August 2025

JawaPos – Esai menjadi salah satu komponen penting dalam pendaftaran beasiswa luar negeri. Hal ini disampaikan oleh penerima Beasiswa Chevening, Denty Piawai Nastitie, dalam webinar yang digelar Jawa Pos Learning Hub bertajuk Menulis Esai untuk Beasiswa Luar Negeri pada Sabtu (23/8).

Menurut Denty, keberhasilan dalam menulis esai berawal dari refleksi diri. “Sebenarnya siapa sih saya? Apa mimpi besar saya? Apa kekuatan dan kelemahan saya? Dari refleksi diri itu, ternyata membantu saya ketika saya menyusun beasiswa Chevening” ungkapnya.

Ia pun menekankan bahwa Chevening tidak hanya mencari kandidat dengan ambisi besar, melainkan mereka yang mengenal diri sendiri dan mampu memanfaatkan potensi beasiswa untuk berkembang.

“Jadi beasiswa Chevening itu tidak sekedar kamu punya ambisi yang kuat gitu ya buat dapat beasiswa, tetapi beasiswa ini menguji seberapa kita mengenal diri kita, dan bagaimana kita mendapatkan potensi yang lebih baik dengan beasiswa ini” sambungnya.

Lebih lanjut, Denty menekankan pentingnya memiliki mimpi besar yang relevan, bukan sekadar pencapaian setinggi langit. Yang dicari, menurutnya, justru adalah sosok yang mampu menempatkan diri pada posisi strategis sesuai dengan kebutuhan program.

“Karena yang dicari itu justru sebenarnya bukan orang yang punya pencapaian setinggi langit, tetapi bagaimana sih kita bisa punya posisi strategis dan sesuai dengan kebutuhan Chevening” ujar penerima beasiswa di SOAS University ini.

Untuk itu, riset mengenai kampus, jurusan, hingga situasi terkini di negara tujuan menjadi sangat penting. Setiap tahun, program beasiswa akan menilai sejauh mana aplikasi yang diajukan memiliki relevansi dengan isu-isu terbaru. “Setiap tahun beasiswa akan mencoba relevansi mereka dengan kebutuhan-kebutuhan terkini” lanjut Denty.

Pengalaman organisasi yang sesuai dengan bidang studi juga menjadi nilai tambah dalam esai. Keterlibatan ini akan memperkuat profil serta menambah bobot esai yang dituliskan. “Dengan pengalaman yang terus bertambah ini akan memperkuat esai kita atau profile kita ketika mendaftar beasiswa” ungkapnya.

Denty juga mengingatkan bahwa banyak esai gagal karena tujuan yang ditulis terlalu abstrak dan kurang spesifik. “Aku sering baca, ketika aku review esai dari temen-temen, membangun Indonesia, ini kan terlalu abstrak, bagaimana cara ngukurnya kita tidak tahu, sebaiknya kalau nulis esai lebih spesifik, membangun Indonesia caranya seperti apa, di bidang apa dan bagaimana konkritnya” ujarnya.

Selain isi, struktur esai juga tak kalah penting. Kerangka yang kuat akan membuat tulisan lebih enak dibaca dan mudah dipahami. Ia menyarankan menggunakan metode STAR (Situation, Task, Action, Result) maupun SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound) agar pengalaman yang dituliskan dalam esai lebih sistematis.

Bahasa yang digunakan pun harus profesional. Kalimat perlu ditulis dengan jelas, ringkas, dan tidak bertele-tele. Kosakata harus dipilih secara tepat, informasi yang tidak relevan sebaiknya dihapus, dan esai perlu ditinjau kembali agar sesuai dengan pertanyaan yang diminta. Denty juga menyarankan agar esai dibaca ulang oleh orang lain sebagai masukan sebelum dikirimkan.

“Pastikan kalimatnya jelas, ringkas, dan tidak bertele-tele, gunakan kosakata yang tepat dan profesional, dan tinjau kembali apakah jawaban itu sesuai dengan pertanyaan atau tidak, terus buang informasi yang tidak relevan, dan jangan segan untuk memberikan esai kalian ke orang lain untuk dibaca” beber Denty.

