“Kakak! Kakak!” seru Yazid, dari komunitas Insan Pariwisata Muna, sambil menyenggol bahu saya saya. “Kakak, tidak apa-apa? Kakak masih kuat berjalan?” tanyanya, lagi.
Samar-samar saya mendengar suara Yazid. Saya menyeka keringat di dahi. Kemudian berjongkok pada sebuah batu besar. Kepala menengadah, melihat sang surya membakar langit. Matahari terasa seperti ada tiga!! Sinarnya memanggang kulit, menghanguskan kerongkongan. Membuat mata terasa berkunang-kunang. “Saya sepertinya tidak sanggup, Yazid. Saya berhenti di sini saja, toh air minum kita juga sudah habis… ” kata saya, kepayahan.
“Eeee!!! Tidak bisa kakak!! Berhenti di sini sama saja, bisa mati dehidrasi juga!” kata Yazid.
Dia lalu menyodorkan satu botol air mineral. Botol terakhir. Isinya kurang dari separuh. Belasan botol lain sudah habis di perjalanan. “Minum sedikit, yang penting tenggorokan tidak kering,” kata dia.
“Masih jauhkah perjalanan ini?” tanya saya.
Yazid mengangkat bahu. “Saya tidak tahu, kakak. Saya juga baru pertama kali datang ke sini,” jawabnya. “Jarak kita dengan rombongan di depan terlalu jauh. Sementara dua orang lain di belakang kita sudah menyerah sejak tadi. Kita harus terus berjalan agar tidak tersesat.”
Saya bersumpah serapah di dalam hati. Menyesal ikut dalam ekspedisi ini. Seandainya saya tahu perjalanan akan sulit dengan sinar matahari yang menyiksa kulit, lebih baik saya tidak ikut. Sinar matahari terik menjilat-jilati tubuh ini. Nafas pendek. Keringat dingin membanjiri leher dan telapak tangan. “Ayo kakak! Kita harus bergerak,” kata Yazid membuyarkan lamunan.
Dengan sisa-sisa energi, saya bangkit. Kembali melangkah. Melewati batang-batang semak belukar setinggi lima meter yang sudah merobek-robek kulit paha dan betis. Semoga saya tidak ambruk sebelum sampai di goa misterius itu!
–
Perjalanan ini bermula dari situs peninggalan purbakala Liang Kobori dan Metanduno di Kabupaten Muna. Goa alam ini terkenal karena di dindingnya terdapat lukisan yang dibuat manusia purba. Liang Kobori dan Metanduno termasuk situs purbakala yang dilindungi pemerintah. Goa juga menjadi tempat pariwisata dan penelitian purbakala.
Tidak jauh dari Liang Kobori, terdapat Goa Sugi Patani, yang populer dengan lukisan manusia menerbangkan layang-layang. Meski jaraknya relatif dekat, perjalan cukup menantang karena goa berada di puncak bukit cadas.
Untuk menuju goa yang dimaksud, saya harus melalui bibir tebing karst yang terjal dan berkelok. Di akhir perjalanan, saya memanjat tumpukan batang pohon rapuh yang dibentuk menyerupai tangga. Berkali-kali juru kunci, La Samada, mengingatkan agar saya tidak salah memilih pijakan. Begitu salah pijak, tubuh ini bisa meluncur jatuh dari atas bukit. Nyawa taruhannya!
Begitu sampai di puncak bukit, ceruk Goa Sugi Patani mengundang masuk. Di dinding goa terdapat coretan-coretan gambar menyerupai manusia. Ada dua tipe gambar manusia, yaitu yang memakai kain sebatas lutut dan manusia berupa garis sederhana membentuk kaki, tangan, dan kepala. Tentu saja, gambar yang paling menarik adalah wujud seseorang menerbangkan layang-layang.
“Menurut peneliti, gambar layang-layang ini dibuat pada zaman pra-sejarah yang diperkirakan berasal dari tahun 9000 – 5000 Sebelum Masehi (SM). Gambar ini memperkuat bukti layang-layang tertua di dunia berasal dari Kabupaten Muna. Layang-layang Muna, berusia lebih tua dari layang-layang di Tiongkok,” ujar La Samada.
Penjelasan juru kunci itu berasal dari penelitian Wolfgang Bieck (Jerman), yang dilakukan pada 1997. Pada saat itu, Bieck tertarik dengan layang-layang yang terbuat dari daun kolope (kagathi kolope) yang ada di Kabupaten Muna. Dia kemudian terbang ke Muna untuk melakukan penelitian.
Dalam kunjungannya di Muna, Bieck diajak melihat peninggalan sejarah di Goa Sugi Patani. Berdasarkan temuan gambar layang-layang di goa itu diperkuat dengan berbagai hasil penelitian lainnya, menurut Bieck, klaim yang menyebutkan layang-layang tertua di dunia berasal dari Tiongkok terpatahkan. Alasannya, usia lukisan prasejarah di Goa Sugi Patani jauh lebih tua daripada layang-layang di Tiongkok yang diperkirakan berusia 2.400 tahun.
