April 2017

Aku ingin dibaptis, nderek Gusti Yesus. Aku ingin kembali menjadi seperti ketika aku dilahirkan,” kata-kata itu meluncur dari bibir kakek, pada suatu hari yang senyap.

Sebelumnya, kakek bukanlah orang Katolik. Seperti kebanyakan orang Jawa tradisional, eyang awalnya menganut paham kejawen. Dia tidak menganggap ajaran agama dalam pengertian agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku.

Kakek saya keturunan Kraton Yogyakarta, dengan nama Raden Indro. Dalam dokumen-dokumen hidupnya, seperti KTP dan Kartu Keluarga, nama eyang ditulis R. Indro. Nama R. Indro, selanjutnya bukan lagi Raden Indro, tetapi Robertus Indro.

Saya tidak tahu, mengapa dan sejak kapan eyang ingin dibaptis. Kakek beberapa kali cerita mengenai Romo (pastur atau imam gereja) yang dijumpainya saat masih kecil. Interaksi dengan para romo yang berbekas di hati, mungkin menggerakkan iman dan kepercayaan eyang pada Yesus Kristus.

Di antara hawa panas kota Yogyakarta yang membakar kerongkongan, di antara kenangan-kenangan yang selalu hadir di ingatan, eyang kakung menyimpan keinginan dibaptis pada kedalaman hatinya seorang. Menyadari adanya perbedaan keyakinan antara dia dan istrinya yang beragama Islam, eyang memutuskan untuk menahan ego itu. “Aku tidak ingin ada yang terluka. Keputusanku harusnya bisa direlakan,” katanya menjelaskan.

Suatu hari, eyang kakung terbaring koma di rumah sakit. Kulit wajah, tangan, dan kaki eyang terlihat keriput. Tulang-belulang di lutut dan pergelangan tangan terlihat jelas. Eyang bagaikan tulang belulang terselimutkan kulit tipis.

Selama berhari-hari kabel dan selang cairan obat dan makanan menempel di hidung, tangan, dan mulutnya. Dia terbaring lemah. Ayah, ibu, paman, dan bibi bergantian menjaga. Sesekali, saat akhir pekan, saya menggantikan peran ibu untuk menemani eyang di rumah sakit.

Suatu malam, karena tidak bisa tidur, saya duduk di sebelah eyang. Lampu kamar tidur bercahaya redup. Televisi menyala tanpa suara. Saya memandangi eyang kakung yang tergeletak tanpa tenaga. Saya memegang tangan eyang, membelainya lembut.

Sebuah dorongan spiritual membuat saya membisikkan Doa Bapa Kami di dekat telinga eyang. “Bapa Kami yang ada di surga, dimuliakanlah namaMu. Datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam surga,…

Belum sempat doa itu selesai terucap, tangan eyang bergerak-gerak halus. Eyang terbatuk. Dia mengeluarkan suara sesenggukkan. Lalu air mata mengalir di pipinya. “Rama kawula ing Swarga, Asma Dalem kaluhurna…” bibir eyang bergerak, mengeluarkan suara lirih.

Panik, saya bergegas keluar kamar. Saya memanggil tante yang sedang tidur di selasar rumah sakit. “Eyang bangun… Eyang sudah bangun!” kata saya, setengah berteriak. “Eyang meminta doa Rama Kawula, Bapa Kami…” kata saya, terbata.

Tante segera masuk ke dalam kamar. Menggenggam lembut tangan eyang yang baru saja bangun dari tidur panjang, lalu melanjutkan doa Bapa Kami dalam Bahasa Jawa. Sebagai orang Jawa, saya merasa menyesal karena tidak terbiasa dan tidak hapal doa Bapa Kami dalam bahasa Jawa, bahasa ibu yang dikuasai eyang kakung.

Sepanjang doa dikumandangkan, air mata eyang kakung mengalir, seperti aliran air sungai yang bening. Setelah doa selesai diucapkan, tante menyuruh saya memanggil perawat dan dokter yang bertugas. Setelah peristiwa itu, kesehatan eyang mulai pulih.

Namun, bukankah kehidupan adalah misteri ilahi? Setelah eyang putri tutup usia, suatu hari, eyang kakung kembali mengutarakan niatnya untuk menerima percikan sakramenn baptis. “Bila selama ini aku menahan diri demi menjaga perasaan istriku, maka kali ini aku akan melangkahkan kaki sesuai kata hati,”  kata eyang kakung sambil berlinang air mata. “Aku ingin dibaptis. Aku ingin nderek Gusti Yesus.”