Menurutnya, esai beasiswa adalah ruang untuk “menjual diri” kepada lembaga pemberi beasiswa. Esai tidak hanya berisi daftar prestasi, tetapi juga menggambarkan latar belakang, alasan memilih program studi, serta rencana kontribusi setelah lulus. Dengan persiapan matang, refleksi mendalam, serta strategi penulisan yang tepat, peluang lolos beasiswa luar negeri pun akan semakin terbuka. (Jelita Indriana Putri, Senin, 25 Agustus 2025 | 12:22 WIB)

Read more

Selama ini, perempuan dalam jaringan terorisme kerap dipandang hanya sebagai korban atau pelaku. Padahal, ada sisi lain yang jarang terlihat, perempuan juga bisa menjadi agen perubahan. Inilah kisah para istri mantan narapidana terorisme yang berjuang melawan stigma, membesarkan anak-anak di tengah trauma, sekaligus mencegah keluarga mereka kembali terjerat paham radikal.

Bagi Putri Ariasti (44), ingatan paling mencekam itu terjadi tepat pada 17 Agustus 2016, sembilan tahun silam. Hari kemerdekaan yang semestinya dirayakan dengan sukacita justru berubah menjadi titik kelam dalam hidupnya. Pagi itu, di tengah semarak karnaval dan kibaran bendera Merah Putih, sebuah barakuda berhenti di depan rumahnya.

Beberapa pria berbadan tegap lengkap bersenjata turun dengan langkah cepat dan langsung menggeledah rumah. Putra sulungnya, Sultan, yang kala itu berusia 12 tahun, berlari sambil menangis ketakutan. Pada hari yang sama, Detasemen Khusus 88 Anti Teror menangkap suaminya, Munir Kartono (42), atas dugaan keterlibatan kasus terorisme.

Sejak detik itu, Putri tidak hanya kehilangan suami yang digelandang aparat, tetapi juga seolah kehilangan separuh hidupnya. ”Saya gemetar. Di satu sisi ingin mengejar suami saya, di sisi lain anak-anak saya menangis ketakutan,” kenang Putri dengan mata berkaca-kaca saat ditemui di rumahnya di Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/8/2025).

Pascapenangkapan, stigma langsung menghantam Putri. Ia, yang selama ini dikenal sebagai guru TK, tiba-tiba dipandang curiga. Gosip beredar ke mana-mana, dari tuduhan menyembunyikan uang hasil kejahatan, hingga cibiran bahwa keluarganya bagian dari jaringan teror. Selama seminggu, Putri tidak keluar rumah karena malu. Apalagi, ayahnya sempat marah besar dan tidak mau bicara dengan Putri.

Munir, suami Putri, kemudian divonis 5 tahun penjara. Ia terbukti mendukung pendanaan aksi bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta pada Juli 2016. Saat itu, Munir menjadi penggalang dana andal untuk mendukung aksi teror, kegiatan terlarang yang ia tutupi dari orang lain, termasuk istri dan keluarganya.

Sembilan tahun berlalu. Munir telah bebas sejak 2020 setelah menjalani 3 tahun 8 bulan masa hukuman. Tetapi, trauma masih menghantui Putri dan keluarga. Selain itu, Putri juga sering merasa malu dan tidak percaya diri untuk bergaul. Label sebagai istri eks narapidana teroris mengganggu pikirannya.

Namun, Putri tak larut dalam keterpurukan. Sejak suaminya menjalani hukuman penjara, Putri berjuang menata ulang hidup bersama empat anaknya. Dengan bantuan modal dari keluarga, ia membuka warung di dekat rumah yang menjadi titik balik hidupnya.

Selain menopang ekonomi keluarga, warung menjadi bukti resiliensi menghadapi tekanan psikologi, ekonomi, dan sosial. Perlahan, tetangganya kembali menyapa, bahkan membantu keluarga ini melanjutkan kehidupan.

Pengalaman pahit menjadikan Putri lebih waspada. Bagi Putri, perjuangan terbesar bukan sekadar menghadapi stigma, melainkan menjaga anak-anaknya agar tidak ikut terseret pada jejak kekerasan. Putri berusaha menekankan nilai-nilai sederhana, seperti tanggung jawab, saling menghormati, dan terbuka pada perbedaan. Ia juga mendampingi anak-anak saat stigma menimpa. Contohnya, ketika si sulung sempat minder dan enggan sekolah karena ayahnya dipenjara, Putri memotivasi. Hasilnya, sang anak justru meraih juara umum di sekolah.

Putri mengaku sempat menutup diri dari kegiatan keagamaan karena takut dicurigai. Namun, kini, ia memilih jalan tengah, yakni tetap beribadah dengan tenang, tanpa terjebak pada ajakan eksklusif.
Putri dan suaminya juga memutuskan agar anak-anak tidak dimasukkan ke sekolah eksklusif berlabel agama tertentu. Mereka memilih sekolah negeri agar anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang beragam.

