June 2017

“Lebih baik budaya itu “dirusak”, daripada tidak pernah tersentuh dan malah hilang dalam ingatan,” kata Sapto Rahardjo, seniman dan pemrakarsa Yogyakarta Gamelan Festival (YGF), nyaris 10 tahun lalu.

Kata-kata Mbah Sapto, panggilan akrab Sapto Raharjo, terngiang-ngiang di kepala saat saya membuat mural di tembok kota lama Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Saat itu, jarum jam lewat pukul 00.00, belasan anak muda dari komunitas #Kesengsemlasem dan warga setempat bekumpul untuk menjadi saksi perubahan wajah tembok Lasem yang awalnya usang dan nyaris tak terawat menjadi lebih berwarna.

Sapto Rahardjo adalah seniman yang identik dengan gamelan. Tak hanya gamelan tradisi, dia juga mengekplorasi gamelan dengan menggunakan teknologi modern seperti komputer dan synthesizer. Perannya bagi perkembangan gamelan semakin jelas ketika dia membuat Yogyakarta Gamelan Festival (YGF). Festival musik berskala internasional itu sudah ada sejak 1995 dan masih eksis hingga kini, bahkan ketika Mbah Sapto tutup usia.

Di YGF, Mbah Sapto juga memperkenalkan konsep Gamelan Gaul. Melalui Gamelan Gaul, anak-anak muda yang tadinya hidup jauh dari kesenian dan tradisi dirangkul untuk memainkan gamelan dengan cara yang lebih fun. Kalau biasanya gamelan memainkan gending jawa, misalnya, melalui Gamelan Gaul anak-anak muda bebas memainkan lagu-lagu pop. Bunyi yang keluar dari gamelan juga dipadukan dengan alat-alat musik modern, seperti drum dan gitar.

Cara Sapto Rahardjo memperkenalkan gamelan kepada anak-anak muda sempat menuai kritik pedas dari banyak kalangan. Mbah Sapto, kakek berambut gondrong itu, dinilai sudah merusak gamelan. Tetapi, dia tidak gentar. Saat menjadi volunteer YGF 2007-2008, saya menyaksikan sendiri perjuangan Mbah Sapto bersama para relawannya menyukseskan berbagai event Gamelan Gaul. Dengan dana yang terbatas, Mbah Sapto bahkan pernah membuat Pawai Budaya Nusantara di Istana Negara saat SBY berkuasa.

Hasilnya, dari sekedar coba-coba, banyak anak muda yang kemudian tertarik menggeluti gamelan. YGF juga selalu ramai dihadiri pecinta gamelan dari berbagai negara. Orang-orang asing dari berbagai penjuru dunia tidak hanya menonton, tetapi juga ikut bermain gamelan. Festival itu menjelma jadi ajang pelestarian budaya sekaligus tempat berkumpulnya warga dunia. Kerja keras Mbah Sapto adalah upaya mempertahankan gamelan sebagai warisan Indonesia. Jangan sampai, begitu negara tetangga mengakui gamelan sebagai peninggalan bangsanya, orang-orang Indonesia baru ribut-ribut!!!

Cerita tentang Mbah Sapto dan “perusakan” gamelan yang sistematis dan terstruktur itu kembali hadir dalam ingatan, ketika saya melakukan perusakan lainnya, yakni mewarnai tembok Lasem. Lasem yang terkenal dengan arsitektur peninggalan kebudayaan China, kini lebih bewarna dengan kehadiran gambar polkadot warna-warni, sayap, dan entah nanti apa lagi. Lasem yang dulunya terkenal sebagi kota dengan penghuni orang-orang tua, tiba-tiba digruduk anak muda yang hobi plesiran dan selfi-selfian di depan mural.

Sejumlah orang menilai, mewarnai Lasem adalah bentuk perusakan tembok yang usianya sudah puluhan (atau mukin ratusan) tahun. Kegiatan perusakan tembok ini bermula saat saya berkunjung ke Lasem bersama teman dari Yogyakarta, Narastika. Di Lasem, saya bertemu pendiri komunitas #Kesengsemlasem, Agni Malagina.

