Meliput kompetisi angkat besi pada Asian Games 2018 itu susah-susah gampang. Jika hanya terpaku pada penampilan lifter di atas panggung, cerita yang tersaji tak akan jauh berbeda, yakni seputar usaha atlet mengangkat beban dan jumlah angkatan yang dilakukan.
Padahal, ada beragam kisah menarik dari perjuangan atlet dan pelatih untuk meraih medali angkat besi. Kisah dan ”rahasia-rahasia” yang sebenarnya justru tersembunyi di balik kemegahan panggung kejuaraan.
Senin (20/8/2018) merupakan hari pertama kompetisi angkat besi berlangsung di Hall A2, Kemayoran, Jakarta Pusat. Hari itu, ada dua nomor lomba yang dimainkan pada kategori putra dan putri.
Indonesia mengirimkan lifter putri Sri Wahyuni Agustiani dan Yolanda Putri pada kategori 48 kg, sedangkan lifter putra Surahmat bermain pada kategori 56 kg. Perlombaan untuk kelas putri berlangsung pukul 14.00, kemudian kelas putra pukul 17.00.
Lifter Sri Wahyuni Agustiani merupakan andalan Indonesia untuk meraih medali emas.
Saya membayangkan, apabila Sri Wahyuni mendapatkan medali emas, akan banyak wartawan yang mewawancarainya. Berdasarkan pengalaman liputan pada desk olahraga, informasi saat jumpa pers sangat terbatas.
Apalagi, Sri Wahyuni termasuk atlet pendiam.
Apalagi, Sri Wahyuni termasuk atlet pendiam. Saat dimintai komentar, pasti jawabannya pendek-pendek. Karena itu, saya bertekad datang lebih awal agar mendapatkan kisah yang lebih utuh di balik penampilan atlet.
Saya tiba di JIExpo pukul 10.00, atau empat jam lebih awal dari kompetisi yang bergulir pukul 14.00. Selama satu jam, saya berusaha mendekati orang-orang yang bekerja di balik layar panggung angkat besi. Di antaranya manajer dan tim pelatih serta panitia pelaksana perlombaan.
Kepada manajer sekaligus pelatih kepala tim angkat besi Indonesia, Dirdja Wihardja, saya menanyakan keberadaan lifter Sri Wahyuni dan Yolanda Putri.
Pelatih yang sudah menangani tim Indonesia sejak Asian Games 2006 itu kemudian mengajak saya masuk ke ruang istirahat atlet. Itulah untuk pertama kali saya mengintip suasana di balik panggung angkat besi. Ada perasaan canggung awalnya karena setahu saya ruangan atlet tertutup untuk media.
Namun, Pak Dirdja tidak keberatan dengan kehadiran saya. ”Sudah, masuk saja ke ruang atlet, tidak apa-apa,” katanya.
Saya kemudian memberanikan diri masuk ke ruang atlet. Saya melihat ada sekitar enam lifter sedang tiduran di atas matras berwarna hitam. Beberapa atlet menutupi tubuh dengan selimut. Mereka menunggu waktu timbang berat badan sambil tiduran atau bermain telepon pintar.
Di antara para atlet terlihat Sri Wahyuni dan Yolanda Putri. Keduanya memakai jaket berwarna merah dengan tulisan ”Indonesia” di bagian punggungnya.
Kesempatan bertemu lifter sebelum perlombaan dimulai, saya manfaatkan untuk mewawancarai mereka. Agar atlet merasa nyaman, saya sengaja tidak mencatat hasil wawancara pada buku catatan.
Agar mereka tidak merasa sedang diwawancarai, saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan hal-hal ringan. Saya juga tidak ingin membuat lifter merasa tertekan sehingga malah akan memengaruhi penampilan mereka di panggung.
Saya juga tidak ingin membuat lifter merasa tertekan.
Di luar dugaan, Sri Wahyuni yang biasanya pendiam kali ini lebih mudah untuk diajak bicara. Dia menjawab pertanyaan saya dengan ramah. Bahkan, Sri Wahyuni tidak menolak diajak foto bareng.
