Beberapa pekan lalu, saya menghadiri diskusi “Ketika Agama Membawa Damai, Bukan Perang: Belajar dari Imam dan Pastor.” Acara diadakan di Kantor Kementerian Agama RI, yang berada di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Saya datang dengan pakaian santai, yaitu blouse putih, dan celan jeans belel. Pakaian seperti ini tidak pernah saya kenakan ketika sedang bekerja. Meski tidak ada batasan cara berpakaian dalam profesi wartawan, saat bertugas tentu saja saya memakai pakaian “yang bukan celana belel”, karena narasumber yang saya temui beragam, bisa jadi masyarakat biasa atau orang penting! Nah, karena hari itu saya libur, saya cuek saja datang ke acara diskusi dengan jeans belel. Pikiran saya, toh ini diskusi soal keberagaman, boleh dong saya datang dengan style saya.
Begitu sampai di Kantor Kementerian Agama RI, seorang satpam segera menyegat saya di gerbang masuk. “Mau kemana ya, Mbak?!” tanya dia dengan nada membentak, sambil melihat gaya pakaian saya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setelah puas mengintrogasi, saya diarahkan ke lobi.
Baru saja mau masuk pintu lobi, seorang petugas kemanan kembali menghentikan langkah saya. “Ehh! Mau kemana ini? Mau kemana?!” tanyanya (juga sambil memandang saya dari kepala ke kaki, bolak balik bagai setrikaan). Saya kembali menjelaskan bahwa saya akan menghadiri acara diskusi. “Nanti, nanti, belum mulai!” jawab satpam itu, ketus.
“Loh, ini kan sudah jam 12.00, Pak. Saya mendapat undangan jam 12.00,” jawab saya.
“Ya, nanti! Ini belum mulai! Ngerti gak sih? Tunggu di luar sana!” katanya, sambil mengusir saya. Saya melihat ke keliling. Ada belasan orang menunggu di lobi masuk, kenapa saya disuruh menunggu di luar?Apa gegara celana belel saya? Grr..
Satu jam kemudian, saya berusaha masuk ke dalam aula. Oleh seorang satpam saya malah diarahkan naik ke lantai 5. “Mendaftar dulu di sana!” katanya. Oke, saya mengalah, dan naik ke lantai 5. Di sana, seorang satpam kembali mengusir saya dan menyuruh saya turun ke bawah.
Mendapat perlakuan seperti itu, saya merasa kesal. Ribet amat sih nih orang-orang!! Dari ratusan peserta diskusi, kenapa saya yang diombang-ambing bagai gebetan yang suka PHP! Karena sebal enggak ketolongan, saya membentak balik satpam itu, “Yang bener yang mana nih pak, registrasi di lantai atas atau di bawah? Kasih info yang jelas dong!” Ngelihat satpam itu cuek mengusir saya tanpa ada permintaan maaf membuat saya tambah kesal.
Begitu sudah masuk ke ruang diskusi, saya membaca spanduk bertuliskan: “Ketika Agama Membawa Damai, Bukan Perang.” Spanduk itu bikin saya bertanya-tanya, dapatkan kita mewujudkan perdamaian beragama ketika menghargai perbedaan berpakaian saja sulit.
Dari peristiwa ini saya memahami, gaya berpakaian saya yang ternyata tidak diterima di kantor agama. Saya sih sudah berusaha lihat-lihat ke papan pengumuman, adakah larangan memakai jeans belel di kantor megah ini? Kelihatannya, enggak ada tuh aturan seperti itu?
Saat memikirkan hal ini, seorang perempuan bercadar melintas di depan saya. Dalam hati kecil saya bertanya, ketika saya mengahrapkan orang lain menghargai gaya berpakaian saya, apakah saya dapat menghargai orang lain yang berpakaian dengan gaya berbeda dengan saya, seperti perempuan bercadar, laki-laki dengan celana katung, atau mereka yang kemana-mana berkalung rosario? Bisakah saya menilai orang lain tidak hanya dari apa yang tampak di luar, namun lebih menghargai mereka melalui karakter hidup sehari-hari?
