Menjadi travel blogger adalah impian banyak orang. Bayangkan, kita bisa keliling dunia dan menghasilkan banyak uang (pengennya sih begitu, meski tak selalu begituu… hehe). Meski bisa pamer tulisan dan foto-foto jalan-jalan di personal blog, ada kenikmatan tersendiri saat melihat karya dimuat di media cetak, seperti majalah, koran, atau tabloid. Rasa bangga dan senang berlipat ganda ketika kita mendapat honor tulisan!
Beberapa teman bertanya, apakah catatan perjalanan yang mereka buat bisa dimuat di media cetak? Menurut saya, kenapa tidak? Tetapi ingat, tidak semua tulisan bisa dimuat. Hanya tulisan yang memiliki unsur kedalaman, kebaruan, dan informatif, yang biasanya lolos seleksi ruang redaksi.
Apalagi, media cetak memiliki karakteristik yang berbeda dengan media daring. Namanya karakteristik, ya berarti sesuatu yang khusus. Yang khas. Seperti makanan khas DI Yogyakarta adalah gudeg, berbeda dengan makanan khas Palembang, yaitu mpek-mpek. Semakin kita memahami karakteristik platform media, semakin besar peluang tulisan itu dimuat.
Bagi saya, menulis di media cetak itu susah-susah gampang. Susah bagi para first timer alias newbie (percayalah semua penulis terkenal berangkat dari posisi ini), tetapi menjadi gampang kalau kita sudah tahu triknya dan sukses menerapkan trik itu. Berikut adalah tips and trick agar catatan perjalanan bisa dimuat di media cetak:
1. Tentukan media incaran
Dari sekian banyak media cetak yang masih bertahan, saya sarankan untuk membuat daftar media yang menjadi incaran. Bagaimana caranya?Hmm…. mungkin caranya seperti mengincar pasangan hidup. Pertama-tama, kamu harus suka atau minimal, tertarik dengan calon kamu itu!
Kedua, kamu harus mempelajari karakteristik dia. Ketiga, mulai deh PDKT! Urusan cinta diterima atau ditolak, mah urusan belakangan. Begitu juga dengan tulisan! Apakah nantinya karya itu akan dimuat atau tidak, ya itu tergantung dengan kecocokan tulisan dengan karakteristik media incaran.
Setelah menentukan media incaran, kelompokkan media itu berdasarkan karakteristiknya, apakah termasuk media cetak harian, mingguan, atau bulanan. Apakah media itu termasuk koran plitik, majalah leasure, atau tabloid gosip? Dari pengelompokan ini, bisa ditentukan media mana yang paling cocok dengan jenis tulisan.
Setelah menentukan media incaran, pahami tata cara pengiriman tulisan. Biasanya, syarat menulis tercantum pada halaman depan atau belakang. Agar tulisan kamu dimuat, kamu harus betul-betul mematuhi syarat pengiriman tulisan. Jangan sampai kamu sudah membuat tulisan keren, tetapi gagal dimuat hanya karena masalah sepele, seperti lupa mencantumkan biodata yang diminta media cetak tersebut, atau lupa melampirkan fotokopi KTP.
2. Pahami karakteristik media
Suatu hari, teman saya bertanya: “Kenapa ya tulisan gue gak pernah dimuat di Kompas?”. Saya tanya balik, “Emang lo kirim tulisan apa? Berapa halaman?” Ternyata,… teman saya mengirim cerpen yang panjangnya 10 halaman! Dalam hati saya menjawab, “Yaelaaah brooo…. sampai doraemon hidup lagi juga tulisan lo kagak bakal dimuat!”
