Berita mengenai dua wartawan kantor berita Reuters didakwa melanggar Undang-Undang Kerahasiaan Negara saat meliput krisis Rakhine membuat saya berandai-andai menjadi orang tua atau keluarga yang menghadapi kenyataan mempunyai anak seorang jurnalis yang harus diadili.
Hati saya pasti akan hancur ketika melihat orang terkasih digelandang memasuki mobil tahanan seusai sidang, dan dibawa kembali ke penjara.
Peristiwa yang terjadi di Yangon, Myanmar, itu membuat saya sadar, konsekuensi atau tantangan berprofesi menjadi jurnalis tak hanya dirasakan sang jurnalis, tetapi juga berdampak kepada orang-orang terdekat, seperti orang tua, suami, istri, dan anak-anak.
Saya masih ingat, ketika menulis berita sensitif tetang tentara yang mencoba mengarahkan preferensi warga dalam pemilu, berhari-hari ayah tidak bisa tidur sebelum memastikan saya pulang ke rumah dengan selamat. Mengingat efek berita itu cukup besar, yaitu sejumlah tentara dimutasi, ada pula yang turun pangkat, ayah khawatir dengan keselamatan saya.
Ayah takut, orang yang merasa dirugikan dengan berita tersebut nekat melakukan hal-hal yang mengancam keselamatan saya. Fakta bahwa saya lahir dari keluarga militer, rupanya tidak membuat orang tua merasa anaknya akan baik-baik saja menjalankan profesi ini.
Kembali ke berita mengenai wartawan yang didakwa, salah satu jurnalis, Wa Lone, mengatakan, “Mereka menangkap dan menindak kami karena berusaha mengungkap kebenaran.”
Saya jadi ingat kata-katanya George Orwell, “Journalism is printing what someone else does not wanted printed: everything else is public relation.”
Tugas utama jurnalis adalah mengungkap kebenaran. Tetapi, kebenaran itu (bagi penguasa) seringnya menyakitkan sehingga mereka akan melakukan berbagai cara untuk membungkam wartawan. Fuh!
Pernah suatu hari, salah seorang narasumber mengancam akan melapor ke pihak berwajib kalau saya tetap menulis tentang topik yang dianggapnya merugikan dia. Fakta yang saya tulis, yang saat itu saya ungkap dengan niat baik, yaitu memperjuangkan kepentingan masyarakat, rupanya menyakitkan bagi pemangku kebijakan.
Ancaman si Bapak bikin saya kesal. Ego saya melawan, tidak terima diperlakukan kasar demikan. “Silakan saja Bapak melapor. Pekerjaan saya dilindungi Undang-undang,” kata saya, sambil menahan keinginan ngejambak orang.
Ketika menonton The Post, saya kembali diingatkan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Hal sesuai dengan sembilan elemen jurnalisme yang pernah dituturkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam buku The Elements of Journalism (2001).
Dalam The Post, sikap mematuhi kewajiban pada kebenaran ditunjukkan Pemimpin Redaksi The Washington Post Ben Bradlee (Tom Hanks) dengan berkeras menerbitkan tulisan tentang Pentagon Papers, meski taruhannya sangat besar. Dasar penulisan adalah dari salinan dokumen yang didapatkan seorang wartawannya. “Kita tidak bisa membiarkan pemerintah mendikte liputan hanya karena mereka tidak suka dengan apa yang kita tulis tentang mereka,” katanya.
Sooo… buat HEY KAMO PARA NARSUM YANG SUKA RESEK, MARAH2, KARENA MALU AIBNYA DIBONGKAR, CUMA ADA SATU KATA BUAT KAMO… BHAAYY!
Film The Post juga mengingatkan bahwa loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Meski pemilik surat kabar The Washington Post, Katherine ”Kay” Graham (Merryl Streep), dekat dengan para penguasa, tetapi keberpihakannya kepada “wong cilik” tak perlu diragukan lagi.
Keberpihakan itu mengandung konsekuensi perusahaan media yang dirintisnya akan bangkrut, karena bisa jadi para pemilik saham itu menarik investasi yang sudah ditanamkan. Menurut saya, situasi tersebut menjadi tantangan sesungguhnya di industri media zaman now, ketika banyak situasi yang menghadap-hadapkan idealisme vs realita, idealisme vs pragmatisme, idealisme vs… *silakan isi sendiri!
Saya terharu, ketika ada seorang perempuan asing mengucapkan terima kasih kepada Graham karena berita mengenai Pentagon Papers telah memberikan harapan untuk keluarganya. Ciyusaaan dehh gaiiissss, you know you did something right, when a stranger in nowhere say thank you for what you have done! Padahal, perusahaannya nyaris bangkrut looohh… tapi pemiliknya tetap memilih untuk melayani warga! *tepuk tangaaaaaaaannn!!!
Sebagai jurnalis, rasa bangga dan haru paling besar memang ketika perjuangan wawancara narsum, ngublek-ngublek data, nulis panjang lebar, berbuah tulisan dimuat dan mendapat respons positif dari pembaca. But, bekerja sebagai jurnalis, sebenarnya tidak selalu se-gagah itu… Hahahahaa…
Ada kalanya, saya justru merasa apa yang saya kerjakan ini sia-sia. Kesia-siaan itu tercipta karena beragam alasan, mulai dari tulisan ditolak di ruang redaksi, merasa ide kurang diakomodir, atau ketika tulisan mendapat banyak kritik, atau sedang kurang puas dengan hasil tulisan, entah karena ada data yang kurang, atau kurang akurat, taapiiii kaaaannn kalau pas baper, ada aja perasaan ingin gebuk2 aspal! 🙁
Lagi-lagi, menjelang berakhirknya film, The Post menjawab kegalauan saya, dengan kalimat: “Kita memang tidak selalu melakukannya dengan benar. Kita tidak selalu sempurna,… tetapi ku pikir, kita bisa adil. Bukankah memang itu tugasnya (jurnalis)…”
Cikole, 27 Februari 2018
Denty Piawai Nastitie