February 2018

Berita mengenai dua wartawan kantor berita Reuters didakwa melanggar Undang-Undang Kerahasiaan Negara saat meliput krisis Rakhine membuat saya berandai-andai menjadi orang tua atau keluarga yang menghadapi kenyataan mempunyai anak seorang jurnalis yang harus diadili.

Hati saya pasti akan hancur ketika melihat orang terkasih digelandang memasuki mobil tahanan seusai sidang, dan dibawa kembali ke penjara.

Peristiwa yang terjadi di Yangon, Myanmar, itu membuat saya sadar, konsekuensi atau tantangan berprofesi menjadi jurnalis tak hanya dirasakan sang jurnalis, tetapi juga berdampak kepada orang-orang terdekat, seperti orang tua, suami, istri, dan anak-anak.

Saya masih ingat, ketika menulis berita sensitif tetang tentara yang mencoba mengarahkan preferensi warga dalam pemilu, berhari-hari ayah tidak bisa tidur sebelum memastikan saya pulang ke rumah dengan selamat. Mengingat efek berita itu cukup besar, yaitu sejumlah tentara dimutasi, ada pula yang turun pangkat, ayah khawatir dengan keselamatan saya.

Ayah takut, orang yang merasa dirugikan dengan berita tersebut nekat melakukan hal-hal yang mengancam keselamatan saya. Fakta bahwa saya lahir dari keluarga militer, rupanya tidak membuat orang tua merasa anaknya akan baik-baik saja menjalankan profesi ini.

Kembali ke berita mengenai wartawan yang didakwa, salah satu jurnalis, Wa Lone, mengatakan, “Mereka menangkap dan menindak kami karena berusaha mengungkap kebenaran.”

Saya jadi ingat kata-katanya George Orwell, “Journalism is printing what someone else does not wanted printed: everything else is public relation.”

Tugas utama jurnalis adalah mengungkap kebenaran. Tetapi, kebenaran itu (bagi penguasa) seringnya menyakitkan sehingga mereka akan melakukan berbagai cara untuk membungkam wartawan. Fuh!

Pernah suatu hari, salah seorang narasumber mengancam akan melapor ke pihak berwajib kalau saya tetap menulis tentang topik yang dianggapnya merugikan dia. Fakta yang saya tulis, yang saat itu saya ungkap dengan niat baik, yaitu memperjuangkan kepentingan masyarakat, rupanya menyakitkan bagi pemangku kebijakan.

Ancaman si Bapak bikin saya kesal. Ego saya melawan, tidak terima diperlakukan kasar demikan. “Silakan saja Bapak melapor. Pekerjaan saya dilindungi Undang-undang,” kata saya, sambil menahan keinginan ngejambak orang.

Ketika menonton The Post, saya kembali diingatkan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Hal sesuai dengan sembilan elemen jurnalisme yang pernah dituturkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam buku The Elements of Journalism (2001).

Dalam The Post, sikap mematuhi kewajiban pada kebenaran ditunjukkan Pemimpin Redaksi The Washington Post Ben Bradlee (Tom Hanks) dengan berkeras menerbitkan tulisan tentang Pentagon Papers, meski taruhannya sangat besar. Dasar penulisan adalah dari salinan dokumen yang didapatkan seorang wartawannya. “Kita tidak bisa membiarkan pemerintah mendikte liputan hanya karena mereka tidak suka dengan apa yang kita tulis tentang mereka,” katanya.

Sooo… buat HEY KAMO PARA NARSUM YANG SUKA RESEK, MARAH2, KARENA MALU AIBNYA DIBONGKAR, CUMA ADA SATU KATA BUAT KAMO… BHAAYY!

Film The Post juga mengingatkan bahwa loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Meski pemilik surat kabar The Washington Post, Katherine ”Kay” Graham (Merryl Streep), dekat dengan para penguasa, tetapi keberpihakannya kepada “wong cilik” tak perlu diragukan lagi.

