“Kapan kawin?”
—
Siapa sih, yang enggak pernah menerima pertanyaan: “Kapan kawin?!!”
Menjelang hari lebaran begini, siap-siap ya halal-bihalal dengan sanak saudara, teman-teman lama, para tetangga, dan disambut pertanyaan serupa berulang-ulang! Kyaaakkk! Kyakkk!
Bro, sist, sama kok! Saya juga sering menerima pertanyaan “kapan kawin?”. Dua tahun lalu pernah ngobrol dengan nenek asal Amerika Serikat, dia bertanya, “Berapa usia kamu?”. Saya jawab: “25 tahun!” Lalu dia dengan entengnya bilang: “You are just a baby.” Lalu, saya bengong dong: “Di Indonesia, orang-orang mengganggap saya berusia 200 tahun!” Si nenek pirang tertawa.
Begitulaaah, seiring usia bertambah makin banyak pula pertanyaan “kapan kewong?”. Beberapa orang bertanya sambil lalu, sepertinya hanya karena iseng gak punya topik pembicaraan. Beberapa lainnya memang peduli. Banyak juga yang bertanya untuk membandingkan kebahagiaan (kalau gak mau disebut penderitaan).
Menanggapi pertanyaan itu, sering kali saya tersenyum. Sering juga tertawa (baik karena memang ingin menertawakan diri sendiri atau tertawa garing untuk basa-basi). Kadang-kadang saya bawa santai saja pertanyaan demikian karena dilontarkan seseorang yang tidak terlalu penting (so buat apa gue pusing????)
Sering juga jengkel (karena pertanyaan dilontarkan di saat kurang tepat). Kadang saya sedih. Bukan karena status saya, tetapi sedih karena kok bisa ya saya mengenal manusia berpikiran begitu dangkal yang menganggap orang lain harus menjalani kehidupan sama seperti dengannya. Perasaan-perasaan itu muncul tergantung musim (musim rambutan atau durian hahhaa #yakali), kondisi (siapa yang tanya, lokasi, aktivitas, dll), juga suasana hati.
Kalau saya lagi pengen bercanda paling saya jawab, “Kalau enggak Sabtu ya Minggu.” Bisa juga dijawab: “Emang kalau gue nikah lo mau nyumbang berapa?” atau “Tergantung kapan gedungnya kosong.” Sambil diiringi derai tawa. Kalau lagi sok bijak, saya akan mengatakan, “Never marry because time is going, marry because you are ready.”
Kalau lagi sok bijak semisensi, saya akan mengatakan, “Never marry because A DULL MAN asking you when you are going to marry, marry because you are ready.” >> biasanya setelah disemprot begitu tuh orang langsung mingkem.
Once, saya bilang ke nyokap, kenapa sih orang-orang kepo banget tanya-tanya kapan saya nikah. Kalau yang bertanya semacam orang-orang yang saya hormati seperti bude, pakde, atau bos di kantor kan saya jadi bingung harus jawab apa. Sesekali, sih, bisa saya jawab bercanda, tetapi kalau keseringan dan saya lagi males nanggepinnya bisa2 saya jawab ketus dan malah panjang urusan.
Untungnya, my mom mengerti kegundahan hati anaknya. Dia bilang sebagai manusia, saya harus bersikap baik dan ramah ke orang lain. “Beberapa orang memang seperti kurang kerjaan (kalau menurut saya kurang ajar!) tanya-tanya status, beberapa lainnya betul-betul peduli. Dia ingin mendoakan yang terbaik bagi kamu. Jadi, respons kamu ya harus baik juga,” kata my mom.
So mendengarkan masukan nyokap, saya siap tersenyum dan menjawab ramah kepada mereka yang saya hormati. Kalau ada kesempatan saya ngobrol heart to heart ke teman dekat, tentu saya akan menjawab dengan jawaban paling jujur dari dalam hati. Biasanya jawabannya panjang ha ha.
Well, pada dasarnya banyak alasan kenapa seseorang belum menikah.
1. Kita tidak pernah tahu masa lalu seseorang
Teman saya ada yang belum menikah karena trauma. Beberapa hari sebelum pernikahan, tiba-tiba calon suaminya ketahuan selingkuh (baca tidur dengan cewek lain) di depan matanya sendiri. Ada juga yang di hari pernikahan tiba-tiba calon suaminya enggak nongol. “Hidup gue seperti runtuh. Dua tahun gue sama sekali gak keluar rumah. Gue sedih, hancur, malu,” kata teman saya.
Ada yang batal menikah karena calonnya lebih dulu dipanggil Tuhan. Sebagian orang pernah menjalin hubungan dengan pasangan posesif, pernah mengalami relationship abuse. Boleh dong kalau akhirnya lebih selektif memilih calon suami dan berpikir: “You’re better off alone than with someone who’s all wrong for you.”