Kalau dulu Putri dikenal sebagai guru, sekarang ia memilih jadi pendidik untuk keluarga sendiri. Dari rumah, ia menjaga agar anak-anak tidak mengulang kesalahan ayahnya dan masuk dalam lingkungan kekerasan. Bukan hanya kepada anak-anak, Putri juga tidak pernah bosan mengingatkan suami agar tidak lagi terjebak pada kesalahan yang sama.

Sementara itu, Munir memilih bersikap terbuka kepada anak-anaknya. ”Saya jelaskan bahwa saya pernah melakukan kesalahan, dan saya menanggung akibatnya. Saya tidak ingin anak-anak mengalami kejadian serupa,” kata Munir, yang kini telah meninggalkan ideologi radikal dan kembali aktif berkegiatan di tengah masyarakat.

Penyangga keluarga

Pengalaman traumatis juga dialami Nurwahidah (38), istri eks narapidana terorisme yang selama lebih dari satu dekade berjuang mempertahankan keluarga, mendidik anak-anaknya, sekaligus menjadi penyangga agar lingkaran radikalisme tidak terus berulang di dalam keluarga.

Nurwahidah bertemu suaminya ketika sama-sama kuliah di Jakarta. Sang suami, sejak masa SMA, sudah mengenal tokoh agama yang menyelipkan ajaran jihad dalam setiap pertemuan keagamaan. Jaringan pertemanan dan lingkungan makin menguatkan keyakinan suaminya untuk masuk dalam tindakan kekerasan.

Sebagai istri muda, Nurwahidah kerap menentang keinginan suaminya untuk ikut berkegiatan di lingkaran tersebut. Namun, suaminya tidak mendengarkan masukan dari Nurwahidah. Sang suami tetap aktif di jaringan radikal.

Puncaknya, pada Juni 2013, suaminya ditangkap Densus 88 Anti Teror di Poso, Sulawesi Tengah, wilayah yang kala itu dikenal rawan konflik. Selama suaminya menjalani hukuman penjara, Nurwahidah menghadapi stigma, tekanan sosial, bahkan ancaman langsung, tetapi tetap berusaha menjaga keluarga tetap utuh.

Kini, suaminya telah bebas dan menyatakan setia ke NKRI. Nurwahidah bersama suami dan anak-anaknya tinggal di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Di tengah hidup yang serba menantang, Nurwahidah menemukan makna baru dalam hidupnya, yakni membesarkan anak-anak dengan pemahaman agama yang damai dan moderat. Ia percaya, pengalaman getirnya bisa menjadi pelajaran bagi perempuan lain agar tidak terjebak dalam siklus yang sama.

Sementara itu, Nuraeni (38) menghadapi kenyataan pahit bahwa sang suami terlibat dalam jaringan kekerasan setelah sang suami ditembak mati oleh Densus 88 Anti Teror pada Oktober 2012. Selama ini, Nuraeni tidak mengetahui kegiatan sang suami.

Jaringan terorisme

Nuraeni hanya mengetahui suaminya sering pergi ke luar kota. Setelah penembakan itu, Nuraeni baru mengetahui bahwa suaminya terlibat dalam jaringan terorisme.

Penembakan itu bukan hanya merenggut nyawa suaminya, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi dirinya dan anak-anak. Apalagi, ia tidak diperkenankan melihat jenazah suami untuk terakhir kalinya.

Di tengah luka kehilangan sang suami, Nuraeni berusaha berdiri tegak. Ia bertahan dengan berjualan makanan ringan di pasar dan menjadi staf TK. Kini, Nuraeni sudah menikah lagi. Bersama suami dan anak-anaknya, ia tinggal di Kabupaten Bima, NTB.

Nuraeni menyadari bahwa masa depan anak-anaknya harus diselamatkan dari jejak masa lalu ayah mereka. Untuk memutus mata rantai kekerasan dari tingkat keluarga, Nuraeni memilih jalur pendidikan. Ia percaya bahwa dengan belajar, membaca, dan bergaul sehat, anak-anak bisa lepas dari bayang-bayang kekerasan.