Begitu tiba di Lasem, Kak Agni mengajak saya berkeliling desa. Lasem itu sangat identik dengan lorong-lorong kampung yang di kiri kanannya terbentang rumah-rumah lawas. Rumah-rumah peninggalan keluarga Tionghoa itu dikelilingi tembok putih polos setinggi tiga meter. Sebagian tembok sudah retak dan pecah-pecah. Sebagian lainnya lembap dan berlumut sehingga suasananya sunyi dan agak menyeramkan saat gelap.

Sambil berkeliling naik sepeda motor, Kak Agni bertanya: “Apa pendapat kamu kalau tembok-tembok ini kita cat agar lebih berwarna? Mungkin bisa juga dengan gambar-gambar mural.”

“Hmm… menarik juga. Mungkin kalau tembok-tembok ini sudah diwarnai suasana Lasem jadi berbeda. Jadi lebih hidup,” jawab saya. Sebenarnya jawaban itu hanya untuk membuat Kak Agni lega. Jauh-jauh ke Lasem, saya ingin menikmati hidup ala pedesaan bukannya ingin berdebat apakah tembok-tembok ini layak diwarnai atau tidak.

“Naaaah! Pas bangeettt!! Mumpung lo ada di sini, lo yang gambar dan mewarnai ya!” seru Kak Agni kegirangan.

Saya yang sedang menyetir motor terpaksa ngerem mendadak karena kaget. “Maksudnya??? Gue yang bikin mural??? Lo yakin?? Kapan bikinnya??? Emang waktunya cukup??? Gue kan cuma tiga hari di sini!!” kata saya.

“Cukup! Waktunya pasti cukup. Nanti kita beli cat ya, terus kita mewarnai!”.

Matilah awak! Kata saya dalam hati. Biasanya Kalau Kak Agni punya keinginan, dia akan gigih berusaha mewujudkan keinginan itu. Maka, sepanjang hari saya berusaha mempengaruhi Kak Agni agar dia membatalkan niatnya. Saya katakan ke Kak Agni kalau mencat tembok itu butuh waktu tak sebentar, butuh orang banyak yang mengerjakan, dan butuh kreativitas. “Emangnya gue bisa gambar? Gue gak bakat gambar,” kata saya.

“Bisa! Pasti bisa! Kita buat Lasem lebih hidup!” kata Kak Agni yakin.

Karena rencana itu sudah bulat, maka tidak ada alasan untuk mundur. Kak Agni menghubungi sejumlah pemilik tembok. Begitu mendapat izin, kami segera ngebom! (istilah menggambar mural di tembok).

Seperti bomber profesional, ngebom tembok Lasem dilakukan malam hari. Dengan pencahayaan seadanya, Kak Agni, Narastika, dan saya pun bergelut dengan kaleng-kaleng cat warna-warni. Bomber dadakan ini bekerja sambil digigit nyamuk, dan menghisap debu-debu jalan raya. Kami juga menerjang gerimis dan menahan rasa kantuk.

Jujur saja, saya sempat merasa pesimis dengan aksi ini. Mana mungkin Trio Angles (Kak Agni, Narastika, dan saya) bisa menggambar tembok-tembok Lasem yang panjangnya mencapai puluhan meter itu?!!

Tetapi, rasa pesimis itu berganti jadi semangat saat melihat warga Lasem ikut terlibat. Warga Lasem yang berpartisipasi berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak pesantren, pengusaha batik, hingga orang-orang tua Tionghoa. Mereka terlibat dengan ikut mewarnai, atau sekedar memberi dukungan dengan membawakan kami makanan dan minuman agar tidak mati kelaparan dan kehausan. Ada pula warga yang datang menyumbangkan jendela-jendela usang untuk dipasang menjadi dekorasi di tembok. Bukankah suatu pembangunan kota dinyatakan berhasil bisa sudah sukses mengajak warga terlibat?

Ketika mewarnai Lasem, saya sadar Lasem adalah kota yang bernyawa dengan akulturasi budaya. Tidak ada sekat-sekat yang memisahkan orang China dan bukan China, orang Jawa dan bukan Jawa, orang Kristen dan bukan Kristen, Islam dan bukan Islam. Semua orang membaur, saling mendukung. Anak-anak pesantren misalnya, dengan mengenakan baju koko, sarung, dan peci, asik-asik aja tuh mewarnai tembok-tembok rumah milik pengusaha Tionghoa sehingga terlihat lebih indah.

