Setelah Indonesia menyelenggarakan pemilu, 17 April lalu, giliran Uni Eropa mengadakan pemilu parlemen Eropa pada 23 Mei 2019. Sebelum seluruh mata dunia tertuju pada pemilu Eropa, Kompas berkesempatan mengintip ruang kerja politikus dan jurnalis di markas UE di Brussels, Belgia.
Ada empat tempat utama yang dikunjungi atas undangan delegasi UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam itu, yaitu Kantor Parlemen Uni Eropa, Dewan Uni Eropa, Komisi Eropa, dan Layanan Tindakan Eksternal Eropa (European External Action Service/EEAS). Hampir semua kantor institusi UE berada di kawasan yang berdekatan di Schuman Roundabout. Dari satu kantor ke kantor lain cukup ditempuh dengan jalan kaki, seperti berada di kawasan Asia Afrika, Jakarta Pusat.
Kantor-kantor itu tidak hanya menjadi tempat kerja pemimpin negara dan politikus dalam menyuarakan kepentingan negaranya, tetapi juga ruang jurnalis berjibaku meliput, mewawancarai narasumber, dan mengabarkan informasi lintas sektor ke seluruh dunia. Untuk membantu kerja jurnalis, Komisi Eropa rutin menggelar konferensi pers. Senin (8/4/2019) itu, konferensi pers membahas kebijakan perlindungan petani sebagai dampak Brexit, kecerdasan buatan, dan potensi gangguan keamanan siber jelang pemilu Eropa.
Hari itu, udara Brussels dingin dengan suhu 4 derajat celsius. Namun, materi konferensi pers yang serius dan melibatkan banyak kepentingan membuat suhu hangat.
Saat konferensi pers, rombongan jurnalis Indonesia ditempatkan di kursi barisan paling belakang bersama jurnalis dari Polandia yang juga sedang melakukan kunjungan kerja. Kami memakai tanda pengenal bertuliskan ”observer”. Di mimbar, staf Uni Eropa mengumumkan kunjungan jurnalis. ”Mari kita sambut kedatangan jurnalis Indonesia,” katanya.
Dengan malu-malu, jurnalis Indonesia berdiri dan melambaikan tangan kepada rekan-rekan jurnalis asing. Siapa saja bisa mengikuti konferensi pers, tetapi hanya jurnalis terakreditasi yang diperkenankan mengajukan pertanyaan.
Untuk meliput kegiatan di Parlemen Eropa, jurnalis juga perlu mengurus akreditasi. Saat ini, terdapat 1.000 jurnalis terakreditasi di lembaga itu. Jumlah ini hampir sama dengan jurnalis peliput kegiatan Pemerintah Amerika Serikat di Gedung Putih, Washington DC, AS. Bedanya, kebanyakan jurnalis di Washington DC berasal dari negara-negara di luar AS, sedangkan di Brussels mayoritas dari negara-negara UE.
Parlemen Eropa mempunyai tim khusus untuk membantu kerja jurnalis. Tim ini bertugas mendampingi jurnalis dan menyediakan informasi berdasarkan fakta. Setiap petugas mempunyai spesialisasi di bidang khusus, seperti hubungan internasional, kesetaraan jender, dan antidiskriminasi. Mereka juga menguasai bahasa asing selain bahasa Inggris.
Jurnalis yang sudah terakreditasi di Parlemen Eropa berhak meliput, menghadiri konferensi pers, mewawancarai narasumber, dan menggunakan fasilitas kerja yang tersedia. Fasilitas di Parlemen Eropa sangat lengkap dan dapat digunakan oleh reporter, jurnalis televisi, dan jurnalis radio. Fasilitas yang disediakan mulai dari rekaman multimedia, infografis, suara, galeri foto, radio, dan studio televisi. Layanan audiovisual juga menyediakan transmisi langsung ke rapat komite dan pleno. Semuanya ini bisa diakses secara gratis.
Parlemen Uni Eropa juga rutin mengadakan konferensi pers yang terbagi menjadi tiga, yaitu menjelang, di antara, dan setelah sidang. Konferensi pers menjelang sidang dilakukan untuk memberikan latar belakang informasi kepada wartawan mengenai materi yang akan diliput. Konferensi di antara sidang untuk memberikan informasi terkini jalannya persidangan. Konferensi pers setelah sidang menginformasikan kesepakatan negara-negara UE.
Selama sidang berlangsung, anggota parlemen dari 28 negara anggota UE dapat berkomunikasi dengan memanfaatkan penerjemahan dalam 24 bahasa. Jurnalis juga bisa menyaksikan jalannya sidang di tempat yang disediakan serta dimanjakan siaran pers dan artikel dalam 24 bahasa.
Juru Bicara Parlemen Eropa Jaume Duch Guillot mengatakan, Uni Eropa menghadapi tantangan lebih serius dari sebelumnya sehingga membutuhkan media independent dan kuat untuk membantu masyarakat memahami isu dan tetap terhubung dengan perwakilan terpilih. “Oleh karena itu, Parlemen Eropa mengutamakan keterbukaan dan kekuatan interaksi dengan masyarakat dengan menyediakan fasilitas dan layanan untuk media,” kata dia. (DNA)
Tulisan dimuat di KOMPAS, 21 April 2019