Kenapa? Karena… A. Keterbatasan halaman. Kompas hanya memiliki 32 halaman cetak, yang terbagi antara lain untuk berita politik, hukum, ekonomi, olahraga, pendidikan, dan lingkungan hidup. Untuk memuat cerpen, tersedia hanya ada satu halaman setiap hari Minggu. Jadiii…. yoooo ndak mungkin tooo yooo…. cerpen sepanjang 10 halaman kemudian dimuat di Kompas! (Ntar orang-orang bingung, ini koran atau buku kumpulan cerpen :P)
B. Kompas sangat jarang memuat cerpen. Setiap minggu hanya ada satu cerita pendek di halaman Kompas Minggu. Sebulan berarti ada empat cerita pendek. Setahun berarti ada empat puluh delapan cerita pendek. Naaah…. kalau cerpen ingin dimuat di media cetak, karya tulis itu harus cukup mencuri perhatian dewan juri. Dalam kasus ini, tulisan teman saya harus cukup bersinar dan bisa menjadi bagian 48 cerpen yang dimuat Kompas.
Jadi, kalau ingin tulisan kamu dimuat di media cetak, pelajari dulu karakteristik media tersebut. Beberapa pertanyaan yang harus dijawab: Apakah media itu cocok untuk tulisan perjalanan? Apakah media tersebut memiliki halaman khusus untuk penulis lepas? Apakah media itu menyediakan ruang untuk tulisan panjang, atau hanya suka tulisan-tulisan pendek? Apakah media itu terbit setiap hari, setiap minggu, atau setiap bulan? Kalau media itu terbit setiap minggu, jenis tulisan seperti apa yang diharapkan… dan seterusnya.
3. Kirim foto dan pahami selera editor
Pertama kali tulisan saya dimuat di Kompas ketika saya berusia 17 tahun. Apakah, setelah itu tulisan-tulisan saya sering dimuat? Ya, lumayan. Apakah tulisan-tulisan saya sering ditolak redaksi (seperti cinta yang juga sering ditolak)? Ya, lumayan *Njirttt malah curhat! wkwkwkwkk
Percaya deh, sekali tulisan kita dimuat di media cetak, rasanya bakalan candu. Kalau kita cerdas membaca peluang, tulisan akan semakin sering dimuat. Dengan memahami selera editor, kesempatan tulisan dimuat akan semakin besar. Selera editor itu mewakili media cetak di mana dia bekerja. Selera editor juga mewakili selera pembaca media itu.Bagaimana cara memahaminya?
Cukup mudah, baca saja semua tulisan-tulisan yang pernah dimuat di media tersebut. Pelajari cara menulisnya, dan coba mengikuti karakteristik tulisan itu. Karakteristik menulis untuk majalah remaja perempuan, akan berbeda dengan karakteristik untuk menulis majalah pria dewasa. Nggak ada cara lain untuk memahami karakteristik tulisan selain mempraktekkannya!
Memahami selera editor bisa juga dilakukan dengan bertanya kepada editor yang bersangkutan. Setiap kali saya mengirim tulisan, terlepas dari tulisan itu akan dimuat atau tidak, saya akan bertanya kepada editor, bagaimana pendapat dia tentang tulisan saya. Editor yang baik akan memberikan masukan terhadap karya penulis. Masukan itu adalah modal berharga untuk tulisan-tulisan selanjutnya.
Bagi pemula yang ingin tulisannya dimuat, nggak ada cara lain memastikan tulisan dimuat selain mematuhi masukan editor. Kalau editor request judul diganti, ya ganti saja! Kalau editor request tulisannya dipangkas, ya pangkas saja! Halaman di media masa itu milik mereka, bukan kamu! Editor adalah bos, jadi coba senangkan mereka. 🙂 Setelah tulisan sering dimuat dan kamu sudah mengenal editor dengan lebih dekat, kamu bisa berdiskusi dengan mereka tentang topik-topik tulisan selanjutnya atau angle tulisan lain yang menarik.
Untuk catatan perjalanan, yang tidak kalah penting adalah foto-foto! Biasanya, majalah traveling akan menahan tulisan kalau mereka belum menemukan foto-foto yang keren. Kalau traveling, sekalian bikin foto yaaa karena kesempatan datang ke tempat yang sama belum tentu datang dua kali.
