August 2018

Pertemuan saya dengan Winarni (42) terjadi tidak sengaja. Pada Jumat (27/7/2018) sore, saya datang ke pelatnas angkat besi di Mess Perwira AL Kwini, Jakarta Pusat, untuk melihat persiapan akhir tim angkat besi Indonesia menjelang Asian Games 2018.

Di sana, saya bertemu dengan trio atlet Olimpiade Sydney 2000 yang sedang memberi motivasi kepada atlet. Trio Olimpian itu adalah peraih medali perunggu angkat besi pada Olimpiade Sydney 2000, Sri Indriyani (kelas 48 kilogram) dan Winarni (53 kg), serta atlet tenis meja Ismu Harinto.

Kesempatan itu saya gunakan untuk mewancarai para Olimpian mengenai pengalaman mereka menghadapi kejuaraan besar dan bagaimana para atlet mengatasi tekanan mental.

Di sela-sela wawancara itu, sejumlah pelatih dan atlet menanyakan kabar anak Winarni, yang juga merupakan juara dunia angkat besi pertama Indonesia pada 1997. “Memang sakit apa Mbak anaknya?” tanya saya, kepada Winarni, yang juga meraih medali perunggu di Olimpiade Sydney 2000.

Mulanya Winarni tidak mau menjawab. Untuk menghormati privasi narasumber, saya tidak terlalu mendesak dan menuntut jawaban.

Setelah latihan selesai, saya bersiap-siap meninggalkan tempat pelatnas. Ketika itulah, seseorang memberi tahu bahwa anak Winarni sakit parah dan membutuhkan biaya hingga ratusan juta untuk biaya pengobatan. “Winarni berniat jual rumah untuk kesembuhan anaknya,” ujarnya.

Hah, serius? Separah itu sakitnya?” tanya saya, tidak percaya.

Saya kemudian kembali mendekati Winarni untuk menanyakan kondisi anaknya. Ketika ditanya, Winarni langsung menangis. “Saya tidak mau bercerita tentang anak saya. Kalau ditanya (tentang anak), saya pasti menangis. Lagian kalau saya sudah cerita, memang ada yang mau membantu?” kata Winarni, sambil berurai air mata.

Kata-kata Winarni menyayat hati saya. Sebagai jurnalis, sejujurnya saya sempat merasa sanksi apakah tulisan saya akan berdampak untuk narasumber. Namun, sesegera mungkin saya tepis pikiran tersebut. Saya meyakinkan diri sendiri bahwa untaian kata mempunyai kekuatan untuk menggerakkan hati manusia.

Saya selalu percaya bahwa karya jurnalistik mempunyai nasibnya sendiri, entah itu bernasib buruk, misalnya, dengan tidak dimuatnya sebuah tulisan, atau bisa juga bernasib baik dengan dimuatnya tulisan dan membawa manfaat bagi banyak orang. “Mudah-mudahan kali ini memberi manfaat,” kata saya dalam hati.

Kepada Winarni, saya sampaikan bahwa saya tidak berjanji karya jurnalistik yang akan saya buat bisa menolongnya. “Mungkin saja (tulisan) menjadi jalan, mungkin juga bukan jalan. Tetapi, kenapa tidak kita coba? Bukankah kita tidak boleh putus harapan, dan mencoba segala hal untuk menolong kesembuhan putra Ibu?”

Peraih medali perunggu Olimpiade Sydney 2000 Winarni (kanan) mengamati lifter Syarah Anggraini yang sedang berlatih untuk Asian Games 2018 di pelatnas angkat besi, Jakarta, Sabtu (28/7/2018. Tampil tenang dan percaya diri diharapkan jadi kunci kesuksesan atlet.
KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE (DNA)

Sesaat, Winarni terdiam. Dia menarik nafas panjang, kemudian mulai menceritakan nasib putra bungsunya, Achmad Fariz Taufik (2,5), yang terlahir dengan kelainan bawaan atresia esofagus atau kondisi tidak berkembangnya usus pada janin. Kondisi itu membuat Fariz tidak bisa menelan makanan dan minuman. Ia hanya bisa menjilat makanan, tetapi tidak boleh memasukkan makanan ke mulut. Selain kelainan itu, Fariz juga menderita gangguan jantung dan paru-paru.