Keberpihakan itu mengandung konsekuensi perusahaan media yang dirintisnya akan bangkrut, karena bisa jadi para pemilik saham itu menarik investasi yang sudah ditanamkan. Menurut saya, situasi tersebut menjadi tantangan sesungguhnya di industri media zaman now, ketika banyak situasi yang menghadap-hadapkan idealisme vs realita, idealisme vs pragmatisme, idealisme vs… *silakan isi sendiri!

Saya terharu, ketika ada seorang perempuan asing mengucapkan terima kasih kepada Graham karena berita mengenai Pentagon Papers telah memberikan harapan untuk keluarganya. Ciyusaaan dehh gaiiissss, you know you did something right, when a stranger in nowhere say thank you for what you have done! Padahal, perusahaannya nyaris bangkrut looohh… tapi pemiliknya tetap memilih untuk melayani warga! *tepuk tangaaaaaaaannn!!!

Sebagai jurnalis, rasa bangga dan haru paling besar memang ketika perjuangan wawancara narsum, ngublek-ngublek data, nulis panjang lebar, berbuah tulisan dimuat dan mendapat respons positif dari pembaca. But, bekerja sebagai jurnalis, sebenarnya tidak selalu se-gagah itu… Hahahahaa…

Ada kalanya, saya justru merasa apa yang saya kerjakan ini sia-sia. Kesia-siaan itu tercipta karena beragam alasan, mulai dari tulisan ditolak di ruang redaksi, merasa ide kurang diakomodir, atau ketika tulisan mendapat banyak kritik, atau sedang kurang puas dengan hasil tulisan, entah karena ada data yang kurang, atau kurang akurat, taapiiii kaaaannn kalau pas baper, ada aja perasaan ingin gebuk2 aspal! 🙁

Lagi-lagi, menjelang berakhirknya film, The Post menjawab kegalauan saya, dengan kalimat: “Kita memang tidak selalu melakukannya dengan benar. Kita tidak selalu sempurna,… tetapi ku pikir, kita bisa adil. Bukankah memang itu tugasnya (jurnalis)…”

 

Cikole, 27 Februari 2018

Denty Piawai Nastitie

Read more

Ketika pertama kali ditugaskan ke Alor Setar, Malaysia, saya bertanya di dalam hati: bagaimana dapat menikmati kota ini? Saya berusaha browsing melalui situs lonely planet, yang saya temukan tempat-tempat wisata yang tak lebih baik dari: museum, masjid, menara, dan istana raja. Jumlah tempat wisata pun tak lebih dari sepuluh! Jadi, bagaimana saya dapat menikmati Alor Setar di waktu senggang?

Setelah transit di Kuala Lumpur, dan mengalami keterlambatan penerbangan selama dua jam (terpujilah maskapai AA!), saya mendarat di Alor Setar, nyaris tengah malam. Langit sudah gelap, jalanan sepi. Oleh taksi bandara, saya diantar ke hotel bintang empat yang berada hanya 200 meter dari titik 0 KM kota ini.

Jangan bayangkan hotel bintang empat itu berupa tempat mewah seperti Grand Mercure atau Le Meridien, ya! Tempat tinggal saya selama sembilan hari adalah sebuah hotel tua dengan lampu redup, lift berdenyit ketika dipakai, closet duduk dengan flush rusak, dan kunci kamar bukan berupa cardlock magnetik, melainkan kunci manual dengan gantungan kayu, persis kunci rumah.

Receptionist yang bekerja di hotel hanya satu orang, seorang perempuan Melayu yang mengenakan kerudung berwarna coklat muda. Dia meminta saya membayar tourism tax sebesar 10 MYR per malam. “Bagaimana kalau kamu memberikan deposit 100 MYR untuk tourism tax dan keperluan lain selama kamu tinggal di sini?” ujarnya.

“Aduh, saya belum menukar uang,” kata saya. Saya hanya membawa 150 MYR ke Malaysia. Sebagian besar sudah saya pakai untuk makan laksa di bandara dan membayar taksi. “Apakah saya bisa membayar dengan menggunakan mata uang dollar, atau rupiah? Saya baru berencana menukar uang besok siang,” kata saya.

[fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Char Koey Tiaw, makanan paling populer di Alor Setar

Dia berpikir sejenak, kemudia menggeleng. “Tidak bisa. Kursnya sedang kurang baik. Kamu punya uang ringgit berapa? Sisanya bisa kamu lunasi hari lain,” kata dia. Saya pun terpaksa menyerahkan satu-satunya lembaran 50 MYR yang tersisa di dompet kepada petugas receptionist tersebut. “Sial, besok gue makan siang pakai duit apa?!!” umpat saya.

Saya bertanya kepada receptionist, apakah ada restaurant yang buka di sekitar hotel karena saya merasa kelaparan. Dia bilang, tidak ada. Hanya ada super market 7/11, sekitar 50 meter dari hotel. Saya pun ke 7/11 membeli cup noodles seharga 3 MYR, yang saya bayar dengan recehan. Setelah itu, saya ke kamar dan tidur lelap.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Suasana pertokoan di Alor Setar, Malaysia.

Keesokan harinya, setelah menyelesaikan tugas liputan, saya pergi ke Aman Central, pusat perbelanjaan terbesar di Alor Setar. Saya membeli persediaan logistik alias camilan, seperti pisang, roti, yoghurt, kripik, coklat, dan air mineral. Dari Aman Central, saya berencana kembali ke hotel dengan menggunakan Grab Car. Namun, setelah saya cek, lokasinya ternyata tidak lebih dari 3 kilometer. Sambil menenteng barang belanjaan, saya memutuskan untuk berjalan kaki ke hotel.

Sepanjang perjalanan, saya melewati deretan rumah, toko, dan restaurant, yang mencerminkan keberagaman komunitas masyarakat Alor Setar. Ada kedai kopi dengan tulisan-tulisan aksara China, ada rumah makan nasi kendar, nasi lemak, dan nasi ayam khas makanan Melayu, ada pula cafe-cafe sederhana yang menjual makanan khas Thailand, seperti Tom Yum, dan puding mangga. Melihat foto-foto makanan itu saya jadi ngiler!

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masyarakat Alor Setar.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Suasana pertokoan dengan komunitas masyarakat India.

Di depan Sentosa Plaza, saya melihat pedagang-pedagang kaki lima yang menjual makanan China. Mulai dari mi, nasi hainan, aneka gorengan, hingga nasi daging babi, dan babi panggang. Mereka menjual makanan di gerobak-gerobak sederhana di pinggir jalan. Waaah… kalau di Indonesia, bisa digrebek kali yaa jualan babi panggang di pinggir jalan begini, pikir saya. Walau makanan-makanan itu terlihat menggiurkan, sayangnya, saya gak makan babi, jadi tidak kurang tertarik mencoba.

Setelah melewati pedagang makanan, saya berjalan di pinggir Jalan Putra. Di ujung jalan itu, terdapat kuil Hindu (Sri Thandayuthapani Temple) yang berdiri megah dengan parkiran luas. Setelah melewati menara jam besar Alor Setar, saya melihat Masjid Zahir yang terlihat bergitu cantik dengan background warna matahari tenggelam.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masjid Zahir disebut juga sebagai Masjid Raja terletak di perkarangan Istana Pelamin.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Pemandangan kota Alor Setar, Malaysia, dilihat dari dalam Masjid Zahir.

Saya sungguh terpukau dengan kecantikan masjid yang dibangun pada 1912 itu. Saya sampai berdiri di depan masjid selama sekitar lima menit untuk memandang kubah menyerupai bawang. Keunikan lain adalah tiang-tiang yang berdiri bukanlah tiang tunggal, tetapi dua atau empat tiang yang menyatu untuk menopang atap bangunan.

