June 2019

Malam pertama di Auckland, saya bermimpi sebuah kisah yang membuat resah: m e n i k a h !

Saya melihat diri saya mengenakan gaun panjang berwarna putih, berdiri di tengah altar gereja. Di hadapan saya ada pastur yang hendak memberkati pernikahan, di sebelah saya ada calon suami, dan di belakang saya ada orang tua dan calon mertua. Dalam mimpi itu, saya banyak tersenyum menyambut moment indah dalam hidup. 

Kemudian, saya melihat pastur mulai memberikan berkat pernikahan kepada calon suami dan saya. Di situ, saya mulai panik. Raut wajah mulai nggak tenang, khawatir. Pastur yang menyadari perubahan wajah saya, bertanya: “Loh, kamu kenapa? Kamu yakin ‘kan mau menikah? Kamu yakin ‘kan dengan calon suami kamu?”

Saya gelagapan. Celinguk kiri dan kanan. Orang tua dan calon suami mulai’ nggak tenang. Setelah menarik nafas panjang, saya memutuskan akan menyampaikan hal jujur kepada diri sendiri, calon suami, dan keluarga.

Di hadapan orang-orang dekat, saya curhat. Saya sampaikan bahwa saya mencintai calon suami saya.

“Dia orang yang sangat baik, penyayang, dan perhatian,” kata saya.

“Lalu, kenapa kamu kelihatan tidak yakin begitu?” pastur bertanya.

“Hmm… saya masih ragu, bagaimana kalau tiba-tiba dia beruhah,” kata saya. “Pernikahan akan mengikat saya seumur hidup. Apakah setelah saya menikah, saya masih bisa melakukan hal-hal yang saya suka sama seperti sebelumnya? Apakah setelah saya menikah, saya masih mempunyai kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan mengekspresikan diri? Saya yakin prioritas hidup saya akan berubah seiring waktu, tetapi apakah dengan prioritas hidup baru ini saya akan bahagia? Apakah suami saya tetap akan menjadi sosok yang baik, penyayang, dan perhatian, seperti ketika pacaran… Apakah pernikahan ini akan membuat saya bahagia?”

Pastur kebingungan. Kalau nggak yakin nikah, ngapain nikah nih orang! Mungkin ia berpikir demikan. Lalu, pastur menawarkan agar suami dan saya membuat janji pranikah sebagai jalan tengah.

Dalam janji pranikah itu saya menuliskan beberapa hal, seperti:

— suami dan istri saling mendukung untuk bebas berekspresi dan berpendapat

— suami memberi keleluasaan kepada istri, begitu juga sebaliknya, untuk berkembang sesuai minat, karakter, dan kepribadian

— pernikahan harus mendukung kesetaraan jender dan pembagian peran yang didasarkan kesepakatan bersama

— suami dan istri harus menjaga kesetiaan dan komitmen pernikahan, serta tidak ada kekerasan dalam pernikahan

Calon suami menunduk, membaca janji pranikah itu. Dia lalu menatap mata saya. Dia menyatakan bahwa menolak menandatangi janji itu. Katanya, “Saya tidak akan melarang kamu berkembang. Saya tidak akan membatasi diri kamu untuk berekspresi dan berpendapat. Tetapi, saya tidak mau menandatangi surat ini. Saya merasa kamu tidak mengenal dan mempercayai saya,” ujarnya.

Kata-kata calon suami saya, membuat saya sedih, kecewa,… dan patah hati. Ada ruang kosong di hati …

Saya merasa, calon suami dan saya memang ternyata belum saling mengenal. Saya merasa memang sebenarnya belum terlalu yakin… kepada diri sendiri, kepada calon suami, juga kepada pernikahan. Saya cukup sedih mengapa calon suami menolak menandatangani janji pranikah ini… sesuatu, yang mungkin bagi saya menjadi bukti keseriusannya.

 

Keringat dingin mulai membanjiri kening… saya gelisah.

 

Lalu,

terbangun.

 

Saya mulai menyadari bahwa sedang tidak berada di altar gereja. Bukannya mengenakan gaun nikah, saya sedang memakai piyama. Saya sedang berbaring di bunk-bed, dan di sebelah saya tidak ada calon suami. Saya terbangun, merasakan ruang tempat saya menginap, di sebuah hostel di Auckland, cukup senyap… lampu kamar padam, di balik jendela kamar saya melihat kendaraan melintas dengan lampu depan menyala.