Ketika masih berusia kurang dari 30 hari, Fariz sudah menjalani dua kali operasi, yaitu operasi untuk melubangi tenggorokannya sebagai jalan keluar air liur, serta operasi untuk membuat jalan makan di perut. Melalui jalan makan itu, susu disuntikkan setiap 1,5 jam tiap hari.

Ketika Fariz dirawat di RSCM, Winarni harus memompa jantung anaknya selama 24 jam.

Pernah suatu ketika Fariz meminta makan karena melihat kakak-kakanya menyantap makan siang. Akhirnya, Winarni mengizinkan Fariz menjilat makanan. “Jangan ditelan ya, Nak,” kata Winarni.

Winarni menuturkan, kalau sampai ada makanan atau cairan yang masuk ke tenggorokan anaknya, efek yang ditimbulkan bisa sangat berbahaya karena benda itu bisa masuk ke organ tubuh lainnya.

Fariz pernah dirawat di RSCM selama tiga bulan. Ketika Fariz dirawat di RSCM, Winarni harus memompa jantung anaknya selama 24 jam. “Ketika itu, perawat tidak ada yang mau mengambil risiko karena kalau memompa jantung terlalu kencang bisa mengakibatkan jantungnya pecah. Kalau terlalu lambat, paru-paru pecah. Akhirnya saya sebagai ibu memompa jantung anak saya dengan tangan saya sendiri,” ujarnya.

Berita di Kompas saat Winarni juara dunia angkat besi pada 1997, terbit pada edisi 8 Desember 1997, halaman 16.

Keterbatasan biaya membuat Winarni kesulitan mengobati anaknya. Ketika Fariz menjalani operasi, Winarni dan suaminya harus tidur di emperan rumah sakit selama tiga bulan karena tak mampu menyewa kamar untuk bermalam. Setiap hari Winarni kepanasan dan kehujanan demi menantikan kesembuhan anaknya.

Winarni menceritakan kisah itu sambil terus terus-terusan menangis. Saya sampai harus mematikan perekam suara beberapa kali untuk menenangkan dia. Kata Winarni, dia tidak pernah menceritakan kondisi anaknya secara detail kepada orang lain, apalagi sampai diwawancarai seorang jurnalis. “Tetapi, beban ini tidak bisa saya tanggung sendirian,” kata Winarni.

Ketika mewawancarai narasumber, sebenarnya saya mudah tersentuh. Namun, kedalaman kesedihan Winarni membuat saya hanya bisa berdiam diri. Saya teringat keponakan saya yang berusia delapan bulan. Tidak tega rasanya membayangkan seorang bocah harus melalui perjuangan hidup yang begitu berat. Cerita Winarni juga membuat saya berkaca pada diri sendiri. Ketika setiap hari saya bisa menikmati kelezatan makan dan minum, ada anak yang tak bisa menelan setetes pun ASI.

Winarni mengatakan, ketika dirinya masih menjadi atlet, ibunya selalu berdoa siang dan malam agar dirinya menjadi juara dunia. “Sekarang saya sudah menjadi juara. Sekarang saatnya saya berdoa siang dan malam dan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Fariz,” kata dia.

Keesokan harinya, saya kembali ke pelatnas angkat besi. Saya masih melihat Winarni menangis dan saya kembali berusaha menenangkannya. Saya sampaikan bahwa saya memerlukan data-data pendukung. Namun, karena ini berkaitan dengan istilah medis, saya perlu Winarni menjelaskan secara rinci. “Saya mohon Ibu Winarni jangan menangis dulu, yaa. Penjelasan Ibu sangat penting untuk tulisan ini,” kata saya.

Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, saya baru berani menulis kisah Winarni dengan judul: “Mantan Atlet Angkat Besi: Juara Dunia Berjuang demi Kesembuhan Anak”. Tulisan itu dimuat di Kompas, Minggu (29/7/2018).

Siapa sangka, setelah dimuat, tulisan tersebut ramai dibicarakan warganet. Melalui Twitter, foto kliping tulisan itu dibagikan oleh penulis dan konsultan kreatif Maman Suherman. Dalam cuitannya, Maman menuliskan pada kolom komentar, ”Pak Presiden @jokowi, Pak Menpora @KEMENPORA_RI, bisakah mantan juara dunia dan peraih perunggu Olimpiade Sydney 2000 ini dibantu? Terimakasih. @hariankompas”. Cuitan tersebut telah dibagikan ulang hingga lebih dari 2.000 kali, disukai lebih dari 1.000 orang, serta mendapat komentar dari ratusan warganet.

Pada Minggu siang, Media Relation dari platform penggalangan dana digital Kitabisa.com, Alvi Anugerah, menghubungi saya. Alvi menyampaikan bahwa Maman Suherman berencana membuat penggalangan dana untuk Winarni dan anaknya Fariz. Hal itu dilakukan karena banyak warganet yang tertarik untuk membantu, salah satunya dari mantan Wakil Menteri Perdagangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II Bayu Krisnamurthi.

Pada hari yang sama, halaman penggalangan dana pun diluncurkan. Kurang dari dua hari, penggalangan dana sudah menembus Rp 100.000.000 dari target Rp 300.000.000. Dalam satu pekan, atau pada Rabu (8/8/2018) pukul 12.00, donasi terkumpul melalui http://kitabisa.com/atletangkatbesi mencapai Rp 267.537.523 dari 1.388 donatur.

Masyarakat urunan membantu, mulai dari yang nilainya puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Masyarakat juga membantu dengan menyebarkan link donasi sehingga aksi penggalangan dana semakin tersebar. Di antara masyarakat yang menolong ada juga penyanyi Raisa.

Donasi untuk Winarni yang terkumpul pada https://kitabisa.com/atletangkatbesi itu belum termasuk bantuan dari PT Toyota Astra Motor yang menyumbang Rp 80 juta dengan cara membeli foto ”Ajang Pacu Jawi” karya fotografer Kompas, Yuniadhi Agung, saat lelang foto pada pembukaan Festival Fotografi Kompas (FFK) di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (31/7/2018) malam. Dato Sri Tahir dari Mayapada Group juga menyumbang Rp 50 juta. Winarni juga mendapat bantuan Dana Kemanusiaan Kompas Rp 10 juta, serta dari pengunjung festival Rp 4,27 juta dan 100 dollar AS.

Di luar bantuan donasi, beberapa warganet berencana mengunjungi Fariz saat bocah itu dioperasi. Ada juga masyarakat yang menghubungi untuk mengajak Winarni masuk dalam supporting group WhatsApp, yang berisikan 21 orang tua dengan anak yangterlahir dengan kelainan bawaan atresia esofagus. “Melalui grup ini, kami saling mendukung untuk memberikan kekuatan mental kepada orang tua dengan anak-anak hebat,” kata salah satu anggota grup.

Kalau sebelumnya Fariz selalu murung dan pendiam, sekarang dia lebih ceria.

Mendapat berbagai uluran bantuan dari masyarakat, Winarni merasa sangat bahagia. “Beberapa hari lalu saya bingung bagaimana membeli susu untuk Fariz, tetapi sekarang masyarakat banyak membantu. Dulu, saya juga merasa sendirian, tetapi sekarang banyak teman-teman yang datang memberi dukungan,” katanya.

