Terlalu Asyik Sendiri

Suatu hari, seorang senior melihat saya makan sendirian di kantin kantor. “Sendirian saja?” katanya. Saya mengangguk, sambil meringis. Udah tahu sendiri, pakai tanya. Kata saya di dalam hati.

“Kamu berani yaa makan sendirian? Kalau saya tidak akan berani makan sendirian di tempat umum. Lebih baik membeli makanan untuk dibungkus dan dibawa pulang, daripada makan sendirian di ruang terbuka umum,” katanya.

Saya cuma bengong, sambil celingak-celinguk. Kayaknya gak ada yang salah deh. Belum sempat saya merespons, senior itu pergi ke meja sebelah, makan rame-rame dengan teman-temanya.

Saya nggak pernah masalah makan sendirian. Jalan sendirian. Nonton bioskop sendirian. Belanja sendirian. Ngebir sendirian. Berenang sendirian. Jogging sendirian. Tetapi, bagi sebagian orang, (ternyata) kesendirian merupakan sebuah persoalan.

Seperti dia, yang heran kenapa saya mau-maunya beraktivitas sendirian, saya juga (jadi) heran ketemu orang yang merasa kesendirian itu sebagai permasalahan. Saya jadi mikir, kenapa ada orang nggak berani atau nggak nyaman beraktivitas sendirian.

Mungkin dia takut merasa kesepian atau mengalami kebosanan. Mungkin dia merasa kikuk alias mati gaya karena enggak ada orang yang bisa diajak bicara. Mungkin dia merasa takut jadi pusat perhatian trus diomongin orang: “Ih kasian tuh orang sendirian”, which is belum tentu. Emang semua orang peduli sama lo?!? Helo?!!

Buat saya, sendirian atau ramean sama-sama bukan persoalan. Intinya sih gini, kalau semisal saya mau makan, ada teman yang bisa diajak makan bareng, tentu bagus. Kalaupun enggak ada, ketidakhadirannya tak akan membuat makanan saya berubah jadi nggak enak.

Contoh lain, ketika saya nonton film di bioskop, fokus perhatian saya tentu ke layar studio. Kalau ada teman di sebelah saya, mungkin asik karena setelah nonton bisa ngebahas film yang habis ditonton, kalaupun sebelah saya kursi kosong, film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! nggak akan mendadak jadi bagus. Toh tidak semua film itu asik jadi bahan obrolan.

Contoh lain lagi, semisal saya sudah janjian jalan-jalan dengan teman, seandainya teman saya batal, bukan berarti perjalanan saya berantakan. Kalau saya bener-bener pengen jalan, saya akan tetap jalan dengan atau tanpa dia. Fokus saya adalah perjalanannya. Kehadiran orang lain memberi warna dalam perjalanan. Tetapi, tanpa kehadiran orang tersebut, dunia bukan berarti tanpa warna. (Hitam putih toh juga warna juga kan?)

Seingat saya, selama saya sedang sendiri, saya jarang sekali merasa kesepian. Selalu ada hal yang membuat saya produktif, entah itu makan, nulis, atau karaokean. Rasa kesepian justru sering menyergap saat saya sedang bersama-sama dengan orang lain.

Makanya, saya sering menghindari pertemuan-pertemuan dalam kelompok ramai, seperti reunian, kawinan, atau apalah apalah namanya itu. Males bangetss gituuu ngobrol basa-basi lalu berarkhir selfie-selfie, njuk ngopooooo…. Saya lebih suka ngobrol tentang hal biasa-biasa aja, dengan teman dekat atau teman lama, sambil menyeruput secangkir kopi seharga Rp 10 ribuan di desa terpencil.

Masih soal kesendirian, ada teman yang menjalin skandal asmara karena takut sendirian. Ada pula yang menunda perpisahan, karena takut sendirian. Apakah kesendirian yang membuat hidup seseorang tidak bermakna? Atau rasa kesepian saat bersama orang lain yang lebih menyiksa?

Suatu hari, saya bilang ke ibu saya, betapa beruntungnya saya menjadi generasi single milenials di ibu kota. Gaji utuh dipakai untuk foya-foya diri sendiri. Waktu yang terbatas bisa dipakai untuk bersantai-santai, tanpa harus dipusingkan mengurus ini-itu. Lalu ibu bilang, “Masa selamanya sendirian? Emang kamu enggak takut sendirian dan kesepian?” Saya menjawab: rasa takut menjadi sendiri itu kadang kala lebih menyeramkan dari kesendirian itu sendiri.

Kalau kata Kunto Aji, sudah terlalu asyik sendiri. Kenapa sih sendiri sering dianggap jadi sumber kesedihan?!! Bukannya sedih itu kalau lo pengen nongkrong atau makan enak tapi enggak punya duit??!! Wkkkwkk.

 

 

Semarang, 20 September 2017

Ngumpulin mood nulis berita, malah jadinya ngeblogging. :p

Foto by. Longina Narastika, Lasem, 2017

 

Salam, Denty.

One Comment, RSS

  1. Ledita

    Hi Denty,,

    I agree soal kesendirian,,,dan di Indonesia emang masyarakatnya emang masi belum terbiasa dengan “kesendirian” itu (nonton,belanja,ngopi), even di Jakarta sekalipun

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*