Belajar dari Kasus Marissa Haque

Belakangan ini saya terpancing sering kepo tentang Marrisa Haque. Semua berawal dari rasa penasaran, kenapa dia bisa dibully habis-habisan oleh netizen, sampai suami dan anak-anaknya terbawa jadi sasaran komentar pedas penghuni dunia maya.

Saking kurang kerjaannya, saya mengamati hampir semua postingan Marrisa Haque di linimasa, seperti Twitter dan Instagram. Beberapa postingan emang super nggak penting (sebutlah postingan yang berkaitan dengan menantu mantanya Om Ikang Fauzi :p)… Ibaratnya nih, Marrisa Haque nyalain korek, netizen nyiram minyak. Jadilah dunia mayaaa panasss terbakar… Hehhee.

Tetapi, di postingan ini, saya gak akan bahas gosip. Biar itu jadi makanan Lambeturah! 😀 Ada hal lain yang menarik perhatian, yaitu cuitan hoax yang disebarkan Marrisa Haque di Twitter. Hoax yang disebarkan seolah berasal dari situs ternama, yaitu CNN Indonesia. Dalam tulisan tersebut, pemilik Lucky Florist kecewa karena karangan bunga yang dikirim pendukung Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama ke Balai Kota (terkait dengan Pilkada DKI) belum lunas.

Setelah cuitan tersebar, nitizen mencak-mencak! Apalagi beberapa waktu kemudian ada klarifikasi dari Lucky Florist dan situs resmi CNN Indonesia bahwa yang disebarkan Marrisa Haque kabar bohong alias HOAX.

“@HaqueMarissa Gelar doktor, hajjah Tapi dgn bangga nyebar berita hoax yg fitnah. Bukti kedengkian mengikis habis kecerdasan,” tulis @MurtadhaOne.

“@HaqueMarissa Bu saya aja yang baru kelar S1 tau itu cuma editan… ah ibu mah, malu atuh sama gelar :)) #AdaAqua,” kicau @gittung.

Baca postingan Marrisa Haque, komentar-komentar di sosial media, berita-berita follow up yang menjadi viral, membuat saya teringat ibu saya. Membayangkan Marrisa Haque sebagai ibu kandung, saya pasti kesel dan malu setengah mati. Ya, kesel karena punya ibu yang mudah termakan hoax, ya juga kesel dengan reaksi netizen yang mencaci-maki dengan cara blangsatan seperti itu.

Nggak usah jauh-jauh ke Marrisa Haque, kalau ibu saya share informasi menyesatkan via Whatssapp saja saya suka merasa: harus menarik nafas panjang sambil berkata: “Harap bersabar, ini ujian”. Hoax yang disebar beragam, mulai dari kriminalitas, ekonomi, hingga sentimen agama. Sering sekali saya mengingatkan ibu: “Sudah deh mam, itu kan hoax. Nggak usah disebar!”

“Iya, tapi kan mama gak tau itu fakta atau bohong.” jawab mama.

“Karena belum tahu kebenarannya, makanya dicek dulu. Minimal, tidak perlu di-share…”

Mama menggangguk. Lalu beberapa hari kemudian, melakukan hal yang sama. Huffhhh!! ZZZ.

Hoax juga disebar teman baik saya via Facebook. Dia menyebarkan link, yang isi tulisannya seolah-olah ada ulama yang dipukulin sampai berdarah-darah saat aksi 411 bergulir. Saya buka link itu, ternyata berita berasal dari media sapi-sapian (you know what laaa). Tanpa perlu baca judul atau isi tulisannya, saya sudah tahu bahwa artikel itu provokatif dan belum tentu benar.

Saya langsung tulis komentar: “Tulisan itu belum tentu benar. Kalau belum tentu benar, jangan disebarkan karena sangat berpotensi membuat masyarakat panik, khawatir, dan terpecah-belah.”

Kira-kira 10 menit kemudian, saya lihat di halaman FB teman saya, link itu sudah dihapus. Dia lalu menulis status baru, bahwa tulisan itu ternyata hoax, sekaligus minta maaf ke netizen karena sudah menyebarkan kabar bohong. Fuuhhh… Heran aja gitu, link itu disebarkan teman saya, lulusan kampus negeri top, pernah dapat beasiswa ke luar negeri, dan anaknya dosen.

Berita hoax juga disebar beberapa teman kuliah via Facebook, Path, Twitter, grup Whatsapp, hingga beberapa kanal jaringan pribadi. Untuk mendamaikan hati dan pikiran, saya terpaksa keluar dari sejumlah grup Whatsapp yang isinya sangat partisan. Saya tidak ingin perselisihan terjadi di antara lingkungan sosial sehari-hari. Pengalaman serupa ternyata juga dialami beberapa teman saya. Mereka terpaksa keluar dari grup Whatsapp, unfollow dan unfriend beberapa kawan di media sosial yang sering menyebarkan kabar bohong untuk mencegah peperangan terjadi.

Singkatnya, apa yang dilakukan Marrisa Haque itu… JAHAP sebenarnya sering juga dilakukan orang lain, di sekitar kita…. seperti ibu, ayah, pakde, bude, teman, tetangga, gebetan, selingkuhan.. (eh!). Mereka kita kini memanfaatkan media sosial tidak hanya untuk menjalin komunikasi dengan sesama pengguna, tetapi juga untuk menyebarkan informasi. Kenyataannya, tidak semua orang berbagi informasi yang benar berdasarkan fakta.

Kalau kata Isabella Fawzi, anaknya Marrisa Haque, “Saya tidak bisa memilih terlahir dari orang tua seperti apa, tetapi kami bisa memilih ingin jadi orang seperti apa.”

Kita memang tidak bisa memilih lahir di era prasejarah, zaman pencerahan, atau digital lyf, tetapi kita bisa memilih ingin menjadi generasi milenials ngehe seperti apa. Membaca artikel dengan nada meresahkan itu membuat mata, kuping, dan hati panas, dab! Karena jarimu adalah harimaumu, saring sebelum sharing ya, dan jangan lupa perbanyak piknik!

Jakarta, 17 Mei 2017

Salam, Denty.

rambutkriwil.com

 

Keterangan foto: Di era teknologi dan banjir informasi, duduk di pagi hari sambil membaca koran atau sumber lain yang terpercaya adalah sebuah kemewahan. Foto diambil di Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jawa Barat, Februari 2017. (@Denty Piawai Nastitie)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*