July 2017

Sebagai jurnalis, tidak ada yang lebih membanggakan selain bertemu dengan tokoh idola. Selain bisa bertatap muka secara langsung, sangat senang bisa berbincang-bincang dengan tokoh tersebut. Tidak jarang, malah menjadi teman dekat untuk bertukar pikiran.

Maka, ketika suatu hari saya ditugaskan meliput kejuaraan tenis dunia dan bertemu Serena Williams, hati ini berbunga-bunga. Saya menyempatkan berswa-foto dengan Serena. Saking senangnya, foto yang ada di telepon genggam saya pamerkan ke orang tua, teman-teman, keluarga.

Tetapi, tiba-tiba, foto itu hilang! Saya sedih karena bukti pertemuan dengan Serena tidak tersisa. Lebih sedih lagi, ketika saya sadar pertemuan itu hanya mimpi! Begitu bangun, saya tersadar sedang berada di kamar tidur. Tidak ada Serena Williams. Tidak ada foto-foto. Kalau kata wartawan, amsyong!! 😛

Sepanjang hari saya berpikir, kenapa yaaa…. saya bisa bermimpi bertemu dengan Serena Williams. Mungkin karena sesaat sebelum tidur saya melihat foto Serena dan Venus Williams saat bermain di AS Terbuka 2016. Mungkin karena memang saya ngefans dengan Mbak Serena, sampai kebawa mimpi. Hehe.

Perkenalan saya dengan Serena Williams terjadi belasan tahun lalu. Saat itu, saya sering tidak percaya diri punya rambut keriting dan kulit sawo matang menuju kegelapan. Ada yang bilang, saya mirip kakak beradik Serena-Venus Williams. Dibilang seperti itu, saya merasa tidak cantik. Merasa kacau. Sepertinya apa yang saya lakukan sia-sia karena sesuatu kerap hanya dari tampilan fisik.

Tetapi, seiring berjalannya waktu, dan seiring mengikuti perjalanan karir Serena-Venus Williams, saya sadar, ketika kita fokus terhadap apa yang menjadi kekuatan kita, maka tampil fisik bukan lagi menjadi masalah.

Ketika musuh berhadapan dengan Serena di lapangan, yang mereka hadapi adalah Serena dengan aksi tenisnya yang luar biasa. Bukan Serena dengan warna kulitnya yang berbeda kebanyakan petenis lain di era-nya. Lagian, toh, definisi kecantikan itu apa sihh??

Serena Williams memang jagoan di lapangan tenis. Main tenisnya energik! Servisnya kenceng! Selain karena permainan di lapangan, saya suka Serena karena komentar-komentar yang dia sampaikan menunjukkan women’s empowerment.

Bagi saya, melalui prestasinya, Serena telah mendefinisi ulang pandangan-pandangan umum masyarakat yang sexist dan racist.

Serena, misalnya, menolak disebut petenis perempuan terbaik. Karena baginya, tenis bisa dilakukan siapa saja, tidak peduli kamu perempuan atau laki-laki. (Kenapa yaa, kalau Roger Frederer atau Nadal nggak pernah disebut petenis laki-laki terbaik??).

Komentar ini disampaikan saat Serena meraih kemenangan ke-307 di turnamen Grand Slam AS Terbuka 2016, menyamai rekor Frederer. ”Saya perempuan, dan saya atlet. Namun, pertama-tama saya adalah atlet,” ujar Serena, yang menggunakan momen kemenangan untuk meyakinkan para penggemarnya bahwa gender tidak ada kaitannya dengan kejayaan seseorang.

Sebagai perempuan petenis berkulit hitam, banyak orang yang sering mengolok-olok fisik Serena. Sebagian para penyerangnya bahkan sesama perempuan.

Saya sempat kesel banget lihat video seorang petenis yang ngebully fisik dia di lapangan! Tindakan itu seakan membenarkan pernyataan: “women are their own worst enemies is no new revelation.” Rasanya pengen saya tempeleng kepala tuh cewek pakai raket tenis.

