Chiang Mai, atau Chieng Mai, adalah kota kedua terbesar di Thailand, setelah Bangkok. Sekilas, suasana di Chiang Mai mengingatkan saya pada Kota Magelang, di Jawa Tengah.
Karena berada di daerah pegunungan, udara di kedua kota ini terasa sama-sama sejuk dan segar, juga relatif jauh dari kebisingan kota. Selain itu, penduduk di Chiang Mai dan Magelang sama-sama ramah, dan kedua kota ini mempunyai situs-situs religius yang membuat pengunjung seperti menyusuri lorong waktu dan menikmati wisata batiniah (cocok banget daah buat yang sering galau dan pengen cari tempat untuk menenangkan jiwa :p).
Perjalanan saya di Chiang Mai, yang hanya dua hari, memang tak dapat menggambarkan kota ini secara keseluruhan. Tetapi, dalam dua hari itu, saya merasa diperkaya dengan berbagai pengalaman perjalanan. Belum puas memang, namanya juga manusia kapan sih pernah puas!
Maka, pada hari terakhir di Chiang Mai, sebenarnya tidak banyak hal yang saya lakukan. Saya hanya ingin menikmati pusat kota ini, agar bisa menyerap detil-detil kota sebelum esok hari berpindah ke tempat lain.
Setelah pada pagi-siang hari menjelajahi candi Doi Suthep, siang-sore saya hanya leyeh-leyeh di hostel, malam harinya saya ke Chiang Mai Night Bazaar. Di tempat itu, saya berbelanja oleh-oleh dan menikmati makan malam berupa mi rebus dan potongan daging seafood. Menjelang pukul sembilan malam, saya membeli segelas bir lokal seharga 80 bath, kemudian duduk di sudut pasar sambil menikmati pertunjukan musik.
Saat bersiap meninggalkan Night Bazaar, saya melihat seseorang (perempuan?) terlihat nyentrik dengan rambut berwarna merah menyala, mini dress putih dengan sepatu booth dengan high heels, dan tak lupa, make-up tebal! Weew! Ladyboy!
Jujur saja, saya memang penasaran ingin berjumpa ladyboy yang kata orang-orang sangat cantik dan mudah dijumpai di Thailand. Saking banyaknya ladyboy di Thailand, sering kali teman-teman saya bergurau: “Jangan-jangan itu ladyboy!” saat berpapasan dengan perempuan cantik ala kutilang alias kurus, tinggi, dan langsing di ruang publik.
Tetapi yahh, kita ‘kan nggak pernah tahu masa lalu seseorang… we can’t never never really know someone’s past life (kalaupun tahu orang itu ladyboy atau bukan, buat apaaa hahaha).
Di Chiang Mai, saya berjumpa dengan ladyboy entertainers… mereka berdandan super heboh memang karena ingin tampil pada sebuah pertunjukan.
Semula, saya pikir ladyboy entertainers banyak berada di Bangkok, atau daerah wisata pesisir seperti Phuket dan Pattaya. Perjumpaan dengan ladyboy entertainers di Chiang Mai yang merupakan daerah pedesaan, sesungguhnya di luar ekspektasi saya.
Saya segera berjalan menghampiri seseorang dengan rambut merah menyala itu, ingin melihat ladyboy dari dekat. Di Thailand, ladyboy sering disebut dengan istilah kathoey. Begitu tahu saya datang, kathoey itu menunjukkan brosur bertuliskan Cabaret Show.
“Jam berapa Cabaret Show mulai?” saya bertanya. “15 menit lagi,” jawabnya.
Sesaat, saya mempertimbangkan untuk menyaksikan penampilan cabaret show seharga 350 THB (sekitar Rp 170.000). Worthy kaah? Hmmm… Tetapi, bukankah kesempatan tak datang dua kali. Mungkin, menyaksikan ladyboy adalah cara yang tepat untuk mengakhiri perjalanan di Chiang Mai. “Nanti dapat minum gratis!” kata ladyboy itu, menarik perhatian saya. Saya sepakat!
Menjelang pukul 21.30, orang-orang asing mulai berdatangan. Bar yang dipakai untuk Cabaret Show, yang mulanya hanya berisi kursi-kursi kosong, mendadak penuh dengan para wisatawan. Mereka datang berpasangan, atau berkelompok. Sepertinya hanya saya yang solo traveler.
Linly, manajer operasional Cabaret Show, mengarahkan saya duduk di bagian tengah bar. Sebuah tempat yang oke untuk motret pertunjukan, sebenarnya. Tetapi, saat saya menoleh, ada seorang pria berusia 40 tahun-an, yang duduk seorang diri. “Ah sial, duduk dekat om-om, malas banget!!” kata saya, dalam hati.
Saya segera berdiri, untuk mencari tempat lain. Sempat agak bingung karena bar sudah hampir penuh. Sebagian lampu sudah mulai dipadamkan sehingga suasana jadi remang-remang. Saya benar-benar kayak anak ilang karena bingung mau duduk di mana.
Saat itulah, Gaby, seorang perempuan Amerika Serikat (yang duduk bersama pasangannya Jeff) menawarkan tempat duduk kosong di sebelahnya untuk saya. “Di sini saja!” kata dia. Ahh, baik sekali pasangan ini!
Selama sekitar satu setengah jam menyaksikan ladyboy, saya merasa benar-benar terhibur. Sebelum pertunjukan dimulai, saya sudah ketawa-ketawa sendiri melihat aksi para kathoey itu menyambut pengunjung-pengunjung cowok datang.
Kathoey dengan pakaian sexy dan make up tebal (dan tentu saja warna lipstik merah menyala) menyambut kedatangan cowok dengan mencium pipi mereka! Beberapa cowok terlihat jijik dan malu-malu, sebagian lainnya malah senang dan minta dicium lagi! HAHAHAHA.