“Sayang, gambarnya sudah mulai pudar. Lukisan manusia menerbangkan layang-layang tidak jelas terlihat,” kata saya.
“Sebenarnya ada gambar lain yang lebih jelas. Gambar kerangka layang-layang di Goa Kagofigofine. Tetapi, karena baru saja ditemukan, belum ada penelitian yang membuktikan usia gambar itu,” jawab La Samada.
“Di mana itu Goa Kagofigofine?” tanya saya.
“Tidak jauh, tetapi jalannya sulit. Goa Kagofigofine masih sangat alami. Belum banyak orang yang datang ke sana karena letaknya tersembunyi,” kata juru kunci.
Saya menoleh ke Agni dan Ellen, teman perjalanan. Biasanya, Agni dan Ellen yang memutuskan destinasi perjalanan selanjutnya. Ada jeda beberapa saat, sebelum Agni bersuara: “Gimana kalau kita ke sana? Untuk membuat dokumentasi lukisan layang-layang,” ujarnya. “Semoga saja dokumentasi itu menarik minat peneliti untuk menyusuri jejak purba masyarakat Kabupaten Muna,” kata Agni, yang selalu punya energi blusukan kemana-mana.
Saya hanya bisa pasrah saat rombongan memutuskan menembus hutan belantara Kagofigofine. Rombongan terdiri dari perwakilan pemerintah Kabupaten Muna, komunitas pariwisata Kabupaten Muna, dan warga lokal. Perjalanan selama sekitar empat jam menembus kebun warga, semak belukar, dan padang ilalang.
Sepanjang jalan, juru kunci membabat semak belukar. Beberapa kali perjalanan buntu di perbatasan kebun-kebun warga yang sudah ditandai dengan tumpukan batu. Bersama teman-teman, saya harus menyingkirkan tumpukan batu agar bisa melanjutkan perjalanan. Dengan sang surya yang bersinar terik, perjalan terasa tidak berkesudahan.
Lewat tengah hari, rombongan sampai di Goa Kagofigofine. Ukuran goa ini lebih besar dari Goa Sugipatani. Di Goa Kagofigofine, ada puluhan gambar yang dibuat manusia prasejarah, seperti gambar perahu, jangkar, manusia, dan hewan-hewan. Puluhan gambar itu menjalar di dinding goa. Gambar yang paling menarik perhatian sudah pasti lukisan kerangka layang-layang. Ada empat garis yang membentuk sayap layang-layang. Di tengahnya ada coretan garis yang membentu kerangka kagathi (layang-layang).
Dengan penerangan seadanya, saya memperhatikan gambar layang-layang yang ada di dinding goa. Kalau gambar kagathi yang ada di Goa Sugipatani sudah mulai pudar karena faktor alamiah, seperti terpaan sinar matahari yang terus-menerus, gambar di Goa Kagofigofine jauh lebih jelas. Warna kagathi coklat kemerahan. Mungkin karena letaknya yang tersembunyi di dalam goa jadi keberadaannya jauh lebih terlindungi.
Gambar layang-layang itu melemparkan kesadaran saya ke masa silam. Gambar di situs goa prasejarah menyimpan beragam tafsir, mulai dari karya seni, spiritual, aktivitas sosial, hingga ekspresi identitas diri. Ketika manusia belum memegang gadget seperti orang-orang masa kini, eksistensi dinyatakan dengan menggambar goa, tempat mereka bersembunyi, berlindung. Di Goa Kagofigofine saya sadar, perilaku manusia dari zaman ke zaman tidaklah berubah.
La Samada menjelaskan, Goa Kagofigofine berarti kelelawar karena di goa itu memang menjadi tempat bersembunyi kelelawar. Selama puluhan tahun goa ini “dikuasai” penduduk lokal. Tidak ada yang berani masuk karena kedatangan orang asing dipercaya dapat menghancurkan kedamaian masyarakat di Kabupaten Muna.
“Suatu hari, “penguasa” Goa Kagofigofine meninggal. Anaknya kemudian mengizinkan saya masuk ke dalam goa agar apa yang ada di dalamnya bisa disampaikan ke orang lain, dan harapannya peninggalan-peninggalan masa silam dapat bermanfaat bagi orang banyak, entah di bidang pengetahuan, pendidikan, atau lainnya” kata dia.
“Harapannya peninggalan-peninggalan masa silam dapat bermanfaat bagi orang banyak,” kalimat juru kunci terngiang-ngiang di kepala. Matahari tenggelam. Ingatan akan masa lalu mengantar perjalanan kembali ke Kota Raha.
Ditulis di Lasem, 13 Juni 2017
Denty Piawai Nastitie (Rambutkriwil.com)
keterangan foto cover:
Picture by. Andra Ramadhan di Liang Kobori (posting atas izin pemilik hak cipta)