Tetapi, menanggapi ejekan itu, Serena tidak down. Dia santai aja menanggapi dengan pernyataan: “My power is sexy.” Pernyataan itu melegitimasi kehebatan Serena di lapangan dan di luar lapangan. Dia tidak menanggapi penghinaan dengan kemarahan atau komentar pedas, tetapi menajadikannya kekuatan untuk semakin berprestasi.

Konflik sesama perempuan sebenarnya terjadi tidak hanya pada petenis terkenal macam Serena, pada orang-orang biasa juga kejadian. Misalnya perempuan single vs perempuan berkeluarga, perempuan bekerja vs ibu rumah tangga, perempuan menyusui vs perempuan yang anaknya nyusu pakai sufor (susu buat sapi kalau kata orang-orang). Please deeh, saatnya perempuan saling mendukung bukannya saling menjatuhkan!

Serangan untuk Serena juga datang dari para petenis-petenis uzur yang rasis. Komentar rasis muncul semakin gencar saat Serena menjalin hubungan dengan Alexis Ohanain, pendiri Reddit, pria berkulit putih. Serena menjawab komentar rasis dengan mengutip sajak Maya Angelou, “Does my sassiness upset you? Why are you beset with gloom?… You may shoot me with your words, … You may kill me with your hatefulness. But still, like air, I’ll rise.”

Serena sudah menembus banyak kendala, tetapi perjalanan menuju kesetaraan kesempatan masih panjang… Seperti kata Serena, apapun yang terjadi, jangan pernah berhenti menciptakan hal-hal positif!

Jakarta, 19 Juli 2017
Denty Piawai Nastitie
Rambutkriwil.com

Read more

Menjadi travel blogger adalah impian banyak orang. Bayangkan, kita bisa keliling dunia dan menghasilkan banyak uang (pengennya sih begitu, meski tak selalu begituu… hehe). Meski bisa pamer tulisan dan foto-foto jalan-jalan di personal blog, ada kenikmatan tersendiri saat melihat karya dimuat di media cetak, seperti majalah, koran, atau tabloid. Rasa bangga dan senang berlipat ganda ketika kita mendapat honor tulisan!

Beberapa teman bertanya, apakah catatan perjalanan yang mereka buat bisa dimuat di media cetak? Menurut saya, kenapa tidak? Tetapi ingat, tidak semua tulisan bisa dimuat. Hanya tulisan yang memiliki unsur kedalaman, kebaruan, dan informatif, yang biasanya lolos seleksi ruang redaksi.

Apalagi, media cetak memiliki karakteristik yang berbeda dengan media daring. Namanya karakteristik, ya berarti sesuatu yang khusus. Yang khas. Seperti makanan khas DI Yogyakarta adalah gudeg, berbeda dengan makanan khas Palembang, yaitu mpek-mpek. Semakin kita memahami karakteristik platform media, semakin besar peluang tulisan itu dimuat.

Bagi saya, menulis di media cetak itu susah-susah gampang. Susah bagi para first timer alias newbie (percayalah semua penulis terkenal berangkat dari posisi ini), tetapi menjadi gampang kalau kita sudah tahu triknya dan sukses menerapkan trik itu. Berikut adalah tips and trick agar catatan perjalanan bisa dimuat di media cetak:

1. Tentukan media incaran

Dari sekian banyak media cetak yang masih bertahan, saya sarankan untuk membuat daftar media yang menjadi incaran. Bagaimana caranya?Hmm…. mungkin caranya seperti mengincar pasangan hidup. Pertama-tama, kamu harus suka atau minimal, tertarik dengan calon kamu itu!

Kedua, kamu harus mempelajari karakteristik dia. Ketiga, mulai deh PDKT! Urusan cinta diterima atau ditolak, mah urusan belakangan. Begitu juga dengan tulisan! Apakah nantinya karya itu akan dimuat atau tidak, ya itu tergantung dengan kecocokan tulisan dengan karakteristik media incaran.