“Di daerah lain punya kekayaan pantai atau gunung, sementara di Lasem kekayaan kita adalah tembok-tembok tua,” kata Umi, istri Gus Zaim, pemilik Pesantren Kauman Lasem.

Kak Agni mengatakan, anak-anak muda malas datang ke Lasem karena tempat itu dinilai kurang menarik. Mereka lebih senang datang ke tempat-tempat wisata yang lebih ngehits. “Kalau kita mau melestarikan budaya, kita harus melibatkan anak-anak muda. Mereka harus diajak datang ke Lasem. Mungkin, awalnya mereka hanya mau swa-foto di depan mural yang kita buat, pelan-pelan kita juga mengedukasi tentang betapa bernilainya Lasem,” kata Kak Agni.

Mewarnai tembok Lasem sebenarnya bukan hal baru. Beberapa rumah di Lasem sengaja di cat pemiliknya untuk memberi ciri khas. Tiongkok Kecil Herritage milik Rudy Hartono, yang menjadi salah satu ciri khas Lasem, misalnya, malah lebih sering disebut Rumah Merah karena temboknya berwarna merah.

Di negara-negara lain, mural juga sudah menjadi bagian dari peradaban kota. Di George Town, Malaysia, misalnya, sangat identik dengan mural dan dekorasi-dekorasi tembok, seperti sepeda dan jendela gantung, yang menyatu dengan arsitektur lawas. Kesadaran warga untuk merawat budaya dan sejarah, sekaligus menciptakan unsur kekinian, menjadikan George Town dan Melaka, mendapat predikat UNESCO World Herritage Site. Saat ini, Lasem Kota Pusaka juga sedang diusulkan ke UNESCO sehingga perlu ada gerakan massal untuk mendukungnya.

Saat mewarnai tembok Lasem, saya mendengar sejumlah orang sanksi pada gerakan ini. “Memang boleh tembok-tembok Lasem dirusak?”. Saya hanya tersenyum. Dalam hati ingin menjawab, “Lebih baik tembok-tembok ini dirusak daripada Lasem tidak pernah tersentuh dan malah hilang dalam ingatan.” Belum sempat saya menjawab demikian, beberapa warga Lasem sudah berseru, “Waah… temboknya jadi bagus! Lebih berwarna! Nanti rumah saya dikasih gambar juga yaa!!” Saya pura-pura gak dengar karena takut berniat alih profesi jadi tukang cat! >.<

 

Jakarta, 1 Syawal 1438 H

Selamat Idul Fitri bagi teman-teman yang merayakan, mohon maaf lahir dan batin.

Salam, Denty Piawai Nastitie

Rambutkriwil.com

Read more

“Kapan kawin?”

Siapa sih, yang enggak pernah menerima pertanyaan: “Kapan kawin?!!”

Menjelang hari lebaran begini, siap-siap ya halal-bihalal dengan sanak saudara, teman-teman lama, para tetangga, dan disambut pertanyaan serupa berulang-ulang! Kyaaakkk! Kyakkk!

Bro, sist, sama kok! Saya juga sering menerima pertanyaan “kapan kawin?”. Dua tahun lalu pernah ngobrol dengan nenek asal Amerika Serikat, dia bertanya, “Berapa usia kamu?”. Saya jawab: “25 tahun!” Lalu dia dengan entengnya bilang: “You are just a baby.” Lalu, saya bengong dong: “Di Indonesia, orang-orang mengganggap saya berusia 200 tahun!” Si nenek pirang tertawa.

Begitulaaah, seiring usia bertambah makin banyak pula pertanyaan “kapan kewong?”. Beberapa orang bertanya sambil lalu, sepertinya hanya karena iseng gak punya topik pembicaraan. Beberapa lainnya memang peduli. Banyak juga yang bertanya untuk membandingkan kebahagiaan (kalau gak mau disebut penderitaan).

Menanggapi pertanyaan itu, sering kali saya tersenyum. Sering juga tertawa (baik karena memang ingin menertawakan diri sendiri atau tertawa garing untuk basa-basi). Kadang-kadang saya bawa santai saja pertanyaan demikian karena dilontarkan seseorang yang tidak terlalu penting (so buat apa gue pusing????)

