“Sawah kini kering. Air tidak lagi mengalir. Sudah dua kali tanam padi, gagal panen,” kata Rahana (60), Rabu (4/11). Dia memandang hamparan sawah berwarna kuning kecoklatan di depannya. Lahan yang dulunya subur itu berubah kering dan pecah-pecah sejak perusahaan kelapa sawit mengepung tempat tinggal warga di Desa Sungai Bungur, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi. Inilah kisah ketika konflik lahan antara warga dengan perusahaan sudah menyengsarakan banyak orang….
Bersama anak perempuannya, Erni (34), ibu empat anak itu memanen padi yang jumlahnya tak seberapa. Tangannya bergerak memetik padi dengan menggunakan ani-ani. Di bawah terik matahari, sesekali Rahana menyeka keringat yang mengalir di kening dan lehernya. Sejak pukul tujuh pagi, dua perempuan itu bekerja. Hasilnya, mereka mendapat sekitar tiga puluh genggam padi.
Jumlah padi yang dia dapatkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. “Terpaksa nanti beli beras miskin,” kata Rahana. Tahun-tahun sebelumnya, dia memanen 5-6 karung padi yang setara dengan 3-5 ton beras. Jumlah itu cukup untuk persediaan makan selama satu tahun.
Gagal panen di Desa Sungai Bungur terjadi tak hanya karena musim kemarau. Kekeringan diperparah sejak perusahaan-perusahaan kelapa sawit membangun kanal di sekitar area perkebunan dan persawahan warga. Kanal diperlukan untuk mengeringkan rawa gambut agar mudah dibakar. Kanalisasi membuat lahan perkebunan dan persawahan warga kering, keras, dan pecah-pecah.Selain membuat kanal, perusahaan-perusahaan kelapa sawit juga menyekat aliran Sungai Bungur. Air dari sungai tidak lagi menggenangi persawahan warga.
Kekeringan akibat kanalisasi juga melanda Desa Sogo, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi. Nasir (51), tahun ini tidak bisa menanam padi karena sawahnya kering. Di dekat sawahnya, ada kanal selebar 1,5-2 meter. “Perusahaan kelapa sawit yang harusnya datang menyejahterakan warga, justru menyengsarakan,” kata dia,
Sebagai petani, Nasir menggantungkan hidup pada kesuburan tanah. Tanah seluas satu hektar itu merupakan peninggalan orang tua yang sudah ada sejak tahun 1965. Sejak tak bisa lagi bercocok-tanam, Nasir bekerja sebagai buruh karet. Pendapatannya Rp 15.000 – Rp 20.000 per hari. Untuk makan sehari-hari, dia mengandalkan pasokan beras miskin dari pemerintah untuk makan sehari-hari.
Selain membuat kanal untuk mengeringkan lahan gambut, perusahaan juga membakar lahan untuk dijadikan perkebunan. Kobaran api merambat dan menghanguskan perkebunan. Sebagian perkebunan bahkan sengaja dibakar perusahaan itu agar warga mau melepas lahannya dengan harga murah. Kebakaran lahan menyiksa warga. Setiap hari, sejak bulan Agustus lalu, warga menghirup kabut asap pembakaran yang merusak kesehatan warga. Aktivitas pendidikan, perdagangan, pembangunan juga terganggu karena kabut asap.
Zein (57), warga setempat menuturkan, perusahaan kelapa sawit pernah menawarkan akan membeli lahannya Rp 3.500.000 per meter persegi. Namun, dia tidak setuju karena lahan itu merupakan warisan orang tua yang akan diturunkan lagi ke anak cucu. Selain itu, dia tidak sepakat dengan sistem beli-putus perusahaan. “Kalau perusahaan ingin memakai lahan ini, saya mau sistemnya adalah kerja sama atau bagi hasil,” kata dia.
Suatu hari, dia melihat lahannya terbakar. Pohon-pohon dan rerumputan yang tadinya berwarna hijau, berubah menjadi hitam dan abu-abu. Ranting dan dahan pohon yang sudah terbakar tergeletak di atas lahan. Karena sudah terbakar, Zein tidak bisa lagi memakai lahan itu untuk berkebun.
Desa Sogo terletak sekitar dua jam perjalanan dengan sepeda motor dari Kota Jambi. Jalan yang dilalui berkelok-kelok dan rusak di banyak bagian. Dari jalan utama, warga harus melintasi jembatan kayu menyebrangi Sungai Kumpeh. Di desa itu, dulunya terhampar perkebunan dan persawahan warga. Kondisi itu berubah ketia perusahaan kelapa sawit PT BBS datang. Diduga tanpa izin warga setempat, perusahaan itu menggarap lahan seluas 1.000 hektar yang ada di sana.
Aswan menuturkan pernah meminta perusahaan itu menggarap perkebunan milik warga. Oleh perwakilan perusahaan, dia diajak bertemu di kebun kelapa sawit. Saat datang ke kebun, Aswan malah dikriminalisasi. “Saya dituduh merusak perkebunan. Saya lalu dilaporkan ke polisi,” kata dia.
Yani (38), berharap perusahaan mengembalikan lahan milik warga. “Kalaupun perusahaan ingin menggarap lahan itu, warga harus dilibatkan dan keuntungan dibagi bersama,” kata dia.
Saat penulis menghubungi Ir Darmah, pejabat dari PT BBS, dia menolak memberi tanggapan. “Nantilah, kita atur waktu bertemu,” kata dia. Darmah tidak memberi kepastian kapan waktu untuk bertemu.
Asistant Pemerintahan Kabupaten Muaro Jambi, Budi, mengatakan, tidak pernah menerima laporan masyarakat terkait konflik lahan di Desa Sogo. “Setelah masyarakat melapor ke DPRD Provinsi Jambi, saya baru tahu ada konflik itu,” kata dia.
Menurut Budi, selama ini masyarakat merasa tidak pernah menerima kompensasi pembebasan lahan. Pembebasan lahan kemungkinan besar diterima orang lain yang tidak tinggal di Desa Sogo. Untuk menyelesaikan konflik ini, Budi akan mempertemukan perusahaan dengan warga.
Dwi Nanto, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi mengatakan sejak tahun 2014 menangani 27 konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan. “Perusahaan umumnya melakukan penguasaan lahan secara paksa dengan melibatkan pihak ketiga, yakni pemerintah daerah ataupun oknum warga di luar masyarakat setempat,” kata dia.
Menurut Dwi, setelah mendapat izin usaha dari pemerintah, perusahaan perkebunan memiliki kewajiban untuk melakukan pembebasan lahan. Kalau lahan itu termasuk kawasan hutan, perusahaan harus mendapat izin dari Menteri Perhutanan. Untuk menyelesaikan Konflik lahan, pemerintah daerah perlu bersikap tegas mendorong perusahaan bersikap transparan dan membuka ruang dialog dengan warga agar. “Harus ada jalan keluar yang menyejahterakan warga,” kata Dwi. (Denty Piawai Nastitie)