November 2016

Bagi kebanyakan umat Katolik, perjalanan menuju Tanah Terjanji Yerusalem seperti “naik haji”. 

Selama perjalanan, para peziarah diajak menembus hamparan padang gurun, melewati kebun-kebun kurma dan anggur, serta menyusuri kota-kota indah di Timur Tengah untuk mengenang perjalanan bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir. Di Israel dan Palestina, para peziarah mengenang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Yesus.

Karena sudah seperti “naik haji”, orang tua saya kepingin mengunjungi Tanah Terjanji Yerusalem serta tempat-tempat lain yang disebutkan di dalam Alkitab.  Pada 2014, ayah dan ibu mendaftar perjalanan ziarah ke Mesir, Israel, Palestina, dan Jordan. Namun, niat itu batal terlaksana karena dua minggu menjelang keberangkatan, ayah sakit.

Suatu hari, keluarga kami kembali menyusun rencana perjalanan ke Timur Tengah. Kali ini, yang akan berangkat full team, alias ayah dan ibu dan dua anaknya, yaitu Raditya dan saya.

Seumur-umur saya tidak pernah membayangkan akan melakukan perjalanan bersama keluarga! Ke luar negeri pula! Ke Timur Tengah pula!! Bakalan rempoooonggg, cyiiin….

Kenapa saya ogah trip dengan keluarga?

Pertama, saya sering berantem dengan kakak saya, Raditya Beken Wicaksana. Raditya itu model kakak penindas yang kemauannya harus selalu dituruti (Hahaha). Sementara saya, model adik manja dan merepotkan. Perbedaan sikap ini membuat hari-hari kami diisi adu mulut sampai adu cakar alias berantem fisik.

Selain sering bertengkar, style trip kami juga berbeda. Raditya senang menghabiskan waktu di tempat yang santai dan tenang, seperti di pantai. Sebaliknya, saya suka perjalanan menantang, seperti mendaki gunung, menuruni lembah, dan menyelam di dalamnya perasaan (HALAH).

Saat pulang kampung, kakak saya bakalan membawa koper, serta memakai baju dan sepatu keren. Sedangkan saya sudah cukup hepi memakai jeans belel dan menyangklong ransel. Kelihatan perbedaannya kan? So, bagi saya, perjalanan bersama Raditya, it’s a big no no!

Kedua, kalau jalan bersama Raditya saja saya bakal mikir seribu kali, apalagi jalan bareng orang tua! Bagi ayah dan ibu, napak tilas di Tanah Suci merupakan perjalanan ke luar negeri pertama. Orang tua yang biasanya hidup dalam kultur Indonesia, akan melihat dunia luar dengan segala perbedaannya. Sumpaah dehh, ini ribet banget!

Sebelum berangkat, ibu sudah menanyakan dan mengkhawatirkan banyak hal gak penting, seperti “Nanti di Israel ada nasi gak ya?”, “Kalau pas jalan capek, bisa istirahat gak?”, “Trus, bicaranya pakai bahasa apa?”. Saya jawab saja: “Bicara pakai bahasa Tarzan, Ma!” Setelah itu saya dicubit!

Terbersit perjalanan yang seharusnya asyik dan kaya pengalaman bakalan ribet dengan hal remeh-temeh yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan! Namun, karena ini keinginan orang tua, apa salahnya (untuk kali ini saja!) saya menurut? Lagian, kapan lagiii bisa ke Timur Tengah??

Karena memang hobi vakansi, saya menganggap perjalanan ini sebagai ziarah plus plus (seperti pijat plus-plus hehee). Saya sebut “plus-plus” karena perjalanan ini tak melulu tentang berdoa dan memuji nama Allah. Hampir setiap hari, selalu ada kesempatan mencoba makanan khas, mencicipi anggur lokal, foto-foto, dan tentu saja berbelanja!

Saat ayah dan ibu sibuk berbelanja perlengkapan doa, seperti Alkitab dan Rosario, kakak saya bakalan riwueh mencari pedagang miras!! Gubraak!! Betapa perjalanan ini adalah campuran kepentingan duniawi dan surgawi!

Berbekal tekad kuat bahwa perjalanan ini akan berhasil, saya mencoba menjaga pikiran positif. Selama perjalanan, sebisa mungkin kami membangun toleransi dan komunikasi, menekan keinginan pribadi yang tidak sesuai dengan harapan keluarga dan kelompok peziarahan, serta menciptakan kenangan yang baik dengan tetap berusaha have fun!