Setelah menentukan media incaran, kelompokkan media itu berdasarkan karakteristiknya, apakah termasuk media cetak harian, mingguan, atau bulanan. Apakah media itu termasuk koran plitik, majalah leasure, atau tabloid gosip? Dari pengelompokan ini, bisa ditentukan media mana yang paling cocok dengan jenis tulisan.

Setelah menentukan media incaran, pahami tata cara pengiriman tulisan. Biasanya, syarat menulis tercantum pada halaman depan atau belakang. Agar tulisan kamu dimuat, kamu harus betul-betul mematuhi syarat pengiriman tulisan. Jangan sampai kamu sudah membuat tulisan keren, tetapi gagal dimuat hanya karena masalah sepele, seperti lupa mencantumkan biodata yang diminta media cetak tersebut, atau lupa melampirkan fotokopi KTP.

2. Pahami karakteristik media

Suatu hari, teman saya bertanya: “Kenapa ya tulisan gue gak pernah dimuat di Kompas?”. Saya tanya balik, “Emang lo kirim tulisan apa? Berapa halaman?” Ternyata,… teman saya mengirim cerpen yang panjangnya 10 halaman! Dalam hati saya menjawab, “Yaelaaah brooo…. sampai doraemon hidup lagi juga tulisan lo kagak bakal dimuat!”

Kenapa? Karena… A. Keterbatasan halaman. Kompas hanya memiliki 32 halaman cetak, yang terbagi antara lain untuk berita politik, hukum, ekonomi, olahraga, pendidikan, dan lingkungan hidup. Untuk memuat cerpen, tersedia hanya ada satu halaman setiap hari Minggu. Jadiii…. yoooo ndak mungkin tooo yooo…. cerpen sepanjang 10 halaman kemudian dimuat di Kompas! (Ntar orang-orang bingung, ini koran atau buku kumpulan cerpen :P)

B. Kompas sangat jarang memuat cerpen. Setiap minggu hanya ada satu cerita pendek di halaman Kompas Minggu. Sebulan berarti ada empat cerita pendek. Setahun berarti ada empat puluh delapan cerita pendek. Naaah…. kalau cerpen ingin dimuat di media cetak, karya tulis itu harus cukup mencuri perhatian dewan juri. Dalam kasus ini, tulisan teman saya harus cukup bersinar dan bisa menjadi bagian 48 cerpen yang dimuat Kompas.

Jadi, kalau ingin tulisan kamu dimuat di media cetak, pelajari dulu karakteristik media tersebut. Beberapa pertanyaan yang harus dijawab: Apakah media itu cocok untuk tulisan perjalanan? Apakah media tersebut memiliki halaman khusus untuk penulis lepas? Apakah media itu menyediakan ruang untuk tulisan panjang, atau hanya suka tulisan-tulisan pendek? Apakah media itu terbit setiap hari, setiap minggu, atau setiap bulan? Kalau media itu terbit setiap minggu, jenis tulisan seperti apa yang diharapkan… dan seterusnya.

3. Kirim foto dan pahami selera editor

Pertama kali tulisan saya dimuat di Kompas ketika saya berusia 17 tahun. Apakah, setelah itu tulisan-tulisan saya sering dimuat? Ya, lumayan. Apakah tulisan-tulisan saya sering ditolak redaksi (seperti cinta yang juga sering ditolak)? Ya, lumayan *Njirttt malah curhat! wkwkwkwkk

Percaya deh, sekali tulisan kita dimuat di media cetak, rasanya bakalan candu. Kalau kita cerdas membaca peluang, tulisan akan semakin sering dimuat. Dengan memahami selera editor, kesempatan tulisan dimuat akan semakin besar. Selera editor itu mewakili media cetak di mana dia bekerja. Selera editor juga mewakili selera pembaca media itu.Bagaimana cara memahaminya?

