July 2014

Prolog: Selama kurun waktu sembilan minggu meliput pemilu presiden 2014 (dari 12 Mei – 14 Juli), saya melihat banyak orang sudah urun saran, urun rembug, urun tangan, dan beberapa urun kisruh untuk bangsa ini. Berbagai “urun” itu membuat sembilan minggu terasa singkat dan penuh warna.

Warna itu bisa kita lihat dari, misalnya, ribuan orang yang tidak saling mengenal berkumpul menjadi satu di Gelora Bung Karno untuk menyatakan dukungan kepada pasangan calon presiden tertentu. Mereka yang saling kenal justru memutuskan unfollow, unfriend, atau leave group karena membaca komentar-komentar yang terasa menyakitkan muncul di timeline media sosial.

Belum lagi warna yang muncul karena “tokoh ini mendukung itu, padahal biasanya begini atau biasanya begitu.”…..  Sembilan minggu mungkin tidak berarti banyak bagi sebagian orang. Bagi saya, dalam sembilan minggi kita telah melewati satu proses demokrasi sebagai bangsa yang satu IndONEnesia…..

Melalui #SerbaserbiPilpres saya ingin membagikan hasil foto-foto dan kisah-kisah menarik yang saya jumpai selama meliput pilpres. Beberapa kisah sudah dimuat di harian Kompas. Beberapa mungkin belum, atau tidak sama sekali, karena selain keterbatasan ruang, mungkin juga karena kurang pas dimuat di sana.

Sebagian kisah ini tidak penting, bikin geleng-geleng kepala, atau tertawa kecil. Semua akan menjadi pengingat dan pewarna dalam langkah demokrasi ke depan.

Salam demokrasi! 🙂

##

Cerita 1. Saat Mahasiswa Berbicara.

Front Mahasiswa Indonesia Raya berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Rabu (12/6). Mereka minta AS tidak intervensi pemilu presiden 2014. 
BEM UI bertemu Kivlan Zen (kiri) dan Egi Sudjana (kanan) di Rumah Polonia, Jakarta Timur, Jumat (6/6). BEM UI mendorong kontrak politik antara capres dan mahasiswa sebagai kontrol sosial terhadap pemerintahan mendatang.
Aktivis mahasiswa 98 Wanda Hamidah dan Koordinator KontraS Haris Azhar berbicara dalam diskusi “Mengingat dan Mengupas Peristiwa Mei 1998”. Acara diadakan di Kampus Freedom Institute, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (19/5). Presiden terpilih harus tuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

siapa pun presiden mendatang harus punya komitmen menuntaskan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu – See more at: http://utama.seruu.com/read/2014/05/20/214401/sakit-hati-wanda-hamidah-untuk-partai-reformis-yang-pilih-prabowo#sthash.JvdyVQQv.dpuf
HAM tahun 1998 hingga kini belum juga tuntas dan cenderung jalan di tempat. – See more at: http://utama.seruu.com/read/2014/05/20/214401/sakit-hati-wanda-hamidah-untuk-partai-reformis-yang-pilih-prabowo#sthash.JNwc5g12.dpuf
Freedom Institute di Cikini, Jakarta, Senin
Freedom Institute di Cikini, Jakarta, Senin

Untuk pertama kali saya meliput unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Rabu (12/6). Berdasarkan surat undangan yang saya terima melalui sms, unjuk rasa akan dihadiri ratusan mahasiswa. Mereka menuntut pemerintah AS tidak intervensi pemilu presiden kita.

Oke, saya membayangkan ratusan mahasiswa itu benar-benar hadir. Terbayang akan ada tulisan ficer menarik bagaimana mahasiswa-mahasiswa itu mempersiapkan materi unjuk rasa. Saya pun datang satu jam lebih awal, pukul 09.00, dari jam acara yang seharusnya dimulai pukul 10.00.

Sesampainya di depan kedubes AS, loh kok sepi…. mana mahasiswanya? hmmm….. Jalan ke Monas, tidak ada tanda-tanda ratusan mahasiswa datang. Tanya ke petugas jaga kedubes, mereka malah tanya balik, “emang mau ada unjuk rasa Mbak?” lah kok…….

Setelah 15 menit berkeliling…. saya lihat puluhan mahasiswa, eh apa belasan ya, sedang menulis materi unjuk rasa di atas kertas poster tidak jauh dari kantor kedubes. Yaela bro, dikit amat jumlah mahasiswa yang ikut unjuk rasa? kata saya dalam hati.

