February 2016

Kairo, adalah potret Mesir yang selalu terkenang dalam kepala saya. Sekilas, keadaan kota ini mirip Jakarta: jalanan yang padat dengan kendaraan bermotor, sampah yang berserakan, angkutan umum yang ngetem di sembarang tempat,… dan satu lagi, debu yang berterbangan!

Namun, inilah kota yang kaya akan sejarah peradaban dunia. Kota yang berada di antara Sungai Nil dengan bentangan alam tak ternilai harganya. Kota yang gegap gempita dengan sejuta lokasi hiburan malam. Kota yang setiap tahun diserbu ribuan peziarah!
Perjalanan di Kairo adalah perjalanan pertama saya mengunjungi tempat-tempat bersejarah di tanah suci. Saya berkunjung dalam rombongan, terdiri dari 28 orang perempuan dan laki-laki dengan rentang usia 8 – 70 tahun. Sebagian peziarah berasal dari Jakarta, sebagian lainnya dari Tangerang, Kalimantan Barat, dan sebuah kota di Timor Leste. 
Setelah menempuh penerbangan selama 17 jam dari Kota Jakarta, saya masuk Kairo melalui bandar udara internasional yang padat dengan kedatangan orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Begitu turun dari pesawat, ratusan orang berhadapan dengan proses pemeriksaan dokumen perjalanan dan imigrasi yang panjang dan berbelit-belit. Saya berdiri berdesak-desakan di antara orang-orang yang baru saja umroh ke Arab Saudi.
Sebagian perempuan mengenakan baju serba serba putih dengan jilbab panjang. Sebagian perempuan lain terselubung pakaian serba hitam dengan perhiasan emas dengan liontin berlian yang menyilaukan mata. Beberapa perempuan, terutama yang sudah lanjut usia, menyeret tas besar di lantai. Sebagian lainnya mengangkut tas atau kantong kresek besar di atas kepala. Para pria mengenakan jubah panjang berwarna putih. Tubuh mereka besar dan kekar dengan kulit berwarna kecoklatan.
Di loket pemeriksaan dokumen imigrasi, petugas membuka acak tas dan koper penumpang. Sebagian penumpang menghabiskan waktu 5 – 10 menit berdebat dengan petugas imigrasi, sebagian lainnya bisa menghabiskan waktu 30 menit. Raut lelah, gusar, dan tak sabar, terlihat di wajah penumpang. Seringkali mereka saling mendorong dan berteriak tak sabar.  

Setelah melewati loket imigrasi, para penumpang pesawat terbang masih harus menghabiskan waktu berjam-jam mengambil koper bagasi. Sore itu, puluhan orang berdiri di sembarang tempat dan koper datang tak tentu arah. Serba semrawut!

“Rombongan Indonesia… Rombongan Indonesia… Kemari! Kemari!” kata seorang pria yang memakai setelan jas dan sepatu kulit mengkilap. Dia meminta rombongan menumpuk passpor di atas telapak tangannya. Pria itu lalu menyuruh rombongan keluar melewati pintu kecil yang terletak di sebelah kanan pengecekan imigrasi.

Kami keluar bandara melalui jalur “khusus”. Belakangan saya tahu, jalur itu hanya bisa dilalui apabila rombongan peziarah sudah bekerja sama dengan tur wisata lokal. Jalur khusus membuat kami tak perlu menghabiskan waktu berjam-jam berhadapan dengan petugas imigrasi. “Kalau di Indonesia, ini namanya pakai calo. Kita tidak perlu capek-capek antre,” kata kakak saya, Raditya Beken Wicaksana (27), sambil berjalan keluar.

Di depan bandara, puluhan koper sudah tertumpuk rapi. Setelah memastikan anggota rombongan lengkap dan tidak ada barang bawaan yang tertinggal, kami berjalan ke dalam bus. Saat itu matahari berwarna kuning keemasan mulai turun. Bus bergerak lambat di antara barisan kendaraan di jalan raya.


Seperti Kota Jakarta, hampir setiap hari jalan di Kota Kairo padat dengan kendaraan bermotor. Seperti warga Ibu Kota, orang Kairo juga lebih senang naik kendaraan pribadi dari pada angkutan umum. Bedanya, kalau di Indonesia orang-orang libur setiap Minggu, di Mesir, Minggu adalah hari pertama bekerja. Orang Mesir libur Jumat, waktu umat Islam beribadah.

