April 2016

Sebelumnya:

Mendaki Gunung Sinai bukanlah pendakiangunung biasa. Mendaki gunung setinggi 2.285 mdpl itu dilakukan untuk mengenang perjalanan Nabi Musa saat menerima sepuluh perintah Allah.

Dalam bahasa Arab, Gunung Sinai dikenal dengan nama Jabal Musa. Dalam Perjanjian Lama, Gunung Sinai disebut juga Gunung Horeb. Gunung itu terletak di Semenanjung Sinai (Sinai Peninsula), perbatasan Mesir – Israel.

Di kejauhan, saya melihat deretan bukit batu yang kering dan tandus. Sejauh mata memadang, terhampar batu granit merah raksasa yang kaya kandungan mineral. Bukit-bukit batu berderet berwarna merah kecoklatan, kontras dengan langit yang berwarna biru pekat. Angin berembus meniupkan udara dingin. Pelan-pelan, di Gunung Sinai, matahari tenggelam…..  

— 

Setelah naik unta sekitar dua jam, saya sampai pada sebuah awal pendakian berupa hamparan ratusan anak tangga yang berbatu tajam dan berpasir. Permukaan tangga bergelombang, di kiri dan kanannya tebing curam. Saya menatap langit. Cahaya kian temaram. Warna langit perlahan serupa bebatuan yang gelap pekat. 

Ahmed (29), pemandu wisata dari Keluarga Gabalia, meminta rombongan berjalan dalam satu kelompok besar. Rombongan kami terdiri dari sekitar 20 orang, berusia 8 -70 tahun. Ahmad meminta semua orang berjalan dalam satu barisan memanjang. “Kamu, berjalan di belakang ya!” kata Ahmad, ke arah saya.

“Aduh!” kata saya dalam hati. Berjalan di barisan belakang dalam rombongan besar sama sekali tidak enak. Saya harus berjalan lambat mengikuti ritme langkah puluhan orang lainnya. Sebagian anak muda di kelompok saya berjalan cepat, sebagian orang tua bergerak lambat. Saat orang-orang berhenti untuk istirahat, saya harus berhenti di bagian paling belakang. Berdiri bersandar di bebatuan, hanya ditemani embusan angin yang kian menyesakan pernafasan.

Semakin malam, perjalanan semakin menanjak, dingin, dengan oksigen yang semakin jarang. Rombongan berhenti hampir setiap 5 menit sekali karena kehabisan tenaga! Setiap kali berhenti, udara dingin terasa menusuk tulang dan merajang sendi-sendi otot paha dan lengan. “Dingin banget… Harusnya kita jalan paling depan supaya cepat sampai…” kata kakak saya, Raditya Beken Wicaksana (27), yang berada beberapa langkah di depan saya.

Hufhhh… Terbesit pikiran untuk berjalan mendahuli puluhan orang lainnya… Namun, saya ingat pesan ibu sebelum melepas keberangkatan kami mendaki Gunung Sinai. “… Jangan kamu bersungut-sungut. Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan.” (Yoh 6: 43, Flp 2:14).

Mengingat pesan itu, saya menunduk malu. Ah, betapa egoisnya! 

Saya berusaha mengingat niat awal mendaki Gunung Sinai, yakni demi mengenang perjalanan Nabi Musa ketika menerima 10 perintah Allah. Nabi Musa dan bangsa Israel berputar-putar di gurun 40 tahun lamanya… Tentu dia merasa kedinginan, lapar, sesak nafas, jenuh, lelah… tetapi Nabi Musa setia pada perintah Allah.

“Are you okay?” Ahmed bertanya, saat kami berhenti di balik batu besar. 

Sapaan Ahmed membuyarkan lamunan. “Yes, I am good,” jawab saya singkat.

Berjalan di barisan paling belakang dalam rombongan besar memang tidak enak. Namun, saya berusaha berdamai dengan situasi ini. Kesulitan terbesar dalam perjalanan mendaki Gunung Sinai bukanlah medan terjal atau cuaca dingin yang dihadapi, tetapi bagaimana para pendaki bisa menekan egoisme dan kepentingan diri sendiri.