Sering juga jengkel (karena pertanyaan dilontarkan di saat kurang tepat). Kadang saya sedih. Bukan karena status saya, tetapi sedih karena kok bisa ya saya mengenal manusia berpikiran begitu dangkal yang menganggap orang lain harus menjalani kehidupan sama seperti dengannya. Perasaan-perasaan itu muncul tergantung musim (musim rambutan atau durian hahhaa #yakali), kondisi (siapa yang tanya, lokasi, aktivitas, dll), juga suasana hati.

Kalau saya lagi pengen bercanda paling saya jawab, “Kalau enggak Sabtu ya Minggu.” Bisa juga dijawab: “Emang kalau gue nikah lo mau nyumbang berapa?” atau “Tergantung kapan gedungnya kosong.” Sambil diiringi derai tawa. Kalau lagi sok bijak, saya akan mengatakan, “Never marry because time is going, marry because you are ready.”

Kalau lagi sok bijak semisensi, saya akan mengatakan, “Never marry because A DULL MAN asking you when you are going to marry, marry because you are ready.” >> biasanya setelah disemprot begitu tuh orang langsung mingkem.

Once, saya bilang ke nyokap, kenapa sih orang-orang kepo banget tanya-tanya kapan saya nikah. Kalau yang bertanya semacam orang-orang yang saya hormati seperti bude, pakde, atau bos di kantor kan saya jadi bingung harus jawab apa. Sesekali, sih, bisa saya jawab bercanda, tetapi kalau keseringan dan saya lagi males nanggepinnya bisa2 saya jawab ketus dan malah panjang urusan.

Untungnya, my mom mengerti kegundahan hati anaknya. Dia bilang sebagai manusia, saya harus bersikap baik dan ramah ke orang lain. “Beberapa orang memang seperti kurang kerjaan (kalau menurut saya kurang ajar!) tanya-tanya status, beberapa lainnya betul-betul peduli. Dia ingin mendoakan yang terbaik bagi kamu. Jadi, respons kamu ya harus baik juga,” kata my mom.

So mendengarkan masukan nyokap, saya siap tersenyum dan menjawab ramah kepada mereka yang saya hormati. Kalau ada kesempatan saya ngobrol heart to heart ke teman dekat, tentu saya akan menjawab dengan jawaban paling jujur dari dalam hati. Biasanya jawabannya panjang ha ha.

Well, pada dasarnya banyak alasan kenapa seseorang belum menikah.

1. Kita tidak pernah tahu masa lalu seseorang

Teman saya ada yang belum menikah karena trauma. Beberapa hari sebelum pernikahan, tiba-tiba calon suaminya ketahuan selingkuh (baca tidur dengan cewek lain) di depan matanya sendiri. Ada juga yang di hari pernikahan tiba-tiba calon suaminya enggak nongol. “Hidup gue seperti runtuh. Dua tahun gue sama sekali gak keluar rumah. Gue sedih, hancur, malu,” kata teman saya.

Ada yang batal menikah karena calonnya lebih dulu dipanggil Tuhan. Sebagian orang pernah menjalin hubungan dengan pasangan posesif, pernah mengalami relationship abuse. Boleh dong kalau akhirnya lebih selektif memilih calon suami dan berpikir: “You’re better off alone than with someone who’s all wrong for you.”

Jangan anggap semua orang sama dengan Anda. Kita tidak pernah tahu masa lalu seseorang. Lo gak pernah tahu masa lalu gue. Stop asking, stop judging, if you are thinking everybody should live the life in your own way.

2. Punya cita-cita lain

Kapan itu ada teman yang tanya, “Lo galau ya makanya solo travel terus?”. Saya ngakak. Saya baru sadar, “Ada ya orang yang mikir gua traveling karena galau?”. Saya mah galau setiap waktu dan tidak mungkin spending money untuk traveling hanya karena galau. Travel expenses saya mahal booo bisa tekor sayaaa kalau setiap galau traveling :p :p

Sebagian orang suka buang-buang uang untuk belanja, investasi, mabok-mabokan. Dan saya suka spending money untuk traveling. Sesederhana itu.

Saya berencana solo travel naik Transsiberian menuju Rusia. Saya berencana ke Nepal, menyusuri jalur Santiago de Compostela, keliling Asia, terutama India, Pakistan, Uzbekistan, dan negara-negara tan lainnya (kebetulan skripsi S1 saya tentang kehidupan perempuan-perempuan Pakistan, jadi ingin mengunjungi tempat itu suatu hari nanti).

