Matahari bersinar terik ketika perahu dengan muatan sekitar 200 orang mengarungi Sungai Chao Phraya yang membelah kota Bangkok dan menjadi urat nadi transportasi orang Thailand pada masa silam. Pelayaran dengan perahu membawa penumpang melihat rumah-rumah sederhana yang berdiri kokoh diapit situs-situs bersejarah dan bangunan-bangunan mewah. Sebuah petualangan unik untuk menikmati kota metropolitan Bangkok, selain dengan berbelanja!
Selama hampir dua pekan, pada pertengahan Mei lalu, saya bertugas meliput kejuaraan bulu tangkis beregu Piala Thomas dan Uber di Bangkok, Thailand. Menjelang berakhirnya penugasan, seorang rekan jurnalis mengajak saya menghabiskan waktu luang dengan berbelanja di Mah Boon Khrong Center (lebih dikenal dengan MBK Center).
MBK Center merupakan pusat perbelanjaan yang terkenal di Bangkok, yang terhubung dengan pusat perbelanjaan lainnya, yaitu Siam Discovery dan Siam Paragon. Dengan ketinggian delapan tingkat, pusat perbelanjaan ini berisi sekitar 2.000 toko dan restaurant. Beragam benda dan pernak-pernik dijual di sana, mulai dari pakaian, alas kaki, make-up, hingga sarung bantal dan bed-cover.
“Duh, ngapain yaa ke MBK Center?” tanya saya.
“Belanja, dong… Di sana barangnya murah-murah,” jawab teman saya.
Begitu sampai di MBK Center, sesungguhnya saya kurang terkesan karena suasananya mirip dengan pusat grosir yang banyak bertebaran di Jakarta. Dalam hati muncul pertanyaan: “Masa jauh-jauh ke Bangkok, jalan-jalannya ke ITC juga… Apakah Bangkok memang hanya terkenal untuk berbelanja, atau sebenarnya ada tempat wisata lain yang menyenangkan?”
Berbekal panduan situs-situs perjalanan di internet, seperti TripAdvisor, rome2rio.com, dan getyourguide.com, bersama wartawan The Jakarta Post, Ramadani Saputra, saya menjelajahi sisi lain Bangkok! Tujuannya adalah mengunjungi kuil yang menjadi ikon kota Bangkok, yaitu Wat Arun dan Wat Pho, di mana pengunjung bisa melihat patung Buddha dengan posisi sedang tertidur, atau biasa disebut dengan patung Sleeping Buddha.
Kedua kuil tersebut terletak tidak terlalu jauh dari MBK Center, hanya sekitar 7,7 kilometer dan dapat ditempuh dengan berbagai moda transportasi darat, seperti taksi, bus, ataupun tuk-tuk (becak khas Thailand). Di depan MBK Center, beberapa pengemudi tuk-tuk menawari Dani dan saya perjalanan dengan tarif 150 THB (sekitar Rp 70.000). Saya berusaha menawar, tetapi tidak ada pengemudi yang bersedia menurunkan harga.
Kemudian muncul ide untuk naik kereta melayang BTS Skytrain. Dengar-dengar, BTS Skytrain merupakan sistem transportasi paling nyaman dan cepat di Bangkok. Dengan naik kereta layang, wisatawan tidak perlu tertahan berjam-jam di antara kemacetan jalan raya Bangkok.
“Gimana, setuju gak naik BTS Skytrain?” tanya saya. Dani menganggukkan kepala.
Saat berada di stasiun Stasiun Museum Nasional, yang berada di dekat MBK Center, saya sempat bingung karena tak ada petugas yang berbicara dalam bahasa Inggris. Selain itu, kebanyakan petunjuk arah tertulis dalam huruf Thailand.
Sekali lagi, beruntunglah sejumlah situs perjalanan menjelaskan rute perjalanan dengan rinci. Selama berada di Thailand, sesungguhnya saya merasa seperti tokoh animasi televisi anak-anak, Dora The Explorer. Kalau Dora bertanya pada peta yang muncul dari tas merahnya, saya harus berkali-kali mengecek situs perjalanan melalui telepon genggam untuk mendapatkan petunjuk jalan.
Oleh situs perjalanan TripAdvisor, saya diarahkan naik BTS Skytrain dari Stasiun Museum Nasional ke Stasiun Saphan Taksin. Kemudian, saya berjalan kaki ke pelabuhan Sathorn Pier. Dari sana, saya naik perahu ke Tha Thien, kemudian tinggal berjalan kaki ke Wat Arun.
Biaya perjalanan dengan menggunakan BTS Skytrain dan perahu sebesar 90 THB (sekitar Rp 41.000) per orang. Meskipun lebih mahal dari pada naik tuk-tuk, ada pengalaman berharga yang didapatkan, yaitu mencicipi perjalanan dengan menggunakan kereta layang dan perahu.