Pesona yang dimiliki Masjid Zahir menginspirasi Pemerintah Malaysia mengabadikannya sebagai gambar perangko. Namun, saat saya cari perangko dan kartu pos untuk kenang-kenangan dan kirim ke kampung halaman, masyarakat setempat menjawab: “Lebih mudah dan cepat komunikasi dengan Whatsapp, Makcik… Zaman sekarang sudah tidak ada kartu pos lagi….” Baeklaaah -___-”

Dalam perjalanan kembali ke hotel, saya berpikir bagaimana Alor Setar hidup dalam keberagaman. Hal itu tercermin dari keberadaan Masjid Zahir yang berdiri berdampingan dengan kuil Hindu. Letak masjid tidak terlalu jauh dengan komunitas Tionghoa. Fachri, supir grab saya, suatu hari bercerita, saat Imlek, orang-orang China biasanya mengadakan open house. Banyak orang Melayu dan India datang ke rumah orang-orang China untuk makan dan pesta bersama.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, saya menemukan jawaban bagaimana selama sembilan hari dapat menikmati kota ini. Cara terbaik menikmati Alor Setar adalah dengan merayakan keberagaman komunitas dan menikmati keindahan peninggalan bangunan bersejarah.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masjid Zahir dibangun pada 1912.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Pengungjung menikmati keindahan Masjid Zahir.

Dalam kunjungan kedua saya ke Masjid Zahir, saya memberanikan diri masuk ke dalam masjid. Seorang perempuan asal Kuala Lumpur, yang sedang berkunjung ke rumah teman di Alor Setar, mempersilakan masuk untuk menikmati sudut-sudut masjid. “Enjoy your time, here…” katanya,

Di dalam masjid, saya bertemu dengan Zahir, seorang pria berusia sekitar 50 tahun. Zahir adalah mantan manajer di sebuah perusahaan produksi barang-barang kulit. Memasuki usia senja, Zahir memutuskan untuk mengabdikan hidup pada ibadah dan keluarga. Untuk mengisi waktu luang, dia bekerja sebagai supir Grab di Alor Setar. “Dengan menjadi supir, kapanpun saya punya waktu untuk istirahat dan pergi ke masjid untuk shalat,” kata Zahir. (Saya baru sadar, kenapa namanya sama dengan masjid yaa? Hmmm…)

Zahir bertanya dari mana asal saya, bagaimana saya bisa sampai di Alor Setar, dan untuk apa saya mengunjungi Masjid Zahir. Saya berterus terang, bahwa saya harus bekerja di Alor Setar selama sembilan hari, dan saya mengunjungi masjid karena saya terpukau dengan keindahan bangunan. Setelah ngobrol banyak hal, saya bertanya, bagaimana Alor Setar bisa hidup dalam keberagaman.

Zahir mengatakan, karena Alor Setar berada di dekat perbatasan Malaysia-Thailand, maka memang banyak orang Thailand masuk ke Alor Setar. Beberapa orang Thailand membuka rumah makan, sehingga makanan di Alor Setar memang banyak terpengaruh rasa makanan khas Thailand. Orang-orang Malaysia dan Thailand hidup rukun. Begitu juga dengan masyarakat India, China, dan Arab.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Portrait umat Islam di Masjid Zahir.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masyarakat menikmati hiasan khas Imlek di Aman Central.

“Selama ini, tak ada masalah dengan keberagaman. Masyarakat hidup rukun dalam kultur dan kepercayaan masing-masing. Tetapi, politik telah menghancurkan segalanya,” kata Zahir. “Setiap kali ada pemimpin dari suatu kelompok masyarakat menang pemilu, kelompok lain pasti menjelek-jelekkan asal-usul pemimpin itu. Kalau yang menang dari kelompok satunya, kelompok lain melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya,” lanjutnya lagi.

Wahhh… Kalau begini sama aja kayak negara gue dongg… -__-”

“Bagaimana dengan di Indonesia?” tanya Zahir. “Saya lihat, masyarakat Indonesia hidup rukun yaaa… Saya pernah ke Indonesia, dan melihat masyarakat di sana hidup rukun,” kata Zahir.

Saya bingung mau jawab apa,… selain mau bilang: “Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau, Pak… Kenyataannya, yaaagituuu deeehhh…..”

Belum sempat saya menjawab pertanyaan Zahir, adzan berkumandang. Zahir meminta izin untuk shalat maghrib. Saya mempersilakan dia menunaikkan ibadah. Sementara saya, kembali melanjutkan perjalanan.

Jakarta, 20 Februari 2018

Denty Piawai Nastitie (http://rambutkriwil.com)[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]

Read more