October 2018

Beberapa waktu terakhir, saya mengalami kondisi yang sangat tidak mengenakkan. Patah hati, begitu mereka menyebutnya.

Sebenarnya, saya sudah bisa memprediksi bakal patah hati. Hal itu ditunjukkan dengan berhari-hari tidak bisa tidur memikirkan sesuatu yang mengganjal. Sesuai perkiraan, hari itu tiba. Begitu kenyataan menghantam, rasa sakit dan perih yang tidak terbayangkan benar-benar terasa.

Apakah setelah itu saya pergi mabuk2an?? Boro-boro!! Ketemu orang aja saya sudah malas bangettt!! Apalagi patah hati melanda sebelum gajian, ku bisa apaaahh…. -__-”

Saya ingat, malam itu saya duduk di pinggir ranjang sambil menggenggam rosario. Air mata mengalir. Rasa putus asa, marah, sedih, membaur jadi satu. Kacau, tak keru-keruan!

Ajaibnya adalah, setelah itu saya tidur sangat nyenyak! Sangat-sangat nyenyak sampai saya merasa sudah tidur seribu tahun. Selanjutnya, selama sepekan, saya merasakan lima tahapan duka (five stages of grief), mulai dari penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, hingga penerimaan diri. Saya tidak selalu mulus dalam melewati tiap tahapan itu, kadang-kadang ada tahapan yang bercampur, seperti saya merasa marah dan depresi sekaligus, atau saya berada di tahap tawar menawar, tetapi masih merasakan kemarahan.

Kalau kata orang, kemarahan itu seperti menggenggam bara api dan ingin membuat orang lain merasakan hal serupa. Itu benar! Saya sangat marah dn terluka, dn saya sangat ingin membuat orang lain merasakan hal yang sama. Hati saya seperti tersayat-sayat, dan saya ingin orang lain mengalami hal yang sama. Rasa marah itu membuat saya kelelahan, dan saya mulai melepaskan…

Uniknya, suatu hari tiba-tiba saja saya kepikiran banyak tugas-tugas yang belum terlaksana. Kesibukan mengurus hati yang terluka (halah!) membuat banyak pekerjaan tertunda. Saat itu juga saya merasa tercerahkan. Apabila di hadapan saya ada dua titik berwarna hitam dan putih, yang terjadi selama ini enegi saya habis untuk memandang titik hitam (persoalan hidup). Kenapa saya tidak menggeser pandangan saya ke titik putih (peluang hidup).

Seketika saya sadar, masalah saya sebenarnya bukanlah masalah. Masalah saya adalah bagaimana saya berperilaku terhadap masalah tersebut. Memang, saya akui ada masalah atau situasi yang membuat hidup saya kurang enak, tetapi itu tidak pagi menjadi masalah karena fokus saya bergeser untuk mengurusi hal-hal yang lebih berfaedah, hal yang lebih penting dan yang terpenting dalam hidup, seperti mendaftar beasiswa, mempromosikan buku “Pelangi di Timur Tengah”, menyelesaikan peer-peer tulisan dan beberapa karya yang belum terselesaikan.

Saat itu juga saya merasa punya energi besar untuk melakukan sesuatu. Mimpi dan cita-cita saya muncul lagi. Semangat bangkit lagi. Hidup kembali terasa lebih berwarna, lebih menyenangkan. Apakah saya masih merasa marah, sedih, terluka, dan kecewa? Tentu saja! Tetapi, kali ini saya tidak lagi menganggap rasa-rasa itu sebagai musuh. Saya justru merangkul rasa kecewa menjadi bagian hidup, untuk menemani saya melangkah.

Beberapa hari lalu, teman saya bertanya bagaimana keadaan saya. Saya terkejut, karena justru saya merasa punya energi penuh untuk berbuat sesuatu. Saya juga jadi ingat, sebenarnya patah hati tidak sekali ini terjadi. Hampir pada setiap tahapan kehidupan, saya pernah merasa patah hati. Saya tidak hanya bisa melaluinya, tetapi bisa mentramsformasi rasa sakit hati jadi karya.

Waktu kuliah, misalnya, saya sempat patah hati. Kebetulan, ketika itu saya ada perjalanan ke Singapura dan Malaysia. Sepanjang perjalanan, hidup saya berjalan sangat mellow, saya meratapi nasib ini. Kemudian, pengalaman patah hati itu saya tuangkan pada karya tulis dan fotografi yang kemudian dimuat di National Geographic! Ah coba kalau saya tidak patah hati, tidak mungkin artikel saya dimuat dan dibaca banyak orang.

