June 2013

“Aku ingin kembali menjadi seperti ketika aku dilahirkan.” Kata-kata itu meluncur dari bibir Eyang Kakung pada suatu hari yang senyap. Hari demi hari berganti. Waktu demi waktu berlalu. Selama puluhan tahun, Eyang Kakung memendam keinginan itu. 

Di antara hawa panas kota yang membakar kerongkongan, di antara kenangan-kenangan yang selalu hadir di ingatan, Eyang Kakung menyimpan keinginan itu pada kedalaman hatinya seorang. Menyadari adanya perbedaan keyakinan  antara dirinya dan Eyang Uti, membuat Eyang Kakung memutuskan untuk menahan ego itu. “Agar tidak ada yang terluka sehingga keputusanku bisa direlakan,” katanya menjelaskan.

Bukankah kehidupan adalah misteri ilahi? Atas kehendak Yang Kuasa, Eyang Uti lebih dulu tutup usia. Kepergian Eyang Uti meninggalkan kesedihan dan luka mendalam pada diri Eyang Kakung. Waktu berselang, dengan susah payah Eyang Kakung kembali menata hatinya.

Namun siapa sangka, di usianya yang sudah senja, 86 tahun, Eyang Kakung kembali mengutarakan niatnya untuk menerima percikan sakramen baptis. “Bila selama ini aku menahan diri, maka kali ini aku akan melangkah ‘kan kaki sesuai kata hatiku,”  kata Eyang Kakung sambil berlinang air mata.

“Aku ingin dibaptis. Aku ingin nderek Gusti Yesus.” Begitulah ketetapan hati Eyang Kakung. Rupanya, keinginannya yang dilandasi pada keyakinan akan Kristus tak tergoyahkan.

Maka, pada hari rabu yang mendung ini, Eyang Kakung menerima abu suci lambang pertobatan. Romo Bono, dari Paroki Kumetiran, mengaliri air suci pada kening Eyang Kakung. Kegembiraan terpancar dari garis-garis wajahnya yang selama ini rapuh termakan usia.

Konjuk ing Dalem Yang Romo, Yang Putro, Yang Roh Suci…” kata Eyang Kakung sambil menorehkan tanda salib pada kening, dada, dan kedua belah bahunya.

“Mungkin ini hikmah dari kepergian Eyang Uti,” kata kakak saya melalui sms saat menerima kabar mengenai sakramen Baptis Eyang.

Sambil menundukkan kepala, anak-anak, cucu-cucu, dan para tetangga bersatu dalam doa. Kami meyakini walaupun manusia berbeda-beda agama, bangsa, dan bahasa, namun Tuhan adalah satu.

“Bagaimana perasaannya, Eyang?” tanya bude usai penerimaan sakramen baptis.

“Saya senang karena Nderek Gusti Yesus, namun masih sedih karena harus menempuh jalan yang berbeda (dengan Eyang Uti).”

“Faith is taking the first step even when you can’t see the whole staircase.”

– Martin Luther King, Jr.

Walaupun pada awalnya banyak batu karang dan gelombang yang datang menerjang, namun akhirnya keyakinan Eyang Kakung membawanya pada jalan yang terang. “Nderek bingah, Eyang Kakung…” kata para tetangga sambil memberinya salam. Eyang Kakung tersenyum, senyum tulus dari hatinya yang penuh iman.

Bacaan lainnya:
“Rest in Peace, Eyang…” 

Read more

Masih berduka karena kepergian Eyang Uti beberapa hari lalu, Eyang Kakung berkata, “Memiliki pasangan yang sejalan itu sulit, harus berteman setia sejak muda.” Mata Eyang Kakung masih basah. Suaranya masih bergetar. Dalam beberapa kesempatan Eyang Kakung masih menangis.

*

Kata-kata Eyang Kakung mengingatkan saya pada sebuah film Korea berjudul 3-Iron karya Kim Ki Duk. Walau mengambil tema populer: kisah cinta dua manusia, namun 3-Iron menentang estetika gambar dan cerita yang kebanyakan beredar di masyarakat. Kim Ki Duk menampilkan wajah Korea yang terasing, kesepian, berperilaku aneh -namun lucu- dalam karakter tokoh utama-nya Tae-Suk (diperankan oleh Jae-Hee).

Tae-Suk memiliki kebiasaan yang aneh. Kebiasaannya itu secara tak sengaja mempertemukannya dengan Sun-Hwa (diperankan oleh Lee, Seung-yeon). Berdua lalu mereka menjalankan kebiasaan aneh tersebut, yakni masuk ke rumah-rumah kosong untuk menumpang hidup (makan, tidur, menonton TV, mencuci baju, memperbaiki barang rusak, dsb). Pola hidup yang mereka lakukan terkesan kurang kerjaan, namun dari situlah kita bisa mempelajari karakter manusia dalam menghadapi berbagi kejadian hidup yang kadang gelap, kasar, dan ironis.