Seiring waktu, saya semakin mengerti perjalanan ini mendewasakan dan membuat kami menembus berbagai keterbatasan diri sendiri: Raditya yang biasanya nggak pernah mau naik gunung, untuk pertama kalinya (setelah dipaksa) akhirnya bersedia mendaki Gunung Sinai. Ibu yang takut ketinggian, akhirnya mencoba naik kereta gantung di Gunung Hermon. Ayah yang biasanya enggan menempuh perjalanan jauh akhirnya sukses menembus perjalan ke Timur Tengah.

Kalau saya gimana? Wah, banyak sekali pengalaman dan pelajaran hidup yang saya dapatkan! Mulai dari jangan mudah panik, meskipun passport hilang di Israel dan nyaris nggak bisa pulang ke Tanah Air, hingga pelajaran hidup bahwa mimpi dapat diwujudkan, termasuk mimpi bervakansi di Timur Tengah!

Hingga perjalanan ini berakhir, saya tetap pada kesimpulan: ngetrip bersama keluarga ke Timur Tengah?? Nggak banget!! I’m not telling you it’s easy, but it’s worth it!

Salam vakansi!

Denty Piawai Nastitie.

 

Read more

Inilah tempat yang dituju. Puncak peziarahan. Rumah yang didambakan jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia. Berdiri di tempat ini, saya merasa kembali. Pulang. Meskipun saya baru pertama kali menginjakan kaki.
 
Setelah melalui perjalanan panjang menelusuri Jalan Penderitaan atau Via Dolorosa, saya berdiri, mematung, di depang pintu Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre). Pintu itu setinggi tiga meter. Begitu besar, megah, dan kokoh. Di depan pintu ratusan orang berdesak-desakkan masuk ke dalam gereja. “Pastikan kita berjalan dalam satu rombongan. Jangan terpisah!” tutur Joppy Taroreh, pemimpin rombongan, sambil mengibar-ngibarkan bendera biru, penanda kelompok kami. 
“Jam berapa pintu ditutup?” tanya saya.
“Pukul 18.00,” jawab Pak Joppy.
Saya melirik alroji, jarum jam menunjukan pukul 17.55. “Wew! 5 menit lagi pintu gereja ditutup!” seru saya dalam hati.
Dengan sabar, tenang, saya berusaha mengikuti alur manusia yang masuk ke dalam gereja. Senja membuat ruangan di dalam gereja redup, hampir tanpa cahaya. Begitu berada di dalam basilica Gereja Makam Kudus, saya melihat cahaya remang-remang berwarna kuning kemerahan dari lilin-lilin yang menyala. Lilin itu dipegang biawaran ortodoks yang sedang misa. Rombongan peziarah diminta hening, berjalan di belakang iring-iringan biarawan yang sedang beribadat.
 
Di Gereja Makam Kudus, ada batu merah muda yang diletakkan terbaring di atas lantai. Batu itu dipercaya sebagai lokasi pengurapan jenazah Yesus yang dilakukan oleh Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus. Secara bergantian, ratusan peziarah berjongkok dan memeluk batu.
Setelah melewati batu pengurapan Yesus, saya berjalan melewati dua tiang besar, lalu masuk ke bagian yang dinamakan Anastasis, tempat Yesus dimakamkan. Di depan tempat itu, ratusan orang berbaris. Setelah mengantre selama 15 menit, seorang biarawan menemani saya masuk ke dalam Anastasis. Tempat Yesus dimakamkan begitu gelap…. begitu sunyi… Inilah akhir perjalanan di Via Dolorosa.

 

 

Awalnya, ziarah di Yerusalem awalnya adalah mimpi dan cita-cita orang tua saya. Tahun lalu, orang tua saya batal berangkat ke Yerusalem karena ayah sakit. Suatu hari, di Gereja Santo Antonius Padua, Jakarta Timur, saya menyampaikan keinginan menemani orang tua ke Yerusalem. Tuhan menjawab doa itu dengan memberi berbagai kemudahan hingga kami bisa menapakkan kaki di Tanah Suci. 
Setelah merampungkan peziarahan di Bukit Golgota, Walid (50), pemandu wisata asal Palestina, mengajak saya berjalan selama lima menit ke Tembok Barat, tempat orang-orang Yahudi berdoa. Seringnya konflik antar kelompok masyarakat, membuat tentara Israel selalu berjaga-jaga. Mereka memeriksa barang bawaan peziarah dengan menggunakan metal detector.
Di balik Tembok Barat terlihat kubah emas Dome of The Rock, dalam bahasa Arab disebut Masjid Qubbat As-Sakhrah, atau Kipat Hassela dalam bahasa Ibrani. Dome of The Rock terletak bersebelahan dengan Masjid Al-Aqsa, masjid terpenting ketiga bagi umat Islam.

