek-slek pengganasan), dsb. Awalnya saya anggap pertanyaan-pertanyaan ini mudah, namun setelah ditanyakan berkali-kali rasanya frustasi sendiri (dan malah kepikiran mau berbuat kejahatan sekalian saja, hehehehe). Tangan saya dan Narastika secara bergantian ditempelkan pada sensor, telinga kami dipasangkan headset. Introgasi yang panjang dan berulang-ulang.

Setelah introgasi usai, seorang petugas bandara bertampang Melayu dengan kepala plontos dan tubuh tambun berbicara pada saya dalam bahasa India, kemudian Arab, kemudian Filipina.

What? What? Sorry, I dont understand!” kata saya membuyarkan tebak-tebakannya.

“Aaa….. Indonesya? Indonesya?” tanya-nya, masih berteka-teki. “Saya kira Filipina,” kemudian dia terkekeh dengan leluconnya sendiri. “Oke, follow him.” petugas itu kemudian mengarahkan saya pada petugas bandara lainnya lagi yang berusia lebih muda.

Petugas itu membawa saya bertemu dengan seorang wanita bermata sipit. Katanya kepada wanita itu, “Normal, everything is normal.”

“Normal??” wanita itu tidak percaya.

“Yes, normal.” katanya sekali lagi.

Saya mulai kesal. Apakah saya nampak tidak normal sehingga harus diuji kelayakan?

Setelah sekitar 2 jam berbelit-belit di kantor Imigrasi, akhirnya petugas bandara berkepala plontos membubuhkan cap pada passport saya. Sebuah cap yang melegalkan keberadaan saya di Negara pesemakmuran Inggris ini.  Petugas bandara memberi keterangan pada data passport saya sebagai, “First timer.” Seorang pendatang baru. Saya dan Narastika-pun dilepaskan. Menghirup udara Singapura untuk pertama kalinya.

“Sial, kita jadi kelinci percobaan alat baru!” keluh Narastika.

Ya, dan bisa jadi kami dituduh buronan Indonesia yang lari ke Malaysia, kemudian Singapura.

Belakangan saya baru tahu bahwa jarang sekali ada turis yang menumpang bis untuk mencapai Singapura. Biasanya para turis itu naik pesawat, kapal feri (paket wisata Malaysia), ataupun kereta. Berhubung saya dan Tika adalah turis irit, maka kami memilih menumpang bis dari Penang. Bis yang kami tumpangi adalah bis yang biasa digunakan oleh para immigran antar Negara. Maklum murah bo, harga tiketnya sekitar 30 RM! 😀

Gara-gara insiden ini, saya dan Narastika ketinggalan bus yang tadi kami tumpangi.  “Kita sih kebanyakan tertawa….” kata Narastika. Saya meresponnya dengan gelak tawa. Lagi-lagi tertawa! Hahahaha. Hari yang penuh misteri!

Berbekal tanya sana-sini, akhirnya kami bisa melanjutkan perjalanan dengan MRT yang bergerak cepat. Deretan manusia bergadget canggih dalam MRT menyambut kedatangan kami. Laki-laki, perempuan, tua, muda, berpakaian sekolah, bergaya fashion, berpakaian dinas…. semua menggenggam minimal satu gadget di tangan, menyumpal kuping dengan headseat, larut dalam dunianya masing-masing. Inilah wajah-wajah Singapura yang menyambut kedatangan kami pada hari yang terik. Selamat pagi, Singapura!

*


Epilog:

“Dalam perjalanan, kadang kala kita tertawa atau menangis. Namun, kita harus selalu siap,” kata ibu. Tangannya masih membelai lembut kepala saya, hingga saya terlelap.

Read more

Puluhan lelaki tua dengan motor-motor tua berkumpul di pesisir pantai kota tua George Town di pulau Penang. Mereka berbicara dalam bahasa China tua yang tidak saya pahami, membaca koran dengan aksara China, dan sebagian memandang jauh ke laut lepas yang bergelombang.

Sempat bertanya-tanya, apa yang sedang mereka lakukan di sini. Seorang kakek berkata pada saya, “Untuk bersantailah! Siapa tak suka di sini! Banyak angin lah…. di rumah terus, penatlah!” Tangannya direntangkan ke udara, pandangannya menatap ke angkasa meresapi sinar matahari yang menyinari kota.

