May 2019

Bagi pecinta alam, Tekapo adalah tanah impian. Selain langit bertabur bintang, tempat ini juga menyajikan pemandangan indah berupa jajaran pegunungan Alpen Selatan yang berpuncak salju, hamparan danau berwarna biru-kehijauan, juga bangunan Gereja Gembala Baik ( the Church of the Good Shepherd) yang ikonik.

Danau Tekapo terletak di daerah Cekungan Mackenzie, atau cekungan antarbintang elips yang terletak di Distrik Mackenzie dan Waitaki, di dekat pusat Pulau Selatan Selandia Baru. Di daerah ini ada tiga danau besar, yaitu adalah Tekapo, Pukaki, dan Ohau. Warna Danau Tekapo yang unik terbentuk dari erosi batuan sedimen glasial dari Alpen Selatan dan Gunung Aoraki (Mt Cook). Berasal dari es yang mencair membuat air Danau Tekapo dingin  banget, sekitar 8-10 derajat selsius.

Ada dua cara untuk menuju Tekapo, yaitu dari kota Queenstown (berjarak sekitar 256 km) dan Christchurch (227 km). Saya menempuh perjalanan dari Queenstown ke Tekapo selama sekitar empat jam perjalanan menggunakan Intercity Bus. Berdasarkan jadwal, bus berangkat pukul 08.00. 

“Kita cari penginapan yang dekat dengan halte, yuk! Biar tidak terlambat,” kata Narastika, teman saya, beberapa hari sebelum berangkat ke Tekapo.

Setuju! Kalau perlu, ‘nggak usah mandi. Begitu bangun tidur, kita langsung tancap gas,” kata saya.

Saya ingat, suatu hari, dalam perjalanan dari Auckland ke Hobbiton, ada dua penumpang bus yang ditinggal di tengah jalan karena terlambat. Kendaraan antar kota di Selandia Baru memang terkenal tepat waktu. Dalam perjalanan antar kota, bus berhenti selama 10 menit di sejumlah titik istirahat seperti pertokoan atau toilet umum. Tetapi, hingga waktu ditentukan, dua penumpang tadi tidak juga menampakkan diri. Akhirnya, supir meninggalkan mereka begitu saja di tengah jalan.

Belajar dari pengalaman tersebut, selama di Selandia Baru, saya berusaha selalu tepat waktu. Tidak terima rasanya kalau harus ketinggalan bus, padahal sudah bayar puluhan dollar sejak jauh-jauh hari!

 

Bus Intercity membawa penumpang dari Queenstown ke Danau Tekapo. (c) Denty Piawai Nastitie

Sekitar pukul 07.30, Narastika dan saya berjalan ke halte bus. Begitu sampai di sana, beberapa penumpang sudah menunggu. Penumpang mengenakan baju dan jaket berlapis untuk menghalau dingin. Saat itu, udara sekitar 4-6 derajat selsius. Tubuh menggigil. Ternyata, saya bukan satu-satunya orang yang rela bangun lebih awal demi naik bus tepat waktu.

Menjelang pukul 08.00, bus jurusan Queenstown-Danau Tekapo-Christchurch tiba. Belasan penumpang segera membentuk antrean dan secara tertib masuk ke dalam bus. Kendaraan ini sepertinya memang dirancang untuk para pelancong. Bus Intercity dibuat dengan jendela-jendela lebar untuk memudahkan penumpang menikmati panorama alam.

Dengan menggunakan microfon, pengemudi bus, merangkap sebagai pemandu wisata, menjelaskan nama-nama gunung dan danau yang dilewati. Supir bus juga menjelaskan kebudayaan, keberagaman masyarakat, keanekaragaman flora dan fauna, serta makanan-makanan khas yang ada di Selandia Baru.

Berdasarkan penjelasan pengemudi, dari 4,4 juta penduduk Selandia baru, sekitar 70 persen merupakan keturunan Eropa, 15 persen adalah suku asli Maori, sisanya orang-orang Asia dan kepulauan Pasifik, non-Maori. Sebagian besar penduduk tinggal di kota besar seperti Auckland dan Queenstown. Tak banyak orang yang tinggal di daerah pegunungan. Kalau pun ada, biasanya mereka adalah peternak. Di desa-desa yang dilewati, terlihat sekali sangat minim penduduk. Desanya sepi. Tidak banyak orang berlalu-lalang, atau kendaraan melintas. Bahkan saya sempat foto-foto di tengah jalan desa saking minimnya kendaan yang lewat.