Pada 2013, eyang kakung menerima sakramen baptis. Sebuah pesta perjamuan sederhana diselenggarakan di rumah eyang di Yogyakarta.

“Bagaimana perasaannya, Eyang?” tanya bude (kakak ibu saya), usai penerimaan sakramen baptis.

“Saya senang karena Nderek Gusti Yesus, namun masih sedih karena harus menempuh jalan yang berbeda (dengan istri).”

Tujuh hari setelah pembabtisan, eyang kakung menutup mata untuk selama-lamanya.

Dalam perjalanan menuju Gereja Bapa Kami (Pater Noster Church) yang terletak di Bukit Zaitun, Yerusalem, saya teringat akan almarhum eyang kakung. Kakek saya menutup mata tepat saat berusia 86 tahun, hanya sepekan setelah dibabtis.

Gereja Bapa Kami adalah gereja yang dibangun lokasi saat Yesus mengajarkan Doa Bapa Kami, satu-satunya doa yang diajarkan Yesus kepada murid-muridnya.

Ternyata, rombongan peziarah terlalu pagi sampai gereja karena gerbang belum dibuka. Saya dan keluarga menunggu di depan gerbang. Pedangang-pedagang pohon zaitun menghampiri, menawarkan segenggam batang dan daun zaitun yang terkenal dapat menyembuhkan berbagai penyakit, seperti kanker, serangan jantung, diabetes, asma, dan peradangan sendi.

Pukul 10.00, gerbang gereja dibuka. Di dalam gereja ini ada pelataran dan lorong-lorong dengan dinding yang dipenuhi dengan keramik berisi Doa Bapa Kami dari berbagai Bahasa, seperti Jepang, Korea, dan Arab. Kalau negara lain, hanya memiliki sedikit bahasa, Indonesia kebalikannya. Indonesia kaya akan bahasa daerah.

Yoppi Taroreh, pemimping rombongan, menuturkan, saat Gereja Bapa Kami mulai dibangun, orang Sumatra Utara datang ke biarawati penjaga gereja dan meminta doa Bahasa Batak dipasang di dinding gereja. Setelah doa Bahasa Batak dipasang, orang Jawa juga datang dan meminta hal yang sama.

Kemudian secara berturut-turut, orang Palembang datang ke suster jaga dan meminta doa Bapa Kami dalam bahasa Palembang dipasang. Begitu seterusnya hinnga dinding gereja dipenuhi doa Bapa Kami dalam Bahasa Jawa, Batak, Palembang, Tana Toraja, Papua, Sunda, Biak, Karo, dan Bahasa Indonesia.

Bahasa-bahasa tradisional Indonesia itu terpasang berderet-deretan dengan bahasa dari negara-negara lain. “Setelah suster sadar doa yang terpasang kebanyakan bahasa tradisional Indonesia, suster tidak mau lagi memasang. Kalau dipasang semua, dinding akan penuh dengan doa dalam bahasa tradisional kita,” kata Yoppi. Peziarah tertawa mendengar cerita itu.

Saya berdiri mematung, memandang doa Bapa Kami dalam Bahasa Jawa di Gereja Bapa Kami, Yerusalem. Di tempat ini, saya terkenang eyang kakung dan perjalanan hidupnya yang mengingatkan akan iman dan kesetiaan. Bahasa telah mendekatkan hubungan manusia dengan Sang Kuasa. Bahasa Jawa mendekatkan eyang kakung pada Gusti Allah. Di Gereja Paster Noster, saya akhirnya saya bisa merapalkan doa Rama Kawula untuk eyang kakung yang setia mengikuti jalan Allah…

Rama kawula ing swarga

Asma Dalem kaluhurna

Karaton Dalem mugi rawuha

Karsa Dalem kalampahana

wonten ing donya kados ing swarga

kawula nyuwun rejeki kangge sapunika

sakathahing lepat nyuwun pangapunten dalem

kados dene anggen kawula ugi ngapunten dhateng sesami

kawula nyuwun tinebihna saking panggodha

saha linuwarna saking piawon. Amin.

