May 2017

Blogging requires passion and authority. Which leaves out most people.”

Meski blog rambutkriwil.com baru dirilis awal tahun ini, cikal bakal blog ini sebenarnya sudah ada sejak sepuluh tahun lalu.

Pertama kali saya ngeblog sekitar 2007, ketika Multiply masih berjaya. Memakai nama samaran Rambutkriwil, saya memposting tulisan dan foto-foto perjalanan di antara kesibukan sekolah. Hasilnya, saya mendapat teman-teman baru sesama blogger, berkenalan dengan fotografer dan penulis profesional yang banyak mempengaruhi karya saya, dan tentu saja peluang pekerjaan.

Sedang gigih-gigihnya menulis di Multiply, platform blog di situs itu gulung tikar pada 2012 dan berubah menjadi e-comerce. Rambutkriwil berusaha bertahan dengan migrasi ke blogspot.com.

Seperti kehidupan yang penuh pasang surut, tekad dalam ngeblog juga timbul tenggelam. Lama kelamaan blog rambutkriwil.blogspot.com berubah bagaikan rumah tak bertuan. Bangunannya ada, tetapi suwung. Kosong. Kekosongan itu disebabkan beberapa hal, seringnya sih, alasan klise: SIBUK. GAK SEMPET NULIS.

Pada 2013, selepas kuliah, saya mulai magang sebagai jurnalis harian KOMPAS. Setahun kemudian, saya diangkat menjadi jurnalis tetap. Di antara rutinitas bekerja sebagai jurnalis, keinginan untuk kembali ngeblog kembali muncul. Anehnya keingan itu kian kuat saat saya sedang SIBUK-SIBUK-NYA BEKERJA, alasan yang dulu saya pakai untuk absen ngeblog.

Tak jarang keinginan blogging muncul pada saat deadline sedang menjerat. Suatu keadaan yang memaksa jurnalis bekerja cepat selesai, tidak berlarut-larut pada suatu tulisan tertentu. Jangankan makan dan minum, pada saat deadline, untuk nafas aja kadang susah… eh ini malah mikirin blog!

Setelah membulatkan tujuan, sejak awal 2017 saya kembali membangun blog, yang selama ini sering terbengkalai dengan nama: Rambutkriwil.com. Saya menganggap blog ini sebagai rumah yang terbuka bagi siapa saja. Silakan datang berkunjung, bercakap-cakap, atau sekedar melihat-lihat. Kalau suka boleh menginap dan meninggalkan pesan, kalau tidak suka boleh pergi begritu saja. Ingin jadi silent readers juga monggo.

Di luar negeri, jurnalis sekaligus blogger sudah banyak. Jurnalis-jurnalis handal yang bekerja di The Guardian, Washington Post, atau BBC, biasanya juga mengelola blog. Tetapi, di antara rekan-rekan seprofesi di Indonesia, sepertinya jurnalis yang juga blogger bisa dihitung pakai jari.

Meski jumlahnya tidak banyak, saya yakin, saya tidak sendirian. Kenapa? Karena blog sekarang sudah menjadi bagian dari media mainstream untuk membangun jaringan, membagikan pemikiran, menuliskan berita, gosip, atau hal-hal remeh temeh berkaitan dengan hobi dan minat di bidang tertentu. Bagi sebagian orang, blogging membuat mereka bisa mendapatkan uang tambahan di luar pekerjaan utama, tiket untuk mengunjungi banyak tempat-tempat keren di berbagai belahan dunia, dan segudang keuntungan lainnya. Untuk saya sendiri, blog memang tidak belum menghasilkan hal-hal materi semacam itu. Namun, saya tetap yakin, penting bagi seorang jurnalis (setidaknya bagi saya sendiri) untuk ngeblog tentang sesuatu, karena…