Saya mengerti, kota tua George Town, Penang, memiliki matahari yang bersinar panjang. Thiago Vilas Boas, seorang teman asal Brazil, mengatakan, “Two things you can always expect from Penang: the most delicious food and the most beautiful sunset.”  Makanan yang lezat dan matahari sore yang bersinar indah. Inilah yang membuat banyak orang rindu kembali ke pulau Penang. Termasuk Thiago, kawan saya itu. Enam bulan lalu dia sudah pernah ke Penang, lalu kembali lagi. Untuk apa? “Untuk makan,” jawabnya sambil terbahak. “Saya suka kota ini… Saya suka orang-orangnya, saya suka makanannya.”

*

George Town merupakan ibukota Penang, Malaysia. Dulunya kota ini dikenal dengan nama “Tanjung Penaga (Cape Penaigre) kemudian berubah menjadi George Town, yang berasal dari nama Raja Inggris, George III. Sejarah mencatat George Town sebagai salah satu kota pelabuhan yang penting pada masa pendudukan Inggris. Kota ini merupakan pusat perdagangan expor-impor, pusat pelayaran, dan dikenal sebagai kota komersial bersejarah. Sejak tahun 2008 George Town, Penang, terdaftar sebagai situs warisan dunia.

Tidak sulit untuk sampai di George Town. Walaupun terletak di sebuah pulau kecil bernama pulau Penang, kota ini memiliki bandar udara bernama Penang International Airport yang berfungsi sebagai bandar udara utama Malaysia setelah Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Selain itu, kota ini memiliki kapal feri yang berlayar setiap hari dan berlabuh di Butterworth, dan juga jembatan bernama Penang Bridge yang menghubungkan daratan pulau Penang dan Seberang Perai.

Pagi buta, pukul 5 saya menumpang kapal Feri untuk mencapai George Town. Beberapa orang sudah menunggu kapal yang sama di pelabuhan. Sebagaian yang saya lihat adalah pekerja dan anak-anak sekolah. Tiak lama menunggu, kapal feri datang menjemput kami. Kapal feri yang sudah beroperasi sejak tahun 1920 ini tergolong masih terawat apik dan bersih. Kapal feri ini lah penghubung dunia luar George Town dengan berbagai potensi klasik yang dimiliki kota ini.

*

Pukul tujuh sore, lampu-lampu berwarna kuning berpendar menghiasi Penang City Hall. Sebuah kesan yang membangkitkan kenangan akan masa lalu. George Town adalah satu kota yang dipercaya UNESCO berhasil merawat sisa-sisa peninggalan melalui gedung-gedung tua-nya yang terawat apik, dan kota ini pun terus menata diri menyambut masa depan. Promosi pariwisata, peraturan-peraturan daerah yang melindungi warisan leluhur, penerbangan international yang sudah dibuka. Semua demi kemajuan pariwisata Pulau Penang.

Government encourage people to speak in their own language. Maka banyak China berbicara China, India berbicara India, Melayu berbicara Melayu. Tak harus berbicara Inggris,” kata seorang pria yang saya temui di tempat penginapan.

Dia kemudian menjelaskan, “Semua bangunan, herritage. Tak boleh diubah. Jalan-jalan dibuat untuk sepeda dan rickshaw. Bukan lah untuk kereta.” Kereta yang dimaksud adalah kendaraan beroda empat, orang Indonesia menyebutnya sebagai mobil. Pantas begitu banyak lorong-lorong sempit yang melilit di antara bangunan-bangunan tua George Town city. Lorong-lorong ini menjaga dimensi waktu tetap bertahan hingga anak cucu.

Di hadapan saya angin berhembus semilir. Burung-burung terbang mengudara. Anak-anak tertawa lepas di atas ayunan. Orang-orang tua berbincang-bincang sambil memandang panorama laut. Matahari yang cerah! Sore yang indah!

Your handbag! Your handbag!” seorang pengendara rickshaw berteriak-teriak pada saya. “Kau pegang itu handbag! Hati-hati lah, di sini berbahaya!” katanya dengan logat Melayu yang kental.

Saya langsung menangguk sambil mengucapkan terimakasih. Karena sibuk memotret, saya meninggalkan tas di ujung kursi sana.

Angin pantai mengibaskan rambut. Hampir saja saya terlena dengan keramahan kota ini higga tak berhati-hati menjaga barang bawaan. George Town city, engkau sungguh mempesona…..

Read more

“Permisi Bu,… Numpang tanya, beli purwaceng dimana ya bu?”