 

Hari itu haru Sabbath, hari penting bagi bangsa Yahudi. Sabbathdimulai dari Jumat malam hingga Sabtu malam. Sepanjang hari orang-orang Yahudi tidak diizinkan beraktivitas, selain berdoa. Saya melihat puluhan orang Yahudi berdoa, meratap, di depan Tembok Barat. Belasan gulungan kertas berisi doa-doa terselip di celah-celah batu. Keesokan harinya, hari Minggu, umat Kristen berdoa di gereja. Pada hari Jumat, giliran orang-orang Islam yang sembayang ke masjid.
Hidup dalam keberagaman di Tanah Terjanji bukan berarti tanpa masalah. Suatu hari, saat melewati tembok perbatasan Israel – Palestina, bus saya ditimpuk orang asing karena dianggap pendukung Zionist. Di lain sisi, ada pula orang-orang yang memperjuangkan kehidupan damai. Saat natal, misalnya, puluhan anak-anak dari keluarga muslim Palestina memakai baju Santa Clause dan mengunjungi Gereja Kelahiran di Betlehem. Bukankah hidup memang seperti sekeping uang logam, ada sisi baik dan sisi buruk. Ada harapan, juga ratapan, tangis, luka, dan nestapa.
Pukul 19.00, ziarah di Via Dolorosa selesai. Rauf (55), pengemudi bus, menjemput kami di halaman tembok ratapan. Rauf adalah orang muslim Palestina. Dia memiliki restauran yang terkenal di kalangan Yahudi. Pria itu juga hafal lagu-lagu Kristen. Dalam perjalanan, Rauf sering menyanyi lagu-lagu sekolah Minggu, seperti “Hari ini harinya Tuhan” atau “Aku bahagia”. Selain ramah dan lucu, Rauf selalu membagikan aura gembira. Bersama Rauf, perjalanan mengunjungi tempat-tempat suci di Yerusalem tak pernah terasa membosankan.
“Bagaimana kamu bisa hidup di daerah dengan beragam latar belakang?” tanya saya, suatu hari.
Rauf tersenyum. Dia memandang saya selama beberap saat, lalu menjawab: “Saat berinteraksi dengan orang lain, saya tidak peduli agama kamu dan dari mana asal usul-mu, yang penting adalah “kamu”. Manusia.” kata Rauf, tenang.
…. selesai. 
 
 
 
(Denty Piawai Nastitie)
 
 
Read more

Bagi saya, menelusuri Jalan Penderitaan atau Via Dolorosa adalah puncak penghayatan akan iman, kasih, dan harapan. Napak tilas mulai dari pengadilan hingga penyaliban Yesus itu juga membuka tabir keberagaman masyarat yang hidup di Tanah Terjanji, Yerusalem.

Seperti yang kita tahu, kota Yerusalem penting bagi tiga agama samawi: Yahudi, Kristen, dan Islam. Selama ribuan tahun, kota itu sudah puluhan kali dihancurkan, dikepung, diserang, dan dikuasai ulang. Meski tidak diakui dunia internasional, Yerusalem diklaim sebagai ibu kota Israel. Oleh orang Palestina, kota itu juga dianggap sebagai ibu kota negara.

Sepanjang perjalanan menelusuri Via Dolorosa, saya berjumpa masyarakat yang berasal dari beragam latar belakang. Misalnya saja, saya bertemu belasan perempuan Islam. Mereka menjemur pakaian, berbelanja sayuran, dan menemani anak-anak bermain. Aktivitas keseharian kelompok Islam seolah tak terganggu dengan kegiatan rohani kelompok Kristen dan Yahudi. Umat Islam yang hidup di Yerusalem adalah orang Palestina yang sudah turun temurun tinggal di sana.