  1. Ngeblog membuat saya merasa sebagai manusia, bukan sekedar mesin perusahaan… Sejak dulu saya suka menulis. Bagi saya, menulis adalah kebutuhan, seperi makan dan mimum, dan bukan sekedar pekerjaan. Setiap hari meliput, mewawancarai narasumber, meriset data, menulis dengan deadline yang ketat, membuat tubuh dan pikiran kadang-kadang lelah. Lebih dari 50 persen kehidupan dihabiskan di lapangan dan di kantor. Saat orang-orang libur, saya bekerja. Saat orang-orang bekerja, saya malah libur (karena enggak pernah dapat libur weekend). Kesibukan membuat saya hampir tidak punya waktu kumpul keluarga atau reunian dengan teman-teman sekolah. Kehidupan seperti itu bukan tidak mungkin membuat saya merasa menjadi robot. Maka dengan ngeblog, saya bisa mengambil jarak dengan rutinitas jurnalistik.
  1. Saya ahli di bidang yang saya geluti… Kalau sedang kumpul-kumpul dengan teman, sering sekali ada yang bertanya: “Eh, pekerjaan jurnalis itu seperti apa sih?”, atau “Ceritakan dong kisah-kisah di balik tulisan yang dimuat di surat kabar!”Kadang-kadang saya suka heran, kenapa ya mereka bertanya seperti itu? Perasaan pekerjaan saya biasa-biasa saja. Kemudian saya sadar, jurnalis termasuk profesi yang membutuhkan keahlian khusus. Bagi sebagian orang, pekerjaan ini tidak mudah. Karena keunikannya, teman-teman menganggap saya ahli sehingga mereka tertarik mencari tahu cerita-cerita di balik profesi ini. Blogging membuat saya bisa menceritakan suka-duka menjadi jurnalis.
    Dengan alasan yang sama, ngeblog sangat penting bagi siapapun yang menggeluti bidang-bidang unik yang mungkin selama ini gak pernah ada di dunia, seperti pengiring pengantin profesional, penata gaya makanan, penonton Dahsyat, ahli pemberantas nyamuk, forensic linguistics, dan lain-lain… keahlian membuat seseorang dikenal dan dapat menghasilkan.
  1. Ada hal-hal yang tidak bisa ditulis di koran atau media tempat bekerja… Media mainstream, seperti koran, majalah, tabloid, memiliki keterbatasannya. Tidak semua tulisan yang dihasilkan seorang jurnalis bisa dimuat. Tulisan yang dimuat tentulah yang sudah memenuhi standar jurnalistik di media tersebut. Sekalipun sudah memenuhi standar-standar yang ditetapkan, tulisan bisa saja tidak dimuat karena ada keterbatasan halaman atau ada pertimbangan-pertimbangan politik, ekonomi, dan sosial.Dengan menulis blog, saya bisa menulis topik apa saja – mulai dari curhatan sampai gosip artis – yang tidak akan pernah bisa dimuat di koran tempat saya bekerja. Selain itu, karena saya yang mendirikan blog ini, saya tidak peelu meminta atasan menilai karya saya. Saya bebas menentukan topik, gaya bahasa, waktu pemuatan, dan panjang tulisan.
  1. Terhubung langsung dengan pembaca… Menulis di koran terasa seperti dialog satu arah. Saya memaparkan fakta, orang lain hanya bisa menerima apa pun yang saya tuliskan. Di tengah perkembangan teknologi informasi yang pesat, model pemberitaan satu arah seperti itu sudah semakin ditinggalkan pembaca. Setiap orang kini bisa berbagi informasi dan berperan menyebarkan berita. Blog menjadi jembatan hubungan media mainstream yang kaku dengan para pembaca yang cair. Blog tidak hanya menyediakan interaksi di antara para penggunanya, tetapi juga menciptakan komunitas baru.
  2. Melatih kesabaran dan konsistensi.. Saya memanfaatkan hari libur, biasanya setiap Selasa atau Sabtu untuk ngeblog. Dengan cara ini, saya belajar untuk sabar dan konsisten menjalani apapun yang sudah menjadi pilihan.
  1. Ruang Meditasi… Ngeblog itu sebenarnya sama dengan menulis buku harian (kecuali perbedaan blog bisa dibaca semua orang). Menulis blog menjadi ruang untuk menyepi, berdialog dengan diri sendiri. Di tengah banyak informasi yang meresahkan, orang-orang saling menyerang atas nama suku, agama, ras, dan golongan, ngeblog membuat hidup lebih terasa tenang karena bisa bermeditasi. Melalui blog, saya bisa menyortir hal-hal yang penting dan terpenting dalam hidup ini. Sehingga tidak mudah ngamuk, atau mencak-mencak, apabila sesuatu terjadi seperti yang tidak diinginkan.