Ibu berjilbab itu tidak menjawab. Saya dan dua orang teman pun saling menatap.

Angkutan umum yang kami tumpangi berjalan lambat. Hanya ada 4 orang penumpang di dalam angkutan umum ini: Saya, Ervan, Yakub, dan ibu berjilbab. Deru angin malam yang berhembus menyelinap di sela pintu dan jendela angkutan umum memecah kebekuan. Dingin dan senyap.

Ervan melirik ke arah arlojinya, baru pukul setengah tujuh malam, namun Wonosobo sudah sepi bagai kota mati yang kelam. Tak ada kendaraan lain melintas. Tak ada orang lain selain kami penumpang angkutan umum dan Pak Supir. Toko-toko dan rumah-rumah kelihatan tertutup rapat. Dingin terus-terusan menyergap. Saya mengaitkan kancing jaket, mengencangkan simpul syal, lalu meremas-remas jemari tangan. Dingin yang tak terkira.

“Sudah hampir sampai,” kata Pak Supir angkutan. Kami hanya manggut-manggut menanggapi.

“Adik-adik mau kemana?” si ibu berjilbab angkat bicara.
“Ke Dieng, Bu.” jawab Ervan.

“Malam ini?”

“Mungkin besok pagi.”

“Terus mau menginap dimana?”

“Belum tahu Bu,…”

Di perempatan lampu merah, angkutan umum berhenti. Si ibu, dan kami bertiga langsung berhambur keluar. “Rumah ibu dekat pasar, boleh kalau mau menginap.” Sebuah tawaran yang di luar dugaan.

Si ibu terus berjalan, karena tidak tahu kemana harus melangkah, kami membuntuti dari belakang.

“Ibu tahu, cari purwaceng dimana?” tanya Ervan sekali lagi. Si ibu tetap tak menjawab.

“Kami dengar, purwaceng minuman khas sini ya bu…” kata saya, menimpali.

Si ibu kelihatan menutupi sesuatu. Namun akhirnya bertanya, “Untuk apa cari minuman itu?”

Saya-Ervan-Yakub saling menatap. Pertanyaan yang menohok, karena sesungguhnya kami juga tidak tahu untuk apa mencari minuman itu selain karena kami dengar bahwa purwaceng adalah minuman khas Wonosobo. Perkiraan kami, melacak jejak purwaceng semudah menemukan mie ongklok yang banyak beredar di pinggir jalan.

Si ibu melihat keraguan kami. Kemudian berkata, “Tidak perlu cari minuman itu. Itu minuman kuat. Penambah stamina pria dewasa.”

Keringat dingin membanjiri kening. Terdiam kami terpaku kaku. Ervan menyenggol saya, “Elu sih, sok tahu,” katanya.

“Sorry, gue juga cuma baca-baca…” jawab saya berusaha menutupi malu.

Kami memandang punggung si ibu berjilbab dari belakang. Habislah riwayat kami, satu bocah perempuan dan dua bocah laki-laki mencari minuman penambah stamina pria dewasa. Entah apa yang ada dipikiran si ibu menanggapi pertanyaan kami.

“Rumah saya dekat sana…” kata si ibu mencairkan suasana. Kami melanjutkan jalan, kikuk.

“Saya lihat di sekitar sini banyak penginapan ya Bu….” tanya Yakub. Penginapan-penginapan yang dimaksud Yakub adalah rumah-rumah kecil dua lantai dengan lampu kelap-kelip yang berpendar-pendar.

“Jangan, jangan menginap di sana!” kata si Ibu keras.

Keringat dingin membanjiri kening kami (lagi). “Kenapa bu?” tanya saya.

“Tempat itu bukan untuk anak-anak seusia kalian. Jangan menginap di sana! Tidak! Tidak baik! ” kata si ibu lagi. Dari penjelasannya yang terbata, kami menyimpulkan bahwa penginapan-penginapan itu adalah tempat prostitusi. Pantas saja kami melihat beberapa perempuan bertubuh sexy di sekitar penginapan.

“Duh gimana nih,…” saya menyenggol Ervan dan Yakub. Ada perasaan tidak enak datang menyergap. Percakapan-percakapan ini sungguh absurd, memberi keengganan luar biasa di hati dan pikiran.

“Cari tempat lain aja kali yaa… ” kata Ervan berbisik.