Dari perjalanan ini, saya memahami bahwa kualitas pelayanan transportasi publik di Bangkok seperti kereta layang dan MRT terkelola dengan baik. Buktinya, kedatangan dan kepergiaan kereta tak pernah meleset dari jadwal, kondisi stasiun dan kereta sangat modern dan bersih, halte dan stasiun juga saling terhubung sehingga memudahkan penumpang yang ingin berganti moda transportasi.
Hal yang juga mengesankan adalah perilaku para penumpang tertib! Tak peduli sepadat apapun kondisi stasiun, penumpang selalu mengantre ketika masuk atau keluar kereta. Para penumpang juga tidak pernah menyerobot menguasai kursi prioritas. Ah, kondisi seperti ini membuat saya mau-tak-mau membandingkan dengan kondisi di Jakarta, tempat saya melewatkan banyak hari-hari!
Di Sungai Chao Phraya saya melihat rumah-rumah sederhana dapat berdiri berdampingan dengan perkantoran dan apartemen mewah, perkampungan China yang unik dan legendaris, serta berbagai kuil. Di antara pepohonan, saya juga melihat atap Istana Raja yang megah.
Saya jadi ingat, seorang pengamat tata kota pernah mengatakan, diperlukan kepedulian untuk membangun kota sekaligus merawat situs-situs bersejarah sebagai identitas dan ciri khas kota itu.
Sebuah kota, selayaknya manusia yang senantiasa hidup bersama jalinan pengalaman masa lalu. Terlepas dari kenangan yang dapat dimaknai baik atau buruk, pengalaman-pengalaman itu yang membawa kita ke mana kita sekarang.
–
Setelah puas berkunjung ke Wat Arun dan Wat Pho, Dani dan saya naik taksi menuju penginapan di Muang Thong Thani. Pengemudi taksi yang membawa kami bertanya: “Kenapa kalian naik perahu ke Wat Arun? Kenapa tidak naik bus atau taksi dari MBK Center, yang lebih cepat dan murah?”
Dani dan saya tertawa. Kami baru sadar bahwa perjalanan menyusuri Sungai Chao Phraya hanyalah “gimmick” belaka untuk menghidupkan atraksi wisata di Bangkok. Ada perasaan ganjil sebenarnya, untuk apa susah-susah membelah sungai kalau ada perjalanan darat yang lebih mudah?
Sejujurnya, kontur Sungai Chao Phraya yang panjang dan berkelok-kelok tak berbeda jauh dengan belasan sungai yang membelah kota Jakarta. Perbedaannya mungkin terletak pada sungai mana yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menjadi magnet wisata. Sepanjang jalan menuju penginapan saya bertanya-tanya, seandainya saja Kali Angke bisa dijadikan atraksi wisata, apakah pelayanan kepada penumpang bisa profesional seperti yang ada di Bangkok?
“Ngomong-ngomong, kalau saya mau naik bus ke penginapan apa bisa?” saya bertanya kepada pengemudi bus.
“Tentu bisa. Tetapi, saya tidak tahu kamu harus naik bus nomor berapa, atau jam berapa. Sepertinya, hanya sopir bus dan Tuhan yang tahu kapan bus beroperasi,” jawab sopir taksi.
Sekali lagi, Dani dan saya tertawa. Ah, ternyata terkait bus umum, Bangkok dan Jakarta sama saja!
Hanya membutuhkan waktu sekitar enam jam untuk menjelajahi kota Bangkok dan melihat-lihat keunikan Wat Arun dan Wat Pho. Kelestarian kuil bersejarah di tengah kota canggih Bangkok menyadarkan bahwa masa lalu dan masa depan seperti garis perjalanan yang saling bersinggungan dan tak pernah saling meninggalkan.
Selama mengunjungi di situs-situ sejarah yang kaya nilai budaya itu, saya berinteraksi dengan masyarakat lokal, berfoto-foto, dan juga berbelanja oleh-oleh di pedagang eceran yang berada di sekitar pusat wisata. Harga empat gantungan kunci di sebuah toko kelontong di Wat Pho hanya 100 THB (Rp 46.000). Harga yang sama untuk sebuah gantungan kunci di MBK Center (dalam hati menjerit: tuhhkaannn, semurah apa pun berbelanja di ruang ber-AC ternyata lebih murah berbelanja langsung di UMKM).
Dari pengalaman ini saya semakin yakin bahwa atraksi wisata di Bangkok memang tidak hanya berbelanja!
Seorang teman dari Perancis mengatakan, dirinya menikmati banyak kegiatan seru (selain berbelanja) selama berada di Thailand, seperti belajar makan dengan sumpit, mencoba mengemudikantuk-tuk, dan menikmati segelar bir dingin di rooftop hotel. Pengalaman perjalanan itu memang unik, beragam, dan tak terbatas, tinggal bagaimana seorang pejalan dapat memetik suatu peristiwa dan mengukirnya dalam ruang bernama kenangan. (Denty Piawai Nastitie)