Cukup mudah, baca saja semua tulisan-tulisan yang pernah dimuat di media tersebut. Pelajari cara menulisnya, dan coba mengikuti karakteristik tulisan itu. Karakteristik menulis untuk majalah remaja perempuan, akan berbeda dengan karakteristik untuk menulis majalah pria dewasa. Nggak ada cara lain untuk memahami karakteristik tulisan selain mempraktekkannya!

Memahami selera editor bisa juga dilakukan dengan bertanya kepada editor yang bersangkutan. Setiap kali saya mengirim tulisan, terlepas dari tulisan itu akan dimuat atau tidak, saya akan bertanya kepada editor, bagaimana pendapat dia tentang tulisan saya. Editor yang baik akan memberikan masukan terhadap karya penulis. Masukan itu adalah modal berharga untuk tulisan-tulisan selanjutnya.

Bagi pemula yang ingin tulisannya dimuat, nggak ada cara lain memastikan tulisan dimuat selain mematuhi masukan editor. Kalau editor request judul diganti, ya ganti saja! Kalau editor request tulisannya dipangkas, ya pangkas saja! Halaman di media masa itu milik mereka, bukan kamu! Editor adalah bos, jadi coba senangkan mereka. 🙂 Setelah tulisan sering dimuat dan kamu sudah mengenal editor dengan lebih dekat, kamu bisa berdiskusi dengan mereka tentang topik-topik tulisan selanjutnya atau angle tulisan lain yang menarik.

Untuk catatan perjalanan, yang tidak kalah penting adalah foto-foto! Biasanya, majalah traveling akan menahan tulisan kalau mereka belum menemukan foto-foto yang keren. Kalau traveling, sekalian bikin foto yaaa karena kesempatan datang ke tempat yang sama belum tentu datang dua kali.

4. Jalin relasi dengan ruang redaksi

Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Sekali tulisan kamu dimuat, artinya editor dan media cetak tersebut percaya dengan kamu. Kalau kamu sudah dapat kepercayaan, peluang tulisan-tulisan kamu yang lain akan dimuat semakin besar. Jangan pernah sia-siakan hal ini!

Saya mempelajari tips ini ketika menjadi freelance kontributor majalah kaWanku dan National Geographic. Dari iseng-iseng menulis di kedua majalah itu, anggota redaksi akan menghubungi saya kalau mereka butuh tulisan lain. Ketika saya sibuk dengan urusan sekolah atau kuliah, redaksi secara khusus memberi saya tenggat waktu yang lebih panjang agar saya bisa mengirim tulisan.

Namanya kepercayaan, tentu saja harus dipupuk dan dibina sebaik mungkin. Kalau tulisan kamu sudah dimuat di media cetak, dan kamu sudah mengenal editor di media itu, coba sesekali kamu ajak dia nongkrong, atau kamu main ke kantor media itu membawa makanan. Atau sekedar say hello melalui Whatsapp atau Facebook untuk menanyakan kabar dan mengucapkan selamat ulang tahun, misalnya. Kalau lagi ketemuan, coba tanya deh ke mereka, untuk edisi selanjutnya mereka butuh tulisan tentang apa? Dan tawarkan tulisan kamu ke mereka. Siapa tahu tema liputannya cocok! Siapa tahu jodoh dengan editor tersebut!

5. Tulis, kirim, lalu move on!

Setelah membuat karya tulis yang keren, mengirimkan tulisan ke kantor redaksi media cetak, lupakan semua yang kamu lakukan! Menanti itu sangat menguras emosi…hehehe daripada setiap hari menunggu-nunggu kapan tulisan akan dimuat, lebih baik kamu move on! Jalani hidup seperti biasa… kembali lagi produktif menulis.