Maka banyak orang mengatakan, Selandia Baru lebih banyak dihuni domba dan sapi dari pada manusia. 😀 😀

Perjalanan melewati jalur bergelombang dan berkelok-kelok. Sepanjang jalan, penumpang disuguhi pemandangan alam berupa pegunungan berpuncak salju dan hamparan danau berwarna biru-kehijauan yang menawan. Sungguh, tak henti-hentinya saya terpukau memandang indahnya pemandangan alam yang tersaji di depan mata. Pemandangan sepanjang perjalanan ini membuat rasa kantuk lenyap.

Saat melintasi Danau Pukaki, bus berhenti. Pengemudi memberi kesempatan penumpang untuk berfoto dan menikmati pemandangan danau yang sangat menarik dengan air berwarna biru. Saya melihat warna danau ini seperti kolam renang. Tetapi, saat diliat dari dekat, ternyata airnya jernih. Batu-batuan dan kerikil yang ada di sekitar danau dengan mudah terlihat.

“Denty, ayo!” teriak Narastika.  Dari kejauhan, supir bus memencet klakson. Rupanya, saya menjadi satu-satunya penumpang yang belum naik ke bus. Sesegera mungkin, saya mengeluarkan kamera dan memotret pemandangan di Danau Pukaki. Klik! 

Danau Pukaki, Selandia Baru. (c) Denty Piawai Nastitie

Makan siang sambil menikmati pemandangan alam. (c) Denty Piawai Nastitie

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, tidak terasa akhirnya sampai juga di Danau Tekapo. Begitu sampai, Narastika dan saya menyantap makan siang di restaurant Jepang. Restaurant ini menyajikan makanan khas Negeri Matahari Terbit, seperti sushi, ramen, dan paket nasi bento. Saya memesan paket makan siang berupa nasi dengan potongan ayam goreng terayaki, telur, salad, asinan, dan sup miso. Acara makan siang bertambah nikmat karena dilakukan sambil menikmati pemandangan alam.

Setelah makan siang dan menaruh barang-barang bawaan di penginapan, Narastika dan saya memulai petualangan di Tekapo. “Sebaiknya, kita bawa barang-barang yang dibutuhkan hingga larut malam. Langit sedang bagus, kita bisa stargazing malam ini,” ujar Narastika. [Bersambung…]

Baca selanjutnya: Berburu Gugus Bintang di Langit Tekapo

[instagram-feed]

Read more

dari Brussels, Belgia

Olahraga mempunyai peranan penting sebagai sarana diplomasi, perdamaian, dan persatuan. Penyelenggaraan kegiatan multicabang olahraga, seperti Olimpiade, juga mempunyai dampak signifikan dalam hubungan internasional. Namun, untuk menyelenggarakannya, diperlukan kerangka kerja jangka panjang terkait olahraga dan aspek-aspek lain di luar olahraga.

Deputi Kepala Uni Olahraga Komisi Eropa Marisa Fernandez Esteban, di Brussels, Belgia, Rabu (10/4/2019), mengatakan, Uni Eropa (UE) menaruh perhatian serius terhadap olahraga sebagai ajang diplomasi. Olahraga, yang berbasis pendidikan dan sosial, dipakai untuk membangun demokrasi, persatuan, perdamaian, dan menjalin hubungan antara
Uni Eropa dan negara-negara di luar UE.

Ada tiga rencana kerja UE terkait olahraga, yakni meliputi dimensi sosial agar masyarakat lebih aktif dan inklusif; membangun ekonomi; serta menciptakan pemerintahan berintegritas, antidiskriminasi, dan mempromosikan kesetaraan jender. Untuk mewujudkan cita-cita itu, UE mem-
bentuk tim khusus yang berfokus pada pembangunan integritas dan keterampilan manusia.

Beberapa isu olahraga yang menjadi fokus adalah doping, pengaturan skor, akses inklusif di bidang olahraga dan pendidikan, kekerasan berbasis jender, dan ketimpangan penghasilan antara atlet perempuan dan laki-laki. Olahraga juga mempunyai peranan penting untuk mengatasi sejumlah masalah di UE, seperti kesehatan, obesitas, dan diskriminasi kelompok masyarakat.

Untuk itu, dibuatlah program rinci dengan dukungan anggaran sebesar 500.000 euro yang dapat dimanfaatkan dalam kurun 2017-2020. Program yang dibuat, misalnya, pertukaran pelatih dan staf olahraga dari sejumlah lembaga olahraga di UE dengan lembaga lain di wilayah Balkan, Amerika Latin, dan Asia.