Jakarta, 30 Mei 2017

Denty Piawai Nastitie

rambutkriwil.com

Read more

Belakangan ini saya terpancing sering kepo tentang Marrisa Haque. Semua berawal dari rasa penasaran, kenapa dia bisa dibully habis-habisan oleh netizen, sampai suami dan anak-anaknya terbawa jadi sasaran komentar pedas penghuni dunia maya.

Saking kurang kerjaannya, saya mengamati hampir semua postingan Marrisa Haque di linimasa, seperti Twitter dan Instagram. Beberapa postingan emang super nggak penting (sebutlah postingan yang berkaitan dengan menantu mantanya Om Ikang Fauzi :p)… Ibaratnya nih, Marrisa Haque nyalain korek, netizen nyiram minyak. Jadilah dunia mayaaa panasss terbakar… Hehhee.

Tetapi, di postingan ini, saya gak akan bahas gosip. Biar itu jadi makanan Lambeturah! 😀 Ada hal lain yang menarik perhatian, yaitu cuitan hoax yang disebarkan Marrisa Haque di Twitter. Hoax yang disebarkan seolah berasal dari situs ternama, yaitu CNN Indonesia. Dalam tulisan tersebut, pemilik Lucky Florist kecewa karena karangan bunga yang dikirim pendukung Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama ke Balai Kota (terkait dengan Pilkada DKI) belum lunas.

Setelah cuitan tersebar, nitizen mencak-mencak! Apalagi beberapa waktu kemudian ada klarifikasi dari Lucky Florist dan situs resmi CNN Indonesia bahwa yang disebarkan Marrisa Haque kabar bohong alias HOAX.

“@HaqueMarissa Gelar doktor, hajjah Tapi dgn bangga nyebar berita hoax yg fitnah. Bukti kedengkian mengikis habis kecerdasan,” tulis @MurtadhaOne.

“@HaqueMarissa Bu saya aja yang baru kelar S1 tau itu cuma editan… ah ibu mah, malu atuh sama gelar :)) #AdaAqua,” kicau @gittung.

Baca postingan Marrisa Haque, komentar-komentar di sosial media, berita-berita follow up yang menjadi viral, membuat saya teringat ibu saya. Membayangkan Marrisa Haque sebagai ibu kandung, saya pasti kesel dan malu setengah mati. Ya, kesel karena punya ibu yang mudah termakan hoax, ya juga kesel dengan reaksi netizen yang mencaci-maki dengan cara blangsatan seperti itu.

Nggak usah jauh-jauh ke Marrisa Haque, kalau ibu saya share informasi menyesatkan via Whatssapp saja saya suka merasa: harus menarik nafas panjang sambil berkata: “Harap bersabar, ini ujian”. Hoax yang disebar beragam, mulai dari kriminalitas, ekonomi, hingga sentimen agama. Sering sekali saya mengingatkan ibu: “Sudah deh mam, itu kan hoax. Nggak usah disebar!”

“Iya, tapi kan mama gak tau itu fakta atau bohong.” jawab mama.

“Karena belum tahu kebenarannya, makanya dicek dulu. Minimal, tidak perlu di-share…”

Mama menggangguk. Lalu beberapa hari kemudian, melakukan hal yang sama. Huffhhh!! ZZZ.

Hoax juga disebar teman baik saya via Facebook. Dia menyebarkan link, yang isi tulisannya seolah-olah ada ulama yang dipukulin sampai berdarah-darah saat aksi 411 bergulir. Saya buka link itu, ternyata berita berasal dari media sapi-sapian (you know what laaa). Tanpa perlu baca judul atau isi tulisannya, saya sudah tahu bahwa artikel itu provokatif dan belum tentu benar.

Saya langsung tulis komentar: “Tulisan itu belum tentu benar. Kalau belum tentu benar, jangan disebarkan karena sangat berpotensi membuat masyarakat panik, khawatir, dan terpecah-belah.”

Kira-kira 10 menit kemudian, saya lihat di halaman FB teman saya, link itu sudah dihapus. Dia lalu menulis status baru, bahwa tulisan itu ternyata hoax, sekaligus minta maaf ke netizen karena sudah menyebarkan kabar bohong. Fuuhhh… Heran aja gitu, link itu disebarkan teman saya, lulusan kampus negeri top, pernah dapat beasiswa ke luar negeri, dan anaknya dosen.

