Akhir pekan lalu, saya liputan pelatnas atlet menuju SEA Games 2017 di Soreang, Bandung. Di sana, saya ngobrol-ngobrol dengan pelatih angkat besi asal Afrika Selatan. Karena sudah akrab, wawancara diselingi ngobrol ngalor ngidul dan ketawa-ketiwi mengenai peristiwa sehari-hari.
“Denty, everytime I see your page, you always in the top of something,… such as the mount. Tell me, are you in the process of finding yourself, proving your existence, and creating “the brand-new me”, or what?” kata dia, mengomentari tampilan foto-foto saya di media sosial, seperti Facebook dan Istagram. Saking seringnya dia melihat saya sedang ngetrip, pelatih itu mengira saya sudah tidak bekerja sebagai wartawan olahraga lagi 😀
“Sadly, the more I try to find my self, the more I lost it,” kata saya. Pelatih itu ketawa ngakak-ngakak.
Begitu selesai liputan, dalam perjalanan dari Bandung kembali ke Jakarta, saya kembali memikirkan pertanyaan dia. Sebenarnya, apa sih yang saya cari dalam perjalanan mendaki gunung, menyelam lautan, dan menjelajah ke sebanyak-banyaknya tempat di bumi ini? Apakah saya memang sedang mencari jati diri? Membuktikan eksistensi? Ataukah perjalanan ini sekedar kegiatan kurang kerjaan, buang-buang waktu dan biaya, untuk sekedar pamer foto pura-pura bahagia di sosial media?? Atau apaaa??? Apppaaaa?????
Dalam perjalanan menembus kepadatan arus lalu lintas di Tol Cipularang, saya teringat pernah adu argumen dengan ayah soal hobi naik gunung ini. Selama ini, orang tua saya tidak pernah suka anak perempuannya panas-panasan berkegiatan di luar ruang, juntrang-juntrung ke tempat-tempat aneh bersama teman-teman yang nggak kalah aneh (wkwkkwk). Orang tua saya lebih senang anak perempuannya jadi anak manis manja di rumah.
Suatu hari, saat saya siap-siap mendaki Gunung Gede, ayah saya bilang, “Ini terakhir kali, ya, kamu naik gunung!”
Mendengar ayah berkata demikian, hati saya terluka. Ego saya naik (dasar bocah sensitif! :D) Ketika itu saya berpikiran, saya sudah dewasa. Saya punya otoritas dan prioritas hidup. Saya merasa tidak pernah merepotkan orang tua dengan aktivitas saya. Mengapa mereka masih melarang saya melakukan kegiatan yang saya suka??
Kepada ayah, saya menjawab: “Maksudnya terakhir kali naik gunung gimana??!!” tanya saya, melawan.
Ujung mata saya basah dengan air mata. Saya menarik nafas panjang. Mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mendapat restu dari ayah. Hati kecil berbisik, tidak mungkin saya melangkah tanpa restu orang tua.
Setelah emosi mulai stabil, saya mencoba menjelaskan kepada ayah:
“Mendaki gunung adalah perjalan mengatasi rintangan dan persoalan. Meski sudah cukup sering naik gunung, setiap pendakian selalu memberikan kesan dan pengalaman berbeda. Naik gunung bisa menjernihkan pikiran, mengobati rasa kesal dan bosan. Saat mendaki gunung, saya belajar melangkah dan percaya pada diri sendiri. Belajar bertahan hidup. Dalam usaha bertahan hidup itu, ada suka-duka, dan saya memilih menyimpan kenangan indah. Di gunung, saya merasa menjadi diri sendiri. Mengambil keputusan dengan ketenangan pikiran dan perasaan. Menjalani hidup tanpa beban, selain menanggung beban di pundak.”
Ayah dan ibu kemudian melepas saya pergi. Tidak ada cara yang bisa dilakukan orang tua terhadap anaknya yang pembangkang ini selain melepaskan anak itu melakukan sesuatu yang dicintainya. “Jangan lupa berdoa agar perjalanan lancar,” kata ibu, sambil melambaikan tangan.
Kembali ke pertanyaan pelatih angkat besi yang saya temui di Soreang, apakah saya sedang mencari jati diri dengan mendaki gunung?
Bagi saya, mendaki gunung bukan usaha mencari jati diri. Mendaki gunung justru berarti berarti menjadi seutuh-utuhnya dan sebaik-baiknya diri sendiri. Karena setiap langkah begitu berarti. Setiap beban dipundak begitu bernilai. Setiap detil kehidupan, seperti embusan angin, sejuknya embun pagi, indahnya daun-daun yang berguguran, hangatnya matahari, begitu bermakna. Dan, setiap interaksi dengan teman-teman perjalanan memberi warna.
Selamat menjalani hari-hari.
Jakarta, 30 Juli 2017.
Denty Piawai Nastitie
Rambutkriwil.com
kenapa anda mendaki gunung? karena klo turun gunung namanya pendekar…
ahahahahha kalau turun lembah namanya ninja hatori dong kak