Malam datang semakin gelap. Saya-Ervan-Yakub memutuskan untuk tidak menginap di rumah si ibu. Kami pun melanjutkan langkah. Menyusuri kota kecil yang dingin dan sepi. Jantung kota Wonosobo dikelilingi gunung yang tinggi menjulang. Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, adalah beberapa di antaranya. Mungkin itulah alasan mengapa Wonosobo beraroma dingin dan beku. Kami percaya, kehangatan mentari pagi akan mengantar kami menuju Dieng esok hari. Selamat malam, Wonosobo…

Read more

Siapa bilang sebuah perjalanan selalu terasa menyenangkan? Ada kala-nya kekalutan menyelimuti, ada kalanya keraguan menemani. Rasa-rasa seperti ini membuat saya terpencil di tengah banyak orang asing. Perasaan enggan pun datang menyiksa.

Akhir-akhir ini wajah ibu, ayah, dan kakak sering tergambar jelas di kepala. Di antara hari demi hari yang saya lalui, di antara cerita demi cerita yang selalu diperbarui, seringkali saya berpikir: ah, seandainya saja mereka ada di sini.

Mungkin itu yang dinamakan kepekaan membaca pertanda-pertanda, orang Jawa meyakininya sebagai insting atau nalar untuk berinteraksi.

Malam, pukul 10, saya menekan nomor telpon kakak saya. Dua kali sambungan telpon gagal, tidak ada yang mengangkat. Di Jogja mungkin baru pukul 5 pagi, tapi rasanya tidak mungkin kakak saya masih terlelap. Karena ini bulan puasa, keluarga saya pasti bangun lebih awal untuk santap sahur. Berpikir seperti itu membuat keringat dingin turun membasahi telapak tangan.

Pada sambungan yang ketiga baru saya mendengar suara kakak saya di ujung telpon sana. “Buruan telpon mamah, atau papah,… eh, atau mamah saja!” katanya tergesa.

“Ada apa?” tanya saya panik.

“Udah, cepet telpon saja!” lalu sambungan telpon diputus.

Keringat dingin semakin merembes turun, kali ini mulai membasahi lengan dan leher saya. Terbayang adegan-adegan menakutkan di kepala. Perut saya menjadi keram. Jemari saya mulai bergetar seram. Kemudian saya menekan nomor telpon ibu. Tidak ada jawaban. Telpon tidak tersambung.

Dengan perasaan yang semakin tak keruan, saya menekan nomor telpon ayah. Ibu yang mengangkat. Suara ibu yang begitu pelan dan lirih menjawab sapaan saya di ujung telepon sana.

“Papah sakit…” katanya dengan nada tegar yang dipaksakan. “Sekarang masuk rumah sakit. Sudah ditangani dokter. Kamu tidak perlu khawatir.”

Air mata saya perlahan mulai mengalir membasahi pipi. Saya teringat bagaimana dulu keluarga saya berbondong-bondong mengantar ke bandara. Dengan berbagai petuah “jangan lupa makan tepat waktu”, “jangan lupa minum banyak air putih”, “jangan lupa berdoa”, “jangan lupa memberi kabar” dsb dsb dsb… Kepergiaan saya adalah sebuah kegembiraan dan kekhawatiran yang menjadi satu. Namun kini, bagai bocah cilik yang merengek ingin pulang, yang muncul di pikiran saya adalah bagaimana caranya agar bisa segera kembali ke tanah air. Apa arti semua program ini bila nun jauh di Jakarta sana, ayah terbaring sakit.

Nduk,” kata ibu menenangkan, “program di Inggris, harus jalan terus…”

Ibu memang ibu nomor satu. Dalam berbagai kondisi dan situasi selalu bisa memompakan semangat pada kami anak-anak-nya. Pesan ibu sungguh sebuah oase dalam kesedihan yang datang tiba-tiba.

Ibu lalu menyambungkan telpon ke ayah saya. “Pie kabare, Nduk?” tanya ayah dalam bahasa Jawa. Suaranya begitu lemah, jauh berbeda dengan suara penuh ketegasan yang biasa saya dengar.

“Baik pah, papah gimana?” Sekuat tenaga saya berjuang agar tidak menunjukan lara yang meliputi.

“Ini masih sakit, tapi pasti nanti bisa cepat sembuh… Kamu baik-baik di sana ya.”

“Iya pah, cepat sembuh pah… Sebentar lagi programku selesai, aku segera pulang.”

