Serena Williams dan Perjuangan Kesetaraan

Sebagai jurnalis, tidak ada yang lebih membanggakan selain bertemu dengan tokoh idola. Selain bisa bertatap muka secara langsung, sangat senang bisa berbincang-bincang dengan tokoh tersebut. Tidak jarang, malah menjadi teman dekat untuk bertukar pikiran.

Maka, ketika suatu hari saya ditugaskan meliput kejuaraan tenis dunia dan bertemu Serena Williams, hati ini berbunga-bunga. Saya menyempatkan berswa-foto dengan Serena. Saking senangnya, foto yang ada di telepon genggam saya pamerkan ke orang tua, teman-teman, keluarga.

Tetapi, tiba-tiba, foto itu hilang! Saya sedih karena bukti pertemuan dengan Serena tidak tersisa. Lebih sedih lagi, ketika saya sadar pertemuan itu hanya mimpi! Begitu bangun, saya tersadar sedang berada di kamar tidur. Tidak ada Serena Williams. Tidak ada foto-foto. Kalau kata wartawan, amsyong!! 😛

Sepanjang hari saya berpikir, kenapa yaaa…. saya bisa bermimpi bertemu dengan Serena Williams. Mungkin karena sesaat sebelum tidur saya melihat foto Serena dan Venus Williams saat bermain di AS Terbuka 2016. Mungkin karena memang saya ngefans dengan Mbak Serena, sampai kebawa mimpi. Hehe.

Perkenalan saya dengan Serena Williams terjadi belasan tahun lalu. Saat itu, saya sering tidak percaya diri punya rambut keriting dan kulit sawo matang menuju kegelapan. Ada yang bilang, saya mirip kakak beradik Serena-Venus Williams. Dibilang seperti itu, saya merasa tidak cantik. Merasa kacau. Sepertinya apa yang saya lakukan sia-sia karena sesuatu kerap hanya dari tampilan fisik.

Tetapi, seiring berjalannya waktu, dan seiring mengikuti perjalanan karir Serena-Venus Williams, saya sadar, ketika kita fokus terhadap apa yang menjadi kekuatan kita, maka tampil fisik bukan lagi menjadi masalah.

Ketika musuh berhadapan dengan Serena di lapangan, yang mereka hadapi adalah Serena dengan aksi tenisnya yang luar biasa. Bukan Serena dengan warna kulitnya yang berbeda kebanyakan petenis lain di era-nya. Lagian, toh, definisi kecantikan itu apa sihh??

Serena Williams memang jagoan di lapangan tenis. Main tenisnya energik! Servisnya kenceng! Selain karena permainan di lapangan, saya suka Serena karena komentar-komentar yang dia sampaikan menunjukkan women’s empowerment.

Bagi saya, melalui prestasinya, Serena telah mendefinisi ulang pandangan-pandangan umum masyarakat yang sexist dan racist.

Serena, misalnya, menolak disebut petenis perempuan terbaik. Karena baginya, tenis bisa dilakukan siapa saja, tidak peduli kamu perempuan atau laki-laki. (Kenapa yaa, kalau Roger Frederer atau Nadal nggak pernah disebut petenis laki-laki terbaik??).

Komentar ini disampaikan saat Serena meraih kemenangan ke-307 di turnamen Grand Slam AS Terbuka 2016, menyamai rekor Frederer. ”Saya perempuan, dan saya atlet. Namun, pertama-tama saya adalah atlet,” ujar Serena, yang menggunakan momen kemenangan untuk meyakinkan para penggemarnya bahwa gender tidak ada kaitannya dengan kejayaan seseorang.

Sebagai perempuan petenis berkulit hitam, banyak orang yang sering mengolok-olok fisik Serena. Sebagian para penyerangnya bahkan sesama perempuan.

Saya sempat kesel banget lihat video seorang petenis yang ngebully fisik dia di lapangan! Tindakan itu seakan membenarkan pernyataan: “women are their own worst enemies is no new revelation.” Rasanya pengen saya tempeleng kepala tuh cewek pakai raket tenis.

Tetapi, menanggapi ejekan itu, Serena tidak down. Dia santai aja menanggapi dengan pernyataan: “My power is sexy.” Pernyataan itu melegitimasi kehebatan Serena di lapangan dan di luar lapangan. Dia tidak menanggapi penghinaan dengan kemarahan atau komentar pedas, tetapi menajadikannya kekuatan untuk semakin berprestasi.

Konflik sesama perempuan sebenarnya terjadi tidak hanya pada petenis terkenal macam Serena, pada orang-orang biasa juga kejadian. Misalnya perempuan single vs perempuan berkeluarga, perempuan bekerja vs ibu rumah tangga, perempuan menyusui vs perempuan yang anaknya nyusu pakai sufor (susu buat sapi kalau kata orang-orang). Please deeh, saatnya perempuan saling mendukung bukannya saling menjatuhkan!

Serangan untuk Serena juga datang dari para petenis-petenis uzur yang rasis. Komentar rasis muncul semakin gencar saat Serena menjalin hubungan dengan Alexis Ohanain, pendiri Reddit, pria berkulit putih. Serena menjawab komentar rasis dengan mengutip sajak Maya Angelou, “Does my sassiness upset you? Why are you beset with gloom?… You may shoot me with your words, … You may kill me with your hatefulness. But still, like air, I’ll rise.”

Serena sudah menembus banyak kendala, tetapi perjalanan menuju kesetaraan kesempatan masih panjang… Seperti kata Serena, apapun yang terjadi, jangan pernah berhenti menciptakan hal-hal positif!

Jakarta, 19 Juli 2017
Denty Piawai Nastitie
Rambutkriwil.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*