Selama ini saya membayangkan betapa gagahnya trip around the world seorang diri. Selain pengen traveling, saya juga pengen kuliah S2, pengen belajar Bahasa Jepang, pengen kerja sosial tanpa dibayar di beberapa daerah di Tanah Air dan di luar negeri.

Balik lagi ke pertanyaan, “Kapan lo kawin?” Adakah seseorang di luar sana yang akan bertanya: “Kapan kamu pensiun dini untuk solo travel keliling dunia?” Hahahahhahaa! Langsung cium tangaaannn kalau ada orang tanya seperti itu! 🙂

3. Hidup itu pelik

Most of my friends are men. Mereka santai aja nunjukin foto selingkuhan. Ada beberapa teman yang setelah beberapa tahun menikah baru sadar memilih orang yang kurang tepat. Lalu tersiksa dalam hubungan pernikahan.

Beberapa teman sadar mempunya anak untuk mengisi kekosongan. Lalu pusing karena gaji gak seberapa kebutuhan untuk anak tinggi, lalu mulai korupsi sana-sini. Atau punya anak, gaji tinggi, lalu menitipkan anak ke pembantu dan hanya ketemu anak dua jam per hari sampai-sampai anaknya mulai gak kenal orang tua.

Hidup single memang pelik brohh, tapi situ hidup dalam pernikahan juga pelik kan yaaa… banyak masalah juga kan yaaa…. Daripada ngurusin saya, mending urus kehidupan Anda! 🙂

4. Belum siap

Banyak yang bilang, “Kalau menikah ditunggu kapan siapnya, ya gak akan pernah siap.”

Kesiapan pernikahan itu menyangkut emosi, sosial, finansial, intelektual, dan lain-lain. Kesiapan pasangan juga penting. Gak mau kan hidup berakhir seperti almarhum Catharina, korban pembunuhan oleh calon suaminya. Baca-baca di berita online, calon suami korban tidak siap memenuhi kebutuhan pernikahan lalu membunuh pasangannya.

Sedih deh kalau ada yang berpikiran menikah itu tidak harus menunggu siap. Kenapa? Karena pernikahan itu tidak hanya soal selebrasi hari-h, konsep pernikahan setelahnya juga penting. Pernikahan tanpa kesiapan itu terlalu riskan. Mereka yang menikah muda rentan mengalami KDRT karena emosi pasangannya masih labil. Teman-teman saya yang menikah muda pun mengalami hal serupa. Beberapa teman kerepotan dengan biaya hidup yang meningkat. Sebagian teman lain merasa mimpi-mimpi mudanya terkubur karena harus menjalani peran sebagai suami/istri. So, bagi saya kesiapan itu penting bingitsss… sekali memutuskan menikah, ya jangan menyesali keputusan.

Saya tidak anti pernikahan, balik lagi kalau ada yang bertanya: “Kapan kawin?” Maka jawabannya adalah: “Ehh… tanya apa barusan? Apaaa? Apaaaa?” *pura-pura gak dengar sambil ngeloyor pergi…. Wkwkwkwkwkkk

 

Jakarta, 20 Juni 2017

Denty Piawai Nastitie

rambutkriwil.com

Read more

Kakak! Kakak!” seru Yazid, dari komunitas Insan Pariwisata Muna, sambil menyenggol bahu saya saya. “Kakak, tidak apa-apa? Kakak masih kuat berjalan?” tanyanya, lagi.

Samar-samar saya mendengar suara Yazid. Saya menyeka keringat di dahi. Kemudian berjongkok pada sebuah batu besar. Kepala menengadah, melihat sang surya membakar langit. Matahari terasa seperti ada tiga!! Sinarnya memanggang kulit, menghanguskan kerongkongan. Membuat mata terasa berkunang-kunang. “Saya sepertinya tidak sanggup, Yazid. Saya berhenti di sini saja, toh air minum kita juga sudah habis… ” kata saya, kepayahan. 

Eeee!!! Tidak bisa kakak!! Berhenti di sini sama saja, bisa mati dehidrasi juga!” kata Yazid. 

Dia lalu menyodorkan satu botol air mineral. Botol terakhir. Isinya kurang dari separuh. Belasan botol lain sudah habis di perjalanan. “Minum sedikit, yang penting tenggorokan tidak kering,” kata dia.

Masih jauhkah perjalanan ini?” tanya saya.