Saya juga bertemu sejumlah pria Yahudi. Mereka mengenakan pakaian tradisional berupa jubah dan celana panjang hitam, sepatu hitam, serta topi lebar berbulu. Walid (50), pemandu wisata asal Palestina, menjelaskan, ada dua tipe orang Yahudi yang hidup di Israel. Sebagian adalah orang Yahudi Ortodoks (tradisional), sebagian lain Yahudi modern.

Yahudi Ortodoks hidup berdasarkan hukum taurat. Mereka mempercayai satu Tuhan yaitu “YHWH” yang artinya Yang Maha Esa. Keluarga Yahudi Ortodoks biasanya memiliki banyak anak dan tidak menikah dengan kelompok lain di luar kaumnya. Sedangkan Yahudi Modern biasanya lebih liberal, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan, dan penemuan-penemuan ilmiah.

Perbedaan keduanya mudah terlihat dari penampilan fisik mereka. Yahudi Ortodoks biasanya mengenakan pakaian adat berupa jubah hitam dengan topi lebar. Semakin tebal dan lebar topi yang dikenakan, maka orang itu memiliki posisi penting di masyarakat. Yahudi modern, biasanya memakai baju biasa dengan kupluk (skullcap) kecil khas Yahudi.

Keberadaan orang-orang Kristen di Yerusalem tak kalah unik. Mereka berasal dari berbagai bangsa, mulai dari India, Filipina, Ethiopia, Koptik, dan Ortodoks Suriah. Meski berbeda-beda latar belakang, umat Kristen berbaur menjadi satu dalam perjalanan iman menuju Bukit Golgota.

Sekitar pukul 17.00, rombongan melewati jalan yang semakin menanjak. Jalan itu memasuki pusat pasar yang berkelok-kelok. Di lokasi itu, Yesus sungguh kepayahan. Menurut tradisi, di sana Yesus jatuh untuk kedua kalinya. Di perhentian itu kini didirikan sebuah kapel kecil milik biarawan OFM. Di kapel itu, saya mengikuti misa yang dipimpin Romo Kornelis Dino Hardin.

Dalam kotbahnya, Romo Dino mengatakan bahwa jalan derita yang dialami Yesus adalah perjalanan menuju kehendak Ilahi. Perjalanan itu bukan semata-mata kesengsaraan, tetapi bukti cinta Allah kepada umat manusia. “Kita dilahirkan dengan sebuah rencana Allah. Seperti yang dialami Yesus, kehidupan yang kita jalani merupakan perjalanan menuju rencana itu,” kata Romo Dino.

Saya menundukan kepala sambil mendengar khotbah Romo Dino. Saya teringat betapa seringnya saya mengeluh, mengumpat, marah, bersedih…. karena saya kira Tuhan tidak berpihak pada saya. Padahal, apa yang saya alami dalam hidup sehari-hari, baik suka maupun duka, adalah perjalanan menuju sebuah rencana…. Hidup sehari-hari, itulah perjalanan derita yang sesungguhnya.

Seusai misa, Jalan Salib dilanjutkan. Kali ini saya masuk ke sebuah pintu kecil yang mengarah ke dalam Gereja Koptik. Begitu keluar dari gereja, saya sampai pada halaman megah yang ramai dengan peziarah. Halaman itu berada dalam kompleks Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre).

Gereja Makam Kudus berdiri di atas lahan yang disebut Golgota, bukit yang menjadi tempat penyaliban Yesus. Meski namanya Bukit Golgota, kini bentuknya sudah tidak lagi berupa bukit! Bukit Golgota sekarang menjadi kawasan dengan banyak bangunana-bangunan gereja

Di Bukit Golgota, Ratu Helena, ibunda dari Kaisar Konstantinus I, pernah datang dan berziarah. Dia mendorong Konstantinus menyelamatkan tempat-tempat suci dengan membangun gereja di atasnya. Selain membangun Gereja Makam Kudus, Helena juga mendorong pembangunan Gereja Kelahiran (Church of The Nativity) di Betlehem.

Gereja Makam Kudus dibangun di atas situs Golgota yang dipercaya sebagai tempat Yesus disalibkan dan dikuburkan. Walid menjelaskan, semua komunitas Kristen, percaya gereja dibangun di atas makam Yesus. “Mulai dari Patriarkat Ortodok Yunani, Biara Franciskan dari Gereja Katolik Roma, Patriarkat Armenia, hingga Kristen Ethiopia, Koptik, dan Ortodoks Suriah, seratus persen percaya gereja ini asli di atas makam Yesus,” kata dia.