 

Jakarta, Sabtu malam paskah, April 2017

Read more

“Suster! Suster!” teriak anak-anak, saat mobil melintas pelan di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Jalanan yang dilalui berlubang, berbatu, dan berkelok-kelok. Terhampar pegunungan berwarna hijau dengan langit biru dan gumpalan awan putih.

Saya membuka jendela. Membiarkan angin pegunungan yang sejuk dan segar masuk ke ruang mobil, menyibakkan rambut. Mobil bergerak melewati puluhan anak berusia 9-11 tahun yang berdiri berjajar di tepi jalan raya. Sebagian besar anak-anak berjalan tanpa alas kaki.

Melihat jendela terbuka, wajah anak-anak sumringah. Mereka menggerakkan kaki-kaki kurus untuk mengejar mobil yang melintas. “Suster! Suster!” teriak anak-anak semakin kencang. Saya tersenyum. Kemudian melambaikan tangan. Anak-anak kegirangan. Beberapa berusaha memegang tangan saya.

“Kenapa mereka memanggil saya Suster?” tanya saya kepada Kraeng Yeremias, penduduk lokal yang mengantar perjalanan dari Labuan Bajo ke Wae Rebo.

“Mereka pikir kamu suster, biarawati dari gereja,” ujarnya.

Wahahaha! Jauh sekali saya dari rupa seorang biarawati. Baik dari segi fisik, maupun amal dan perbuatan. Apalagi, saya tidak memakai jubah dan penutup kepala biarawati. “Wah, seharusnya, sekalian saja anak-anak itu saya beri berkat ya!” kata saya, sambil tertawa.

Kraeng Yeremias ikut tertawa. Kemudian, ada ruang diam beberapa saat. Yeremias fokus mengemudikan mobil agar kendaraan ini tidak terpental jatuh ke dalam jurang di sebelah kiri jalan.

“Jalanan ini sangat jarang dilalui kendaraan bermotor. Biasanya, yang masuk jalan ini adalah mobil imam gereja atau biarawati yang datang memberi bantuan makanan atau buku-buku untuk sekolah. Itu alasannya anak-anak tadi mengira kamu biarawati,” ujar Yeremias.

Jendela masih terbuka. Angin pegunungan bertiup, menyapu wajah. Mobil melintas di jalan berkelok-kelok di antara semak belukar setinggi lima meter.

Setelah melalui jalan satu jalur sejauh 10 kilometer, mobil melewati rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu dan bambu.“Apakah anak-anak tadi berjalan kaki dari sekolah sampai rumah di perkampungan ini?”

Kraeng Yeremias mengangguk. “Sebagian anak-anak memang tinggal di sini. Sekolah yang tadi kita lewati dibangun imam dari Belanda beberapa puluh tahun lalu. Kalau mereka sudah SMP atau SMA, anak-anak harus berjalan kaki atau naik sepeda lebih jauh lagi karena tidak ada sekolah lain yang lebih dekat,” jawab Kraeng.

Perjalanan dari Labuan Bajo ke Wae Rebo memakan waktu sekitar 6 jam. Perjalanan melewati jalur berkelok-kelok di antara perbukitan, lalu melintasi tepi pantai, semak belukar, dan daerah pedesaan. Sepanjang jalan, jarang sekali berjumpa dengan kendaraan lain. Beberapa kali, mobil hanya berpapasan dengan angkutan umum serupa truk dengan pintu kayu yang jadwalnya tak menentu.

Begitu sampai di Desa Denge, desa terakhir sebelum Wae Rebo, mobil berhenti. Dari desa itu, pengunjung harus berjalan kaki, satu-satunya cara, menuju Wae Rebo, sebuah daerah yang berada di lembah di antara pegunungan. Jalan kaki menuju Wae Rebo memakan waktu sekitar 3-4 jam.

“Ayo, kita harus cepat. Sebelum hujan,” kata Kraeng Yeremias.

Bersama pemandu jalan dari desa setempat, saya melangkah di jalan setapak yang licin dan berbatu di tengah hutan.

Saat berjalan, matahari mulai turun. Kabut berwarna putih menyeruak. Awan berwarna abu-abu berarak. Beberapa saat kemudian, gerimis jatuh dari langit. Tubuh basah karena hujan dan keringat. Membuat langkah semakin tidak nyaman.