_
Begitu selesai acara, saya menceritakan kejadian ini kepada teman saat kami kumpul-kumpul di daerah Sarinah. Seorang teman saya yang memakai kerudung mengatakan, dia pernah mengalami kejadian serupa saat kuliah di negara barat. Saat itu, ada dua orang yang memandang dan mengamatinya dari jauh karena dia memakai kerudung.
Teman saya sempat bertanya-tanya mengapa dua orang itu menghakiminya karena gaya berpakaian yang berbeda. Dua orang itu kemudian mendekati teman saya dan bertanya: “Apakah pakaian yang kamu kenakan terasa panas?” Teman saya menggeleng, dan membiarkan mereka memegang kerudungnya yang terbuat dari scraft berbahan tipis.
“Prasangka adalah cara alami manusia untuk membangun gerbang pertama perlindungan diri. Namun, untuk menciptakan perdamaian, yang penting adalah membuka gerbang itu atau membuka ruang untuk dialog. Dengan cara itu, prasangka buyar dan berubah menjadi pengertian. Sekarang ini, jangankan saling mengerti atau memahami, untuk membuka ruang dialog saja sulit,” ujarnya.
Saya jadi ingat, beberapa bulan lalu pernah mengisi acara workshop menulis di sebuah kampus Islam. Sebagai orang Katolik, ada perasaan mawas diri yang timbul. Di kepala saya muncul berbagai pertanyaan, seperti: “Bagaimana cara saya bersalaman dengan mereka? Bagaimana kalau mereka menolak untuk berjabatan tangan? Apa yang mereka pikirkan tentang saya? Apakah saya harus memakai baju lengan panjang dan menggunakan scraft sebagai penutup kepala? Bagaimana kalau kehadiran saya dianggap aneh? Bagaimana kalau mereka menolak kehadiran saya?”
Ketika saya sampai di kampus Islam tersebut, yang saya jumpai justru sebaliknya. Saya bertemu orang-orang yang menerima saya dengan tangan terbuka. Mereka menjabat tangan saya. Mereka bertanya tentang pekerjaan saya, dan beberapa hal menyenangkan lainnya. Ketika saya mengisi workshop menulis, tidak ada satu pun mahasiswa yang memandang saya aneh karena saya tampil tanpa kerudung. Mahasiswa justru antusias menyimak materi yang saya sampaikan.
Kenyataan itu membuat saya malu. Sebagai perempuan yang selama ini (saya mengira) telah menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan berpendapat, ternyata pikiran saya masih terlalu sempit. Saya mendapati kenyataan, bahwa orang-orang yang memakai baju tertutup belum tentu pikirannya tertutup. Sama seperti orang-orang yang memakai baju terbuka, belum tentu punya pikiran cerdas dan terbuka. Bukankah kalau kita ingin menciptakan dunia yang inklusif, pertama-tama yang harus kita buka adalah gerbang pikiran kita sendiri. Semakin bijak seseorang, semakin dia tidak ingin mengubah dunia, karena yang paling penting adalah mengubah diri sendiri.
Kembali ke diskusi: “Ketika Agama Membawa Damai, Bukan Perang: Belajar dari Imam dan Pastor” adalah momen untuk melihat kenyataan bahwa perdamaian itu sesuatu yang tidak lahir begitu saja. Perdamaian adalah sesuatu yang harus diciptakan dan diupayakan terus menerus. Membuka ruang dialog, berdiskusi, saling mengerti, memahami, dan bertoleransi, adalah kunci menciptakan perdamaian! “Compassion and tolerance are not a sign of weakness, but a sign of strenght.” — Dalai Lama.
Selamat hari toleransi sedunia.
Wakatobi, 16 November 2017
Keterangan foto: Burung-burung camar terbang di atas Danau Galilea, Israel, Desember 2015. Saya sedang menyusun sesuatu tentang perjalanan ke Timur Tengah, stay tuned! dan doakan semua berjalan sesuai rencana, yaa… Salam.