Saat bus bergerak pelan, saya melihat bangunan-bangunan bertingkat yang terbuat dari batu bata coklat. Bangunan-bangunan itu merupakan rumah penduduk Mesir yang pembangunannya dibiarkan tidak selesai. Di atap bangunan, orang Mesir memelihara kambing dan domba. Mereka meletakkan kayu dan seng bekas di atap rumah. Bentuk rumah-rumah susun itu seperti gudang tua yang tak terurus.  

Atef Nafea (37), pemandu wisata, menjelaskan, orang-orang Mesir sengaja membiarkan pembangunan rumah mereka tidak selesai untuk menghindari pembayaran pajak. Meski dari luar rumah-rumah terlihat tak terawat, kondisi di dalam rumah bagus. “Kami memasang karpet dan pendingin udara,” kata Atef.

Ayah tiga anak itu menjelaskan, kebanyakan rumah tidak dicat. Warna rumah dibiarkan seperti warna batu bata asli karena hujan jarang sekali turun. Dalam setahun, hujan hanya turun tiga kali. Rumah-rumah berwarna cerah tentu lebih cepat kotor karena debu dan kotoran yang menempel.

Menjelang malam, saya melintasi jembatan di atas Sungai Nil. Aliran air dari Sungai Nil adalah jantung Kota Kairo. Sebagian besar penduduk Mesir tinggal di sepanjang Sungai Nil, terutama Iskandariyah, Kairo, dan di dekat Terusan Suez. Selama ribuan tahun, orang-orang Mesir mengandalkan aliran air dari Sungai Nil untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Air dipakai untuk mengaliri persawahan dan perkebunan. Ditambah ekspor minyak bumi, ekspor gas alam, dan bisnis pariwisata, menjadikan Mesir sebagai salah satu negara kaya. Sayangnya, kekayaan itu tak bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Di Mesir, ada jurang lebar antara si kaya dan si miskin. Hal itu mudah terlihat dari banyaknya pengemis yang meminta-minta di antara rumah-rumah mewah.

Atef lalu bercerita, pada tahun 2011 ada demonstrasi besar-besaran yang terjadi di seluruh Mesir. Orang-orang menuntut agar Presiden Hosni Mubarak yang sudah berkuasa selama 30 tahun untuk melepaskan jabatannya. Kekuasaan yang terlalu lama, memang sangat rentan dengan penyalahgunaan wewenang. “Saya harus jujur mengatakan, negara ini kaya. Tetapi, kekayaan dikorupsi para penguasa,” kata Atef.

Bus bergerak lambat. Di dalam bus, saya terlelap.

(Denty Piawai Nastitie)



Read more

 

Air mata Catlin (8), bocah perempuan kelas III SD, meleleh saat masuk ke dalam Gereja Abu Sirga (St Sergius and Baccus Church) yang terletak di Kairo, Mesir. “Rasanya aku melihat Yesus,” ujarnya.
Catlin lalu memeluk ibunya, Ellen. Sepanjang ziarah siang itu, Catlin lebih banyak diam. Sesekali dia menundukkan kepala. Perasaannya campur aduk antara takut, sedih, dan terharu. Beberapa orang dewasa yang mengetahui peristiwa itu memandang Catlin dengan tatapan takjub, sebagian orang lainnya tidak percaya.
Saya jadi teringat dengan keraguan Thomas. Pada hari ketiga Yesus bangkit dari kubur, dia menampakkan diri kepada para muridnya. Secara kebetulan Thomas tidak ada dalam pertemuan sehingga murid-murid Yesus menceritakan kejadian menarik itu. Thomas berkata “Saya tidak mau dan tidak dapat percaya”.
Suatu hari, Yesus menampakkan diri sekali lagi di hadapan murid-muridnya. Kepada Thomas dia berkata, “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” 

Ketidakpercayaan sejumlah peziarah dengan pengalaman spiritual yang dialami seorang bocah cilik di Gereja Abu Sirga, mungkin mirip dengan keraguan Thomas. Kepada Romo Kornelis Dino Hardin, imam yang mengiringi peziarahan, beberapa orang bertanya, “Bagaimana mungkin kehadiran Yesus disaksikan bocah kecil? Mengapa kami yang dewasa tidak bisa melihat Yesus?”