Yazid mengangkat bahu. “Saya tidak tahu, kakak. Saya juga baru pertama kali datang ke sini,” jawabnya. “Jarak kita dengan rombongan di depan terlalu jauh. Sementara dua orang lain di belakang kita sudah menyerah sejak tadi. Kita harus terus berjalan agar tidak tersesat.”

Saya bersumpah serapah di dalam hati. Menyesal ikut dalam ekspedisi ini. Seandainya saya tahu perjalanan akan sulit dengan sinar matahari yang menyiksa kulit, lebih baik saya tidak ikut. Sinar matahari terik menjilat-jilati tubuh ini. Nafas pendek. Keringat dingin membanjiri leher dan telapak tangan. “Ayo kakak! Kita harus bergerak,” kata Yazid membuyarkan lamunan. 

Dengan sisa-sisa energi, saya bangkit. Kembali melangkah. Melewati batang-batang semak belukar setinggi lima meter yang sudah merobek-robek kulit paha dan betis. Semoga saya tidak ambruk sebelum sampai di goa misterius itu!

Perjalanan ini bermula dari situs peninggalan purbakala Liang Kobori dan Metanduno di Kabupaten Muna. Goa alam ini terkenal karena di dindingnya terdapat lukisan yang dibuat manusia purba. Liang Kobori dan Metanduno termasuk situs purbakala yang dilindungi pemerintah. Goa juga menjadi tempat pariwisata dan penelitian purbakala.

Tidak jauh dari Liang Kobori, terdapat Goa Sugi Patani, yang populer dengan lukisan manusia menerbangkan layang-layang. Meski jaraknya relatif dekat, perjalan cukup menantang karena goa berada di puncak bukit cadas. 

Untuk menuju goa yang dimaksud, saya harus melalui bibir tebing karst yang terjal dan berkelok. Di akhir perjalanan, saya memanjat tumpukan batang pohon rapuh yang dibentuk menyerupai tangga. Berkali-kali juru kunci, La Samada, mengingatkan agar saya tidak salah memilih pijakan. Begitu salah pijak, tubuh ini bisa meluncur jatuh dari atas bukit. Nyawa taruhannya!

Begitu sampai di puncak bukit, ceruk Goa Sugi Patani mengundang masuk. Di dinding goa terdapat coretan-coretan gambar menyerupai manusia. Ada dua tipe gambar manusia, yaitu yang memakai kain sebatas lutut dan manusia berupa garis sederhana membentuk kaki, tangan, dan kepala. Tentu saja, gambar yang paling menarik adalah wujud seseorang menerbangkan layang-layang.

Menurut peneliti, gambar layang-layang ini dibuat pada zaman pra-sejarah yang diperkirakan berasal dari tahun 9000 – 5000 Sebelum Masehi (SM). Gambar ini memperkuat bukti layang-layang tertua di dunia berasal dari Kabupaten Muna. Layang-layang Muna, berusia lebih tua dari layang-layang di Tiongkok,” ujar La Samada.

Penjelasan juru kunci itu berasal dari penelitian Wolfgang Bieck (Jerman), yang dilakukan pada 1997. Pada saat itu, Bieck tertarik dengan layang-layang yang terbuat dari daun kolope (kagathi kolope) yang ada di Kabupaten Muna. Dia kemudian terbang ke Muna untuk melakukan penelitian.

Dalam kunjungannya di Muna, Bieck diajak melihat peninggalan sejarah di Goa Sugi Patani. Berdasarkan temuan gambar layang-layang di goa itu diperkuat dengan berbagai hasil penelitian lainnya, menurut Bieck, klaim yang menyebutkan layang-layang tertua di dunia berasal dari Tiongkok terpatahkan. Alasannya, usia lukisan prasejarah di Goa Sugi Patani jauh lebih tua daripada layang-layang di Tiongkok yang diperkirakan berusia 2.400 tahun.

Sayang, gambarnya sudah mulai pudar. Lukisan manusia menerbangkan layang-layang tidak jelas terlihat,” kata saya.

Sebenarnya ada gambar lain yang lebih jelas. Gambar kerangka layang-layang di Goa Kagofigofine. Tetapi, karena baru saja ditemukan, belum ada penelitian yang membuktikan usia gambar itu,” jawab La Samada.

Di mana itu Goa Kagofigofine?” tanya saya.