Ahmed menepuk bahu saya sambil tersenyum. Perjalanan selanjutnya, dia berada di sebelah saya. Mungkin dia menemani karena kasihan karena melihat saya berjalan kepayahan. Sambil melangkah, Ahmed bercerita mengenai kehidupannya di padang gurun. 

Dari Ahmed saya tahu, suku badouin lebih betah tinggal di padang gurun dari pada di kota. “Ketika saya mati di padang gurun memang tidak akan ada yang peduli. Tetapi, di sini ada kebebasan. Kamu tidak harus tunduk kepada siapa pun,”  kata ayah tiga anak itu.

Ahmed adalah lulusan SMA. Sebelum bekerja sebagai pemandu wisata, dia bekerja paruh waktu sebagai guru bahasa Inggris di sekolah dasar. Tuntutan guru harus bergelar sarjana, membebani dia. 
Ahmed lalu bekerja sebagai gembala domba, kemudian jadi tukang unta. Beberapa tahun lalu, Ahmed mulai bekerja sebagai pemandu wisata. “Di bandingkan pekerjaan lain, uang yang saya dapatkan sekarang memang lebih sedikit. Tetapi saya percaya, Allah tidak akan membiarkan saya kelaparan,”  kata Ahmed.

“Apakah suatu hari kamu akan cari pekerjaan lain?” tanya saya.

“Mungkin saja. Saya tidak tahu. Yang penting hari ini saya menikmati kehidupan. Tomorrow may never come,”  kata dia.

Di depan saya, pasangan suami-istri berusia sekitar 50 tahun berjalan lambat. Saya membayangkan, bagaimana kalau mereka adalah ayah dan ibu saya. Bagi mereka yang terbiasa naik gunung atau berolahraga, mendaki Gunung Sinai bukanlah perkara sulit. Tetapi, bagi orang lanjut usia, pendakian ini tergolong panjang yang melelahkan. Bersama Ahmed, saya berusaha memastikan semua orang berjalan aman dalam satu barisan panjang.

Menjelang pukul 21.00 rombongan sampai di puncak Gunung Sinai. Di sana, angin berembus kencang, meniupkan udara dingin yang membuat kaki bergetar dan tubuh menggigil. Gelap mengepung. Di puncak gunung ada sebuah kapel (The Chapel of The Holy Trinity) bergaya basilika. Kapel ini dipercaya dibangun diatas batu berisikan 10 perintah Allah.

Setelah berdoa dan menyanyikan lagu-lagu pujian, rombongan berfoto bersama. Saya melihat kakak saya menggigil kedinginan. Dia sudah mengenakan dua lapis jaket tebal dan memakai sarung tangan. “Gue enggak kuat lagi…” kata dia, dengan suara bergetar.

Kepada Ahmed, kami meminta izin untuk berjalan di barisan paling depan. Ahmed melihat kondisi kakak saya dengan tatapan prihatin. “Oke,” kata Ahmed. “Tetapi pastikan, setelah melewati 700 tangga kalian berhenti. Di sana jalanan bercabang. Saya tidak mau kalian tersesat,”  kata dia.

Dalam kegelapan malam, saya meraba-raba perjalanan turun. Saat itu, cahaya headlamp sudah redup karena kehabisan energi. Perjalanan turun memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam. Saya berjalan mengikuti pantulan cahaya bulan di sela-sela bebatuan. Begitu sampai di ujung tangga turun, saya berhenti. Saya menyuruh kakak saya masuk ke warung makanan untuk menghangatkan diri. Sambil duduk di atas batu besar, saya menunggu semua anggota rombongan berkumpul.

“Terimakasih ya, sudah menemani berjalan,” kata salah satu anggota rombongan, sambil duduk di sebelah saya.

“Eh?” kata saya, kebingungan.

