It’s okay if you are not okay

Ketika mendapatkan diagnosis tumor payudara, sebenarnya saya sedang dalam kondisi cukup terang. Saya baru menerbitkan buku, mendapatkan penghargaan dari sebuah lembaga pendidikan yang cukup bergengsi, mengamankan funding yang nilainya lumayan untuk jatah ngopi selama setahun, dan sedang menyiapkan beberapa project public speaking hingga pertengahan tahun.

Singkat kata hidup saya sedang bunga-bunga. Begitu saya menemukan benjolan di payudara, awan kelabu menggantung di atas kepala. Dokter meminta agar saya segera operasi mengingat ukuran tumor cukup besar. Tiba-tiba ritme kehidupan yang tadinya bak pelangi langsung berguncang. Saya ‘dipaksa’ untuk pause sejenak untuk memperhatikan kesehatan. Beberapa project harus ditunda.

Tentu sajaaa seperti kebanyakan orang lain yang lagi ketiban durian montong, eh musibah maksudnya, saya bertanya-tanya: kenapa bisa sakit? Apa salah saya? Kenapa saya? Apakah karena makanan saya yang asal-asalan? Atau ada faktor genetik?

Pita kaset di kepala kemudian berputar. Memutar ulang kejadian yang telah berlalu. Saya meyakini fisik dan mental saling berkaitan. Sakit fisik bisa mengguncang mental. Demikian juga sakit mental mempengaruhi fisik.

Saya ingat 2023 bukan tahun yang mudah. Saya sering menangis histeris tengah malam. Kepala terasa pening dan dada sesak. Saat itu untuk pertama kali saya harus mengakses layanan kesehatan mental karena mulai merasa ada yang konslet di otak saya.

Setelah tahun yang berat itu, kehidupan saya berjalan lebih baik. Saya menyadari terhadap beberapa hal memang kenyataan tidak bisa diubah. Mau marah-marah pun hanya menghabiskan energi. Saya mulai berdamai dengan keadaan. Mulai bangkit dan mulai menjalani ritme hidup ini.

Memasuki bulan kedua, tiba-tiba harus bedrest karena sakit fibroadenoma mammae. Saya langsung berpikir mungkin secara mental saya sudah lebih baik. Tetapi, fisik saya merekam semua kesedihan dan duka. Inilah yang mungkin saja membuat timbulnya benjolan di tubuh saya.

Bersyukur, operasi berjalan lancar. Saya dipertemukan dengan Dokter Andre yang bantu saya melewati sakit ini. Juga teman-teman yang sangat perhatian selama saya dalam masa pemulihan.

Meski sakit fisik sudah diatasi, tetapi saya sadar sebenarnya semua gejala ini meminta saya istirahat sejenak. Memberi waktu sejenak pada diri ini untuk didengar kehendaknya. Maka sepanjang Februari dan Maret saya off dari pekerjaan untuk pemulihan fisik dan mental.

Dalam masa hibernasi ini, saya merasakan hal-hal di luar nurul yang saya enggak kebayang saya akan merasakannya. Dari saya yang terbiasa multitasking dan melakukan banyak hal sekaligus, seketika tidak berproduksi. Tidak liputan. Tidak menulis berita. Jujur saja ada perasaan ganjil melihat jurnalis lain bikin berita, saya enggak. Apalagi pemilu lagi rame-ramenya. Ada keinginan terjun di lapangan, tapi fisik dan mental, saya memberontak. Setiap memikirkan kerjaan badan saya terasa sakit dan ngilu. Dada terasa sesak.

Yaweslahh akhirnyaa saya beneran istirahat. Pekan pertama di rumah saya cuma main sosmed. HAHA. Scrolling sana dan sini. Merdeka banget. Lama lama bosan. Apalagi video gak jelas muncul bikin emosi. Minggu kedua saya mulai menyibukkan diri dengan memasak. Menata buku-buku. Menyetrika. Melap debu-debu yang menempel di atas meja.

Ada perasaan suwung, kekosongan yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Di antara rak buku yang sudah jadi sarang laba-laba, saya menemukan majalah yang berisikan artikel tentang paman saya, Marsekal Muda Djoko Poerwoko. Dalam satu tulisan, paman mengatakan “Kita itu wayang kehidupan, berarti ada dalangnya. Harus siap ketika dimainkan. Harus siap ketika tidak dimainkan.”

Kata-kata pakde meresonansi dalam hidup saya. Tiba-tiba air mata merembes di pipi, ada penerimaan di sana. Untuk pertama dalam 10 tahun berkarya sebagai jurnalis, ini kali pertama saya break dari rutinitas. Tidak melakukan apa-apa. Rasanya tidak berfungsi normal seperti biasanya. Tetapi, inilah kenyataan yang saya hadapi. Saya Menerima kenyataan bahwa saya manusia bukan robot. Saya manusia yang enggak selalu bisa membuat karya terbaik. Saya manusia yang selain punya kemampuan dan kehendak diri, juga punya rasa sakit hati, trauma, sedih, dan duka.

Mungkin Nanti ada saatnya bangkit lagi, dan berkarya lagi. Tetapi, sekarang istirahat dulu. Wayangnya break dulu. Enggak main dulu. Its okay if you are not okay. Saya menerima diri saya ketika ia bisa naik tangga pencapaian diri, juga ketika ia merasa lelah, loyo, lunglai, dan tidak pasti.

Pst: Setelah baca artikel tetang pakde, saya merasa lega. Sekaligus saya merasa rindu. 🙁 Makasih pakde bahkan ketika pakde tidak ada bersamaku, pakde membukakan jalan dan memberikan terang.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*