Saya juga jadi ingat teman saya pernah patah hati. Dia lalu mentransformasi rasa kecewa menjadi karya fotografi dan membuat pameran tunggal. Beberapa seniman dan musisi juga mengubah rasa patah hati dan kehilang menjadi karya. Penyanyi Taylor Swift, misalnya, bisa menjadikan pengalaman patah hati putus dari John Mayer menjadi lagu berjudul “Dear, John.” Begitu juga Adele yang dapat Grammy justru setelah dia membuat lagu dari pengalaman patah hatinya.

Rasa kecewa, sedih, dan marah, sebenarnya membuat manusia jadi tidak lagi takut kehilangan. We’ve already lost everything baby, mau takut kehilangan apa lagi??

Onkar Kishan Khullar, di TED Talk berjudul “The Power of Breakup”, mengungkap resep patah hati. Pertama, tidak ada lagi rasa takut. Kedua, gunakan energi marah, sedih, kesal, untuk melakukan sesuatu. Ketiga, bebaskan pikiran!

Banyak orang mengira, patah hati selalu identik dengan putus pacaran atau mengalami perceraian. Patah hati juga bisa disebabkan situasi kurang menyenangkan di lingkungan kerja, pendidikan, tempat tinggal, atau adanya krisis pertemanan. Intinya, patah hati enggak melulu soal hubungan romantis (meskipun ini yang paling sering muncul wkwk). Kepergian orang tersayang juga bisa menjadi penyebab patah hati.

Kaisar Mughal Shah Jahan membangun Taj Mahal sebagai mausoleum untuk istri tercintanya, Mumtaz Mahal, yang meninggal dunia saat melahirkan. Berkat rasa kehilangan dan patah hati yang dialami Kaisar Mughal Shah Jahan, sekarang kita mengenal Taj Mahal yang indah dan megah.

Khullar mengatakan, dunia ini tidak digerakkan oleh ahli-ahli agama atau spiritualitas. “Dunia ini bergerak karena ada orang-orang yang merasa tidak puas dalam kehidupannya, dan kemudian mentransformasi pengalaman itu menjadi pusi, buku, fotografi, gerakan-gerakan sosial, bahkan makanan yang terasa sangat enak! Orang-orang itu bersahabat dengan luka, tidak malu mengakui, dan menunjukkan pengalamannya kepada dunia…”

Teruntuk kau yang dilanda patah hati, sekarang pertanyaannya apakah situasi yang kau alami bisa bertranformasi menjadi sesuatu yang lebih berarti?

 

Jakarta, 24 Oktober 2018

Denty Piawai Nastitie

*keterangan foto: Pulau Kelingking, Bali, 2018, difoto oleh Angel Indriani.

Read more

Asian Games 2018 baru saja berakhir. Kenangan akan penyelenggaraan pesta olahraga antarnegara se-Asia itu tidak hanya meninggalkan kesan bagi atlet, pelatih, relawan, dan penonton, tetapi juga membekas bagi jurnalis dan fotografer yang selama dua pekan penuh meliput kegiatan ini.

Bagi pewarta, mengabadikan peristiwa bersejarah Asian Games pada 18 Agustus-2 September 2018 menjadi kebanggaan serta menciptakan persahabatan antarrekan seprofesi yang tak mengenal batas geografis, bahasa, suku, agama, warna kulit, atau warna bendera negara sekalipun.

Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc) mencatat, ada 11.000 orang dengan akreditasi penyiar (broadcaster), jurnalis, dan fotografer dari 47 negara datang ke Indonesia. Mereka bertugas menggaungkan semangat Asian Games ke seluruh dunia. Penyiar dan jurnalis berjibaku meliput kejuaraan yang tersebar di arena Jakarta, Palembang, Jawa Barat, dan Banten.

Untuk mengabarkan berbagai peristiwa dan seluk-beluk Asian Games, ribuan awak media ”berkantor” di Main Press Center (MPC) dan International Broadcast Center (IBC) yang berada di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan. Ruang kerja juga tersedia di setiap arena pertandingan.