“Tadinya saya ingin menyerah berjalan karena punya penyakit asma. Tetapi, karena rombongan saling membantu dan memberi dukungan, saya jadi terpacu berjalan hingga puncak. Apalagi, kamu rela berjalan paling belakang. Maaf kamu jadi berjalan lambat,” kata pria dengan rambut berwarna putih perak itu. 

Saya tersenyum singkat. Di atas batu besar, saya memandang kegelapan yang utuh dan hening. Di dalam warung minum teh, kakak saya meringkuk kedinginan. “Semoga dia tidak pingsan karena kedinginan,” kata saya, di dalam hari.

Begitu sampai di penginapan, saya bergegas masuk ke dalam kamar mandi, mencuci kaki dan tangan, berganti pakaian, lalu naik ke atas ranjang. 

Ibu, yang melihat saya dan kakak saya kedinginan, segera merebus air. “Minumlah, setelah itu tidur yang nyenyak,” kata ibu sambil menyodorkan segelas coklat panas.

Setelah menghabiskan minuman, saya memejamkan mata. Samar-samar saya mendengar suara angin bertiup menggerakkan batang-batang pepohonan. Dingin di luar, hangat di dalam. Di hati ini.

 

… selesai.
(Oleh: Denty Piawai Nastitie)

Baca: Mendaki Gunung Sinai (Bagian 1)

Read more

“Rumah saya seperti rumah kamu. Ada televisi, koneksi internet, dan komputer. Satu-satunya perbedaan adalah keluarga saya sulit mendapatkan air,”  kata Muhammad (27), dalam perjalanan mendaki puncak Gunung Sinai.

Muhammad adalah penduduk lokal St Cathrine, sebuah kota kecil di kaki Gunung Sinai, Mesir. Pria itu memiliki seekor unta berusia 12 tahun yang dinamakan Bush-bush. Hampir setiap hari, Muhammad membawa Bush-bush ke gerbang pendakian. Bersama puluhan pria lain, dia menawarkan jasa sewa unta untuk membantu peziarah naik ke puncak Gunung Sinai.

Saat tidak bekerja bersama unta, Muhammad bermain sepak bola atau mencari air dengan mengikuti domba-domba yang berjalan di padang gurun. “Domba-domba hanya peduli dengan urusan makanan dan air,” kata Muhammad.

Berbincang dengan Muhammad membuat saya tak merasa jenuh duduk di atas unta. Binatang gurun itu berwarna coklat muda, berjanggut, dengan tinggi sekitar dua meter. Empat kaki unta kelihatan kurus, tetapi badannya gemuk. Di pundaknya tersampir tumpukan kain berwarna cerah. 

Bush-bush bergerak menginjak batu-batuan di jalan setapak. Sebisa mungkin hewan itu melewati jalur yang tidak licin. Dia juga menghindari tebing atau tanjakan terjal. Selama perjalanan, Muhammad melepas hewan itu begitu saja. Dengan insting dan ingatan kuat, Bush-bush bergerak mengikuti jalur pendakian menuju puncak Gunung Sinai.
__

Mendaki Gunung Sinai bukanlah pendakian gunung biasa. Mendaki gunung setinggi 2.285 mdpl itu dilakukan untuk mengenang perjalanan Nabi Musa saat menerima sepuluh perintah Allah.

Dalam bahasa Arab, Gunung Sinai dikenal dengan nama Jabal Musa. Dalam Perjanjian Lama, Gunung Sinai disebut juga Gunung Horeb. Gunung itu terletak di Semenanjung Sinai (Sinai Peninsula), perbatasan Mesir – Israel.

Dari Kairo, perjalanan menuju pegunungan Sinai dapat ditempuh melalui dua jalur. Pertama, dengan perjalanan darat selama 14-16 jam dari Kairo menuju St Chaterine. Kedua, dengan perjalanan udara selama satu jam Cairo – Sharm el-Sheikh, kota pelabuhan di dekat Laut Merah. Perjalanan lalu dilanjutkan dengan naik bus selama 4-5 jam menuju St Cathrine. 