Saya melirik ponsel, terlihat waktu menunjukkan pukul 03.30 waktu Auckland. Saya punya waktu beberapa jam untuk istirahat, sebelum pagi ini mulai melakukan penjelajahan pertama ke Hobbiton dan Glowworm Cave.

Saya menghela nafas panjang, menenangkan diri. Terbayang wajah seseorang yang sedang dekat dengan saya, apa yang sedang dia lakukan di Jakarta? Apa yang dia rasakan? Bagaimana kalau dia tahu, dia muncul dalam mimpi saya (mimpi yang tidak terlalu indah, sebenarnya…)?

Saya mulai merenungkan, perjalanan ke Selandia Baru, ini tidak sekedar menikmati alam atau melakukan aktivitas-aktivitas seru dan menantang. Perjalan ini juga tentang bagaimana merenungkan kembali beberapa aspek kehidupan, seperti pekerjaan, dan juga pernikahan. Rupanya, cukup banyak hal yang mengganjal pikiran.

Saat sedang memikirkan hal ini, notifikasi telepon genggam memberikan signal pesan di DM Instagram. Seorang kawan menuliskan, “Bagaimana Auckland? Semoga perjalanan lo menyenangkan!”

Ahh… benar juga… jauh-jauh ke Auckland, saya ini ingin jalan-jalan, tetapi kenapa saya malah merasa rumit dengan banyak beban di pikiran. Bukankah seharusnya saya menikmati perjalan ini semaksimal mungkin! Saya kemudian memejamkan mata… kembali merehatkan diri untuk menyambut perjalanan di tanah the Lord of the Rings.

 

Auckland, 7 Mei 2019

Denty Piawai Nastitie

Ps: Foto bersama sahabat saya Narastika saat jalan-jalan di Auckland. Saya yakin, mimpi ini muncul karena sesaat sebelum tidur saya membicarakan banyak hal dengan Narastika, termasuk membicarakan pernikahan! Hahahhaha! Sialan, Tik, sampai kebawa mimpi!! LOL

Read more

Tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan pada hari kedua kunjungan di Danau Tekapo, Selandia Baru. Cuaca buruk membuat rencana Narastika dan saya untuk mendaki gunung Mt John berantakan. Selain karena jalur trekking menuju Mt John ditutup demi keselamatan, shuttle bus yang seharusnya mengantar pengunjung dari penginapan ke gerbang pendakian juga tidak beroperasi.

“Kita bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga. Ada halangan ganda yang menimpa sekaligus,” kata Narastika, kecewa.

Prakiraan cuaca memamng sudah memperingatkan bahwa sepanjang hari ini akan hujan deras. Sejak bangun tidur, tanda-tanda cuaca buruk sudah terasa. Warna langit yang sehari sebelumnya cerah, berubah menjadi abu-abu. Warna langit yang kelabu, membuat hati ini juga ikut kelabu. Padahal, sepanjang malam saya sudah membayangkan asyiknya menyusuri Mt John sambil menghirup udara segar, menikmati pemandangan Danau Tekapo, Pegunungan Alpen Selatan, dan dataran Mackenzie Basin.

Namanya manusia, selalu bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian. Saya memang merasa kecewa batal naik gunung, tetapi di sisi lain saya juga merasa beruntung karena tidak membawa perlengkapan mendaki yang cukup memadai. Terbayang bagaimana repotnya di tengah jalan apabila hujan deras tiba-tiba menerjang. Tidak hanya repot karena harus melangkah dengan tubuh basah, keselamatan juga bisa terancam! Mungkin inilah cara alam mengingatkan manusia bahwa tak semua perjalanan perlu dipaksakan.

Untuk mengobati kecewa, Narastika dan saya jalan-jalan di sekitar danau. Kalau tiba-tiba ada badai, kami bisa sewaktu-waktu kembali ke penginapan. Narastika dan saya juga berencana kembali ke Gereja Gembala Baik (the Church of the Good Shepherd).

Gereja Gembala Baik (the Church of the Good Shepherd) merupakan satu-satunya gereja di Danau Tekapo dan menjadi tempat ibadah bagi penduduk setempat. Gereja yang dibuka pada 1935 ini dirancang oleh arsitek R.S.D. Harman, berdasarkan sketsa oleh seniman lokal, Esther Hope.