Saran saya, setelah mengirim tulisan… bisa menunggu sekitar dua hingga empat minggu, apakah ada feedback dari kantor redaksi tersebut. Penulis bisa mengirim surat elektronik atau menelepon ke ruang redaksi, menanyakan apakah redaksi sudah menerima tulisan dan apakah ada kemungkinan tulisan tersebut dimuat. Kalau sudah ditolak puk-puk, hidup masih panjang… mungkin bisa tanya kenapa tulisan kamu ditolak, apakah dapat diperbaiki. Kalau ternyata sudah mentok juga, tidak akan dimuat atau tidak ada kesempatan diperbaiki, saatnya move on dan cari gebetan lain.

Ada beberapa alasan kenapa tulisan tidak dimuat. Bisa jadi tulisan kamu memang jelek kurang layak. Tetapi, bisa juga karena tidak cocok dengan media incaran. Seperti tadi yang saya bilang, menulis untuk media cetak itu kan seperti cari jodoh. Kita harus memantaskan diri supaya cocok dengan calon media yang sudah kita incar.

Oya ada pengalaman menarik ketika saya mengirim tulisan untuk National Geographic. Ceritanya, saya sudah mengirim tulisan dan melupakan nasib tulisan itu karena tidak pernah ada kabar dari ruang redaksi. Setelah dua tahun berlalu, text editor NatGeo menghubungi saya, memberi kabar tulisan yang saya kirim DUA TAHUN lalu akan dimuat. Jangan pernah kehilangan harapan…. seperti kehidupan manusia, tulisan juga punya nasib dan takdirnya masing-masing. Sebagai penulis, kita hanya bisa berupaya agar karya yang kita buat mendapat tempat yang layak 🙂

Jakarta, 14 Juli 2017

Salam, Denty Piawai Nastitie

rambutkriwil.com

Keterangan: Foto nomor 2-6 diambil dalam perjalanan ke Muna, Sulawesi Tenggara.

Read more

Narastika dan saya sama-sama hobi bervakansi. Pada 2010, kami mendapatkan beasiswa pertukaran pemuda ke Luton, Inggris. Meski program itu melarang peserta traveling ke kota lain tanpa asistensi dari supervisor, kami nekat ngetrip ke London (sekitar 50 kilometer dari Luton).

Di London, kami menyusuri Sungai Thames, menikmati keindahan arsitektur Istana Buckingham yang megah dan mewah, menonton drama musikal Shakespeare di Globe Theather, meresapi kehidupan malam di sekitar London Eye, berfoto dengan mannequin, dan melakukan banyak hal lain.

Malam itu, dengan rasa haru dan gembira luar biasa, kami pulang ke Luton naik kereta cepat. Sepanjang perjalanan, Narastika dan saya menahan dingin karena tubuh kami hanya dibalut jaket tipis. Kami juga menahan lapar karena tidak sanggup membayar makanan paling murah di Chinese Food Restaurant di London. Meskipun kere, tetapi hore!

Pengalaman menyenangkan itu membuat kami bercita-cita untuk lebih banyak lagi melakukan perjalanan bersama. Kalau di Inggris kami ikut program Global Xchange dari British Council, next trip kami bercita-cita untuk tetap traveling meski tanpa sponsor.

Pada 2013, kami punya ambisi keliling Asia dalam satu tahun! Hahahhaa!! Cita-cita muluk, yang belum terwujud. Tetapi, sebagian mimpi itu mewujud dengan melakukan perjalanan ke Malaysia, Singapura, dan Jepang. Setelah mengunjungi banyak tempat-tempat bersama Narastika, saya sadar perjalanan adalah moment yang tepat untuk memurnikan makna persahabatan.