Perjalanan darat dijejali deretan bukit-bukit batu yang begitu tinggi menjulang. Bentuknya bergelombang tidak beraturan. Perjalanan melewati bentangan padang batu dan pasir yang seolah tak berujung. Saat musim panas, udara terasa panas menyengat. Saat musim dingin, udaranya membuat tulang belulang terasa mau rontok!

Di kejauhan, saya melihat rumah-rumah penduduk suku badouin. Suku badouin adalah kelompok pengembara domba dan kambing yang hidup berpindah-pindah di tanah tandus Timur Tengah. Saya juga melewati pos-pos penjagaan tentara Mesir. Petugas memeriksa paspor dan dokumen imigrasi. Selama perjalanan, rombongan didampingi seorang polisi Mesir yang membawa senjata api. 

Menjelang jam makan siang, saya sampai di kota St Chatarine. Jangan bayangkan St Catharine seperti Kota Jakarta atau Surabaya! Kota itu sangat sederhana dengan krisis air berkepanjangan. Jarak antara satu bangunan dengan bangunan lain berjauhan. Bangunan besar biasanya berupa penginapan yang dilengkapi kolam renang dan restauran. Penduduk lokal tinggal di desa-desa yang berada di hamparan gurun pasir. 


Begitu sampai di St Chatarine, saya menikmati makan siang berupa potongan besar kalkun, sup sayur, dan roti mentega. setelah itu, saya bersiap-siap mendaki puncak Gunung Sinai. Saya membawa jaket tebal, headlamp, air mineral dan tongkat untuk mempermudah perjalanan.
 
Pendakian ke Gunung Sinai dimulai dari Biara St Chatarine, tempat ditemukannya manuskrip Perjanjian Baru abad ke-4. Dari biara, pezarah bisa berjalan kaki atau naik unta menuju puncak Gunung Sinai. Waktu yang dibutuhkan dnegan berjalan kaki sekitar 4-6 jam, sedangkan bila naik unta 2-3 jam. Biaya untuk menyewa taksi, seekor unta, dan tip untuk pemilik unta sekitar 30 dollar. 

Di kaki Gunung Sinai, Muhammad membawa saya ke tempat Bush-bush beristirahat. Muhammad menepuk perut Bush-bush pelan, meminta unta itu berjongkok. Sedikit gugup, saya naik ke atas unta. Berbeda dengan unta yang ada di Piramida Giza, Bush-bush berwatak lebih tenang.

“Sudah nyaman?” tanya Muhammad.
 
“Yup!” jawab saya.

Muhammad lalu menarik tali yang terpasang di leher Bush-bush, membawa hewan itu ke jalur pendakian. Dengan gerakan lambat, Bush-bush berjalan, sekitar 20 meter di belakang unta lainnya.

Bagi saya, ini bukan pertama kalinya naik unta. Beberapa hari lalu saya naik unta bertubuh kurus dengan kaki-kaki kecil di kompleks Piramida Giza, Kairo. Setelah diperintahkan tuannya, unta itu berjongkok dengan melipat dua kaki depan dan dua kaki belakang. Dengan gerakan pelan, saya naik ke atas unta. 

Dalam sekejab, hewan itu berguncang. Hiasan di tubuhnya bergerak, gemericik. Saya menggenggam erat pegangan unta sambil menjerit. Terbersit pikiran untuk membatalkan niat naik unta. Belum sempat turun, unta jantan itu sudah berdiri. Badannya berguncang keras ke kiri dan ke kanan, membuat tubuh saya terasa oleng. “Seperti naik dinosaurus!” jerit saya kepada pemilik unta. 

Lima menit kemudian, kaki saya sudah kembali menapak di tanah. Saya merelakan uang satu dolar untuk pemilik unta. Meski batal naik unta dan berkeliling kompleks piramida, pemilik unta tetap meminta uang sewa karena saya sudah menyentuh hewan peliharaannya. Sejak saat itu, saya ogah naik unta! Namun, Di St Catharine – apa boleh buat – saya memerlukan unta untuk mendaki Gunung Sinai. 