Kim Ki Duk membawa penonton menyaksikan adegan-adegan yang mengejutkan, sedih, getir, pahit, tanpa harus membuat penonton memalingkan wajah. Hebatnya, Kim Ki Duk juga memberikan kesan manis secara tak berlebihan sehingga sangat pas untuk dikecap.

Akhir kisah adalah hal yang sulit terduga, namun cerita 3-Iron adalah kesatuan yang memiliki kekuatan dalam tiap bagiannya. Pada akhir filmnya, Kim Ki Duk mengatakan “It’s hard to tell that the world we live in is either a reality or a dream,” tapi saya lebih suka menggarisbawahi bagaimana, seperti kata Eyang Kakung tadi, bahwa memiliki pasangan yang sejalan harus dimulai dengan berteman setia sejak muda.

Bagimana Tae-Suk dan Sun-Hwa menjalankan pola kehidupannya yang aneh secara bersama-sama telah menumbuhkan benih cinta di antara mereka. Walaupun sepanjang film berlangsung kedua tokoh utama ini hampir tak pernah berbicara, namun pesan dapat disampaikan dengan apik melalui gerak-gerik mereka yang penuh arti. Kesetiaan, saling menolong, saling menghibur, nampaknya menjadi pengikat mereka untuk menumbuhkan bibit cinta. Bibit cinta ini membuat mereka berhasil menghadapi berbagai kepahitan dan kegetiran hidup yang penuh air mata, darah, dan luka.

*

Kesetiaan Eyang Kakung dan Eyang Uti juga mengingatkan saya pada sebuah film terkenal karya anak Negri, Habibie-Ainun. Menceritakan tentang perjalanan hidup mantan presiden RI Habibie, dan istrinya, Ainun, membuat film ini begitu terkenal di tanah air. Setelah melalui berbagai perjuangan hidup, Ainun harus tutup usia. Meninggalkan Habibie yang begitu mencintainya.

Adegan Habibie mencium jenazah Ainun sama seperti adegan Eyang Kakung mencium jenazah Eyang Uti. Bedanya, tidak seperti Habibie, Eyang Kakung bukan mantan presiden RI, dan tidak seperti Ainun, Eyang Uti bukan dokter (melainkan bidan). Bedanya lagi, sudah bertahun-tahun Ainun melawan penyakit hingga tutup usia, sedangkan Eyang Uti meninggal hanya berselang beberapa hari sejak pembuluh darah di otaknya pecah.

Di depan jenazah Eyang Uti, Eyang Kakung berkata, “Dulu, pertama kali, aku melihat Eyang Uti-mu di depan sekolah. Kami telah melewatkan suka-duka bersama. Bagimana nasibku setelah Eyang Uti tak ada….” katanya dengan derai air mata yang tumpah membasahi pipi dan wajahnya. Eyang Kakung lalu menyentuh wajah Eyang Uti, dan mecium wajah itu.

Ya, sama seperti Eyang Kakung bertemu Eyang Uti, Habibie pun bertemu Ainun pertama kali di sekolah. Awalnya Habibie tidak terlalu peduli pada Ainun, namun seiring berjalannya waktu pertemanan mereka berlanjut. Waktu berselang, akhirnya mereka menikah dan memiliki anak. Puluhan tahun hidup bersama namun akhirnya maut harus memisahkan.

*

Bagi saya, yang membuat kisah 3-Iron dan Habibie-Ainun mirip dengan kisah Eyang Kakung dengan Eyang Uti, bukan pada bagaimana mereka bertemu, siapa mereka, atau apa yang mereka lakukan; namun lebih kepada bagaimana mereka menjalankan kehidupan mereka dengan saling setia, saling menolong, saling menghibur, komunikasi, dan juga jujur. Di jaman era modern seperti ini, dua hal terakhir justru menjadi hal yang paling sulit ditegakkan. Sehingga seperti kita tahu, akhirnya banyak cerita cinta yang berakhir sementara.

“Jaman sekarang mana bisa jatuh cinta dan berkomitmen pada satu orang, dan terus setia pada satu orang tersebut….” kata saudara saya suatu ketika. Hmmmm.

Saran salah seorang teman saya, lulusan psikologi UPH (Universitas Pelita Harapan), berikut ini mungkin bisa dijadikan masukan berharga. Katanya, “Blaming, atau menyalahkan lingkungan, diri sendiri, maupun orang lain menjadi rancun perusak hubungan. Sebuah hubungan bisa berjalan dengan baik bila kedua belah pihak bisa bisa mengutarakan pendapat melalui komunikasi yang baik. Tidak saling menuntut, tidak saling menyalahkan, melainkan menerima masukan dengan baik. Kita tidak bisa mengubah orang lain, hanya mampu mengelola diri sendiri. Semua dimulai dari diri sendiri, dan sekali lagi,… tidak ada blaming.” Masukan ini berlaku tidak hanya untuk hubungan asmara, namun untuk segala jenih hubungan.