Esteban mengakui, jumlah anggaran yang tersedia tergolong kecil untuk melaksanakan banyaknya program yang dibuat UE. ”Lembaga kami baru berusia 10 tahun. Setelah 2020, kami berusaha untuk meminta anggaran lebih. Namun, ini masih dalam proses,” katanya.

Minimnya anggaran bukan berarti pembinaan olahraga terhambat. Komite Olimpiade Eropa meyakini, untuk membangun olahraga, pemerintah di setiap negara harus bisa membuat fokus kebijakan berdasarkan parameter-parameter yang dibuat secara transparan dan profesional. Parameter kebijakan olahraga itu antara lain berkaitan dengan prestasi dan pembinaan atlet, juga memastikan kebijakan dibuat dengan semangat antidiskriminasi dan kesetaraan jender.

Di Indonesia, olahraga sebagai sarana diplomasi sudah dipakai sejak lama. Pada Asian Games 1962, Presiden Soekarno menggunakan ajang itu untuk menaikkan wibawa Indonesia di panggung dunia.

Asian Games

 

Olahraga sebagai ajang diplomasi dan persatuan masyarakat kembali terasa di Asian Games 2018. Pelukan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sebagai Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia, adalah bukti olahraga dapat menjadi penyejuk di antara panasnya hawa politik menjelang Pemilihan Presiden 2019.

Kesuksesan Asian Games 2018 kemudian membuat Indonesia antusias menyambut Olimpiade 2032 dengan resmi mencalonkan diri sebagai tuan rumah. Selain Indonesia, India dan Korea Bersatu juga mengajukan diri. Mewujudkan persatuan melalui olahraga, sebagai ajang promosi kebudayaan, pembangunan infrastruktur, dan membuka lapangan kerja membuat Olimpiade diminati.

Berbeda dengan UE, alokasi anggaran untuk pengembangan olahraga di Indonesia masih jauh dari ideal. Sebagai informasi, anggaran Kemenpora sebesar Rp 1,951 triliun, jauh dari total belanja negara mencapai Rp 2.439,7 triliun di dalam RAPBN 2019. Adapun anggaran yang dipakai untuk peningkatan prestasi olahraga hanya Rp 986,284 miliar.

Bukan hanya terkait besarnya anggaran, melainkan juga kepastian dukungan jangka panjang. Jangankan membuat anggaran berbasis kesetaraan jender dan antidiskriminasi, untuk memastikan gaji atlet dan pelatih tidak terlambat setiap bulannya saja kita masih perlu kerja keras.

Esteban mengatakan, untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, sebaiknya negara penyelenggara tidak hanya fokus kepada pembinaan atlet serta pembangunan fasilitas olahraga yang menelan biaya besar.

”Perlu ada perhatian terhadap aspek-aspek lain di luar olahraga, seperti budaya dan pariwisata. Dengan begitu, Olimpiade bisa secara menyeluruh bermanfaat bagi tuan rumah,” ucapnya.

Aaron Hermann dari International Law and Policy Fellow University of Adelaide, Australia, mengatakan, hal lain yang perlu menjadi perhatian tuan rumah Olimpiade adalah konsep berkelanjutan dalam periode waktu 5-10 tahun setelah penyelenggaraan ajang multicabang olahraga.

”Tuan rumah Olimpiade harus menyiapkan skema proteksi lingkungan dan antisipasi terhadap polusi. Penting juga melakukan pemaparan konsep, kampanye, dan promosi agar ajang ini dapat diterima semua lapisan masyarakat,” tuturnya. (DNA)

Tulisan dimuat di KOMPAS, 24 April, 2019

Read more

Setelah Indonesia menyelenggarakan pemilu, 17 April lalu, giliran Uni Eropa mengadakan pemilu parlemen Eropa pada 23 Mei 2019. Sebelum seluruh mata dunia tertuju pada pemilu Eropa, Kompas berkesempatan mengintip ruang kerja politikus dan jurnalis di markas UE di Brussels, Belgia.

Ada empat tempat utama yang dikunjungi atas undangan delegasi UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam itu, yaitu Kantor Parlemen Uni Eropa, Dewan Uni Eropa, Komisi Eropa, dan Layanan Tindakan Eksternal Eropa (European External Action Service/EEAS). Hampir semua kantor institusi UE berada di kawasan yang berdekatan di Schuman Roundabout. Dari satu kantor ke kantor lain cukup ditempuh dengan jalan kaki, seperti berada di kawasan Asia Afrika, Jakarta Pusat.