Di perjalanan, kami menghadapi tantangan utama, yaitu membangun toleransi dan komunikasi. Perjalanan sungguh menguras waktu, tenaga, dan emosi! Perjalanan bersama teman yang kurang cocok bisa bikin bete, mood rusak, berantem, rencana perjalanan buyar. Sebaliknya, perjalanan dengan teman yang pas membuat pengalaman semakin berkesan. Namun, saya yakin, seperti jodoh (kayak ngerti ajaa hehe), cocok atau tidaknya dengan teman seperjalanan bisa dibangun. 🙂

Sejak delapan bulan sebelum perjalanan, Narastika dan saya sudah mempersiapkan jalan-jalan hemat di Negeri Sakura. Kami mengatur itinerary, mencari hotel, memesan tiket pesawat dan tiket kereta dan bus lokal, dan memasang target lulus kuliah! (FYI, demi bisa traveling setelah lulus kuliah saya mengerjakan skripsi dalam waktu tiga bulan! :D)

Dari mengatur itinerary, sebenarnya sudah terlihat bagaimana perbedaan sikap Narastika dan saya dalam memandang perjalanan ini. Narastika sungguh well-organized, dia mengatur itinerary perjalanan tidak hanya hari-per-hari, tetapi jam-per-jam! Dia juga mengatur rencana penginapan dan transportasi dengan sangat detail. Hal ini sungguh-sungguh berbeda dengan saya, yang super berantakan!

Kalau bepergian, saya hanya punya gambaran besar dan kasar mengenai kota yang ingin saya kunjungi dan berapa lama saya akan tinggal di sana. Saya sama sekali tidak memikirkan, seharian (dari jam-per-jam) mau ngapain aja, yang ada di benak saya: “Lihat nanti saja deh mau mengunjungi apa! Tergantung mood!” Tetapi, Narastika kekeuh jadwal harus fixed sebelum berangkat karena akan mempengaruhi budget. Baiklaah, saya menyerah. Dan kami pun menyusun itinerary secara rigid.

Dalam diskusi, saya memberi beberapa destinasi yang ingin saya kunjungi. Narastika yang akan memasukkannya dalam tabel-tabel itinerary disesuaikan dengan budget dan kondisi geografis.

Sesampainya di Jepang, perbedaan sikap kami semakin terasa. Narastika bergerak disiplin mengikuti jadwal, sedangkan saya lebih acak, dan mau menikmati slow-journey dengan, misalnya, berlama-lama menghayati sejarah Kota Hiroshima, berdialog dengan masyarakat setempat seperti para tukang becak Jepang, mencicipi makan makanan lokal, dsb. Saya sempat bete karena merasa hidup seperti diatur-atur dengan itinerary. Narastika juga pasti bete karena gerak saya super lambat dan mood mudah berubah-ubah. 🙁

Dari perjalanan ini, saya sadar, tantangan dalam perjalanan bukanlah keterbatasan bahasa atau uang atau waktu dan sebagainya, tantangan dalam perjalanan adalah membangun toleransi dan komunikasi dengan orang lain agar perjalanan menyenangkan! Sekalipun ada yang mengklaim sebagai solo traveler, bukankah kita tidak akan pernah betul-betul sendirian dalam perjalanan?

Lalu apakah langkah Narastika benar karena menyiapkan perjalanan dengan lebih detail sedangkan saya salah karena tergolong orang yang acak dan tidak terjadwal?

Beberapa orang mungkin suka gaya traveling teragenda, beberapa orang lain suka style travelling yang spontan. Dalam perjalanan tidak ada yang lebih benar atau lebih salah karena semua keputusan yang diambil tergantung situasi dan kondisi.

Persiapan sebelum trip memang penting, tetapi spontanitas dan fleksibilitas juga sangat dibutuhkan.Ketika dua kepala memiliki isi otak yang berbeda, akhirnya masalah yang timbul adalah keinginan pribadi tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Misalnya, saya sangat ingin naik Gunung Fuji. Sementara Narastika sama sekali tidak tertarik naik gunung. Untungnya, perbedaan ini tidak berujung pada percekcokan, adu mulut, jambak-jambakan, bete-betean, dan akhirnya malah jadi ngegosipin keburukan teman di kemudian hari.