Sekitar pukul 7 malam, saya dan rombongan sampai di Wae Rebo, penanda kami adalah tujuh rumah adat dengan atap berbentuk bulat mengerucut yang konon sudah bertahan selama 19 generasi.

Wae Rebo adalah sebuah desa tradisional yang dikelilingi bukit dan lembah. Desa ini berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Di Wae Rebo terdapat tujuh rumah adat yang disebut Mbaru Niang. Sebagian besar maysarakat bekerja sebagai petani kopi dan petenun. Mereka mempertahankan cara-cara hidup lama, seperti melakukan upacara adat untuk mendoakan para leluhur. Karena keunikan dan nilai sejarah, pada 2012, Wae Rebo dinobatkan sebagai situs warisan budaya UNESCO.

Keunikan Wae Rebo menarik minat pengunjung. Dengan membayar tarif yang sudah ditentukan untuk pemandu wisata, prosesi adat, dan akomodasi, para tamu bisa menginap di rumah-rumah penduduk dan merasakan sensasi hidup di daerah terpencil. Pada musim libur, sekitar 250-350 orang datang ke Wae Rebo. Kehadiran para pengunjung  membuat Wae Rebo seperti desa terisolasi dengan keramaian menyerupai kota-kota besar.

“Ayo, sebentar lagi ada acara adat, penyambutan tamu,” kata Kraeng Yeremias, membuyarkan lamunan.

Dengan rambut, wajah, dan tubuh basah, saya masuk ke dalam rumah adat yang paling besar. Di dalam rumah, para tetua duduk bersila. Teman perjalanan, Agnes, Hussein, dan saya, duduk di atas tikar rotan dengan tubuh menggigil.

Para tetua kemudian berbicara dalam bahasa setempat, yang kurang-lebihnya berarti, mereka merasa senang kami datang. Tetua kemudian melantunkan doa-doa dan menyembelih ayam. Bagi orang Wae Rebo, ayam adalah hewan yang cukup penting karena menjadi media persembahan kepada leluhur. Selain ayam, masyarakat Wae Rebo juga memelihara babi dan anjing.

Acara adat penyambutan tamu berlangsung sekitar setengah jam. Acara diakhiri dengan salam-salaman antara penduduk lokal dengan tamu yang hadir. Saya melihat ke sekitar, ada puluhan tamu seusia saya yang duduk bersila di dalam rumah adat. Beberapa orang saling bekenalan.

Sekitar pukul 9 malam, saat sedang duduk sambil menyeruput kopi di rumah adat, saya melihat rombongan lain datang. “Lala!” kata saya kepada salah satu anggota rombongan itu. Lala melambaikan tangan. Ah! Kebetulan sekali bertemu dengan Lala and the gank, yaitu Syarief, Ape, Gerdi, Ester, dan Liczy. Mereka adalah teman-teman yang mewarnai perjalanan di Kepulauan Komodo. Setelah menjalani prosesi adat penerimaan tamu, kami menikmati malam sambil melihat rasi bintang di langit.

Kesokan harinya, saya terbangun sesaat sebelum matahari terbit. Bersama puluhan pengunjung, saya keluar untuk melihat sang surya menampakkan wajah. Dingin dan lembab. Angin bertiup di dekat tengkuk kepala. Saya melihat pemandangan magis berupa desa tradisional yang berada di atas awan.

Setelah sarapan, para pelancong membaur dengan penduduk lokal. Beberapa orang “kota” memberikan buku-buku untuk anak-anak, ada yang ngopi dan ngerokok bersama deretan bapak-bapak, ada yang memasak bersama rombongan ibu-ibu, ada pula yang bermain sepak bola.

Di tengah lapangan saya melihat dua dunia menjadi satu, antara kawanan pemuda perkotaan, yang membawa kamera dan ponsel supercanggih, dengan anak-anak pedesaan yang lari tanpa alas kaki. “Orang Jakarta! Orang Jakarta!” teriak anak-anak Wae Rebo, kepada siapapun yang bukan berasal dari kaum mereka, bukan dari desa mereka.

Saya duduk sambil memandang kerumunan orang. Pemandangan yang indah, masyarakat yang ramah. Hati kecil berbisik, bisakah kita mengupayakan pariwisata berkelanjutan di Wae Rebo ataukah lambat laun budaya lokal terkikis nilai-nilai baru yang datang dari dunia luar?

