March 2017

Travel brings power and love back into your life” – Elisabeth Gillbert, Eat, Pray, Love

Bagi sebagian orang, melakukan perjalanan merupakan salah satu cara untuk menyembuhkan diri dari segala duka dan nestapa. Entah duka karena cerai dari suami atau istri, putus dari tunangan, atau sebagai momentum kebangkitan setelah berkali-kali cinta ditolak. Bagi beberapa orang lain, perjalanan merupakan langkah mengatasi baper.

Sudah sering dengar istilah “baper” kan? Teman saya, Agnes Theodora, menjelaskan makna baper sebagai “perasaan campur aduk akibat suatu persitiwa berkaitan dengan orang lain yang cukup penting di hidup ini”.

Contohnya, baper muncul ketika Whatsapp Messenger hanya dibaca oleh gebetan dan tidak dibalas selama berhari-hari. “Menunggu balasan WA satu hari terasa seperti satu abad,” kata Agnes, sambil berkali-hali mengintip layar ponselnya yang kehilangan signal saat kami mendarat di Labuan Bajo. (Signal HP aja hilang, gimana signal perasaan dari dia, Ness??? *langsung digampar).

Menurut Agnes, baper juga bisa muncul karena ada perasaan dekat dengan “si dia” padahal sesungguhnya hanya dianggap sebagai sahabat. *NANGISSS BOMBAAAYYY T.T sediiihhh….

Baper akut membuat sebagian orang terlalu mudah bahagia dan terlalu gampang bersedih, bahkan sampai kepingin mengahiri hidup dengan bunuh diri, membuat nafsu makan hilang, susah tidur, dan berbagai aktivitas keseharian terganggu karena kurang konsentrasi.

Menyadari betapa berbahayanya baper di kalanganan generasi milenials, Agnes Theodora, Hussein Abri Yusuf, dan saya memutuskan untuk melakukan perjalan ke Flores. Sejenak kami ingin meninggalkan hingar bingar dan kebisingan hidup di kota. Dengan menikmati keindahan alam Flores, kami berharap dapat menemukan makna hidup dan sukses mengatasi baper agar hidup terasa lebih mudah di kemudian hari.

*

Meskipun rencana berangkat ke Flores sudah ada sejak jauh-jauh hari, kenyataannya kami baru membeli tiket keberangkatan tiga hari menjelang tanggal yang ditentukan! Agnes, Hussein, dan saya berangkat ke Flores tanpa itinerary, tanpa booking hostel, ataupun sewa kapal! “Santai saja… kita nikmati hari!” kata Hussein, enteng.

Begitu sampai Labuan Bajo, kami baru sibuk cari penginapan. Keluar masuk hotel mewah sampai hostel bapuk untuk menemukan tempat bermalam. And you know what, hotel-hotel yang kami datangi mayoritas sudah full booked. “Lo sih Sen, suruh booking hostel gak mau,” kata saya.

Kan sebelum berangkat gue sakit. Sekarang aja, masih sakit. Butuh dirawat,” jawab Hussein dengan suara parau.

Alesan!” Agnes dan saya berseru, berbarengan.

Selain cari penginapan, kami juga wira-wiri mencari agen travel yang menawarkan program sailing Flores. “Ada kapal ke Flores, besok berangkat. Dua orang, pasangan suami istri, sudah mendaftar” kata salah satu pegawai travel .

Agnes, Hussein, dan saya, saling bertatapan, lalu menggeleng kompak. Perjalanan ini bertujuan mencari makna anti-baper, kalau jalannya bareng pasangan suami istri, bisa-bisa malah tambah baper! Hehehe… Apalagi harga paket wisatanya lumayan mahal, bisa-bisa amsyongg perjalanan ini. Sudah baper, tombok pula!