Tidak lama, telpon dimatikan. Kekalutan menyelimuti hati dan pikiran. Namun seperti pesan ibu, program harus terus berjalan. Tidak boleh berhenti hanya sampai di sini. Dari negri Britania Raya, saya menyadari bahwa kegembiraan dan kesedihan adalah anugrah yang hanya perlu dilalui. Dari waktu ke waktu yang terus berganti, saya hanya bisa berdoa, semoga lekas sembuh, pah… 🙁

Foto Platform 3/4, London, UK by. Longina Narastika

Read more

Saya sering menganggap dia sebagai Mak Lampir. Tawanya membahana, hingar-bingar hingga memekakan gendang telinga. Gerak-gerik-nya gesit, energinya besar, dan tak pernah kenal lelah. Dia sering mengajak saya gelut, membuat tulang belulang ini terasa ingin rontok.

“Rachael, shut up!” sering kali saya membentaknya. Tapi dia tak pernah gentar. Yang paling menyebalkan adalah ketika dia dan Jacob, adiknya, sudah mulai bertengkar. Tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau diam.

Pernah suatu kali Rachael kesal. Dia tidak mau bermain UNO bersama Jacob. Saya katakan padanya, “Baiklah kalau kamu tidak mau bermain UNO bersama adikmu, maka saya tidak mau bermain UNO denganmu,” kata saya terus terang.

Rachael menatap saya dengan mata merah, “I hate you, tante!” katanya marah.

Entah benar atau salah, saya harus mengambil sikap. Saya memutuskan untuk tidak berpihak pada salah satu dari dua kubu ini, walaupun nyatanya sering kali saya berada pada sisi yang berat sebelah. Kadang membela Jacob, kadang mendukung Rachael. Saya mengerti, kedua bocah ini hanya ingin dekat dengan saya, tapi masalahnya mereka tidak ingin dekat satu dengan lainnya. Bagaimana mungkin saya bisa membelah diri demi memenuhi keinginan keduanya?

Walau sering membuat kewalahan, nyatanya Rachael adalah pelipur lara nomor satu di dunia. Seringkali dia menggedor-gedor kamar saya, memaksa masuk dan tidur bersama saya. “No, you can’t stay here,” kata saya mengusir dia keluar.

Please, tante… please…” katanya memelas  sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada. “Saya janji tidak akan mengganggu tante…” suaranya lirih. Menggetarkan hati. Membuat iba.

I am not in good mood, jadi kalau kamu tidak bisa diatur, saya akan mengusir kamu keluar!”

Promise, tante…. promise….” jawabnya kegirangan, “Saya tidak akan mengganggu tante.”

Walau sudah diperingati, Rachael tidak pernah menepati. Secara maraton dia ngelitikin saya, menyembunyikan bantal dan sendal saya, memeluk saya hingga saya sulit bernapas…. “Oh Rachael, please…. I give up.” kata saya terengah-engah.

Dengan wajah tak bersahabat, saya merebahkan diri di balik selimut. “Terserah kamu mau ngapain,” kata saya menyerah. Rachael ikut-ikut-an merebahkan diri di sebelah saya. Saya diam, pura-pura tak mempedulikannya.

Bukan Rachael namanya kalau kehabisan akal. Dengan penuh penghayatan Rachael bercerita, katanya:

Alkisah ada seorang anak perempuan yang sering bermain ayunan. Ibu si anak memperingati agar dia tidak bermain ayunan. Katanya, ada banyak anak laki-laki yang akan jongkok di dekatmu demi melihat pakaian dalam-mu. Jadi berhentilah bermain ayunan!

Keesokan harinya, si anak tetap bermain ayunan. Ibu si anak memperingatinya lagi agar dia tidak bermain ayunan. Namun dengan lugunya si anak menjawab, today I don’t wear any underwear, jadi laki-laki itu tidak bisa mengintip pakaian dalam saya.

Cerita Rachael yang di luar dugaan membuat saya tertawa…. tertawa…. dan terus tertawa… “Saya yakin, anak perempuan itu adalah kamu! Hahahaaha….” kata saya dengan tawa membahana. Kami-pun tertawa bersama di atas ranjang. Melupakan segala kepenatan. Melepaskan segala ketegangan. Lalu tak sadar, kami telah terlelap bersisian.

Di sini, di rumah mungil di Wordsworth Street, perbatasan Luton dan Berdforshire-England, saya merasa menjadi bagian dari kakak beradik Annabelle-Rachael-dan-Jacob. Tiga bersaudara yang selalu memberi kebahagiaan.

Read more