Gereja ini terletak di tepi Danau Tekapo dan di antara pegunungan Alpen Selatan. Gereja yang dibangun sebagai peringatan bagi perintis di wilayah Mackenzie ini sangat unik karena terbuat dari fasad batu di pesisir Danau Tekapo. Semak-semak matagouri juga dibiarkan tumbuh di halaman gereja, memberikan kesan perjalanan ke masa lalu.

Papan informasi di depan bangunan gereja menuliskan bahwa Gereja Gembala Baik dibangun dengan menonjolkan ciri kekuatan dan kesederhanaan. Gereja ini bisa digunakan siapa saja dari berbagai bangsa dan agama, untuk bermeditasi, berdoa, atau sekedar duduk hening.

Saya berkeliling mengamati bangunan-bangunan gereja. Karena pintu gereja tertutup rapat, pengunjung tidak bisa masuk ke dalam. Penasaran, saya sempat mengintip melalui lubang kunci dan melihat suasana di dalam gereja, seperti kursi-kursi usang dan salib di tengah altar.

Selanjutnya, saya berjalan ke belakang gereja. Pada sebuah batu besar, saya duduk memandang hamparan Danau Tekapo. Cuaca mendung sepertinya membuat suasana hati juga ikut mendung. Apalagi, siang itu tidak banyak penjunjung di Gereja Gembala Baik. Suasana gereja itu terasa sepi, perasaan yang sering membuat manusia merasa tidak nyaman. 

Setelah duduk sekitar 30 menit, Narastika dan saya berniat meninggalkan gereja. Saat melangkah ke luar gerbang gereja, saya melihat seorang perempuan datang. Dia berjalan tergopoh-gopoh ke depan gereja. Dia menggengam kunci berwarna kuning keemasan. Rupanya, dia adalah petugas gereja. “Mau masuk?” ujarnya, sambil membuka pintu gereja.

Saya mengangguk.

Setelah pintu terbuka, saya segera masuk ke dalam gereja. Pandangan mata saya langsung tertuju ke arah jendela kaca bening di altar yang membingkai indah danau dan pegunungan. Melalui kaca terlihat pemandangan Pulau Motuariki yang dikelilingi pohon pinus. Hamparan pegunungan, danau, hutan, dan jalur setapak yang berkelok-kelok terlihat dari kaca gereja. Pemandangan itu bersanding dengan altar dan kayu salib sederhana. 

Suasana di dalam Gereja Gembala Baik ini seolah ingin menggambarkan bahwa Pemilik Alam Semesta senantiasa mengiringi perjalanan manusia… Saya meluangkan waktu duduk di dalam gereja yang damai, memandang altar dan mengenang berbagai perjalan yang sudah dilalui… perjalanan panjang, yang kadang terasa melelahkan. 

Dalam keheningan, saya merasakan betapa baiknya alam terhadap hidup ini. Tentu saja, ada kalanya saya merasa sendiri, ada kalanya saya merasa tak pasti. Tetapi, di gereja ini saya merasakan kekuatan yang menggerakkan hati dan pikiran untuk terus melangkah… melanjutkan perjalanan, menghadapi setiap jalan bergelombang, bercabang, naik, dan turun… 

“Jangan takut melangkah… bersama Dia, Sang Pencipta dan Pemberi Kehidupan,” suara berbisik, di relung hati. 

Tiba-tiba saja bulu kuduk terasa merinding, air mata menetes. Terharu. Lega. Bersyukur. Musik gregorian mengalun pelan, menambah suasana magis. 

Bagi saya, Gereja Gembala Baik merupakan tempat ibadah dengan pemandangan paling spektakuler yang pernah saya kunjungi. Di dalam gereja saya sadar mengapa tempat ini layak dijadikan rumah bagi para peziarah dan pelancong dari berbagai daerah. 

 

 

Foto-foto oleh: Longina Narastika

Baca kisah lainnya: Berburu Gugus Bintang di Langit Tekapo

Baca kisah lainnya: Dari Queenstown ke Danau Tekapo

[instagram-feed]

Read more

Sejak berabad-abad lalu, langit, beserta benda-benda langit, dan pergerakan benda-benda langit, mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Dengan memahami langit, manusia mencoba mengerti fenomena-fenomena alam, mempelajari perkembangan semesta, dan berujung pada pemahaman terhadap diri sendiri. Maka, saat seseorang sedang memandang langit, kemungkinan besar dia tidak sekedar menikmati keindahannya, tetapi juga berusaha menangkap makna keberadaannya di dunia.