Jangan anggap semua orang sama dengan Anda. Kita tidak pernah tahu masa lalu seseorang. Lo gak pernah tahu masa lalu gue. Stop asking, stop judging, if you are thinking everybody should live the life in your own way.
2. Punya cita-cita lain
Kapan itu ada teman yang tanya, “Lo galau ya makanya solo travel terus?”. Saya ngakak. Saya baru sadar, “Ada ya orang yang mikir gua traveling karena galau?”. Saya mah galau setiap waktu dan tidak mungkin spending money untuk traveling hanya karena galau. Travel expenses saya mahal booo bisa tekor sayaaa kalau setiap galau traveling :p :p
Sebagian orang suka buang-buang uang untuk belanja, investasi, mabok-mabokan. Dan saya suka spending money untuk traveling. Sesederhana itu.
Saya berencana solo travel naik Transsiberian menuju Rusia. Saya berencana ke Nepal, menyusuri jalur Santiago de Compostela, keliling Asia, terutama India, Pakistan, Uzbekistan, dan negara-negara tan lainnya (kebetulan skripsi S1 saya tentang kehidupan perempuan-perempuan Pakistan, jadi ingin mengunjungi tempat itu suatu hari nanti).
Selama ini saya membayangkan betapa gagahnya trip around the world seorang diri. Selain pengen traveling, saya juga pengen kuliah S2, pengen belajar Bahasa Jepang, pengen kerja sosial tanpa dibayar di beberapa daerah di Tanah Air dan di luar negeri.
Balik lagi ke pertanyaan, “Kapan lo kawin?” Adakah seseorang di luar sana yang akan bertanya: “Kapan kamu pensiun dini untuk solo travel keliling dunia?” Hahahahhahaa! Langsung cium tangaaannn kalau ada orang tanya seperti itu! 🙂
3. Hidup itu pelik
Most of my friends are men. Mereka santai aja nunjukin foto selingkuhan. Ada beberapa teman yang setelah beberapa tahun menikah baru sadar memilih orang yang kurang tepat. Lalu tersiksa dalam hubungan pernikahan.
Beberapa teman sadar mempunya anak untuk mengisi kekosongan. Lalu pusing karena gaji gak seberapa kebutuhan untuk anak tinggi, lalu mulai korupsi sana-sini. Atau punya anak, gaji tinggi, lalu menitipkan anak ke pembantu dan hanya ketemu anak dua jam per hari sampai-sampai anaknya mulai gak kenal orang tua.
Hidup single memang pelik brohh, tapi situ hidup dalam pernikahan juga pelik kan yaaa… banyak masalah juga kan yaaa…. Daripada ngurusin saya, mending urus kehidupan Anda! 🙂
4. Belum siap
Banyak yang bilang, “Kalau menikah ditunggu kapan siapnya, ya gak akan pernah siap.”
Kesiapan pernikahan itu menyangkut emosi, sosial, finansial, intelektual, dan lain-lain. Kesiapan pasangan juga penting. Gak mau kan hidup berakhir seperti almarhum Catharina, korban pembunuhan oleh calon suaminya. Baca-baca di berita online, calon suami korban tidak siap memenuhi kebutuhan pernikahan lalu membunuh pasangannya.
Sedih deh kalau ada yang berpikiran menikah itu tidak harus menunggu siap. Kenapa? Karena pernikahan itu tidak hanya soal selebrasi hari-h, konsep pernikahan setelahnya juga penting. Pernikahan tanpa kesiapan itu terlalu riskan. Mereka yang menikah muda rentan mengalami KDRT karena emosi pasangannya masih labil. Teman-teman saya yang menikah muda pun mengalami hal serupa. Beberapa teman kerepotan dengan biaya hidup yang meningkat. Sebagian teman lain merasa mimpi-mimpi mudanya terkubur karena harus menjalani peran sebagai suami/istri. So, bagi saya kesiapan itu penting bingitsss… sekali memutuskan menikah, ya jangan menyesali keputusan.
Saya tidak anti pernikahan, balik lagi kalau ada yang bertanya: “Kapan kawin?” Maka jawabannya adalah: “Ehh… tanya apa barusan? Apaaa? Apaaaa?” *pura-pura gak dengar sambil ngeloyor pergi…. Wkwkwkwkwkkk
Jakarta, 20 Juni 2017
Denty Piawai Nastitie
rambutkriwil.com
Supeeeer!!
Karena masing2 individu punya target masing2..kalo nurutin kata orang mah ga ada habisnya.. #curhat
Jadi kapan resign den? ??? (anti mainstream)