4. Jalin relasi dengan ruang redaksi
Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Sekali tulisan kamu dimuat, artinya editor dan media cetak tersebut percaya dengan kamu. Kalau kamu sudah dapat kepercayaan, peluang tulisan-tulisan kamu yang lain akan dimuat semakin besar. Jangan pernah sia-siakan hal ini!
Saya mempelajari tips ini ketika menjadi freelance kontributor majalah kaWanku dan National Geographic. Dari iseng-iseng menulis di kedua majalah itu, anggota redaksi akan menghubungi saya kalau mereka butuh tulisan lain. Ketika saya sibuk dengan urusan sekolah atau kuliah, redaksi secara khusus memberi saya tenggat waktu yang lebih panjang agar saya bisa mengirim tulisan.
Namanya kepercayaan, tentu saja harus dipupuk dan dibina sebaik mungkin. Kalau tulisan kamu sudah dimuat di media cetak, dan kamu sudah mengenal editor di media itu, coba sesekali kamu ajak dia nongkrong, atau kamu main ke kantor media itu membawa makanan. Atau sekedar say hello melalui Whatsapp atau Facebook untuk menanyakan kabar dan mengucapkan selamat ulang tahun, misalnya. Kalau lagi ketemuan, coba tanya deh ke mereka, untuk edisi selanjutnya mereka butuh tulisan tentang apa? Dan tawarkan tulisan kamu ke mereka. Siapa tahu tema liputannya cocok! Siapa tahu jodoh dengan editor tersebut!
5. Tulis, kirim, lalu move on!
Setelah membuat karya tulis yang keren, mengirimkan tulisan ke kantor redaksi media cetak, lupakan semua yang kamu lakukan! Menanti itu sangat menguras emosi…hehehe daripada setiap hari menunggu-nunggu kapan tulisan akan dimuat, lebih baik kamu move on! Jalani hidup seperti biasa… kembali lagi produktif menulis.
Saran saya, setelah mengirim tulisan… bisa menunggu sekitar dua hingga empat minggu, apakah ada feedback dari kantor redaksi tersebut. Penulis bisa mengirim surat elektronik atau menelepon ke ruang redaksi, menanyakan apakah redaksi sudah menerima tulisan dan apakah ada kemungkinan tulisan tersebut dimuat. Kalau sudah ditolak puk-puk, hidup masih panjang… mungkin bisa tanya kenapa tulisan kamu ditolak, apakah dapat diperbaiki. Kalau ternyata sudah mentok juga, tidak akan dimuat atau tidak ada kesempatan diperbaiki, saatnya move on dan cari gebetan lain.
Ada beberapa alasan kenapa tulisan tidak dimuat. Bisa jadi tulisan kamu memang jelek kurang layak. Tetapi, bisa juga karena tidak cocok dengan media incaran. Seperti tadi yang saya bilang, menulis untuk media cetak itu kan seperti cari jodoh. Kita harus memantaskan diri supaya cocok dengan calon media yang sudah kita incar.
Oya ada pengalaman menarik ketika saya mengirim tulisan untuk National Geographic. Ceritanya, saya sudah mengirim tulisan dan melupakan nasib tulisan itu karena tidak pernah ada kabar dari ruang redaksi. Setelah dua tahun berlalu, text editor NatGeo menghubungi saya, memberi kabar tulisan yang saya kirim DUA TAHUN lalu akan dimuat. Jangan pernah kehilangan harapan…. seperti kehidupan manusia, tulisan juga punya nasib dan takdirnya masing-masing. Sebagai penulis, kita hanya bisa berupaya agar karya yang kita buat mendapat tempat yang layak 🙂
Jakarta, 14 Juli 2017
Salam, Denty Piawai Nastitie
rambutkriwil.com
Keterangan: Foto nomor 2-6 diambil dalam perjalanan ke Muna, Sulawesi Tenggara.
Mantap kak, apakah kakak mau bercerita lagi kriteria tulisan yang seperti apa sih yang biasanya di gemari para editor? Khususnya untuk tulisan tulisan yang berkaitan dengan dunia pariwisata