Kantor-kantor itu tidak hanya menjadi tempat kerja pemimpin negara dan politikus dalam menyuarakan kepentingan negaranya, tetapi juga ruang jurnalis berjibaku meliput, mewawancarai narasumber, dan mengabarkan informasi lintas sektor ke seluruh dunia. Untuk membantu kerja jurnalis, Komisi Eropa rutin menggelar konferensi pers. Senin (8/4/2019) itu, konferensi pers membahas kebijakan perlindungan petani sebagai dampak Brexit, kecerdasan buatan, dan potensi gangguan keamanan siber jelang pemilu Eropa.

Hari itu, udara Brussels dingin dengan suhu 4 derajat celsius. Namun, materi konferensi pers yang serius dan melibatkan banyak kepentingan membuat suhu hangat.

Saat konferensi pers, rombongan jurnalis Indonesia ditempatkan di kursi barisan paling belakang bersama jurnalis dari Polandia yang juga sedang melakukan kunjungan kerja. Kami memakai tanda pengenal bertuliskan ”observer”. Di mimbar, staf Uni Eropa mengumumkan kunjungan jurnalis. ”Mari kita sambut kedatangan jurnalis Indonesia,” katanya.

Dengan malu-malu, jurnalis Indonesia berdiri dan melambaikan tangan kepada rekan-rekan jurnalis asing. Siapa saja bisa mengikuti konferensi pers, tetapi hanya jurnalis terakreditasi yang diperkenankan mengajukan pertanyaan.

Untuk meliput kegiatan di Parlemen Eropa, jurnalis juga perlu mengurus akreditasi. Saat ini, terdapat 1.000 jurnalis terakreditasi di lembaga itu. Jumlah ini hampir sama dengan jurnalis peliput kegiatan Pemerintah Amerika Serikat di Gedung Putih, Washington DC, AS. Bedanya, kebanyakan jurnalis di Washington DC berasal dari negara-negara di luar AS, sedangkan di Brussels mayoritas dari negara-negara UE.

Parlemen Eropa mempunyai tim khusus untuk membantu kerja jurnalis. Tim ini bertugas mendampingi jurnalis dan menyediakan informasi berdasarkan fakta. Setiap petugas mempunyai spesialisasi di bidang khusus, seperti hubungan internasional, kesetaraan jender, dan antidiskriminasi. Mereka juga menguasai bahasa asing selain bahasa Inggris.

Jurnalis yang sudah terakreditasi di Parlemen Eropa berhak meliput, menghadiri konferensi pers, mewawancarai narasumber, dan menggunakan fasilitas kerja yang tersedia. Fasilitas di Parlemen Eropa sangat lengkap dan dapat digunakan oleh reporter, jurnalis televisi, dan jurnalis radio. Fasilitas yang disediakan mulai dari rekaman multimedia, infografis, suara, galeri foto, radio, dan studio televisi. Layanan audiovisual juga menyediakan transmisi langsung ke rapat komite dan pleno. Semuanya ini bisa diakses secara gratis.

Parlemen Uni Eropa juga rutin mengadakan konferensi pers yang terbagi menjadi tiga, yaitu menjelang, di antara, dan setelah sidang. Konferensi pers menjelang sidang dilakukan untuk memberikan latar belakang informasi kepada wartawan mengenai materi yang akan diliput. Konferensi di antara sidang untuk memberikan informasi terkini jalannya persidangan. Konferensi pers setelah sidang menginformasikan kesepakatan negara-negara UE.

Selama sidang berlangsung, anggota parlemen dari 28 negara anggota UE dapat berkomunikasi dengan memanfaatkan penerjemahan dalam 24 bahasa. Jurnalis juga bisa menyaksikan jalannya sidang di tempat yang disediakan serta dimanjakan siaran pers dan artikel dalam 24 bahasa.

Juru Bicara Parlemen Eropa Jaume Duch Guillot mengatakan, Uni Eropa menghadapi tantangan lebih serius dari sebelumnya sehingga membutuhkan media independent dan kuat untuk membantu masyarakat memahami isu dan tetap terhubung dengan perwakilan terpilih. “Oleh karena itu, Parlemen Eropa mengutamakan keterbukaan dan kekuatan interaksi dengan masyarakat dengan menyediakan fasilitas dan layanan untuk media,” kata dia. (DNA)

Tulisan dimuat di KOMPAS, 21 April 2019

Read more