Kami melanjutkan pencarian demi mendapatkan kapal menuju gugusan Kepulauan Komodo. “Gimana kalau kita makan dulu, sebelum memutuskan mau naik kapal yang mana? Perut kenyang, pikiran tenang,” kata Hussein.

Setuju! Tiga domba yang hilang lalu terdampar di sebuah kedai seafood, memesan ikan bakar, cumi goreng sambel kecap, dan tumis kangkung.

Nikmat mana yang hendak kau dustakan anak muda, ketika menyantap lezatnya ikan bakar dengan daging yang empuk dan segar, cumi goreng kriuk-kriuk, juga sambal bawang yang menggoyangkan di lidah!

Saat menyantap ikan bakar dan cumi goreng, tiga domba yang tersesat tidak ingat sedang mencari kapal untuk sailing Flores. Tiga domba yang tersesat sama sekali tidak sadar, hidup sedang terombang-ambing karena tidak ada kepastian tempat bermalam. Live today coz tomorrow never comes, mungkin benar!

Permisi mas dan mbak, cumi gorengnya enak ya?” kata seorang perempuan, membuyarkan kenikmatan menyantap seafood.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba! Aha! Agnes, Hussein, dan saya, saling berpandangan. Seperti ada lampu bohlam yang menyala di kepala, terbesit ide yang sama. Enaaak!!!” jawab kami kompak. Hussein menawarkan perempuan itu mencoba cumi goreng yang tersaji di piring. “Sumpah, ini enak banget! Harus dicoba!!” kata Hussein sambil menyodorkan potongan terakhir cumi goreng di piring saji.

Stella menolak. Gerak-geriknya kikuk. Tetapi Hussein tetap kekeuh menyodorkan sepotong cumi goreng kepadanya. Saat Stella mencicipi cumi goreng, Hussein langsung menembak dengan pertanyaan yang sudah terukir di kepala: “Kalian mau sailing Flores ya? Sudah sewa kapal? Kami bisa ikut rombongan kalian gak?” 

Percayalah saudara-saudara, saat kepepet bungkus rasa malumu! Nggak usah jaim, dan utarakan maksud kamu hidup di dunia ini! (Maaf ya Stella, akhirnya kamu mengetahui bahwa tujuan Hussein menawarkan cumi goreng tak lain tak bukan karena kami ingin nebeng kapal kamu! T.T)

Stella kaget melihat kami yang sangat agresif minta tebengan sailing Flores. Wajah Stella menunjukkan tatapan: Kenal juga enggak, main nebeng ajaa!

Kami akan bayar berapapun uang patungan kalian,” kata Hussein meyakinkan.

Stella lalu memanggil teman-temannya, yang berjumlah enam orang. “Sebentar ya, saya tanya temna-teman dulu,” kata dia.

Setelah mereka berdiskusi, Stella menggangguk setuju. “Horeee!!!!” Hussein, Agnes, dan saya, bersorak kompak! Kami langsung bersalam-salaman dengan rombongan Stella, sok kenal sok akrab. Wkwkwkwkkw!!

Perjalanan sailing Flores kami lakukan selama tiga hari dua malam. Kami mengunjungi beberapa tempat eksotis, seperti Pulau Padar, Pulau Rinca, Pulau Kanawa, dan Pink Beach. Kami menyelam, menyusuri terumbu karang, berenang bersama manta dan ikan-ikan kecil. Kami mendaki bukit-bukit yang tinggi menjulang, berfoto bersama pasir putih, ranting pohon, dan kapal-kapal yang bersandar.

Selama sailing Flores, kami sadar meskipun setiap hari kami mudah baper namun hidup menawarkan banyak pengalaman seru dan menantang. Di antara perasaan-perasaan baper, kami bahagia punya teman baru. Kami juga bahagia bisa mengibarkan bendera merah putih di puncak Gili Lawa, menyusuri Pantai Merah Jambu, menyelam dan menikmati keindahan bawah laut, serta menikmati sunset di pelosok Tanah Air.