Berita hoax juga disebar beberapa teman kuliah via Facebook, Path, Twitter, grup Whatsapp, hingga beberapa kanal jaringan pribadi. Untuk mendamaikan hati dan pikiran, saya terpaksa keluar dari sejumlah grup Whatsapp yang isinya sangat partisan. Saya tidak ingin perselisihan terjadi di antara lingkungan sosial sehari-hari. Pengalaman serupa ternyata juga dialami beberapa teman saya. Mereka terpaksa keluar dari grup Whatsapp, unfollow dan unfriend beberapa kawan di media sosial yang sering menyebarkan kabar bohong untuk mencegah peperangan terjadi.

Singkatnya, apa yang dilakukan Marrisa Haque itu… JAHAP sebenarnya sering juga dilakukan orang lain, di sekitar kita…. seperti ibu, ayah, pakde, bude, teman, tetangga, gebetan, selingkuhan.. (eh!). Mereka kita kini memanfaatkan media sosial tidak hanya untuk menjalin komunikasi dengan sesama pengguna, tetapi juga untuk menyebarkan informasi. Kenyataannya, tidak semua orang berbagi informasi yang benar berdasarkan fakta.

Kalau kata Isabella Fawzi, anaknya Marrisa Haque, “Saya tidak bisa memilih terlahir dari orang tua seperti apa, tetapi kami bisa memilih ingin jadi orang seperti apa.”

Kita memang tidak bisa memilih lahir di era prasejarah, zaman pencerahan, atau digital lyf, tetapi kita bisa memilih ingin menjadi generasi milenials ngehe seperti apa. Membaca artikel dengan nada meresahkan itu membuat mata, kuping, dan hati panas, dab! Karena jarimu adalah harimaumu, saring sebelum sharing ya, dan jangan lupa perbanyak piknik!

Jakarta, 17 Mei 2017

Salam, Denty.

rambutkriwil.com

 

Keterangan foto: Di era teknologi dan banjir informasi, duduk di pagi hari sambil membaca koran atau sumber lain yang terpercaya adalah sebuah kemewahan. Foto diambil di Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jawa Barat, Februari 2017. (@Denty Piawai Nastitie)

Read more

Kak, berapa sih gaji wartawan?

— Pelajar SMP di Cibubur

*

Adik pelajar yang baik,

Kalau kamu ingin hidup kaya raya dan bermewah-mewah, jangan pernah jadi wartawan. Saya menyarankan agar kamu menjadi pengusaha. Menjadi wartawan itu sulit, dik. Setiap hari lembur (bekerja lebih dari 8 jam) tanpa uang lembur. Gaji wartawan bisa dipastikan tidak akan pernah cukup dipakai untuk memenuhi semua hawa nafsu hidup hedonis di kota besar.

Kalau kamu ingin bisa keliling Indonesia gratis, bisa keliling dunia gratis (kayaknya sih… soalnya saya belum pernah, hehehe), bisa makan enak di restauran mewah gratis, bisa menginap di hotel berbintang gratis, bisa nonton konser musik gratis, bisa ketemu dan berfoto dengan orang-orang keren mulai dari artis, hingga presiden dan wakil presiden, bisa naik pesawat presiden serta dapat uang dinas kalau bertugas ke luar kota dan luar negeri, mungkin kamu bisa jadi wartawan.

Lebih dari itu, kalau kamu ingin hidup bermanfaat bagi orang lain, bisa mempelajari nilai-nilai kemanusiaan dengan lebih baik, bisa bekerja sekaligus mencari pengalaman hidup, bisa pamer menjadi anjing penjaga (watch dog) yang bertugas mengawasi kinerja lembaga sosial, politik, dan ekonomi, agar mereka tidak melakukan monopoli kekuasaan, bisa menjadi jembatan aspirasi masyarakat, bisa menulis kisah-kisah yang menginspirasi, bisa gaya-gayaan aja punya pekerjaan yang berbeda dengan orang kebanyakan, mungkin kamu cocok menjadi wartawan.

Berdasarkan penelitian Aliansi Jurnalis Independen, upah jurnalis di Indonesia masih jauh dari ideal. Dari sekian banyak media cetak, televisi, radio, dan online, hanya ada dua media yang jurnalisnya mendapat upah di atas upah layak AJI (2010), yaitu harian Bisnis Indonesia dan Kompas. Tentu saja, dua media tidak cukup untuk menampung semua lulusan jurnalistik atau peminat jurnalisme di Indonesia yang jumlahnya mencapai ribuan orang. 