“Bagaimana rasanya duduk di atas unta?”  tanya Muhammad.

“Cukup nyaman. Ini lebih baik daripada ketika saya naik unta di Piramida Giza. Naik unta di sana rasanya seperti naik dinosaurus!” jawab saya.

Muhammad terkekeh. Saat dia tertawa, pria itu memamerkan deretan giginya yang berwarna kecoklatan. “Tentu saja berbeda,” tutur Muhammad. “Unta itu binatang gurun, kalau tinggal di kota dia merasa stress!. Sama seperti manusia, saat dipaksa pindah dari tempat di mana dia lahir dan dibesarkan, pasti merasa asing dan stress,” ujar Muhammad.

Di kejauhan, saya melihat deretan bukit batu yang kering dan tandus. Sejauh mata memadang, terhampar batu granit merah raksasa yang kaya kandungan mineral. Bukit-bukit batu berderet berwarna merah kecoklatan, kontras dengan langit yang berwarna biru pekat. Angin berembus meniupkan udara dingin. Pelan-pelan, di Gunung Sinai, matahari tenggelam….. 

… bersambung.
(Denty Piawai Nastitie)

Read more

Keluar mulut buaya. Masuk ke mulut singa. 
Begitulah yang terasa ketika saya menembus perbatasan Israel – Palestina, suatu malam, menjelang natal. Bus bergerak pelan di belakang deretan kendaraan lain. Tentara Israel memeriksa paspor dan dokumen perjalanan peziarah yang duduk lelah dan mengantuk di dalam bus.
 
Begitu tentara mengizinkan bus melintas, Rauf (50), menginjak pedal gas. Saat itulah saya mendengar suara “Brak! Brak! Brak!”. Pengemudi bus mengehentikan kendaraan dan melirik ke kaca spion.
Sebagian orang langsung berdiri di dalam bus, menoleh ke asal suara. Beberapa orang meremas tangan, cemas. “Seseorang menimpuk bus!” teriak Ronald (34), salah satu peziarah.
Calm down… Calm down… It’s okay.” kata Walid (55), pemandu wisata asal Palestina. “Mungkin hanya supporter sepak bola iseng,”  kata dia, dengan wajah pucat. Entah karena kedinginan atau kewaspadaan akibat peristiwa ini.
Ingin saya bertanya, “Siapakah gerangan orang iseng yang main bola di tengah malam natal, Walid?” Tetapi, saya mengunci rapat mulut ini. Membiarkan pertanyaan itu melayang-layang di dalam kepala. Menguap terbang terbawa suhu dingin tiga derajat selsius Kota Betlehem.
Meskipun sadar we’re not in okay condition, para peziarah kembali duduk di atas kursi empuk. Tatapan mereka melayang ke jalan raya. Dari balik jendela kaca, hiasan natal berbentuk rusa dan bintang-bintang menyala. Terang benderang. Hiasan itu membuat Kota Betlehem, di dalam daerah otonomi Palestina, terasa semarak.
Peristiwa ini menyadarkan saya: inilah Timur Tengah, rumah Tuhan yang dikenal sebagai daerah rawan konflik dan perang. Daerah yang diberkahi kekayaan alam berupa padang gurun yang kaya mineral, hamparan laut, dan gunung tinggi menjulang. Daerah bersejarah dengan masyarakat yang terdiri dari beragam latar belakang.
Saya teringat cerita seorang kawan yang pernah ziarah ke Tanah Terjanji beberapa tahun lalu. Saat berjalan di salah satu sudut kota, dia bertemu sekelompok anak muda pemarah. Mereka berteriak dan memaki. Mereka menganggap kawan saya pendukung Zionnist. Kebencian dan prasangka memang sering menjadi sumber masalah! …. dan kebanyakan orang, sepertinya lebih suka membangun tembok perbatasan dari pada jembatan penghubung.
Tertulis pada salah satu tembok perbatasan: “This wall may take care of the present, but it has no future.” 
(Denty Piawai Nastitie)
Read more