Saking pentingnya langit, di Danau Tekapo, Selandia Baru, sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu, penghuni pertama Suku Maori, telah mengembangkan sistem penerangan khusus untuk melestarikan kejernihan langit malam. Sistem penerangan yang dikembangkan di daerah Cekungan Mackenzie itu berhasil meminimalisir polusi cahaya dan mempertahankan kejernihan langit.

Berada di daerah dataran tinggi dan di antara pegunungan, juga memaksa awan rendah terbang jauh sehingga langit menjadi lebih cerah. Secara turun temurun, daerah yang termasuk dalam Cagar Langit Gelap Internasional Aoraki Mackenzie (Aoraki Mackenzie International Dark Sky Reserve) ini pun menjelma menjadi salah satu tempat terbaik untuk mengamati gugusan bintang di langit.

Keunikan itulah yang membuat Narastika dan saya tertarik untuk mengamati langit dan berburu gugus bintang (stargazing) di Danau Tekapo. Di sini, ada banyak pilihan paket wisata yang menawarkan kegiatan pengamatan gugus bintang. Beberapa wisata stargazing juga dikemas sekaligus dengan paket makan malam, mandi air hangat, dan workshop memotret gugus bintang. Harga paket wisata ini bervariasi. Salah satunya menawarkan paket stargazing selama dua jam seharga 186 NZD (sekitar Rp 1.860.000).

Setelah dipikir-pikir, banyak artikel di internet yang menjelaskan tentang gugus bintang dan bagaimana memotret gugus bintang.  Selain itu, ada banyak pilihan aplikasi di telepon genggam yang dapat menunjukkan nama-nama rasi bintang yang terhampar di langit. Jadi, untuk memahami langit dan segala isinya (baca: berhemat), Narastika dan saya memutuskan tidak ikut paket wisata.

Hari itu, langit Tekapo sedang cerah. Sebelum mulai stargazing, Narastika dan saya berencana menyusuri Danau Tekapo yang airnya berwarna biru kehijauan. “Siap-siap bawa pakaian hangat yaa… Sepertinya kita akan pulang larut malam,” kata Narastika. 

Selanjutnya, saya memasukkan lima lapis pakaian ke dalam ransel. Saya juga membawa kamera, tripod, dan batere kamera cadangan. Langit sedang cerah, tak sabar rasanya bisa melihat Bima Sakti! Setelah semua siap, petualangan dimulai!

Narastika dan saya berjalan menyusuri pinggir Danau Tekapo. Dari kejauhan terlihat pegunungan Soutern Alps berpuncak salju. Terlihat juga deretan hutan cemara. Burung-burung terbang bebas. Angin berhembus sejuk. 

Menjelang matahari tenggelam, saya mengunjungi gereja ikonik, the Church of the Good Shepherd. Gereja ini sangat unik karena terbuat dari tumpukan batu. Gereja yang dibangun pada 1935 ini dirancang untuk memberikan kesan kekuatan dan kesederhanaan.

Baru saja hendak menikmati keindahan bangunan gereja, petugas meminta semua pengunjung keluar dari halaman karena waktu berkunjung sudah habis. Setiap hari, halaman gereja memang hanya dibuka pada pukul 08.00 – 17.00. 

Sebenarnya, saya sempat kecewa karena hanya sebentar berada di gereja. Tetapi, mau bilang apa. Saya hanya pengunjung di tempat ini, tentu saja, saya harus mematuhi aturan setempat.

Setelah menutup dan menggembok pagar gereja, petugas itu menghampiri saya. Mulanya, saya pikir saya akan dimarahi karena terlalu lama berada di halaman gereja. Tetapi, prasangka itu buyar setelah petugas tersenyum ramah. “Nanti malam, kamu ke belakang gereja. Kamu bisa lihat Milkyway dari sana,” katanya.

Narastika dan saya saling memandang, terkejut sekaligus senang. Wah, baik sekali petugas itu memberi tahu lokasi terbaik melihat gugusan bintang!! Mungkin dia kasihan melihat kami berdua yang belum puas berada di halaman gereja. Alhamdulilove… 🙂 

Sekitar pukul 7 malam, proses memotret gugus bintang dimulai. Narastika dan saya berjalan ke arah belakang gereja. Beberapa kali saya tersandung kerikil karena tidak bisa melihat jalur perjalanan yang gelap gulita. Narastika dan saya mengandalkan cahaya dari telepon genggam untuk menerangi jalur.