 

Jakarta, 15 April 2017.

Ps: tolong abaikan Hussein yang melakukan foto bomb!

Read more

Nun jauh di pelosok Desa Masalili, Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, kegiatan menenun sudah menjadi kegiatan turun-temurun. Kerajinan itu bertahan berkat kegigihan para perempuan, salah satunya Wa Opa (48). Ia menjaga tradisi itu demi kesejahteraan warga sekaligus menyokong pendidikan generasi muda.

”Bisa dibilang, selama ini saya hidup dalam kemiskinan. Akan tetapi, melalui kain tenun, saya bisa sekolah. Saya berharap tradisi menenun di Desa Masalili tetap lestari. Karena melalui tenun, ada kesempatan hidup lebih baik,” tuturnya saat ditemui, awal Maret lalu.

Masalili berada sekitar 8 kilometer dari Kota Raha, Kabupaten Muna. Perjalanan menuju desa itu tidak mudah, menembus jalur yang berkelok-kelok, berbatu, dan berlubang. Sepanjang jalan terlihat rumah-rumah kayu warga. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki.

Di Masalili, ada kegiatan menenun hampir di setiap rumah. Itu memang pekerjaan harian warga yang terampil menenun. Dari 1.200 penghuni desa, 242 orang adalah petenun. Kebanyakan adalah remaja perempuan putus sekolah dan ibu rumah tangga.

Wa Opa membantu orangtua menenun sejak kanak-kanak. ”Ibu saya petenun. Awalnya saya membantu memintal benang,” ujarnya.

Agar kain tenun buatan ibunya laku terjual, Wa Opa kecil akan berlari menghampiri setiap mobil yang melintas di desa. Biasanya di dalam mobil itu ada orang asing yang datang untuk melakukan penelitian di goa alam Liang Kabori dan Metanduno.

Goa yang terkenal dengan lukisan dinding zaman prasejarah itu berada di perbatasan Desa Bolo dan Desa Masalili. ”Begitu melihat orang asing, saya menawarkan kain tenun. Uang dipakai untuk membeli peralatan sekolah,” kenangnya.

Ketika itu, menenun selembar kain bisa makan waktu satu tahun. Proses itu dimulai dengan menanam kapas. Dengan alat bernama kangia, perajin memintal serat-serat kapas.

Helaian serat itu ditata membentuk benang yang berjejer rapat. Helaian dibuat sepanjang 65-70 cm. Proses ini disebut menghani (de-soro). Perajin lantas merancang motif dan membuat komposisi warna (kabekasi) dengan limbah kayu.

Jika semua siap, barulah proses menenun dimulai. Mengingat proses panjang ini, wajar saja jika selembar kain tenun dianggap menggambarkan ketulusan dan keteguhan hati pembuatnya. ”Menenun itu harus tekun. Kalau terburu-buru, benang bisa terputus,” ujar Opa.

Inspirasi dari alam

Wa Opa mendapat inspirasi warna dan motif tenun dari pemandangan alam. Biasanya dia mengamati tanaman di hutan. ”Saya membuat gradasi warna kain tenun sesuai dengan warna bunga dan daun-daun,” ujar pendiri kelompok usaha tenun ”Baru Mekar” itu.

Proses menenun yang dilakukan selaras dengan keindahan alam membuat kain tenun dari Desa Masalili memiliki kekhasan warna alami. Coraknya pun beragam sehingga bisa dikenakan semua kelompok, mulai dari bangsawan hingga rakyat biasa. Pemakaian sarung tenun laki-laki dan perempuan juga berbeda. Meski helaian benang ditenun secara tradisional, hasilnya cukup kuat dan bagus.

Sejak tanaman kapas sulit ditemui, perajin tenun di Desa Masalili beralih menggunakan benang biasa. Kini, proses pembuatan kain tenun juga lebih cepat karena menggunakan peralatan modern.

Para petenun di Desa Masalili kini menghadapi soal lebih serius, yaitu kekurangan modal. Promosi pun berjalan lamban. Pemasaran masih berjalan secara konvensional, yaitu dari mulut ke mulut. Pasar kain tenun pun sering kali sepi.

Satu-satunya kelompok usaha masyarakat, yaitu badan usaha milik desa, hanya mampu menampung 10-15 kain tenun per bulan untuk dijual kembali. Padahal, petenun di Masalili mampu memproduksi ratusan lembar kain tenun setiap bulan.