Pada Selasa (7/8/2018) kemarin, Fariz dibawa dengan menggunakan kapal laut dari Lampung ke Jakarta untuk konsultasi dengan dokter anak, dokter nutrisi, dan dokter bedah di RSCM dan RSPI. Rencananya, apabila kondisi Fariz stabil, bocah itu akan segera dioperasi untuk menarik usus besar dari ke tenggorokan sebagai jalur makan.

Winarni mengatakan, bantuan masyarakat membuat Fariz lebih ceria. “Kalau sebelumnya Fariz selalu murung dan pendiam, sekarang dia lebih ceria. Setiap hari dia berlarian dan mudah tertawa. Sepertinya Fariz tahu sebagian beban orang tuanya sudah terangkat sehingga hal itu mempengaruhi mood Fariz,” kata Winarni.

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi bediri di samping foto karya fotografer Kompas, Yuniadhi Agung, yang dilelang untuk membantu Winarni, Selasa (31/7/2018). (KOMPAS/FRANSISKUS WISNU W DANY)

Maman Suherman mengatakan, bantuan yang mengalir untuk Winarni tidak lepas dari kekuatan pena yang telah menggerakkan hati manusia. “Terimakasih, dirimu sudah menjadi pembuka jalan. Kekuatan pena….” tulis Maman Suherman melalui pesan WhatsApp, pekan lalu.

Maman mengatakan, ini merupakan pertama kali dirinya menjadi inisiator penggalangan dana. “Saya terdorong oleh berita di Kompas,” katanya. Duta Literasi Iluni UI dan Sahabat Literasi Kemendikbud ini mengatakan, Indonesia berutang budi dan rasa terhadap Winarni. “Berkat perjuangan Winarni dulu kita merasa bangga mempunyai juara dunia pertama untuk Indonesia. Sekarang, biarkan kita berjuang untuk Winarni,” kata Maman.

Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, penggalangan dana untuk Winarni dilakukan sebagai respons terhadap pemberitaan Kompas pada Minggu (29/7/2018). Setelah berita mengenai perjuangan Winarni dan anaknya dimuat, masyarakat tergerak untuk berdonasi. ”Jurnalisme tidak hanya bertugas membagikan informasi, tetapi juga harus mampu menggerakkan hati orang lain. Membangkitkan empati dan solidaritas,” ujar Budiman, Selasa malam, dalam pembukaan Festival Fotografi Kompas.

Sebagai jurnalis yang memberitakan kisah ini, muncul perasaan bahagia. Saya tersentuh karena sebuah tulisan ternyata bisa menjadi jalan dan menggerakkan hati manusia. Saya juga sadar, sebuah kebaikan bisa menular pada kebaikan-kebaikan selanjutnya.

Saya teringat Winarni sudah hampir putus harapan. Tetapi, masyarakat datang memberi pertolongan. Uluran tangan masyarakat telah menumbuhkan kembali harapan bagi Winarni dan keluarga.

(Tulisan ini dimuat di https://kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/08/09/ketika-kekuatan-pena-menggerakkan-hati-manusia/ tanggal 9 Agustus 2018)

 

Keterangan cover:

Winarni, lifter juara dunia angkat besi 1997 dan peraih medali perunggu Olimpiade Sydney 2000 (kiri) menerima bantuan dari hasil lelang foto dari Executive General Manager PT Toyota Astra Motor Fransiscus Soerjopranoto senilai Rp 80 juta disaksikan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo, dan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Gatot S Dewabroto (kanan) pada penutupan acara Festival Fotografi Kompas Sportscapes di Bentara Budaya Jakarta, Minggu (5/8/2018) malam. Selain itu, Winarni juga menerima bantuan untuk pengobatan putranya Achmad Fariz Taufik dari filantropis Datuk Sri Tahir senilai Rp 50 juta, Dana Kemanusiaan Kompas Rp 10 juta serta sumbangan dari pengunjung festival senilai Rp 4,2 juta dan 100 dollar AS. (KOMPAS/Priyombodo)

Read more