Sri Wahyuni bercerita, dirinya bangun sebelum jam beker berdering. Setelah itu, Sri Wahyuni menjalani shalat Subuh. Dia kemudian hanya membasahi bibir dengan setetes air putih agar tidak kering.
Pagi itu, Sri Wahyuni sengaja tidak sarapan agar berat badannya sesuai kategori lomba. ”Tadi malam saya tidur nyenyak. Pagi ini saya juga bangun dengan segar. Saya sudah siap berkompetisi,” kata Sri Wahyuni, percaya diri.
Kepada Kompas, Sri Wahyuni juga memperlihatkan tasbih yang selalu digenggamnya sejak bangun tidur. Tasbih itu merupakan pemberian ibunya dari Tanah Suci. Tasbih yang sama dibawa Sri Wahyuni ketika tampil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
”Tasbih ini berjasa mengantar saya meraih medali perak di Rio. Saya percaya, dalam setiap kejuaraan, ada doa ibu yang mengiringi. Jadi, tasbih ini sudah jalan-jalan, menemani saya ke banyak kejuaraan dunia,” ujarnya.
Adapun Yolanda Putri mengatakan, dirinya tidak menyangka mempunyai kesempatan untuk pertama kali tampil di Asian Games. Apalagi, Yolanda akan bermain pada kategori 48 kg, sama seperti Sri Wahyuni yang selama ini menjadi idolanya.
”Setiap kali latihan, saya selalu memandang poster wajah Sri Wahyuni. Tidak sangka rasanya, saya akan bermain pada kelas yang sama. Saat ini, jumlah angkatan saya memang masih di bawah Sri Wahyuni, tetapi suatu hari saya akan menembus angkatan itu,” tutur lifter berusia 18 tahun itu.
Di ruang istirahat atlet itu pula, saya bertemu dengan mantan lifter nasional Maman Suryaman yang berpengalaman menjadi pelatih Sri Wahyuni ketika lifter putri itu masih duduk di bangku kelas V SD.
Sebelum kompetisi angkat besi dimulai, Maman dan istrinya, Lucky Nurmala, mencium kening Sri Wahyuni untuk memberi doa restu. Mata saya berkaca-kaca melihat momen tersebut.
Mata saya berkaca-kaca melihat momen tersebut.
Maman mengatakan, pertama kali bertemu Sri Wahyuni, badan bocah itu sangat kurus. ”Penampilan Sri Wahyuni dulu culun, rambutnya panjang, badannya kecil. Untuk berlatih saja, dia tidak punya biaya karena ayahnya adalah pedagang bakso keliling. Sekarang Sri Wahyuni jadi lifter kuat. Saya tidak menyangka. Tetapi, saya percaya, kalau ini memang sudah jalan yang ditakdirkan,” ucapnya.
Pada pukul 12.00, Sri Wahyuni masuk ke ruang timbang badan. Sambil menunggu Sri Wahyuni, saya ngobrol-ngobrol dengan mereka yang bekerja sebagai panitia pelaksana perlombaan angkat besi, antara lain Manajer Kompetisi Alamsyah Wijaya, Manajer Arena Sony Kasiran, serta Komite Penelitian dan Pelatihan Federasi Angkat Besi Internasional Aveenash Pandoo.
Pandoo kemudian mengajak saya berkeliling arena kompetisi. Pandoo memperlihatkan tempat duduk jurnalis di dalam arena lomba, ruang kerja jurnalis (venue press centre), hingga ruang konferensi pers.
Ruang rahasia
”Ada satu lagi ruang yang ingin saya tunjukkan, ini ruang rahasia,” katanya. Saya pun sungguh-sungguh tertarik.
Selanjutnya, Pandoo mengajak saya ke luar arena kompetisi. Saya membuntuti Pandoo yang berjalan ke arah ruangan kecil di sebelah kanan pintu masuk Hall A.
Begitu pintu dibuka, ternyata ada sejumlah anggota panitia pelaksana yang sedang duduk bersantai sambil menikmati makanan dan minuman. Beberapa anggota panitia pelaksana malah menawari saya untuk minum kopi dan makan camilan.
”Ini namanya ruang VIP,” ucap Pandoo, sambil tertawa.
”Ah, ini lebih cocok disebut kantin,” kata saya, sambil menenggak segelas kopi yang ditawarkan.
