“Suster! Suster!” teriak anak-anak, saat mobil melintas pelan di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Jalanan yang dilalui berlubang, berbatu, dan berkelok-kelok. Terhampar pegunungan berwarna hijau dengan langit biru dan gumpalan awan putih.
Saya membuka jendela. Membiarkan angin pegunungan yang sejuk dan segar masuk ke ruang mobil, menyibakkan rambut. Mobil bergerak melewati puluhan anak berusia 9-11 tahun yang berdiri berjajar di tepi jalan raya. Sebagian besar anak-anak berjalan tanpa alas kaki.
Melihat jendela terbuka, wajah anak-anak sumringah. Mereka menggerakkan kaki-kaki kurus untuk mengejar mobil yang melintas. “Suster! Suster!” teriak anak-anak semakin kencang. Saya tersenyum. Kemudian melambaikan tangan. Anak-anak kegirangan. Beberapa berusaha memegang tangan saya.
“Kenapa mereka memanggil saya Suster?” tanya saya kepada Kraeng Yeremias, penduduk lokal yang mengantar perjalanan dari Labuan Bajo ke Wae Rebo.
“Mereka pikir kamu suster, biarawati dari gereja,” ujarnya.
Wahahaha! Jauh sekali saya dari rupa seorang biarawati. Baik dari segi fisik, maupun amal dan perbuatan. Apalagi, saya tidak memakai jubah dan penutup kepala biarawati. “Wah, seharusnya, sekalian saja anak-anak itu saya beri berkat ya!” kata saya, sambil tertawa.
Kraeng Yeremias ikut tertawa. Kemudian, ada ruang diam beberapa saat. Yeremias fokus mengemudikan mobil agar kendaraan ini tidak terpental jatuh ke dalam jurang di sebelah kiri jalan.
“Jalanan ini sangat jarang dilalui kendaraan bermotor. Biasanya, yang masuk jalan ini adalah mobil imam gereja atau biarawati yang datang memberi bantuan makanan atau buku-buku untuk sekolah. Itu alasannya anak-anak tadi mengira kamu biarawati,” ujar Yeremias.
Jendela masih terbuka. Angin pegunungan bertiup, menyapu wajah. Mobil melintas di jalan berkelok-kelok di antara semak belukar setinggi lima meter.
Setelah melalui jalan satu jalur sejauh 10 kilometer, mobil melewati rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu dan bambu.“Apakah anak-anak tadi berjalan kaki dari sekolah sampai rumah di perkampungan ini?”
Kraeng Yeremias mengangguk. “Sebagian anak-anak memang tinggal di sini. Sekolah yang tadi kita lewati dibangun imam dari Belanda beberapa puluh tahun lalu. Kalau mereka sudah SMP atau SMA, anak-anak harus berjalan kaki atau naik sepeda lebih jauh lagi karena tidak ada sekolah lain yang lebih dekat,” jawab Kraeng.
–
Perjalanan dari Labuan Bajo ke Wae Rebo memakan waktu sekitar 6 jam. Perjalanan melewati jalur berkelok-kelok di antara perbukitan, lalu melintasi tepi pantai, semak belukar, dan daerah pedesaan. Sepanjang jalan, jarang sekali berjumpa dengan kendaraan lain. Beberapa kali, mobil hanya berpapasan dengan angkutan umum serupa truk dengan pintu kayu yang jadwalnya tak menentu.
Begitu sampai di Desa Denge, desa terakhir sebelum Wae Rebo, mobil berhenti. Dari desa itu, pengunjung harus berjalan kaki, satu-satunya cara, menuju Wae Rebo, sebuah daerah yang berada di lembah di antara pegunungan. Jalan kaki menuju Wae Rebo memakan waktu sekitar 3-4 jam.
“Ayo, kita harus cepat. Sebelum hujan,” kata Kraeng Yeremias.
Bersama pemandu jalan dari desa setempat, saya melangkah di jalan setapak yang licin dan berbatu di tengah hutan.
Saat berjalan, matahari mulai turun. Kabut berwarna putih menyeruak. Awan berwarna abu-abu berarak. Beberapa saat kemudian, gerimis jatuh dari langit. Tubuh basah karena hujan dan keringat. Membuat langkah semakin tidak nyaman.
Sekitar pukul 7 malam, saya dan rombongan sampai di Wae Rebo, penanda kami adalah tujuh rumah adat dengan atap berbentuk bulat mengerucut yang konon sudah bertahan selama 19 generasi.
