Ngetrip Bersama Keluarga ke Timur Tengah?? Nggak Banget!!

Bagi kebanyakan umat Katolik, perjalanan menuju Tanah Terjanji Yerusalem seperti “naik haji”. 

Selama perjalanan, para peziarah diajak menembus hamparan padang gurun, melewati kebun-kebun kurma dan anggur, serta menyusuri kota-kota indah di Timur Tengah untuk mengenang perjalanan bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir. Di Israel dan Palestina, para peziarah mengenang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Yesus.

Karena sudah seperti “naik haji”, orang tua saya kepingin mengunjungi Tanah Terjanji Yerusalem serta tempat-tempat lain yang disebutkan di dalam Alkitab.  Pada 2014, ayah dan ibu mendaftar perjalanan ziarah ke Mesir, Israel, Palestina, dan Jordan. Namun, niat itu batal terlaksana karena dua minggu menjelang keberangkatan, ayah sakit.

Suatu hari, keluarga kami kembali menyusun rencana perjalanan ke Timur Tengah. Kali ini, yang akan berangkat full team, alias ayah dan ibu dan dua anaknya, yaitu Raditya dan saya.

Seumur-umur saya tidak pernah membayangkan akan melakukan perjalanan bersama keluarga! Ke luar negeri pula! Ke Timur Tengah pula!! Bakalan rempoooonggg, cyiiin….

Kenapa saya ogah trip dengan keluarga?

Pertama, saya sering berantem dengan kakak saya, Raditya Beken Wicaksana. Raditya itu model kakak penindas yang kemauannya harus selalu dituruti (Hahaha). Sementara saya, model adik manja dan merepotkan. Perbedaan sikap ini membuat hari-hari kami diisi adu mulut sampai adu cakar alias berantem fisik.

Selain sering bertengkar, style trip kami juga berbeda. Raditya senang menghabiskan waktu di tempat yang santai dan tenang, seperti di pantai. Sebaliknya, saya suka perjalanan menantang, seperti mendaki gunung, menuruni lembah, dan menyelam di dalamnya perasaan (HALAH).

Saat pulang kampung, kakak saya bakalan membawa koper, serta memakai baju dan sepatu keren. Sedangkan saya sudah cukup hepi memakai jeans belel dan menyangklong ransel. Kelihatan perbedaannya kan? So, bagi saya, perjalanan bersama Raditya, it’s a big no no!

Kedua, kalau jalan bersama Raditya saja saya bakal mikir seribu kali, apalagi jalan bareng orang tua! Bagi ayah dan ibu, napak tilas di Tanah Suci merupakan perjalanan ke luar negeri pertama. Orang tua yang biasanya hidup dalam kultur Indonesia, akan melihat dunia luar dengan segala perbedaannya. Sumpaah dehh, ini ribet banget!

Sebelum berangkat, ibu sudah menanyakan dan mengkhawatirkan banyak hal gak penting, seperti “Nanti di Israel ada nasi gak ya?”, “Kalau pas jalan capek, bisa istirahat gak?”, “Trus, bicaranya pakai bahasa apa?”. Saya jawab saja: “Bicara pakai bahasa Tarzan, Ma!” Setelah itu saya dicubit!

Terbersit perjalanan yang seharusnya asyik dan kaya pengalaman bakalan ribet dengan hal remeh-temeh yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan! Namun, karena ini keinginan orang tua, apa salahnya (untuk kali ini saja!) saya menurut? Lagian, kapan lagiii bisa ke Timur Tengah??

Karena memang hobi vakansi, saya menganggap perjalanan ini sebagai ziarah plus plus (seperti pijat plus-plus hehee). Saya sebut “plus-plus” karena perjalanan ini tak melulu tentang berdoa dan memuji nama Allah. Hampir setiap hari, selalu ada kesempatan mencoba makanan khas, mencicipi anggur lokal, foto-foto, dan tentu saja berbelanja!

Saat ayah dan ibu sibuk berbelanja perlengkapan doa, seperti Alkitab dan Rosario, kakak saya bakalan riwueh mencari pedagang miras!! Gubraak!! Betapa perjalanan ini adalah campuran kepentingan duniawi dan surgawi!

Berbekal tekad kuat bahwa perjalanan ini akan berhasil, saya mencoba menjaga pikiran positif. Selama perjalanan, sebisa mungkin kami membangun toleransi dan komunikasi, menekan keinginan pribadi yang tidak sesuai dengan harapan keluarga dan kelompok peziarahan, serta menciptakan kenangan yang baik dengan tetap berusaha have fun!

Seiring waktu, saya semakin mengerti perjalanan ini mendewasakan dan membuat kami menembus berbagai keterbatasan diri sendiri: Raditya yang biasanya nggak pernah mau naik gunung, untuk pertama kalinya (setelah dipaksa) akhirnya bersedia mendaki Gunung Sinai. Ibu yang takut ketinggian, akhirnya mencoba naik kereta gantung di Gunung Hermon. Ayah yang biasanya enggan menempuh perjalanan jauh akhirnya sukses menembus perjalan ke Timur Tengah.

Kalau saya gimana? Wah, banyak sekali pengalaman dan pelajaran hidup yang saya dapatkan! Mulai dari jangan mudah panik, meskipun passport hilang di Israel dan nyaris nggak bisa pulang ke Tanah Air, hingga pelajaran hidup bahwa mimpi dapat diwujudkan, termasuk mimpi bervakansi di Timur Tengah!

Hingga perjalanan ini berakhir, saya tetap pada kesimpulan: ngetrip bersama keluarga ke Timur Tengah?? Nggak banget!! I’m not telling you it’s easy, but it’s worth it!

Salam vakansi!

Denty Piawai Nastitie.

 

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*