Duduk bersama Pandoo
Sekitar pukul 13.00, saya dan Pandoo masuk ke ruang kejuaraan untuk bersiap melihat kompetisi. Saya mendapat keistimewaan duduk di sebelah kanan panggung yang sebenarnya dikhususkan untuk atlet, pelatih, dan tim ofisial.
Mungkin, karena saya duduk bersama Pandoo, tidak ada panitia pelaksana atau sukarelawan yang berani menegur. Saya cukup puas duduk di tempat itu karena lokasinya dekat dengan arena pemanasan di belakang panggung.
Begitu kompetisi dimulai, saya melihat Sri Wahyuni tampil memukau dengan mengumpulkan total angkatan 195 kg (snatch 88 kg, clean and jerk 107 kg). Ini merupakan angkatan terbaik Sri Wahyuni sepanjang menggeluti cabang angkat besi. Jumlah angkatan Sri Wahyuni itu melebihi rekornya di Olimpiade 2016 dengan total angkatan 192 kg (snatch 85 kg, clean and jerk 107 kg).
Sayangnya, jumlah angkatan itu belum cukup mengantar Sri Wahyuni meraih medali emas. Lifter Korea Utara, Ri Song Gum, berjaya dengan angkatan total 199 kg (snatch 87 kg, clean and jerk 112 kg).
Meski kalah, saya melihat Sri Wahyuni dan tim pelatih sudah berjuang maksimal dengan mengadu strategi dan kekuatan demi mengalahkan lifter Korut.
Ketika lifter Korut melakukan angkatan 112 kg, Dirdja Wihardja menunjukkan hitungan angkatan pada secarik kertas. ”Kami putuskan mengamankan medali perak dahulu. Pada angkatan kedua, jumlah angkatan Sri Wahyuni akan dinaikkan menjadi 112 kg. Kalau Yuni berhasil, lifter Korut pasti keteteran,” ujarnya di belakang panggung.
Jarang berlomba
Di luar dugaan, beban itu terjatuh sebelum Sri Wahyuni bisa berdiri sempurna. Pelatih putri Supeni mengakui lifter Korut lebih baik. Selama ini, Sri Wahyuni belum pernah melakukan simulasi angkatan pertama di atas 110 kg. Sementara lifter Korut berani memasang jumlah angkatan pertama clean and jerk 112 kg.
Kekuatan Korut memang di luar dugaan. Selama ini, Ri Song Gum jarang mengikuti kejuaraan. Setelah menempati peringkat keempat di Kejuaraan Dunia 2015, Ri Song Gum tidak muncul pada sejumlah kejuaraan internasional. Dia kembali tahun lalu saat menyabet emas Universiade 2017.
Selama ini, Ri Song Gum jarang mengikuti kejuaraan.
Pada kejuaraan yang sama, Sri Wahyuni meraih perunggu. ”Saya memohon maaf kepada masyarakat Indonesia, kali ini belum bisa menyumbang emas. Namun, saya yakin atlet telah melakukan yang terbaik,” ujar Supeni.
Eko meraih emas
Keseruan kisah di balik panggung angkat besi juga terjadi keesokan harinya. Selasa (21/8/2018), lifter senior Eko Yuli Irawan berhasil meraih medali emas pada kategori 62 kg.
Setelah dinyatakan meraih emas, Eko bersorak. Wajahnya basah dengan air mata bahagia. Dirdja, beserta pelatih Muljianto, Erwin Abdullah, Rusli, Zulkarnaen, dan Supeni, menghamburkan pelukan ke tubuh Eko. ”Akhirnya kita dapat emas,” kata Eko.
Keberhasilan Eko menjadi pemuas dahaga tim angkat besi yang rindu medali emas. Sepanjang keikutsertaan Indonesia sejak Asian Games, negeri ini baru mengoleksi 7 perak dan 15 perunggu.
Di tingkat Olimpiade, Indonesia juga selalu menyumbang medali sejak Sydney 2000. Namun, emas selalu lepas dari genggaman.