Seingat saya, pada 2013, ada sekitar 400 orang dari daerah asal Yogyakarta yang mendaftar bekerja sebagai jurnalis di harian Kompas. Pada tahun yang sama, Kompas juga membuka lowongan jurnalis di Bandung, Jakarta, dan Surabaya, sehingga total pelamar mencapai lebih dari 1.000 orang. Setelah melalui tahap seleksi yang panjang dan ketat, 15 orang dinyatakan lolos jadi calon wartawan Kompas. Kini, yang bertahan menjadi wartawan sebanyak 11 orang. 

Menurut AJI (2016) angka ideal untuk reporter yang baru diangkat menjadi jurnalis tetap Rp 7,54 juta per bulan, tetapi kenyataannya upah layak itu baru diterima seorang jurnalis setelah bekerja lebih dari lima tahun. Kalau ditanya ke media bersangkutan, kenapa memberi upah di bawah layak, pasti jawabannya akan beragam, seperti bisnis media yang sulit (media harus memperhatikan oplah, rating, TV share, dll…)

Kenyataan upah jurnalis yang tidak layak ini menjadi kegelisahan banyak pihak, terutama tentu saja jurnalisnya sendiri. Jika upah layak diberikan kepada jurnalis, dipercaya mutu produk jurnalisme meningkat. Sebab, jurnalis bisa bekerja secara profesional dan tidak tergoda menerima amplop yang merusak independensi jurnalis. 

Kalau kata teman saya, F, seorang wartawan di media online, setiap orang punya pilihan hidup. “Kalau sudah memilih jadi wartawan, ya bekerjalah sebaik-baiknya wartawan. Kalau tidak siap dengan konsekuensinya, bisa cari pekerjaan lain… ” Hmmm… 

Bagaimana dengan media asing? Menurut payscale.com, gaji jurnalis di amerika Serikat, berdasarkan data 24 maret 2011, antara US$ 25,542 (Rp 217.183.626) sampai US$ 45,517 (Rp 387.031.051) per tahun atau antara Rp 18.098.635 sampai Rp 32.252.587 per bulan (masa kerja bervariasi, mulai dari 1-20 tahun). Biaya kehidupan di sana memang tinggi, tetapi jurnalis juga dapat fasilitas yang luar biasa dari tempat bekerja. Makanya gak heran, kalau di film-film, jurnalisnya keceehh gituuu… pakai baju keren, naik mobil keren, tinggal di apartemen keren…. Hahhahaa. 

Suatu hari, teman saya berkata, “Wil, gue diterima kerja. Gajinya lebih gede dari lo. Kerjaannya ringan, pula! Cuma di kantor aja, enggak banyak kerjaan lapangannya.”

Saya cuma tersenyum menanggapi. Gaji teman saya memang bisa lebih besar. Pekerjaannya, juga mungkin lebih ringan, “cuma di kantor aja”, yang artinya dia tidak perlu berpanas-panasan ngejar berita, bisa pakai baju keren, kulit dan rambut terawat karena setiap hari bekerja di ruang ber-AC.

Tetapi, berkaca pada diri sendiri, bukan jenis pekerjaan seperti itu yang saya inginkan. Dalam hati saya bangga dengan diri sendiri: gaji orang lain boleh lebih gede dari gue, tapi berapa banyak daerah di pelosok nusantara yang sudah dikunjungi? Hehehhee.

Suatu hari, teman saya yang lain berkata, “Gaji gue lumayan. Fasilitas dari kantor juga cukup lengkap. Tetapi, kalau mau cuti susah banget, gak bisa jalan-jalan lama deh sekarang….” Setelah beberapa tahun bekerja, dia memutuskan resign dan menjalani passionnya sebagai traveler.

Bagi saya, yang hobi jalan-jalan dengan kondisi kantong tipis, jadi wartawan itu adalah jalan tengah. Saya bisa mendapatkan uang hallal untuk memenuhi hidup sehari-hari dan sedikit menabung untuk masa depan, sekaligus sesekali dapat tugas dinas ke luar kota dari kantor.

Bagaimana dengan kamu? Ingin jadi wartawan?