Sempat kecewa sih, kenapa yang dicium hanya cowok-cowok yaaa… kalau ini cara mereka menyambut tamu datang, seharusnya ‘kan semua pengunjung diperlakukan sama dong. Kenapa ladyboy-nya pilih-pilih! Huhu… Lagi mikir seperti ini, Linly menghampiri saya, segera saja saya ajak foto selfie! Lumayaan laah… gak dapat sun pipi, dapat foto selfie 😀
Menyaksikan pertunjukan ladyboy ini sangat seru! Mereka pakai baju yang super heboh berwarna mencolok dan juga rumbai-rumbai di tangan dan kaki. Dengan pakaian seperti itu, kathoey menari, menyanyi, dengan tingkah yang sangat lucu. Kecuali kebiasaan ladyboy meminta uang ke pengunjung (buat foto atau alasan2 lain), secara keseluruhan saya menikmati pertunjukan.
Di atas panggung, ladyboy bernyanyi lipsync lagu-lagu pop seperti Love You Like A Love Song Baby-nya Selena Gomez. Seiring musik yang kian menghentak, ladyboy melepas sebagian pakaian atau atributnya sehingga tampil sexy di atas panggung. Tentu saja aksi ini bikin penonton heboh tertawa-tawa dan bertepuk tangan!
Ada juga ladyboy yang jago meliuk-liukkan tubuh di tiang. Dengan badan yang kurus, kulit putih, rambut panjang, sekilas memang penampilan mereka seperti seseorang yang secara biologis lahir sebagai perempuan (ladyboy aja laur biasa cantik yaaakkk… apa kabar lemak-lemak di badan gue nih! wkwkwk).
Bagi saya, yang paling seru adalah ketika Linly mengajak lima hingga enam penonton cowok untuk naik ke atas panggung. Mereka kemudian didandani selayaknya perempuan, dengan rok mini dan sepatu tinggi. Juga memakai wig berwarna-warni. Tanpa jaim, cowok-cowok itu beraksi di atas panggung. Aksi mereka membuat bar banjir dengan gelak tawa.
Gaby, mengatakan, di Amerika Serikat banyak lokasi untuk menyaksikan Cabaret Show. Biasanya, entertainers-nya adalah para pria yang berdandan seperti perempuan. “Berbeda dengan di Thailand, di mana mereka adalah ladyboy sungguhan,” katanya.
Pertunjukan Cabaret Show yang ada di Chiang Mai, menurut Gaby, adalah salah satu yang terbaik di Thailand. Fakta ini menurut saya cukup menarik karena Chiang Mai dikenal dengan situs-situs relijiusnya. Pada waktu bersamaan, Chiang Mai menawarkan gemerlap kehidupan ladyboy, yang di negara-negara lain keberadaannya selalu menimbulkan pro-kontra.
–
Keesokan harinya, kepada teman asal Perancis, saya menceritakan pengalaman menyaksikan ladyboy di Chiang Mai. Dari ekspresinya, dia kelihatan tidak nyaman dengan kehadiran para ladyboy. Saya sadar, ladyboy selama ini sering dianggap sebelah mata. Banyak teman-teman (terutama cowok) di sekitar saya, merasa kurang suka dengan kehadiran mereka.
Teman saya asal Perancis itu bertanya: “Kenapa di Thailand banyak ladyboy?”
Sejenak saya berpikir, dan menimbang-nimbang jawaban. “Saya sih nggak tahu persis yaa gimana sejarahnya,… setahu saya di Thailand, ladyboy memang dianggap bukan sebagai penyimpangan. Di dalam budaya Thailand, kathoey dianggap sebagai karma dari kehidupan sebelumnya. Keberadaan mereka bukan sesuatu yang harus dihindari atau dicemooh, justru harus dirangkul….”
“Selain itu, ajaran agama Buddha, yang dianut sebagian besar masyarakat Thailand, menekankan pentingnya membangun perdamaian dan toleransi terhadap berbagai hal yang sering dianggap tabu di negara lain…”
“Well yeah, di negara Asia lain seperti Indonesia, agama yang dianut masyarakat juga sebenarnya mengajarkan perdamaian dan toleransi… tetapi tau sendirilaah bagaimana ada kelompok-kelompok tertentu yang selalu menarik-narik segala sesuatu pada dua sudut yang saling bertolak belakang, dan sering juga menebar teror dengan berbagai tindakan anarkis… ditambah lagi penegak hukum yang sering kali bersikap tidak melindungi seluruh lapisan masyarakat… jadinya keberadaan ladyboy di negara-negara lain – seperti di Indonesia, di mana ladyboy, atau transgender, atau waria – bagaikan ada dan tiada…”
Kepada si teman Perancis, saya juga menyampaikan, setahu saya, identitas gender tidak cuma perempuan dan laki-laki, ada yang disebut gender nonconformity, di mana ekspresi gender yang disampaikan seseorang tersebut dinilai nggak pas dengan norma gender “maskulin” dan “feminim”. Keberadaan ladyboy itulah contohnya…
Teman saya mengangguk-angguk,… mungkin dia mengantuk dengar saya ngomong.
Setelah ada jeda beberapa saat, dia bilang: “Saya tetap nggak mau nonton pertunjukan ladyboy”.
Buat saya, menyaksikan atau tidak menyaksikan pertunjukan ladyboy itu pilihan individu. Tetapi, sebuah sikap kalau sudah berunjung pada tindakan pelecehan dan kekerasan kepada orang lain, itu yang harus diperangi bersama.
Jakarta, 5 Juni 2018
Denty Piawai Nastitie