Tribune media di Stadion Utama Gelora Bung Karno. (KOMPAS/Denty Piawai Nastitie)

Di MPC, fasilitas yang tersedia antara lain kabel LAN, Wi-Fi, soket listrik, data, komputer, layar lebar untuk menyaksikan pertandingan, termasuk makanan. MPC terdiri atas dua lantai. Di bagian bawah ada lobi dengan sofa-sofa empuk, ruang kerja, dan ruang makan. Sementara lantai atas merupakan ruang konferensi pers, ruang pertemuan, dan beberapa ruang khusus kantor media asing.

Biasanya, setelah meliput pertandingan olahraga, jurnalis akan berdatangan dan berkumpul di MPC. Di tempat inilah, awak media menulis, mengirimkan foto-foto, mengedit berita, juga beristirahat, melepas penat, dan bercengkerama dengan teman-teman dari sejumlah media.

Di MPC, adakalanya jurnalis bekerja sangat serius untuk melaporkan berbagai peristiwa sesuai tenggat. Saat deadline, wajah-wajah para pewarta seperti ”senggol-bacok”. Apalagi, kalau pertandingan selesai larut malam, semua fokus pada tugas masing-masing. Begitu berita dan foto-foto sudah dikirimkan, lega rasanya. Inilah saatnya untuk bercengkerama dan melepas kepenatan.

Biasanya, begitu selesai mengirimkan berita, saya akan menikmati makanan dan minuman di ruang yang sudah disediakan. Di ruang makan inilah, kadang-kadang saya berkenalan dengan teman dari media lain.

Suatu hari, setelah meliput pembukaan Asian Games, saya berkenalan dengan Hirata Jun dan Sato Yuki dari kantor berita Kyodo, Jepang.

Saat itu, Jun (yang kemudian namanya dipelesetkan menjadi Junaedi) dan Sato mengomentari betapa lucunya maskot Asian Games. Saking sukanya pada maskot Asian Games, Jun dan Sato serta Ed Sha Restian (jurnalis Kyodo) berkali-kali foto bareng dengan boneka raksasa Bhin-bhin, Atung, dan Kaka, yang berada di depan MPC.

Tiga maskot Asian Games 2018 mengikuti defile saat upacara pembukaan Asian Games 2018 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (18/8/2018). (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Mereka lalu menunjukkan hasil foto dengan aneka pose, seperti memeluk dan bersandar pada boneka yang merepresentasikan tiga hewan khas Indonesia itu.

”Bukannya maskot Olimpiade Tokyo 2020 lebih keren, ya?” tanya saya, teringat pada maskot bernama Miraitowa dan Someity yang akan dipakai pada penyelenggaraan Olimpiade dan Paralimpiade 2020 di Jepang.

Dengan kompak, Jun dan Sato menggeleng. ”No! No!” kata mereka. ”Maskot Jepang itu karakter rekayasa, tidak lucu. Lebih bagus maskot Asian Games,” kata Jun. Dalam hati, saya berkata: rumput tetangga memang lebih indah. Ketika banyak orang Indonesia mengatakan maskot Olimpiade 2020 keren, orang-orang Jepang ini malah mengagumi maskot Indonesia! Aneh, he-he-he….

Melalui perkenalan dan interaksi dengan jurnalis-jurnalis asing, banyak hal yang dapat dipelajari. Saya mencermati, jurnalis dan fotografer dari media asal Jepang, Korea, dan China bekerja sangat maksimal. Setiap hari mereka selalu datang ke arena pertandingan lebih awal dari jadwal. Hal ini berbeda sekali dengan karakter warga negara Indonesia yang serba ngaret.

Ketika meliput babak semifinal bulu tangkis, hampir saya tidak dapat tempat duduk karena tribune media sudah penuh wartawan. Padahal, pertandingan pertama pukul 12.00 belum dimulai. Ternyata, sejumlah media asing datang 60-90 menit sebelum laga dimulai sehingga mereka bisa mendapatkan posisi strategis untuk menyaksikan pertandingan.

Selain disiplin soal waktu, jurnalis asing juga tertib menjaga kerapian dan kebersihan. Setiap selesai bekerja, jurnalis Jepang dan Korea akan membersihkan meja sehingga tidak ada sampah yang berserakan. Kursi yang sudah dipakai juga akan dirapikan sebelum mereka meninggalkan ruangan.

Selain itu, mereka sangat perhatian pada teman-temannya. Saat mengambil minuman dingin, misalnya, mereka akan mengambil dua botol, satu untuk diri sendiri dan satu lagi untuk teman yang duduk di sebelahnya.