Agar kegiatan menenun di Desa Masalili tetap lestari, Wa Opa membantu memberikan modal benang untuk para perajin. ”Setelah benang selesai ditenun, mereka kembali kepada saya. Saya tidak memberi upah, tetapi membeli kain tenun dari para perajin dengan mengurangi harga bahan baku,” ujarnya.

Kain tenun hasil perajin di Desa Masalili itu kemudian dipasarkan. Soal harga bervariasi, bergantung pada motif dan bahannya. Paling murah selembar kain dijual Rp 100.000. Ada pula satu kain tenun yang dihargai jutaan rupiah karena terbuat dari benang dengan pewarna alami.

Dalam sebulan, Opa bisa menjual 50-100 lembar kain. Untungnya tipis. Itu pun kain kerap menumpuk di rumahnya lantaran pembeli pasang surut.

Untuk pendidikan

Saat ini, Wa Opa bekerja sama dengan puluhan petenun yang bekerja keras demi pendidikan anak-anak. Bulan April ini, ada 10 petenun yang membutuhkan uang untuk wisuda anak-anak mereka yang kuliah di sejumlah kota. ”Sejak beberapa bulan lalu, para perajin sudah menenun kain agar punya ongkos hadir di acara wisuda. Meski sepi pembeli, saya berusaha tetap menerima hasil menenun perajin karena dengan cara itu anak-anak mereka bisa sekolah dan kuliah,” tuturnya.

Dia juga memberi modal benang agar para perajin dapat menenun kain untuk dikenakan saat anak mereka wisuda. ”Saya ingin para perajin dapat tampil pantas dengan kain tenun buatan sendiri di acara wisuda,” katanya.

Saat menghidupi denyut tenun di Desa Masalili, Wa Opa sering menghadapi penolakan dari masyarakat. ”Saya bahkan sering dilempar barang karena banyak suami dari para petenun yang hobi mabuk,” katanya.

Wa Opa lalu mengakali kondisi itu dengan bertemu para lelaki saat tidak mabuk. Wa Opa menjelaskan, dengan menenun perekonomian masyarakat meningkat. Anak-anak juga bisa bersekolah. ”Seharusnya orangtua malu mempunyai anak sarjana, tetapi mereka masih mempertahankan cara hidup lama. Seiring berjalannya waktu, pola pikir laki-laki mulai berubah,” katanya.

Selain memasarkan kain tenun, Wa Opa juga membuka tempat pelatihan menenun untuk anak-anak dan remaja. Saat Kompas berkunjung ke rumah Wa Opa, ada tiga anak berusia 9-11 tahun yang sedang tekun menenun kain. Wa Opa mengamati sambil sesekali memberi pengarahan agar hasil tenun rapi dan indah.

Sadar lukisan-lukisan dinding di Goa Liang Kabori dan Metanduno yang sudah berusia ribuan tahun menjadi ciri khas Kabupaten Muna, Wa Opa membuat kain tenun bermotifkan lukisan dinding goa. Tahun 2016 lalu, kain itu dibeli warga negara Belanda.

Wa Opa berencana kembali menenun motif lukisan dinding agar kain tenun Muna bisa mendunia. Sekalipun penjualan tenun pasang surut, perempuan itu bertekad terus mengembangkan kain tenun untuk mempertahankan tradisi sekaligus memastikan kegiatan itu menjadi ladang rezeki untuk warga. (OLEH DENTY PIAWAI NASTITIE)

WA OPA

♦ Lahir: Masalili, 31 Desember 1969

♦ Pendidikan: SMKN 1 RAHA

♦ Pameran:

– Gelar Tenun Tradisional Indonesia, 27 September-1 Oktober 2006

– Pembukaan Pameran Perayaan 2 Tahun Cita Tenun Indonesia oleh Ibu Ani Yudhoyono (Jakarta, 27-29 Agustus 2010)

– Jakarta International Handicraft Trade Fair (Inacraft) 2010

– Pameran dan Seminar Cahaya Timur Indonesia (Jakarta, 1-4 Oktober 2013)

♦ Penghargaan:

– Perajin tenun terbaik dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah Sultra (Maret 2017)

Ket: Tulisan dimuat di harian KOMPAS, Rabu, 27 Maret 2017

Read more