Tidak jauh, tetapi jalannya sulit. Goa Kagofigofine masih sangat alami. Belum banyak orang yang datang ke sana karena letaknya tersembunyi,” kata juru kunci.

Saya menoleh ke Agni dan Ellen, teman perjalanan. Biasanya, Agni dan Ellen yang memutuskan destinasi perjalanan selanjutnya. Ada jeda beberapa saat, sebelum Agni bersuara: “Gimana kalau kita ke sana? Untuk membuat dokumentasi lukisan layang-layang,” ujarnya. “Semoga saja dokumentasi itu menarik minat peneliti untuk menyusuri jejak purba masyarakat Kabupaten Muna,” kata Agni, yang selalu punya energi blusukan kemana-mana.

Saya hanya bisa pasrah saat rombongan memutuskan menembus hutan belantara Kagofigofine. Rombongan terdiri dari perwakilan pemerintah Kabupaten Muna, komunitas pariwisata Kabupaten Muna, dan warga lokal. Perjalanan selama sekitar empat jam menembus kebun warga, semak belukar, dan padang ilalang. 

Sepanjang jalan, juru kunci membabat semak belukar. Beberapa kali perjalanan buntu di perbatasan kebun-kebun warga yang sudah ditandai dengan tumpukan batu. Bersama teman-teman, saya harus menyingkirkan tumpukan batu agar bisa melanjutkan perjalanan. Dengan sang surya yang bersinar terik, perjalan terasa tidak berkesudahan.

Lewat tengah hari, rombongan sampai di Goa Kagofigofine. Ukuran goa ini lebih besar dari Goa Sugipatani. Di Goa Kagofigofine, ada puluhan gambar yang dibuat manusia prasejarah, seperti gambar perahu, jangkar, manusia, dan hewan-hewan. Puluhan gambar itu menjalar di dinding goa. Gambar yang paling menarik perhatian sudah pasti lukisan kerangka layang-layang. Ada empat garis yang membentuk sayap layang-layang. Di tengahnya ada coretan garis yang membentu kerangka kagathi (layang-layang).

Dengan penerangan seadanya, saya memperhatikan gambar layang-layang yang ada di dinding goa. Kalau gambar kagathi yang ada di Goa Sugipatani sudah mulai pudar karena faktor alamiah, seperti terpaan sinar matahari yang terus-menerus, gambar di Goa Kagofigofine jauh lebih jelas. Warna kagathi coklat kemerahan. Mungkin karena letaknya yang tersembunyi di dalam goa jadi keberadaannya jauh lebih terlindungi.

Gambar layang-layang itu melemparkan kesadaran saya ke masa silam. Gambar di situs goa prasejarah menyimpan beragam tafsir, mulai dari karya seni, spiritual, aktivitas sosial, hingga ekspresi identitas diri. Ketika manusia belum memegang gadget seperti orang-orang masa kini, eksistensi dinyatakan dengan menggambar goa, tempat mereka bersembunyi, berlindung. Di Goa Kagofigofine saya sadar, perilaku manusia dari zaman ke zaman tidaklah berubah.

La Samada menjelaskan, Goa Kagofigofine berarti kelelawar karena di goa itu memang menjadi tempat bersembunyi kelelawar. Selama puluhan tahun goa ini “dikuasai” penduduk lokal. Tidak ada yang berani masuk karena kedatangan orang asing dipercaya dapat menghancurkan kedamaian masyarakat di Kabupaten Muna. 

Suatu hari, “penguasa” Goa Kagofigofine meninggal. Anaknya kemudian mengizinkan saya masuk ke dalam goa agar apa yang ada di dalamnya bisa disampaikan ke orang lain, dan harapannya peninggalan-peninggalan masa silam dapat bermanfaat bagi orang banyak, entah di bidang pengetahuan, pendidikan, atau lainnya” kata dia.

Harapannya peninggalan-peninggalan masa silam dapat bermanfaat bagi orang banyak,” kalimat juru kunci terngiang-ngiang di kepala. Matahari tenggelam. Ingatan akan masa lalu mengantar perjalanan kembali ke Kota Raha.

 

Ditulis di Lasem, 13 Juni 2017

Denty Piawai Nastitie (Rambutkriwil.com)

keterangan foto cover:

Picture by. Andra Ramadhan di Liang Kobori (posting atas izin pemilik hak cipta)

Read more