Kalau kamu merasa baper, atau merasa sedih karena hidup berjalan tidak sesuai harapan, angkat gelasmu kawan… dan mari kita mulai berpetualang! Perjalanan tidak akan mengusir kesedihan atau menyelesaikan segala persoalan, tetapi selama perjalanan kita akan mensyukuri setiap nikmat dalam hari-hari yang berharga! Cheers!

Jakarta, 22 Maret 2017

Read more

Oleh: Denty Piawai Nastitie

“Kita sudah sampai di Pulau Kanawa,” kata Ardin, anak buah kapal.

Hussein Abri Yusuf, Agnes Theodora ,  dan saya saling berpandangan. “Sudah sampai?” saya bertanya, kebingungan.

Ardin mengangguk. Dia lalu melempar pandangan ke arah utara. Tangan kanannya menunjuk sebuah pulau yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari tempat kapal berlabuh.

Saya harus memincingkan mata untuk melihat pulau sebesar kelereng di garis cakrawala. Pulau berwarna hijau yang dikelilingi terumbu karang, pantai pasir putih, dan air laut yang bening dengan gradasi biru tua dan biru muda.

“Masih jauh, kenapa kita tidak mendekat saja?” kata saya, mendesak.

“Tidak bisa. Pulau itu dikelola orang asing. Kita tidak bisa berlabuh di sana. Kalau mau berlabuh, harus menyewa kapal khusus,” jawab Ardin.

“Lalu bagaimana cara ke sana?”

“Hanya ada dua pilihan, pertama berenang.”

“Yang kedua?”

“Yang kedua juga berenang,” tuturnya, sambil ngekek.

Saya mendengus, kesal. Kenapa sih ada orang asing yang hobinya menguasai kekayaan alam Indonesia dan membentengi pulau seolah itu milik pribadi.

“Jadi, gimana? Mau tetap di kapal hingga matahari terbenam atau pergi ke pulau?”

Ardin duduk di atas dek kapal sambil meluruskan kaki. Dia menyalakan lighter, lalu menghisap sebatang rokok. Kapal bergoyang, terombang-ambing digerakkan gelombang.

Saya memandang pria dengan tubuh hitam legam itu. Kalau saya sebagai wisatawan merasa kesal dengan pulau-pulau yang dikuasai orang asing, bagaimana penduduk lokal seperti Ardin? Apakah dia merasa terjajah di negeri sendiri?

Saya menarik nafas panjang, lalu mulai menyiapkan kaca mata berenang. Dalam waktu singkat, Hussein dan saya menyelam ke laut. Membenamkan diri di air asin yang dalamnya tak seorang pun tahu, seperti perasaan si dia yang sulit ditebak. (Eh!)

Angin bertiup. Ombak bergulung. Terik matahari membakar kulit. “Hati-hati, ya!” kata Agnes, sambil melambaikan tangan. Dia tidak berenang ke Pulau Kanawa karena tidak bisa menyelam. Saya menoleh ke Agnes, melihat keningnya berkerut-kerut.

Pulau Kanawa adalah sebuah pulau kecil di Flores. Sekilas, namanya mirip dengan Pulau Kenawa, yang terletak di dekat Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa.

Pulau Kanawa dulunya dikelola warga lokal. Sejak 2010, pulau itu dikuasai orang asaing berkebangsaan Italia dengan sistem hak guna usaha selama 25-30 tahun. Selain Kanawa, pulau lain, seperti Bidadari dan Sebayur, juga dikuasi orang asing. Dari 162 pulau di Manggarai Barat, 13 di antaranya merupakan pulau berpenghuni. Sejumlah pulau tak berpenghuni dilirik investor.

Di Kanawa, pengelola membangun bungalow di bibir pantai, jembatan kayu, dan dermaga. Keindahan Kanawa membuat pulau itu diserbu turis asing dan turis lokal berduit tebal.