Pertumpahan darah pun terjadi di antara umat Kristen. Mereka berebut menguasai Gereja Makam Kudus. Pada tahun 638, Patriark Yerusalem Sophronius menyerahkan semua kunci kota kepada pasukan Khalifah Umar ibn al Khattab yang merebut Yerusalem. Khalifah Umar lalu menyerahkan kunci gereja Makam Kudus kepada keluarga Muslim. “Karena kunci dipegang orang Muslim, jadi lebih aman. Tidak ada perang,” kata Walid, sambil terkekeh.

Kunci gereja kini dipegang keturunan keluarga Nusseibeh dan Joudeh. Kedua keluarga Muslim itu bertugas membuka pintu gereja saat fajar menyingsing, dan menutup gereja saat malam datang. Meski kunci pintu gereja dipegang umat Muslim, tidak berarti mereka menguasai Gereja Makam Kudus. Gereja itu dikelola bersama-sama antara Gereja Etiopia, Koptik Mesir, dan Suriah.

 

 

 

….. bersambung.

Kisah sebelumnya: Menelusuri Via Dolorosa (1): Inikah Jalan Sengsara itu?

 

 

(Denty Piawai Nastitie)

 

 

Read more

Hari itu hari Sabbath. Ketika sebagian besar umat Yahudi beribadat di Tembok Barat (The Western Wall) atau yang lebih dikenal dengan Tembok Ratapan, saya menelusuri Via Dolorosa, jalan sengsara menuju Bukit Golgota.

Jalan Salib menyusuri Via Dolorosa dimulai pukul 16.00. Perjalanan bermula di Gerbang Singa (The Lions’ Gate/St Stephen’s Gate), yang berada di dalam kompleks Muslim, hingga Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre), yang terletak di kompleks Kristen.

Di dekat Gerbang Singa, berdiri sebuah bangunan sederhana yang disebut Kapel Penyesahan. Di gerbang masuknya, ada plat-plat kaca yang menggambarkan Yesus disesah (tengah), Pilatus membasuh tangan (kanan), dan Barabbas dibebaskan (kiri). Langit-langit kapel berbentuk kubah dengan ukiran mahkota dan duri-duri emas.

Di depan altar Kapel Penyesahan, rombongan berlutut. Saya menutup kelopak mata sambil menundukkan kepala. Sesaat keheningan mengepung. Bulu kuduk merinding, membayangkan bagaimana dulu Yesus diadili dan disiksa. Di sela-sela kesunyian, terdengar suara lirih, “Allah ampunilah kami orang berdosa.”

Setelah berdoa di perhentian pertama – di Benteng Antonia – rombongan bergerak ke stasi kedua yang letaknya di seberang tembok Kapel Penyesahan. Di sana ada lengkungan Ecce Homo (Behold The Man) yang dibuat Kaisar Hadrianus pada 135 Masehi untuk mengabadikan kemenangannya atas kota Yerusalem.

Via Dolorosa merupakan jalan penderitaan yang dilalui Yesus sambil memikul salib, lebih dari 2.000 tahun silam. Pada masanya, jalan sepanjang satu kilometer itu berada di tembok luar kota tua Yerusalem di Timur Tengah. Kini, Via Dolorosa berupa jalan kecil berbatu, berundak, dan melewati keramaian pasar dan pemukiman penduduk Armenian, Kristen, Muslim, dan Yahudi.

Saya berjalan bersama rombongan, terdiri dari 28 perempuan dan laki-laki berusia 8 hingga 70 tahun. Sebagian orang berasal dari Jakarta, beberapa lainnya dari Tangerang, Kalimantan Barat, dan sebuah kota di Timor Leste.

Walid (50), pemandu wisata asal Palestina, menjelaskan, ziarah menelusuri Via Dolorosa dimulai sejak masa kekristenan awal dan mencapai arti penting pada pertengahan abad ke-4, sewaktu Kaisar Constantine menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Saat itu, tidak ada stasi-stasi perhentian seperti sekarang. Rute Jalan Salib bahkan sering berubah karena kelompok Kristen juga menawarkan titik perhentian berbeda.