Setelah dinyatakan menang, Eko Yuli Irawan tidak larut dalam kegembiraan. Ia justru menghampiri dan menepuk pundak Trinh Van Vinh, rival terberatnya, yang duduk lesu karena kecewa. Di balik kemegahan panggung angkat besi, keduanya pun berpelukan.
Eko mengatakan, dirinya tidak menaruh perasaan dendam meski lawan pernah mengalahkannya di SEA Games 2017. ”Di atas panggung, kami lawan. Tetapi di bawah, kami berteman,” ujar Eko.
Di atas panggung, kami lawan. Tetapi di bawah, kami berteman.
Melalui tindakannya, sesungguhnya Eko menunjukkan diri sebagai juara sejati yang selalu menghargai siapa pun lawan yang dihadapi.
Selain cerita bahagia, di balik panggung angkat besi juga menyimpan kisah duka dan nestapa. Hal itu terjadi ketika lifter Triyatno bermain pada kategori lomba 69 kg.
Lifter senior ini sebenarnya punya peluang meraih medali. Namun, kesempatan itu hilang karena Triyatno terlambat naik ke atas panggung untuk melakukan angkatan pertama clean and jerk.
Namun, kesempatan itu hilang karena Triyatno terlambat naik ke atas panggung.
Berdasarkan aturan, begitu ada lifter yang selesai melakukan angkatan, lifter selanjutnya hanya punya waktu 60 detik untuk naik ke atas panggung. Pembawa acara sudah memanggil nama Triyatno beberapa kali. Namun, peraih perak Olimpiade London 2012 dan perunggu Beijing 2008 itu masih pemanasan di belakang panggung.
Triyatno mengatakan, ada komunikasi yang terlewat dengan tim pelatih. ”Ada miscommunication, tadi pelatih pergi ke toilet. Ketika saya berjalan (ke panggung), sudah terlambat,” ujar Triyatno.
Setelah kehilangan kesempatan melakukan angkatan pertama, Triyatno berusaha mendekati total angkatan lawan dengan mengangkat 182 kg pada kesempatan kedua. Pada usaha ketiga, Triyatno kehilangan konsentrasi sehingga gagal menaikkan angkatan menjadi 185 kg.
Kepada Kompas, Triyatno pernah mengatakan, dirinya sudah beberapa kali menelan kekecewaan pada PB PABBSI yang membina lifter elite.
Triyatno pernah melewatkan kesempatan tampil di SEA Games 2017 karena kelas andalannya diisi atlet lain. Situasi serupa pernah terjadi menjelang Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Berusaha tidak terpengaruh dengan situasi yang ada, kali ini Triyatno ingin membuktikan dirinya layak mengisi kelas 69 kg.
Namun, ternyata, nasib berkata lain. Kesempatan meraih medali Asian Games pun hilang dari genggaman.
”Saya yakin, Triyatno bisa mengangkat beban. Tetapi, itulah olahraga. Kadang kala, apa yang terjadi tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Manajer dan pelatih seharusnya bisa mengelola faktor nonteknis agar atlet bisa tampil maksimal,” tutur Wakil Ketua Umum PB PABBSI Djoko Pramono.
Kepada Alamsyah Wijaya dan Aveenash Pandoo, saya mengatakan bahwa saya bersedih dengan nasib yang dialami Triyatno.
”Hati kami hancur lebih dalam. Triyatno sebenarnya punya kesempatan untuk setidaknya membawa pulang medali perak,” kata Pandoo.
Terakhir kali Kompas mengunjungi ruang pemanasan di balik panggung angkat besi, Kamis (23/8/2018), tempat itu sudah ditutupi partisi setinggi sekitar 4 meter.
Di depan pintu ruang pemanasan, dua petugas jaga. Petugas hanya mengizinkan pelatih dengan tanda khusus untuk masuk ke ruang pemanasan.
Gerak saya di belakang panggung angkat besi pun jadi tidak sebebas biasanya. Tetapi, saya yakin, di balik panggung angkat besi masih banyak kisah suka dan duka yang tersimpan. Masih ada kisah-kisah ”rahasia” yang kelak akan kembali saya ungkap. (Denty Piawai Nastitie)
Tulisan ini dimuat di: https://kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/08/24/rahasia-di-balik-panggung-angkat-besi/ (24 Agustus 2018)