Untuk mengunjungi Pulau Kanawa, wisatawan berlayar dari Pelabuhan Labuan Bajo. Di Kanawa, pengunjung dapat menyewa tenda dome, bungalow, atau rumah berbentuk gazebo. Harga sewa rumah sudah termasuk kapal dan makan selama menginap. Saya tidak tahu berapa harga sewa keseluruhan, katanya sih mencapai jutaan rupiah.

Lalu bagaimana kalau ada pelancong yang hanya ingin mengunjungi pulau ini tanpa menginap? Pengelola “bermurahan hati” mempersilakan siapa saja datang. Syaratnya, kapal harus berhenti setidaknya 500 meter dari bibir pantai. Turis diminta berenang. And here we go, berenang menuju pantai!

Awalnya, menyelam terasa begitu menyenangkan! Hidup bebas, lepas dari kebisingan dan kepenatan kota. Saya, yang sebagian besar masa kecil dihabiskan dengan les berenang, mencintai air. Selain makanan dan kamu yang ada jauh di sana (halah!), berenang adalah hal paling saya cintai dalam hidup.

Namun, semakin lama, ombak semakin bergulung. Gelombang bukannya membawa tubuh mendekati pantai, justru menarik menjauh. Beberapa kali saya menelan air asin. Nafas semakin pendek. Kulit kian terbakar. Saya melihat Hussein mengerahkan segenap kemampuan. Semakin lama, jaraknya semakin jauh.

Saya memutuskan tidak menunggu Hussein. Terbesit dalam pikiran, yang penting bisa segera sampai pantai. Bisa mampus ditelan laut kalau terlalu lama terombang-ambing!

Setelah sekitar 30 menit berenang tanpa henti, saya mencapai bibir pantai. Saya segera merebahkan tubuh di hamparan pasir putih. Kepala saya menengadah ke langit. Biru. Putih. Abu-abu. Menjadi satu.

Angin bertiup. Kepala berkunang-kunang. Tanpa air minum, tenggorokkan terasa kering. Saya terdampar di sebuah pulau asing. Lalu, saya teringat Hussein! Mana dia??? Saya melihat ke arah laut, Hussein tidak terlihat! Jangan-jangan dia balik ke kapal! Sialan, gue ditinggalin di pulau sendirian!

Tiba-tiba badan saya menggigil. Pikiran buruk berkecamuk. Jangan-jangan Hussein… tengg.. ge… laaam…

Ketika sudah kepayahan mencari, saya melihat seorang pria berjalan pelan di jembatan kayu. “Hussein!” kata saya, sambil melambaikan tangan.

Hussein bergerak mendekat.

“Gua kira lo tenggelam!”

“Enggaklah! Gue berenang sampai dermaga terus jalan kaki,” jawab Hussein.

“Boleh lewat jembatan itu?”

Hussein menggeleng. “Petugas minta uang Rp 50 ribu untuk lewat jembatan.”

“Dasar petugas matre!” umpat saya, sambil bersandar pada pohon kelapa.

Di Pantai Kanawa, saya melihat turis asing datang naik perahu karet yang bersandar tepat di bibir pantai. Beberapa bocah berlarian. Orang dewasa rebahan di hammock sambil menegak air kelapa.  Ingin rasanya mengecap seteguk air untuk menyegarkan tubuh.

Saya menoleh ke arah Hussein, “Lo bawa duit buat beli air?”

Hussein menggeleng. “Tadi aja lewat jembatan gue belum bayar. Petugas dermaga kasih gue peringatan supaya tidak lewat sini lagi,” katanya.

Kami kembali menyelonjorkan kaki. Mengumpulkan sisa-sisa tenaga sebelum kembali berenang ke kapal.