”Saya perhatikan, mereka yang terlibat dalam kelompok keras itu tidak suka membaca. Mereka hanya lulusan SD, SMP, atau paling tinggi SMA. Saya ingin menyekolahkan anak-anak saya setinggi-tingginya agar mereka bisa punya banyak bacaan dan tidak terlibat dalam jaringan kekerasan,” kata Nuraeni, dalam wawancara daring, Kamis (14/8/2025).

Dari seorang istri yang dulu tidak tahu-menahu soal pemahaman radikal, kini ia menjadi sosok yang aktif menasihati, mengarahkan, dan memastikan generasi berikutnya tidak mengulang jejak serupa. Selain memastikan pendidikan untuk anak-anaknya, Nuraeni juga kerap mengajak anak-anak dari keluarga radikal di lingkungan rumahnya untuk ke sekolah.

”Dengan mengajak anak-anak sekolah, saya berharap mereka tidak terpengaruh ajaran radikal dari orangtua mereka,” katanya.

Direktur Eksekutif Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Indonesia Siti Darojatul Aliah menegaskan, perempuan dalam lingkaran terorisme menempati posisi yang kompleks, yakni sebagai korban, pelaku, sekaligus agen perubahan.

”Perempuan sebagai pelaku juga sebenarnya merupakan korban indoktrinasi dan perekrutan yang berbeda-beda antara kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan ISIS,” kata Siti, di Jakarta, Senin (18/8/2025).

Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebanyak 65 perempuan divonis terkait pidana terorisme dari tahun 2000 hingga 2023. Sebelumnya, pada periode 2016-2020, tercatat 32 perempuan diduga terlibat jaringan terorisme, meningkat dari 8 perempuan pada 2002-2015. Keterlibatan perempuan ini sering kali melalui modus operandi sederhana, seperti bom bunuh diri atau serangan pisau, bahkan dilakukan bersama anak-anak.

Siti menjelaskan, dalam jaringan JI, perempuan direkrut bukan untuk aksi kekerasan, melainkan diposisikan sebagai istri para anggota. Mereka kerap tidak mengetahui aktivitas suami, bahkan banyak yang baru menyadari setelah terjadi penangkapan oleh aparat. Sebaliknya, pada jaringan ISIS, perempuan justru menjadi bagian aktif, mendukung bahkan mendorong suami mereka dalam aksi.

Dampak keterlibatan ini, lanjutnya, sangat besar bagi keluarga. Saat suami atau ayah ditangkap aparat, banyak perempuan dan anak-anak yang mengalami trauma dan kehilangan figur suami atau ayah sebagai tulang punggung keluarga, hingga tekanan sosial dari masyarakat.

Dalam banyak kasus, perempuan yang ditinggalkan harus menanggung peran berlipat ganda, yakni sebagai ibu, bapak, dan individu pencari nafkah. Selain itu, stigma dan diskriminasi juga menjadi beban berat.

Anak-anak kerap mengalami perundungan, sedangkan perempuan yang ditinggalkan harus berpindah-pindah tempat tinggal karena penolakan masyarakat. Kondisi ini berpotensi membuat mereka kembali rentan terhadap ideologi radikal.

Siti juga menyoroti lemahnya program deradikalisasi bagi perempuan. Ia menilai, selama ini pendekatan pemerintah dan lembaga terkait masih berpusat pada sosok laki-laki. Sementara perempuan kurang diperhatikan. Padahal, perempuan punya posisi sentral dalam mencegah dan menanggulangi kasus terorisme.

Untuk itu, Siti mendorong agar program deradikalisasi dan pencegahan radikalisme lebih sensitif terhadap isu jender serta melibatkan organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan narasi yang lebih adil terhadap perempuan.

Menurut dia, edukasi di tingkat keluarga dan komunitas harus diperkuat, termasuk memberi peran lebih besar kepada perempuan sebagai agen kontra-narasi. ”Perempuan adalah garda terdepan dalam mencegah ideologi kekerasan. Kalau mereka berdaya, mereka bisa menjadi benteng terkuat bagi keluarga dan masyarakat untuk mencegah paham radikal berkembang,” ujar Siti.

Kisah Putri, Nurwahidah, dan Nuraeni memperlihatkan bahwa di tengah stigma dan luka masa lalu, mereka memilih untuk tetap berdiri, menjaga keluarga agar tak terjerat lingkar yang sama. Dari ruang-ruang domestik yang sederhana, para istri eks narapidana terorisme membuktikan bahwa melawan terorisme bisa dimulai dari lingkar paling kecil, yakni keluarga. (KOMPAS/Denty Piawai Nastitie)

Read more