So, ingin mengelola hubungan ala Habibie-Ainun, ala Tae-Suk dan Sun-Hwa, atau ala Eyang Kakung-Eyang Uti saya? Mungkin, masukan dari teman saya itu bisa dijadikan rujukan. (DPN, 2013).

Read more

Awalnya tulisan ini saya buat dengan judul, “Get Well Soon, Eyang…” namun nasib berkata lain. Baru saja saya membuat setengah kerangka tulisan, Eyang sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Eyang Uti telah tiada, tepat satu hari setelah saya melaksanakan sidang skripsi, tepat pada hari pengumuman kelulusan saya, dan tepat pada hari ulang tahun saya yang ke-23 tahun. Maka arah tulisan ini berubah. Judulnya pun berganti: “Rest in Peace, Eyang…”

*

Dua jam sebelum Eyang Uti dipanggil Tuhan, saya masih menghadap meja kerja saya. Membuat catatan-catatan kecil, termasuk menulis puisi ulang tahun sebagai berikut:

23 tahun sudah.
Bilamana hatimu sedih
Bilamana hatimu resah
Bilamana hatimu gelisah
Bernafaslah, rasakan tarikan nafasmu
Meresap dalam cuping hidungmu
Mengalir dalam tiap sendi tubuhmu
Setelah itu, gerakkanlah tanganmu
Sentuhkan pada pipimu, dan hapuslah air mata yang mengalir
Sentuhkan pada keningmu, dan tabahkanlah ketegaran
Sentuhkan pada dadamu, dan lebarkanlah kesabaran
Sentuhkan pada kedua bahumu, dan lepaskanlah belenggu batasmu.

23 tahun sudah.
Bilamana hatimu bersorak gembira
Bilamana jiwamu bersorak senang
Bilamana rasamu menari riang
Bernafaslah, rasakan tarikan nafasmu
Meresap dalam cuping hidungmu
Mengalir dalam tiap sendi tubuhmu
Setelah itu, gerakanlah tanganmu
Sentuhkan pada pipimu, dan merekahlah sebuah lesung senyuman
Sentuhkan pada keningmu, dan bebaskanlah segala ketamakan
Sentuhkan pada dadamu, dan bebaskanlah segala arogan
Sentuhkanlah pada bahumu, dan kembalilah menginjakkan kaki pada tanahmu.

23 tahun sudah.
tak ada duka yang abadi
tak ada suka yang sejati
semua datang dan pergi silih berganti
maka siapkanlah hati untuk menerima semua yang akan terjadi.

*

23 tahun sudah. 

Siapa yang bisa menebak akhir sebuah kisah? Siapa bisa menebak panjang usia seseorang?

Tepat pada malam Isra Miraj yang dipercaya sebagai naiknya Nabi Muhammad ke surga, tepat pada saat sujud menununaikan ibadah sholat maghrib…….. Eyang Uti terjatuh dan tak sadarkan diri. Dokter mengatakan Eyang Uti mengalami pendarahan di otak-nya. Pendarahan itu membuat Eyang Uti koma selama 5 hari, hingga akhirnya tutup usia.

Saya ingat betul, pagi itu, saya masih melihat Eyang Uti bernafas. Walau saya tahu kondisinya lemah, tapi saya berharap suatu hari kelopak matanya akan kembali terbuka. Saya katakan padanya, “Eyang, aku hari ini aku ulang tahun… Aku juga sudah selesai sidang skripsi.” Kata-kata saya membuat kaki-nya bergerak sedikit.

Namun hanya selang berapa jam, kaki itu tak lagi bergerak. Tubuh itu tak lagi bernapas. Kedua kelopak matanya tertutup rapat. Bibirnya terkunci. Eyang Uti telah pergi. T.T

*

Kepergian Eyang Uti tepat pada hari ulang tahun saya yang ke-23 mengingatkan saya bahwa semua mungkin saja terjadi. Semua bisa saja terjadi. Tak ada hal di dunia ini yang lekang abadi.

Sakiki aku kudu kepiye…?” Eyang Kakung saya menangis ketika kabar kepergian Eyang Uti disampaikan padanya. “Opo salahku? Aku kudu kepiye?” ulangnya lagi.

Selamat jalan Eyang Uti…. semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa Eyang, menerima segala amal ibadah Eyang, dan menerima Eyang di sisiNya. Terimakasih atas segala kebaikan Eyang, dan ampuni segala salahku…. Rest in Peace, Eyang Uti…

Read more