Mengunjungi Pulau Kanawa termasuk dalam sailing Flores yang saya lakukan bersama Hussein dan Agnes, Mei 2016. Selain Kanawa, kami juga berkunjung ke Pulau Padar, Pulau Rinca, dan Pink Beach yang berada di dalam gugusan Kepulauan Komodo. Selain berlayar, kami juga overland  ke Waerebo.

Dalam perjalanan menuju Waerebo, hati saya berbunga-bunga. Hampir seminggu di tanah Flores, saya melihat pemandangan indah berupa hamparan pasir putih dan pulau-pulau kecil yang berkilauan. Saya juga menyusuri terumbu karang dan aroma asin air laut.

Kini, jalan berkelak-kelok di antara lebatnya hutan terhampar. Setiap kali singgah, penduduk lokal dengan ramah menyapa dan menawari kopi Manggarai. Hati senang, pikiran tenang, dan perut juga kenyang setelah siang tadi menyantap lezatnya ikan bakar di pinggir pantai. Dengan berbagai kenikmatan hidup yang ada, siapa tidak terbuai dan jatuh cinta pada  keindahan alam Flores.

Di Manggarai, saya bertemu dengan Romo Ricard dan Romo Dino, imam di Gereja Labuan Bajo. Sambil menegak minuman dingin, Romo Ricard bercerita mengenai nasib Flores yang kian ironis karena dikelilingi kekayaan alam sekaligus dikepung dengan kepentingan-kepentingan golongan tertentu. “Kepentingan pejabat rakus membuat rakyat menderita,” kata Romo Richard.

Romo Ricard menuturkan, orang-orang “kaya” kong-kalingkong degan sejumlah pejabat di Ibu Kota untuk menguasai asset daerah. Investor membangun resort mewah. Mempromosikan keindahan alam ke negara-negara di Eropa dan Amerika. Mematok harga tinggi untuk setiap kunjungan wisata. Meraup keuntungan besar dari setiap lini bisnis yang dijalani.

Tidak hanya di Pulau Komodo, sejumlah pelaku bisnis juga membeli hamparan tanah di Labuan Bajo untuk membangun resort-resort mewah. Masyarakat lokal yang minim pengetahuan sepakat menjual tanah di pinggir pantai dengan harga murah. Uang lalu habis untuk membangun rumah baru.

Dampaknya, sebagian masyarakat kini tak lagi memiliki tanah untuk tempat kapal berlabuh. Mereka yang tadinya bekerja sebagai nelayan, kini banting tulang menjadi tukang ojek.“Bahkan, sepenggal tanah di Pantai Pede, satu-satunya tempat terbuka untuk masyarakat biasa, sudah dilirik investor. Di tempat itu, investor berencana membangun hotel mewah,” kata Romo Ricard.

Masyarakat yang sadar akan potensi Flores, mengembangkan daerah itu sebagai tujuan wisata. Mereka menawarkan jasa sewa kapal untuk berlayar di Kepulauan Komodo, menggunakan keahlian memasak untuk membuka usaha catering, serta membangun rumah untuk dipakai menjadi homestay murah.

Namun, sebagian masyarakat lainnya sulit mendapatkan pekerjaan karena keterbatasan bahasa dan teknologi. Masalah serupa, rasanya juga terjadi di daerah lain seperti Raja Ampat di Papua. Konon, banya tanah di Raja Ampat sudah dibeli artis-artis Ibu Kota untuk dijadikan resort mewah.

Malam semakin larut. Mata kian mengantuk. Bersama Hussen dan Agnes, saya kembali ke penginapan. Sebelum terlelap, saya terkenang percakapan dengan seorang teman yang bercita-cita ingin meninggalkan zona nyaman hidup di kota besar demi tinggal dan bekerja di Flores. “Flores itu eksotis. Penuh potensi, sekaligus menawarkan segala ironi,” katanya. Seiring debur ombak dan desir angin yang menutup malam, kelopak mata erat terpejam… Esok, menawarkan cerita berbeda.

Jakarta, 17-01-2017

 

Read more