Kalau kata bos gueh, Pak JO, menjadi wartawan itu, vocatio. Panggilan hidup. 

 

Jakarta, 16 Mei 2017

Salam, Denty.

rambutkriwil.com

 

Keterangan foto: Dalam tugas mewawancarai Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dalam perjalanan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Belawan, Sumatra Utara, Juni 2015. Baru sadar, perjalanan laut selama tiga hari dua malam membuat badan lengkettt dan bau amis cuyy!! Padahal cuma bawa baju sepotong atasan dan bawahan aja karena dipikirnya nggak mau ribet bawa barang banyak. Huhuhuuu. (Fotografer: Denny Irwanto/Metrotvnews.com)

Read more

 

Selamat siang Bu Denty,

Saya kebetulan adalah mahasiswa komunikasi peminatan jurnalistik yang sebenarnya sangat tertarik untuk memulai menulis tentang perjalanan, akan tetapi bingung untuk memulai darimana. Jika ibu tidak keberatan, apakah ada saran atau tips dalam menulis sebuah perjalanan? Terutama yang ingin saya kembangkan adalah penulisan perjalanan yang tetap dapat mengangkat isu sosial dan lingkungan.

— Putu 
Undergraduate student of Communication Studies
Faculty of Social and Political Sciences
Universitas Indonesia

*

Dear Putu yang baik,

Pertama-tama, terimakasih atas pertanyaannya. Senang sekali bisa berkomunikasi langsung dengan pembaca. Kedua, jangan panggil saya ibu yaa…. muka saya emang boross tapi saya belum jadi ibu-ibu kok…. huaa huaaaa T.T *nangis bombaaayyyy*

Seperti yang saya jelaskan dalam email sebelumnya, saya bukanlah seorang jurnalis ketika pertama kali menulis catatan perjalanan dan mengirimkan tulisan itu ke media cetak.

Saya lahir dan besar di Jakarta. Begitu tamat SMP, saya pindah ke Yogyakarta. Pertama kali saya menulis catatan perjalanan adalah ketika saya sekolah di Yogyakarta. Ketika itu, saya memang hobi jalan-jalan. Tempat jalan-jalannya tidak jauh, sebutlah menyusuri Taman Sari dan Keraton Yogyakarta. Kalau mau agak jauh sedikit, paling-paling saya pergi ke Sungai Bengawan Solo yang bisa ditempuh dengan naik kereta api Pramex atau motoran selama dua jam dari Yogayakarta. Kalau mau lebih jauh lagi, saya naik bus umum pergi ke Wonosobo dan Dieng.

Saya bukan orang kaya. Jadi, ya bisa ditebak… jalan-jalannya di tempat-tempat yang biasa-biasa saja dan dekat-dekat saja. Jalan-jalan di Yogyakarta dan sekitarnya, bagi saya, adalah bagian dari pencarian jati diri. Saya yang biasanya hidup di gemerlapnya Ibu Kota, hobi ngemol dan nonton film, harus menjalani hidup yang sunyi di Yogyakarta. Hehehhe. Jalan-jalan, adalah cara saya untuk mengenal dan mencintai tempat tinggal saya yang baru.

Dulu, foto-foto hasil jalan-jalan saya posting di blog gratisan bernama Multiply (situs ini pernah eksis banget sebelum Facebook muncul :D). Karena memposting foto tanpa tulisan itu bagai sayur tanpa garam, jadi mulailah saya menulis catatan perjalanan. Saya menghindari menulis sesuatu yang sudah pernah ditulis orang lain, seperti “Bagaimana cara ke Dieng dari Yogyakarta?” atau “10 hal seru yang bisa dilakukan di Yogyakarta” atau “Tempat-tempat Indah di Kota Solo” dan seterusnya..

Kenapa saya menghindari menulis instruksi “how to get here and there… and bla bla”? Alasannya simple, tempat-tempat yang saya kunjungi adalah tempat-tempat biasa-biasa saja yang sudah dikunjungi jutaan manusia lainnya. Saya tidak mau tulisan saya sama dengan orang lain. Kalau tulisan saya sama dengan orang lain, siapa yang akan membaca tulisan saya?