Saya berpikir positif, mungkin ratusan mahasiswa yang lain belum datang. Maklum, mahasiswa, biasa ngaret. Saya pun meninggalkan mahasiswa itu untuk makan soto. Hehehe. Daripada nanti unjuk rasa sudah mulai dan saya kelaperan. :p :p

Saya tinggal untuk makan soto di dekat monas sekitar 20 menit. Kembali ke depan kantor kedubes, tetap saja sepi…… hmmmfhhh. allright, fine. Tidak penting kuantitasnya, yang penting kualitasnya.

Saya lihat mahasiswa itu berorasi (foto pertama). Jumlah mereka sekitar 20-30 orang. Sekitar 10 menit saya memotret (saat itu unjuk rasa baru saja mulai), kemudian saya mewawancarai koordinator unjuk rasa.

Saya: Kalian mahasiswa dari mana saja?
Mahasiswa: Macem-macem. berbeda-beda.
Saya: Apa tujuan unjuk rasa ini?
Mahasiswa: Kami ingin AS tidak intervensi pemilu presiden.
Saya: Apakah ada indikasi AS mengintervensi?
Mahasiswa: Kami tidak tahu.
Saya: Lalu kenapa meminta tidak ada intervensi?
Mahasiswa: Hmmm…. Kami masih mahasiswa, Mbak. Tidak tahu banyak soal politik.
Saya: Lalu?
Mahasiswa: Pengetahuan kami masih terbatas, yang kami tahu intervensi itu akan merusak demokrasi.
Saya: *ziingg* Lalu menurut kalian dalam bentuk apa AS akan mengintervensi?
Mahasiswa: Kami tidak tahu.
Saya: Lah kok, tidak tahu bagaimana bisa mengawasi?
Mahasiswa:  Hmmm…. Kami masih mahasiswa, Mbak. Tidak tahu banyak soal politik. Yang jelas jangan sampai deh AS intervensi.
Saya: *ziiing* …

5 menit kemudian, demo selesai.

Mahasiswa dan polisi saling bersalaman. Beberapa mahasiswa mencium tangan pak polisi. Beberapa polisi merangkul pundak mahasiswa.

Personally, saya mendukung gerakan mahasiswa. Tentu kita masih ingat perjuangan-perjuangan aktivis 98 yang berhasil menggulirkan semangat reformasi ke negera ini. Saya juga salut dengan kreatifitas mahasiswa UI yang membuat kontrak politik dengan capres-cawapres untuk mengawasi jalannya pemerintahan ke depan.

Tetapi, mbok yao….. untuk mahasiswa-mahasiswa masa kini lainnya, sebaiknya disiapkan dulu materinya sebelum berunjuk rasa…. Tidak bisa dengan alasan “kami kan masih mahasiswa” lalu melupakan daya pikir kritis.

Salam mahasiswa!