Wae Rebo adalah sebuah desa tradisional yang dikelilingi bukit dan lembah. Desa ini berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Di Wae Rebo terdapat tujuh rumah adat yang disebut Mbaru Niang. Sebagian besar maysarakat bekerja sebagai petani kopi dan petenun. Mereka mempertahankan cara-cara hidup lama, seperti melakukan upacara adat untuk mendoakan para leluhur. Karena keunikan dan nilai sejarah, pada 2012, Wae Rebo dinobatkan sebagai situs warisan budaya UNESCO.
Keunikan Wae Rebo menarik minat pengunjung. Dengan membayar tarif yang sudah ditentukan untuk pemandu wisata, prosesi adat, dan akomodasi, para tamu bisa menginap di rumah-rumah penduduk dan merasakan sensasi hidup di daerah terpencil. Pada musim libur, sekitar 250-350 orang datang ke Wae Rebo. Kehadiran para pengunjung membuat Wae Rebo seperti desa terisolasi dengan keramaian menyerupai kota-kota besar.
“Ayo, sebentar lagi ada acara adat, penyambutan tamu,” kata Kraeng Yeremias, membuyarkan lamunan.
Dengan rambut, wajah, dan tubuh basah, saya masuk ke dalam rumah adat yang paling besar. Di dalam rumah, para tetua duduk bersila. Teman perjalanan, Agnes, Hussein, dan saya, duduk di atas tikar rotan dengan tubuh menggigil.
Para tetua kemudian berbicara dalam bahasa setempat, yang kurang-lebihnya berarti, mereka merasa senang kami datang. Tetua kemudian melantunkan doa-doa dan menyembelih ayam. Bagi orang Wae Rebo, ayam adalah hewan yang cukup penting karena menjadi media persembahan kepada leluhur. Selain ayam, masyarakat Wae Rebo juga memelihara babi dan anjing.
Acara adat penyambutan tamu berlangsung sekitar setengah jam. Acara diakhiri dengan salam-salaman antara penduduk lokal dengan tamu yang hadir. Saya melihat ke sekitar, ada puluhan tamu seusia saya yang duduk bersila di dalam rumah adat. Beberapa orang saling bekenalan.
Sekitar pukul 9 malam, saat sedang duduk sambil menyeruput kopi di rumah adat, saya melihat rombongan lain datang. “Lala!” kata saya kepada salah satu anggota rombongan itu. Lala melambaikan tangan. Ah! Kebetulan sekali bertemu dengan Lala and the gank, yaitu Syarief, Ape, Gerdi, Ester, dan Liczy. Mereka adalah teman-teman yang mewarnai perjalanan di Kepulauan Komodo. Setelah menjalani prosesi adat penerimaan tamu, kami menikmati malam sambil melihat rasi bintang di langit.
–
Kesokan harinya, saya terbangun sesaat sebelum matahari terbit. Bersama puluhan pengunjung, saya keluar untuk melihat sang surya menampakkan wajah. Dingin dan lembab. Angin bertiup di dekat tengkuk kepala. Saya melihat pemandangan magis berupa desa tradisional yang berada di atas awan.
Setelah sarapan, para pelancong membaur dengan penduduk lokal. Beberapa orang “kota” memberikan buku-buku untuk anak-anak, ada yang ngopi dan ngerokok bersama deretan bapak-bapak, ada yang memasak bersama rombongan ibu-ibu, ada pula yang bermain sepak bola.
Di tengah lapangan saya melihat dua dunia menjadi satu, antara kawanan pemuda perkotaan, yang membawa kamera dan ponsel supercanggih, dengan anak-anak pedesaan yang lari tanpa alas kaki. “Orang Jakarta! Orang Jakarta!” teriak anak-anak Wae Rebo, kepada siapapun yang bukan berasal dari kaum mereka, bukan dari desa mereka.
Saya duduk sambil memandang kerumunan orang. Pemandangan yang indah, masyarakat yang ramah. Hati kecil berbisik, bisakah kita mengupayakan pariwisata berkelanjutan di Wae Rebo ataukah lambat laun budaya lokal terkikis nilai-nilai baru yang datang dari dunia luar?
Jakarta, 15 April 2017.
Ps: tolong abaikan Hussein yang melakukan foto bomb!