Lagian, bagi saya.. perjalanan bukanlah soal destinasi, perjalanan adalah soal perjalanan itu sendiri… daripada mendeksripsikan destinasi (yang sudah banyak dibuat orang lain), menuliskan cerita selama perjalanan, itulah yang menarik. Karena itu, dalam tulisan, saya lebih condong mengeksplorasi pengalaman ketika datang ke tempat-tempat yang “biasa-biasa saja itu”.

Pengalaman itu, misalnya soal interaksi dengan penduduk lokal. Saya pernah menulis tentang seorang ibu di Indramayu yang memetik sayur kangkung liar. Si ibu ini adalah single mother yang hidup dalam keterbatasan ekonomi sehingga terpaksa memetik sayur kangkung liar untuk makan anak-anaknya. Coba bayangkan kalau saya menulis kisah dengan judul: “Jalan-jalan seru di Indramayu,” atau “Yuk, Piknik ke Indramayu!” Hehehee… Tulisan dengan judul seperti itu pasti sudah tersebar di jagat dunia maya. Kalau tidak percaya, coba saja browsing!

Interaksi dengan penduduk lokal, siapapun orangnya, adalah materi tulisan yang sangat kaya, segar, dan baru. Selain itu, dengan menulis topik berisi interaksi dengan penduduk lokal, kita bisa sekalian merefleksikan kehidupan kita. Bukankah perjalanan akan memberi kita pandangan hidup yang berbeda? 🙂 Tentu saja, interaksi dengan penduduk lokal hanyalah salah satu contoh topik. Masih banyak topik lainnya, seperti soal kesulitan yang dihadapi saat naik angkutan umum, perasaan bodoh saat mencari minuman untuk pria dewasa Purwaceng saat berada di Wonosobo (hahahha kirain Purwaceng itu minuman seperti Wedang Ronde :p), pengalaman dikira jadi selundupan TKW Indonesia saat berada di perbatasan Malaysia-Singapura. Suerr semua ini bener kejadian!

Tulisan-tulisan di blog membuat saya terhubung dengan teman-teman yang punya hobi sama, yaitu jalan-jalan. Kadang-kadang saya kopdar (kopi darat alias ketemu tatap muka) dengan orang-orang yang juga hobi ngeblog dan kami merencanakan perjalanan bersama ke tempat-tempat lain.

Beberapa blogger itu adalah fotografer dan penulis profesional. Mereka menyarankan agar saya mengirim tulisan ke media cetak, seperti National Geographic dan Kompas. Ketika usia saya 17 tahun, tulisan saya pertama kali dimuat di Kompas. Rasanya sungguh banggaaa lihat nama saya tercetak di media nasional. Apalagi dapat uang jajan yang dikirim lewat wesel! 😀

Jadi, balik lagi ke pertanyaan kamu: bagaimana cara mulai menulis kisah perjalanan?

Jawaban saya adalah:

1. Mulailah dengan menulis pengalaman kamu sendiri! Untuk menulis catatan perjalanan, sudah pasti harus suka jalan-jalan! Gimana mau nulis catatan perjalanan kalau kita hanya fesbukan aja di dalam kamar…. Hihihi. Kemana jalan-jalannya? Sesuaikan saja dengan kantong kamu. Kalau anak-anak jaman sekarang banyak yang backpacker-an jauh-jauh sampai ke luar negeri…. kalau kamu suka, kamu bisa melakukan hal yang sama. Kalau kamu tidak punya banyak waktu dan budget (seperti saya ahhaha) bisa jalan-jalan di kota kamu sendiri. Eksplorasi tempat-tempat di kota tempat tinggalmu, dengan kaca mata seorang pejalan. Kalau ke Jepang kita bisa terpukau dengan pasar ikan Tsukiji Market, kenapa kita enggak pernah mengekplorasi pasan ikan Penjaringan di Jakarta Utara, misalnya? Pengalaman sebagai mahasiswi Kampus Depok juga sangat menarik ditulis…. Teman saya pernah menulis pengalaman mencoba puluhan kuliner di UI…. bikin ngiler!

2. Enggak ada cara lain melatih kesabaran selain dengan bersabar. Begitu juga dengan menulis. Bagaimana cara menulis? Ya, jawabannya harus menulis! Setelah jalan-jalan, tentukan dulu mau menulis apa. Biasanya sih saya memilih topik sesuatu yang betul-betul saya pahami, dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan berbekas di hati saya, entah itu membuat hati saya terenyuh, terpukau, tersentuh, atau drama-drama perjalanan yang lucu, gokil, menyeramkan, aneh, yang sepertinya tidak akan saya lupakan.

