October 2014

“Lo putus? Pacar lo itu, ganteng, baik, tapi bukan jodoh lo! Hahaha… ” kata dia sambil tertawa.
“Bangs*t kau!” umpatku.
Tawanya justru semakin kencang. “Sudahlah terima saja kenyataan kalau kalian tidak berjodoh! Hahaha..” kata dia di sela-sela tawanya.
Aku diam saja.
Melihat rupaku yang menunduk lesu, dia merangkulku. “Time will heal,” ujarnya.
Di ujung mataku, ada air mata yang mentes. Mungkin hanya satu tetes. Dia tidak mungkin melihat. Apalagi langit sudah gelap.
##
Percakapan di atas terjadi satu tahun lalu. Waktu itu kisah asmara ku baru saja berakhir. Saat teman-teman lain menghiburku, dia justru menjatuhkan mentalku. Tak peduli aku sedang berada dalam kondisi buruk. Dia menertawakan kesialan yang ku rasakan. Kadang dia malah mengolok-olok. Tidak pernah memberi ruang belas kasihan. Tidak pernah memasang muka simpati. Dia menertawakanku, bersama kesialanku. (Kamfreet!)
Meski gara-gara dia aku jadi sering mengumpat, aku tahu dia teman baik ku. Dia mengatakan apa yang harus dikatakan. Dia mengkritiku dengan pedas. Tetapi, dia tidak pernah berbohong. Dia teman yang tidak pernah menghiburku, tetapi bersama dia segala sesuatunya terasa mudah dilalui.
Pernah, suatu pagi kami berada di dua jalur berbeda seusai menempuh perjalanan panjang Jogja-Ganjuran. Ketika itu dia hendak naik bus ke arah kosnya di timur. Saya hendak naik taksi ke arah rumah di barat. Kami melambaikan tangan berpisah. Setelah itu aku berjalan mencari taksi.
Dalam perpisahan singkat itu, perasaan kesepian menyergapku. Itu adalah hari terakhir kami bertemu karena esoknya aku harus pindah ke kota lain. Aku tahu, dalam waktu yang cukup lama tidak akan bertemu dengannya lagi. Aku merasa berat berpisah. Bagaimana aku mengisi hari-hariku tanpa teman seperti dia nanti?
Saat merasa sendiri itu, tiba-tiba saja seseorang mengiringi langkahku. Saat aku menoleh, temanku itu sedang berjalan di sisiku. Dia tersenyum. “Aku antar kau cari taksi,” kata dia. Dan aku menangis. Di tengah kesialanku putus cinta, aku terharu memiliki teman baik yang setia. 
“Bagaimana dengan bus lo?” kataku.
“Gampanglah!” kata dia.
Pagi itu, mungkin dia tidak lihat mataku brebes mili karena matahari sedang bersinar silau.

##
Dua hari lalu, aku menelpon temanku itu. Sudah satu tahun kami tidak bertemu. Pembicaraan hanya sesekali melalui facebook dan whatsapp. Aku sibuk dengan pekerjaanku, begitu juga dia.
Tetapi, hari itu aku menelpon dia. Pembicaraan singkat.
Setelah bertanya mengenai beberapa hal, dia bertanya kepada siapa aku jatuh cinta? “Anjrt, kok lo bisa tanya gitu?” kataku.
“Foto terakhir lo keliatan pake make-up, gak usah ngibul sama gue. Semua keliatan,” kata dia.
Syit! Aku katakan aku tidak jatuh cinta pada siapa pun. Hanya beberapa waktu lalu aku berjumpa dengan pria manis.
Meski satu tahun sudah berlalu, ku akui pahitnya putus cinta kadang masih membekas terasa. Temanku itu seperti tahu perubahan suasana hatiku. Dari riang menjadi mendung saat berbicara mengenai kekasih hati.
“Apapun yang terjadi, jangan kembali ke masa lalu! Jauh-jauh kau sudah melangkah pergi, tinggalkan masa lalu!” jerit dia di ujung telpon sana.
Lagi-lagi dia menghantamku. “Brengs*k kau!” umpatku. Dan kami tertawa.
Malam ini aku merindukan temanku itu. Sedang apa dia? Masihkah dia peduli padaku?
Satu quote untuk temanku, terkadang hubungan yang kuat diawali dari pertemanan yang ditempa waktu dan perjalanan. Doaku semoga kau selalu sehat.
Salam dari aku.
Read more