Read more

Fitri Nganthi Wani, anak Wiji Thukul, saat membaca puisi pada Kamisan (26/6).
“Aku hanya ingin tahu, kalau kakekku mati dimana kuburnya? Kalau dia masih hidup bagaimana kabarnya sekarang?” tanya Elsa Auliya (18), cucu Bachtiar Johan, salah satu korban penghilangan paksa dalam peristiwa Tanjung Priok tahun 1984.
Saat rindu bertemu kakeknya, Elsa datang ke kuburan massal di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan menaburkan bunga di sana. “Dalam hati bertanya, apakah kakek ada di salah satu kuburan itu?”
Pada Kamis (26/6) sore, remaja yang baru saja lulus SMA itu berdiri menghadap Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Di dekatnya ada Elsi Yuliyanti (15) dan Dias Gustira (18), adik dan sepupunya. Selain itu ada Binar Mentari (14), putri Mugiyanto, satu dari sembilan orang yang selamat dari usaha penghilangan paksa  tahun 1997/1998, Fitri Nganthi Wani (25), anak Wiji Thukul, dan Markus (8), keponakan Ucok Munandar Siahaan. Wiji Thukul dan Ucok Munandar Siahaan termasuk dalam 13 orang yang masih dinyatakan hilang dalam peristiwa penculikan aktivis 1997/1998.
Hari itu merupakan kali ke-357 aksi Kamisan dilakukan korban dan keluarga korban yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan, setiap Kamis, sejak 16 tahun lalu. Kamisan kemarin – yang digelar bersamaan dengan musim libur sekolah – memberi suasana berbeda karena dihadiri anak-anak, keponakan, dan cucu-cucu korban.
Dihadiri sekitar 50-an orang, mereka menyampaikan petisi “Pilpres 2014: Instrumen Impunitas Bagi Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM) Masa Lalu”, kepada Presiden SBY dan meminta pemerintah mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
 Terus berjuang
Kamisan kemarin diawali long march pada pukul 14.00 dari Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Sebagian keluarga korban mengenakan pakaian hitam, sebagian lainnya mengenakan pakaian putih bertuliskan “Kembalikan Orang-orang Tercinta Kami”.
Bagi Elsa, yang dia lakukan bukan hanya atas nama keluarga Bachtiar Johan, tetapi juga untuk semua korban kekerasan politik yang tidak pernah diselesaikan.
Pukul 17.00 Wani membaca puisi berjudul “Dalam Keabadian Kebenaran Membatu”. Penggalan puisi itu berbunyi, “Darimu jendral penindas hamba belajar meracik senjata. Dari bubuk mesiu kebenaran membentuk peluru-peluru kata. Dan kau tercengang ketika peluruku lebih mematikan dari milikmu.”
Mata Wani berkaca-kaca. “Bapak saya dihilangkan paksa oleh penguasa karena menulis puisi yang menyoal kebenaran,” kata Wani.
Bagi anak-anak itu, kebenaran harus diperjuangkan. “Pernah aku beradu mulut dengan temanku yang membela mati-matian Orde  Baru. Anak itu gimana sih, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” kata Elsa.
Sebelum acara Kamisan, Elsa dan kawan-kawan mengikuti diskusi mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan Asia Justice and Right di Galeri Cemara.
Dalam kesempatan itu, Binar Mentari menuturkan sejak di bangku Sekolah Dasar dia sering dikucilkan. Banyak orang menganggap Mugiyanto, ayahnya, aktivis Partai Rakyat Demokratik, jahat. Seiring berjalannya waktu, Mentari mulai mengerti potongan-potongan peristiwa itu.
“Ayah pernah disuruh membuka sepatu dan celana, hingga yang tersisa hanya celana dalam. Dia disiksa dan disetrum berkali-kali. Di tempat X, dalam kegelapan, ayah mendengar suara teman-temannya yang juga mengerang kesakitan,” kata Mentari.
Mentari tahu cerita itu dari perbincangan dengan keluarga korban, menonton video, dan membaca buku. “Di sekolah tidak pernah membahas peristiwa itu. Buku pelajaran sejarah dan kewarganegaraan hanya menulis yang baik-baik saja,” ujarnya.
Agar teman-teman di sekolahnya mengerti, Mentari kerap bercerita mengenai peristiwa 1997/1998 kepada mereka. Namun hal itu membuat sebagian temannya bosan. Mereka menganggap Mentari terlalu serius mengurusi persoalan itu.
Tidak selesai
Warna langit semakin gelap. Jalanan semakin padat. Sekilas, beberapa orang melihat aksi Kamisan dari balik kaca mobil mereka. Mentari menggugat. “Mengapa kita takut mengungkap kebenaran?” ujarnya.
Menurut catatan Komisi Nasional HAM, puluhan ribu orang dihilangkan paksa dalam periode 1965 – 2001, dalam tragedi 1965, pembunuhan misterius 1982-1985, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, penculikan aktivis dan mahasiswa 1997-1998, DOM Aceh 1989-1998, Timor-Timur 1975-1999, berbagai operasi militer di Papua 1965 – 2001. Hingga kini belum ada Pengadilan HAM Ad-Hoc untuk mengungkap dalang dibalik peristiwa-peristiwa itu.
Dari 23 orang yang dihilangkan paksa dalam peristiwa 1997/1998, satu ditemukan meninggal, sembilan dilepaskan, 13 lainnya masih dinyatakan hilang.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Haffid Abbas, mengatakan, negara bertanggung jawab terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pengungkapan pelanggaran HAM melalui Pengadilan Ad-Hoc penting untuk mencegah konflik di masa depan.
Presiden kami yang terhormat, sampai kapan kami harus menunggu ayah, paman, dan kakek kembali? (A14)
———

Catatan: versi pendek tulisan ini dimuat di harian Kompas edisi Kamis (3/7) halaman 5, dengan judul “Saat Mata Fitri Nganthi Wani berkaca-kaca”.

Read more