Setelah menemukan topiknya, lakukanlah 3N, yaitu Niteni, Nirokke, Nambahi. Niteni (memperhatikan) karya penulis favaorit kamu, nirokke (mencontoh) cara menulis dia dengan menggunakan materi tulisan yang kamu miliki, dan nambahi (menambahkan) gaya penulisan yang membuat kamu nyaman. Dengan cara ini, lama-lama akan terbentuk style penulisan yang jadi ciri khas kita. Tulisan yang menarik biasanya yang penuh warna, ada drama, kreatif, informatif. Kalimat-kalimatnya nggak perlu kaku seperti nulis jurnal ilmiah. Menulislah seperti kamu bercerita lewat tutur kata. Yang nggak kalah penting adalah, keterampilan menulis judul dan lead. Judul yang baik biasanya enggak terlalu panjang, dan bisa membuat pembaca tersihir untuk membaca tulisan kamu. Sampai sekarang saya juga masih belajar menulis judul dan lead kok…. 🙂

3. Perkaya tulisan dengan sumber-sumber lain yang relevan. Seperti saya bilang sebelumnya, saya akan menulis sesuatu yang betul-betul saya pahami. Tentu saja, semakin banyak kita tahu sesuatu akan semakin banyak materi yang bisa dituliskan. Sumber-sumbernya dari mana? Ya dari baca buku, nonton film, dengerin musik, ngobrol sama penduduk lokal, wawancara para ahli, kepo instagram Lambeturah! (Eh!) Sumber-sumber itu bisa jadi inspirasi atau mungkin ada kalimat menarik yang bisa jadi kutipan.

4. Kirim tulisan ke media masa. Bukan semata-mata mencari eksistensi atau uang jajan tambahan, menulis di media masa membuat kita belajar menulis dengan lebih baik. Tulisan kita akan dibaca dan diedit oleh editor berpengalaman. Kalau tulisan dimuat, kita bisa belajar menulis yang lebih baik dengan cara membandingkan tulisan kita (asli) dengan tulisan yang sudah diedit dan dimuat. Pasti ada beberapa perbedaan, deh! Kalau tulisan tidak dimuat, kita bisa hubungi editornya, dan tanyakan kenapa tulisan tidak dimuat. Nah, bisa belajar juga kan dari situ. Bukankah kegagalan adalah awal dari keberhasilan? 🙂 Kalau punya teman penulis, kita juga bisa kirim ke dia dan minta tolong agar tulisan diedit atau minimal dikomentari. Sebelum saya kirim tulisan ke media masa, biasanya saya minta beberapa teman untuk baca tulisan saya sehingga bisa diedit sebelum dikirim ke redaksi.

5. Terakhir, soal pertanyaan kamu: bagaimana menulis kisah perjalanan yang tetap dapat mengangkat isu sosial dan lingkungan hidup. Hmm… gimana yaaa,… ya tulis saja fakta-fakta yang kamu temui selama perjalanan. Misalnya, banyak yang menulis keindahan Kepulauan Komodo, tetapi jarang sekali yang nulis bahwa di pulau-pulau itu banyak sampah berserakan. Isu sosial sangat mungkin ditulis kalau kita mau membuka diri dengan penduduk lokal. Beragam perbedaan latar belakang, budaya, agama, membuat hidup kita kaya dan memahami dunia dengan lebih baik. Tetapi, saran saya… di awal-awal seperti ini, nggak usah repot-repot membatasi diri terhadap isu tertentu… percayalah, lama-lama akan terbentuk sendiri kok apa yang menjadi kekhasan kita. Tulis saja apapun hal yang menarik!

Demikian balasan email saya yang ternyata sudah panjang yaaa, sepanjang jalan kenangan… Wkwkwkwk. Semoga jawaban saya dapat membantu! Saya tidak sabar membaca tulisan kamu. 🙂

Jakarta, 9 Mei 2017

Salam, Denty.
Rambutkriwil.com

 

Keterangan Foto: Soesilo Pram – adik penulis Pramoedya Ananta Toer -menulis di ruang kerjanya di Blora, Jawa Tengah. Kata Pramoedya: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Selamat menulis!

Read more