Untuk mencegah peperangan (oke, ini lebay :D) kami mencoba sampaikan keinginan pribadi sejelas-jelasnya dan coba mendengarkan travel partner untuk mencari jalan tengah. Akhirnya kami mengambil jalan tengah: saya akan naik Gunung Fuji, sementara Narastika akan city tour di sekitar Tokyo. Ini merupakan jalan tengah yang sempurna, karena dengan berpisah kami bisa mendapatkan apa yang kami inginkan dan berbagi pengalaman saat bertemu lagi.

Saya sangaaattt senang naik Gunung Fuji, tetapi lebih senang lagi ketika bertemu Narastika lagi di hostel!! Dia menyambut saya dan mengucapkan selamat karena saya sukses mengibarkan bendera merah putih di Puncak Fujisan! AAAAHH, Tikaaa!!! Saya gak mungkin mewujudkan cita-cita ini tanpa kamuuu!! *langsung meweeekkk*

Agar perjalanan menyenangkan, kami juga coba untuk saling mengalah demi memenuhi keinginan teman. Narastika menemani saya ke Shimokitazawa, distrik yang menjual barang-barang antik! Sementara saya menemanik Tika ke kota satellite Yokohama (di sini kami nonton sirkus gratisan! Hahahhaa).

Di Shimokitazawa, kami makan siang di sebuah kafe yang kelihatannya keren. Saya memesan pasta dengan cara asal tunjuk menu karena buku menunya berbahasa Jepang dan pelayannya enggak ngerti Bahasa Inggris. Ternyata itu adalah pasta telur ikan…. yekss!! Dulu memang enggak doyan makan ikan, apalagi telur ikan T.T…. Saya sangat terkesan karena Narastika mau membagi makanannya supaya saya enggak kelaperan….

Di Meiji Shirine, saya kehabisan uang kecil. Narastika juga begitu baik menyumbangkan sebagian uang recehnya supaya saya bisa beli papan doa. Kalau doa itu terwujud, sungguh ini berkat kemurahan hati Narastika! (Makasihhh Tikaaa…. *mewek lagi untuk kesekian kali… hahahhaa)

Dengan berbagi kita tidak akan pernah merugi. Justru mendapatkan banyaaak pengalaman seru dan unik. Setiap kali saya bertemu Narastika, kami akan tertawa sampai perut sakit mengingat banyak hal bodoh yang kami lakukan. Di perjalanan, kami lebih mengenal diri sendiri, dan bisa saling menyesuaikan, atau bahkan terbawa kebiasaan teman.

Tika yang biasanya jarang mau bergaul dengan random people, akhirnya jadi lebih gampang ngobrol dengan orang asing karena terpengaruh kebiasaan saya yang suka sotoy dan SKSD dengan orang lain. Hahahahhaa. Saya yang biasanya bangun siang jadi lebih pagi karena enggak mau ada jadwal perjalanan yang terlewatkan. Sebaliknya, Narastika malah kesiangan terus!! “Ayo Tika, sudah jam 7!! Ayo kita jalan-jalan!!” jerit saya setiap hari di dormitory. Wkwkwk.

Berbicara soal persahabatan saya jadi ingat lagu hits berjudul “Kepompong”: Persahabatan bagai kepompong mengubah ulat menjadi kupu-kupu persahabatan bagai kepompong hal yang tak mudah berubah jadi indah. Persahabatan bagai kepompong maklumi teman hadapi perbedaan…”

Perjalanan tidak hanya menawarkan pengalaman mengunjungi tempat-tempat unik dan indah, atau kebanggaan bisa selfie dan pamer foto-foto di facebook, perjalanan juga menawarkan kebersamaan, keceriaan, dan membuat kita lebih memaklumi perbedaan dan mempererat makna persahabatan. 🙂

For Narastika.

Best love, Denty.

Jakarta, 29 November 2016.

Rambutkriwil.com

 

Read more