”Sesungguhnya, melihat mereka bekerja memberi banyak pelajaran berharga. Kadang-kadang jadi malu dengan sikap kerja diri sendiri,” kata Nuris Andi Prastiyo, jurnalis Jawa Pos.

Untuk mengabadikan momen Asian Games, kantor berita Kyodo, Jepang, mengirimkan sekitar 60 awak media yang semuanya merupakan orang Jepang. Mereka terdiri dari reporter, fotografer, tim grafis, dan tata letak. Selama berada di Indonesia, orang-orang Jepang ini tinggal di hotel yang berada di kawasan Blok M. Mereka juga menyewa ruang kerja di MPC.

Sagisawa Iori, fotografer asal kantor berita Kyodo, mengatakan, dirinya mendapat banyak kesan manis selama liputan di Indonesia. ”Di sini panas dan banyak nyamuk. Tetapi orang-orang Indonesia sangat ramah, baik hati, dan mereka selalu tersenyum sepanjang hari,” katanya.

Selama berada di Indonesia, Iori bertugas memotret di Stadion Akuatik GBK. Ia mengabadikan antara lain perlombaan renang, polo air, loncat indah, serta renang artistik. Biasanya, setelah memotret, Iori akan kembali ke MPC untuk mengirimkan foto-foto.

Menurut Iori, udara di MPC sangat dingin, dia sering kali merasa beku di ruang kerja. Namun, makanan dan kopi yang tersedia sangat lezat. ”Secara keseluruhan, saya menikmati berada di Indonesia,” ujarnya.

Interaksi dengan jurnalis asing sebenarnya tidak selalu manis. Adakalanya jurnalis nasional harus tarik urat dengan rekan satu profesi dari negara lain.

Wartawan Kompas, Denty Piawai Nastitie, bersama wartawan foto Jepang, Sato Yuki. (KYODO NEWS/ TANAKA YUSUKE)

Ketika meliput upacara pembukaan Asian Games di Stadion Utama GBK, misalnya, beberapa jurnalis nasional harus bersitegang dengan wartawan dari negara-negara Asia Selatan karena mereka menyerobot tempat duduk di bagian tribune media.

Beberapa jurnalis nasional harus bersitegang dengan wartawan dari negara-negara Asia Selatan.

”Heran! Padahal sudah ada nomor kursi di tiket masuk. Masih aja nyerobot kursi orang lain,” kata seorang teman, meluapkan kekesalannya.

Saya pernah merasakan kekesalan serupa ketika bertugas pada upacara penutupan. Kursi yang seharusnya menjadi hak saya diisi wartawan lain. Untunglah, setelah saya menyatakan keberatan, jurnalis asing itu bersedia pindah. Namun, masalah lain muncul ketika fotografer Jepang dari Asahi Shimbun yang duduk di sebelah saya menaruh barang-barang berserakan di meja.

Pada satu sisi, saya memahami bahwa fotografer itu membutuhkan meja yang luas untuk menaruh empat kamera dengan lensa-lensa besar. Namun, pada sisi lain, saya juga membutuhkan meja untuk meletakkan komputer jinjing sehingga bisa bekerja dengan nyaman.

Kepada fotografer itu, saya meminta agar ia sedikit bergeser dan merapikan barang-barangnya. Dia lalu meminta maaf karena ketidaknyamanan itu dan segera menggeser barang-barangnya.

Saya harap kamu datang ke Tokyo. Saya akan menunggu kamu di sana.

Selesai meliput penutupan Asian Games di Stadion Utama GBK, saya kembali bertemu dengan Sato dan beberapa rekan jurnalis dari kantor berita Kyodo. Kami bahkan berfoto bareng untuk mengabadikan kenangan terlibat dalam momen bersejarah ini.

Dalam perjalanan kembali ke MPC, Sato bertanya, apakah saya akan meliput Olimpiade Tokyo 2020. ”Saya harap kamu datang ke Tokyo. Saya akan menunggu kamu di sana,” ujarnya.

Sato kemudian memberikan pin sebagai kenang-kenangan dan tanda persahabatan antarbangsa. ”Arigato!” kata saya, mengucapkan terima kasih. (Denty Piawai Nastitie)

 

Tulisan ini dimuat di: https://kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/09/09/menjalin-persahabatan-dengan-jurnalis-asing-di-sela-asian-games-2018/ tanggal 9 September 2018

 

Read more