Pada abad ke-18, Paus Klemens XII menetapkan jumlah dan lokasi perhentian Jalan Salib secara pasti. Stasi perhentian itu dipakai hingga sekarang. Kini, ibadat Jalan Salib menjadi bagian tak terpisahkan dari tempat-tempat ziarah katolik. Jalan Salib sangat umum dilakukan pada Jumat Agung atau Jumat Prapaskah.

Di Via Dolorosa, Jalan Salib ditandai dengan 14 stasi perhentian. Penanda stasi berupa tulisan dan simbol tidak mencolok yang terpahat pada dinding dan tiang. Penanda itu berada di kiri-kanan jalan, melewati lorong-lorong pasar dan pemukiman penduduk. Di setiap stasi ada kapel untuk berdoa. Ibadat biasanya dilakukan setiap Jumat, dipimpin biarawan OFM.

Sebelum berangkat, ibu sempat menyampaikan kekhawatirannya tak mampu merampungkan Jalan Salib. Sejak bertahun-tahun lalu, ibu alergi dingin. Saat kedinginan, tulang belulang ibu keram sehingga sulit berjalan. “Mama pasti bisa. Yesus saja yang berjalan sambil memikul salib bisa menyelesaikan perjalanan dengan penuh iman,” kata saya, memberi semangat.

Kenyataannya, ketika berjalan di Via Dolorosa, iman saya mudah goyah. Konon, godaan iman terbesar manusia bukan saat kita berada dalam kekurangan atau keterbatasan, melainkan saat berada dalam keberlimpahan. Di Via Dolorosa, segala sesuatunya terasa begitu tersedia, mulai dari keramaian pasar, deretan pedagang-pedagang souvenir, dan keriuhan pemukiman penduduk.

Ketika saya berlutut di salah satu stasi perhentian, bola mata melirik ke deretan pedagang pernak-pernik. Para pedagang menjual patung, kalung, tempelan kulkas, gantungan kunci, gelang, kaos, sepatu, dan banyak benda-benda unik lain. Beragam souvenir yang terbuat dari pahatan kayu dan tempaan logam itu dipajang di dalam kios berukuran 2 x 3 meter. Sebagian barang ditata menjalar hingga ke luar kios.

Selain kios souvenir, ada juga kedai makanan dan minuman. Pedagang menjual sosis dan roti bakar, kebab, hingga beragam kurma dan buah delima. Aroma sedap makanan terbang hingga ujung hidung. Terbesit di kepala untuk berhenti Jalan Salib. Ingin rasanya mengecap panganan khas Timur Tengah itu. Ahh… betapa nikmatnya… Menelusuri Via Dolorosa yang penuh warna dan tawaran kenikmatan duniawi, membuat saya bertanya: Inikah jalan sengsara itu? Jalan sengsara yang dilalui Yesus dulu?

Saat sedang membayangkan kelezatan makanan, kakak saya, Raditya Beken Wicaksana (27) menyenggol bahu. “Ayo!” kata dia, membuyarkan lamunan.

Di antara para peziarah, pedagang souvenir, dan warga yang berlalu-lalang, puluhan polisi dan tentara Israel berjaga-jaga. Mereka mengenakan pakaian dinas berwarna gelap, memakai sepatu boot kulit, dan mengenggam senjata laras panjang. Meski terlihat santai, telunjuk mereka siaga pada picu senapan. Bola mata awas memperhatikan gerak-gerik setiap orang yang melintas.

Tiba-tiba, ketakutan menyergap. Bagaimana kalau tiba-tiba perang terjadi di antara para peziarah yang tak saling mengenal ini? Bagaimana saya bisa menyelamatkan diri? Ke mana harus berlari menghindari tembakan peluru tentara? “Tenang saja…. Mereka memang setiap hari di sini. Tidak akan ada perang,” kata Walid, seolah bisa membaca pikiran orang lain.

Di depan rombongan, ibu dan ayah berjalan pelan. Ibu mengenakan kaus dengan tiga lapis sweater. Di lehernya tersampir syal panjang berwarna hijau muda. Saat itu, bulan Desember, suhu udara di Yerusalem sekitar tiga derajat selsius. Seiring matahari turun, hawa dingin kian menyesakkan dada. Tulang belulang terasa ngilu dan beku. Rombongan bergerak semakin dalam ke jantung keramaian pasar, ke titik-titik di mana Yesus disiksa dan dihina…….

… bersambung.

(Denty Piawai Nastitie)

 

 

Read more