Begitu mendapatkan spot yang asik, Narastika dan saya mulai memotret.

Malam itu, langit gelap tak berawan. Terlihat rasi bintang berkilauan di atas sana. Saya berusaha mengabadikan keindahan langit malam dengan menggunakan kamera mirorlessUntuk mendapatkan hasil maksimal, saya mengubah pengaturan kamera menjadi manual. Saya mengatur bukaan diafragma, kecepatan rana, juga ISO. 

Setelah beberapa kali memotret, foto yang dihasilkan terlalu terlalu gelap!

Setelah dicoba lagi, hasilnya terlalu terang!

Selanjutnya, saya mendapatkan racikan pengaturan kamera sesuai, tiba-tiba ada seseorang melintas sambil membawa lampu sehingga menciptakan garis gelombang berwarna di foto. “Ah, siaul!” kata saya.

“Ayo, coba lagi!” kata Nararstika, memberi semangat.

Saya kemudian mencoba mengubah pengaturan kamera, dan meminta bantuan Narastika untuk menambahkan cahaya ke arah gereja dengan menggunakan cahaya telepon genggam. Setelah berkali-kali dicoba, akhirnya, pengaturan cahaya yang lumayan pas mulai ditemukan!

Cahaya itu berasal dari headlamp yang diarahkan ke beberapa bagian gereja sehingga ada terang yang merata. Di samping itu, taburan bintang yang membentuk Bima Sakti juga terlihat. Ada samar tipis yang menunjukkan semburat warna ungu, biru, kuning, dan merah di langit. Yeaay!! Berhasil!!” Narastika dan saya bersorak gembira.

Selain memotret gugus bintang, saya juga berusaha memahami susunan bintang dengan menggunakan aplikasi di telepon genggam. Sayangnya, tak sampai 10 menit digunakan, tiba-tiba saja telepon genggam itu mati. Saya berusaha menyalakan kembali, tetapi sia-sia. Rupanya, telepon genggam saya tidak suka dingin. Telepon genggam itu langsung menggigil di antara suhu tiga derajat selsius. Saking dinginnya, telepon genggam pun padam!

Semakin malam, udara dingin juga semakin menusuk tulang, dan membuat kaku jari-jari tangan dan kaki. Tiba-tiba saja, saya merasa takut mati! Ditambah lagi, badan saya terasa sulit digerakkan karena kedingian. Bahkan, untuk memencet shutter count kamera jari-jari ini diajak sulit berkompromi. Untuk berbicara juga sulitnya setengah mati karena bibir terasa beku. Akhirnya, sekitar pukul 11 malam, Narastika dan saya menyerah! Kami memutuskan kembali ke penginapan karena sudah tidak tahan dingin!  

Bagi saya, memotret gugus bintang di Danau Tekapo memberi banyak pelajaran berarti. Pertama, saat hendak memotret tentukan lokasi terbaik untuk mengambil gambar. Caranya, bisa dengan riset atau bertanya kepada penduduk lokal. Saya beruntung karena kebetulan dapat informasi dari penjaga gereja, kalau tidak entah sudah memotret random di mana. Kedua, siapkan peralatan memotret agar siap digunakan. Jangan sampai batere kamera atau telepon genggam yang hendak digunakan tiba-tiba rusak seperti milik saya. Ketiga, siapkan pakaian dingin yang cukup. Tidak mau kan kalau jadi headline berita di koran lokal: “Viral! Wisatawan asal Indonesia Ini Tewas Kedinginan saat Memotret Bintang di Danau Tekapo” atau “Inilah Akhir Mengenaskan Wisatawan asal Indonesia usai Memotret Bintang” 😀 😀 Wahahhaha… *bercandaan receh sama Tika niihh*

 

Begitu sampai kamar, saya menutupi seluruh bagian tubuh dengan berlapis-lapis selimut tebal.

Saya berusaha memejamkan mata. Di balik kelopak mata yang tertutup, tak terasa gelap pun jatuh….


Diujung malam…
menuju pagi yang dingin…

 

 

Terima kasih Danau Tekapo, untuk langit yang cerah 🙂

Baca lainnya: Dari Queenstown ke Danau Tekapo

[instagram-feed]

Read more