Menurut Romo Dino, kadang-kadang, orang dewasa terlalu sibuk. “Penglihatan kita tertutup beragam pikiran dan kesibukan sehari-hari…,” kata dia.
Meski tak secara langsung melihat, sebenarnya kita bisa merasakan kehadiran Yesus dalam setiap peristiwa hidup sehari-hari. Yesus hadir saat penyakit kita disembuhkan, keluarga dipersatukan kembali, masalah keuangan dipulihkan, dan banyak hal lain terjadi di luar dugaan kita.
Romo asal Manggarai, Nusa Tenggara Timur, itu lalu bercerita mengenai keraguannya akan kehadiran Yesus dalam perjamuan roh kudus. Selama dua tahun sejak ditabiskan menjadi imam, dia ragu apakah hosti dan anggur yang dipersembahkan dalam setiap misa bisa berubah menjadi tubuh dan darah Kristus? Bagaimana hal itu mungkin terjadi? 

Dalam sebuah retret, seorang biarawati asal Kalkuta, India, yang memiliki kemampuan untuk memahami persoalan orang lain tiba-tiba berkata, “Engkau dipilih Bapa untuk menjadikan hosti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus. Bagaimana engkau meragukan perutusan yang dikaruniakan Bapa kepadamu?”

Mendengar teguran itu, Romo Dino menangis. Bagi dia, Tuhan hadir dan menjawab keraguannya melalui seorang biarawati asing. “Kita bisa bertemu Yesus secara tidak langsung melalui orang-orang yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pertemuan dengan Yesus akan menjadikan diri kita berbeda,” kata Romo Dino.
 __


Gereja Abu Sirga dibangun sekitar abad ke-4. Gereja itu didedikasikan untuk dua martir abad awal bernama St Sergius dan St Baccus. Secara tradisi, gereja itu dibangun di tempat kediaman keluarga kudus (Bunda Maria, Santo Yusuf, dan bayi Yesus) selama mereka mengungsi di Mesir karena pengerjaran Raja Herodes (Mat 2:13).

Sepanjang perjalanan, keluarga kudus melewati bukit-bukit bebatuan yang tandus, kering, gersang, berdebu, dan minim air. Di Kairo, keluarga kudus hidup berpindah-pindah. Di tempat yang kini menjadi Gereja Abu Sirga, keluarga kudus menginap tiga hari lamanya.
Begitu masuk gereja, saya melihat sebuah bangunan dengan interior gaya Koptik awal. Atap gereja itu menyerupai Bahtera Nuh. Di dalam gereja ada 12 tiang penyangga yang melambangkan 12 rasul.
Bagi banyak orang Mesir, Gereja Abu Sirga bukan saja tempat berdoa. Gereja itu dianggap sebagai museum yang menyimpan kekayaan nilai sejarah. Tak heran, di dalam gereja saya berjumpa dengan belasan orang Muslim. Mengenakan kerudung panjang, mereka memperhatikan interior dan pernak-pernik gereja.
Bagian terpenting dari Gereja Abu Sirga adalah goa di mana Keluarga Kudus pernah tinggal. Goa itu terletak di bagian bawah gereja. Untuk masuk ke dalam goa, peziarah harus melewati lorong dengan lukisan Yesus dan Bunda Maria di sebelah kanannya. Di gereja ini, setiap tanggal 1 Juni umat Ortodoks merayakan kedatangan Keluarga Kudus.

Begitu sampai di depan goa, saya melihat tanda silang yang terbuat dari kayu menutupi pintu goa. Atef Nafea (37), pemandu wisata, menjelaskan, petugas sedang merenovasi gereja untuk menyambut natal. Di depan goa, kami menundukkan kepala, berdoa. Tak terasa, air mata saya meleleh. Begitu dekat saya berada di tempat Keluarga Kudus pernah singgah…

Beberapa hari kemudian, terdorong rasa penasaran, saya bertanya pada si mungil Catlin. “Di mana kamu melihat Yesus?”
Catlin menjawab pertanyaan saya dengan suara lembut. “Di lorong itu… Lorong tempat kita berjalan menuju goa keluarga kudus.”

Catlin tidak menjelaskan bagaimana wajah Yesus saat menampakkan diri di hadapannya. Catlin hanya mengatakan, “Yesus melambaikan tangan, menyambutku masuk ke dalam gereja.” 

(Denty Piawai Nastitie)

Read more