Teman saya, Wahyu, sudah lebih dari 30 kali naik Gunung Pangrango. Kadang-kadang bersama teman, sering juga dia berjalan sendirian. “Kenapa sih lo suka banget naik Pangrango?” saya bertanya.
“Di Mandalawangi sepi… enak untuk berdiam diri. Merenung. Rasanya tenang. Coba deh, sekali-kali naik Pangrango sendirian,” katanya.
“Nanti ya Kak, kalau gue lagi galau akut dan butuh merenung, gue naik Pangrango sendirian,” jawab saya.
Saat itu, kami sedang menyusuri jalan setapak menuju puncak Pangrango. Dalam hati saya bertanya-tanya, apa yang membuat Pangrango memiliki daya tarik sampai membuat banyak orang jatuh hati, tertutama pada Mandalawangi.
Bagi saya, ini bukan pertama kali naik Gunung Pangrango. Pada percobaan pendakian yang pertama, Oktober 2017, saya gagal mencapai puncak karena ada badai besar. Ketika itu, langkah saya dan kawan-kawan, terhenti di pusat perkemahan Kandang Badak. Kegagalan, tidak membuat saya patah arang. Saya justru termotivasi, untuk kembali…
Pada pendakian yang kedua ini, saya berangkat bersama kawan-kawan: Wahyu, Rico, Inang, Agnes, dan Rakhmat. Kami berjalan mulai pukul 06.00 melalui Jalur Cibodas dengan optimisme tinggi dan semangat berkobar-kobar. Saya selalu yakin, gunung boleh sama, tetapi kawan dan cerita perjalanan selalu berbeda.
Sepanjang perjalanan, saya merasa seperti kembali ke masa lalu…. melalui segala sesuatu yang pernah dilewati: jalur tanah setapak, Jembatan Jurassic Park, Telaga Biru, air terjun, pohon-pohon besar, tumbuhan liar dan bebatuan, semua terasa sama dengan sejak terakhir kali saya mendaki Gunung Pangrango. (Ohyaa, ada yang berbeda yaitu bunga-bunga liar yang mulai bermekaran!)
Perjalanan dari Basecamp Cibodas hingga Kadang Badak memakan waktu sekitar enam jam. Perjalanan melewati beberapa pos peristirahatan, yaitu Rawa Panyangcangan, Rawa Denok 1 dan 2, Batu Kukus 1, 2, dan 3, Kandang Batu, dan terakhir Kandang Badak. Di sini, jalur terbagi dua, ke kiri ke puncak Gunung Gede, sementara ke kanan ke puncak Gunung Pangrango.
Sepanjang perjalanan, saya tidak menemukan kesulitan berarti kecuali rasa kantuk sering mengacaukan fokus dan konsentrasi. Beberapa kali, saya berjalan oleng karena mengantuk. Untung aja nggak sampai terperosok ke jurang! Rasa kantuk juga membuat kepala pusing dan nafsu makan bertambah (hahaha ini mah gak usah ngantuk juga bawaannya laper terus :p).
Di Kandang Badak, teman-teman dan saya beristirahat sambil menikmati makan siang. Setelah makan, Wahyu menyodorkan secangkir teh panas manis. Wahyu ini sering banget bikin teh panas manis. Kata dia, ngeteh di gunung itu wajib karena memberi energi, ketenangan, dan kehangatan. “Iyee… iyee… dehh terserah looo…” kata saya dalam hati. 😛 *saya gak boleh ngeyel sama kuncen gunung yang sudah 30 kali naik Pangrango… *langsung ditoyor
Kelak saya baru tahu, melalui secangkir teh, ada pesan tersirat yang ingin disampaikan mengenai medan perjalanan yang akan kami hadapi selanjutnya. Sebuah perjalanan panjang yang menguras emosi, tenaga, jiwa, melatih kesabaran, menguji mental, dan tentu saja tak akan terlupakan. Di bawah rimbunnya pepohonan, secangkir teh panas manis menjelma menjadi sumber kekuatan dan obat penenang, sebelum kekalutan datang. *anjaayyy omongan gue hahaha
Pukul 13.30, Wahyu, Rico, dan saya, berjalan menembus tantangan sesungguhnya dalam perjalanan menggapai Puncak Pangrango. Adapun Rakhmat, Agnes, dan Inang menjadi rombongan kedua yang berjalan di belakang.
“Mat, tenaga gue udah mulai terkuras nih,” kata saya ke Rakhmat sebelum melangkahkan kaki.
“Tenang, jalurnya tanah kok. Lebih empuk. Lo pasti bisa sampai puncak,” kata Rakhmat.
Mungkin Rakhmat lupa menyebutkan bahwa jalurnya berupa tanah… DAN TEMAN-TEMANNYA, yaitu akar-akar tanaman besar, batang pohon tumbang, bebatuan besar, gundukan tanah, jurang, lembah, lumpur, jalur air, dan semak belukar.
Menurut saya, perjalanan ke Gunung Pangrango ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebelum Kandang Badak dan setelah Kandang Badak. Kalau dari basecamp hingga Kandang Badak perjalanan ini menguras fisik, dari Kandang Badak ke puncak lebih menguras mental dan emosional. Perjalanan ke puncak melewati jalur yang menantang tanpa pos peristirahatan. Sepanjang jalan juga hampir tidak ada bonus (sebutan para pendaki untuk jalan datar). Di jalur inilah, ketabahanmu sebagai manusia diuji!
Pada 20 menit pertama, jalur perjalanan terasa menantang dan menyenangkan,… selanjutnya,… waktu bergerak 30 menit, 40 menit, kemudian 50 menit, 60 menit… dan perjalanan semakin terasa menyengsarakan!
Kata Wahyu, perjalanan masih panjang. Tantangan sebenarnya masih berada di depan. Alamak!!! Rico dan saya, yang baru pertama kali mendaki ke puncak Gunung Pangrango hanya bisa pasrah menjalani tantangan dalam perjalanan.
Infonya, perjalanan dari Kandang Badak ke Puncak Pangrango memakan waktu 3-4 jam. Dengan pace perjalanan yang bisa dibilang cukup cepat dan hampir tanpa istirahat, mulanya saya yakin bisa sampai puncak dalam waktu tiga jam. Tetapi, ketika tiga jam berlalu bergitu saja, dan puncak yang dinanti terasa masih sangat-sangat jauh, pada titik itulah, tekad ini mulai mengendur. Kenyataan yang berjalan tak sesuai ekspektasi pelan-pelan membunuh semangat dan daya juang.
“Masih jauh gak?” tanya saya kepada Wahyu, yang berjalan di depan.
“Sedikit lagi… Itu puncaknya sudah kelihatan,” jawab Wahyu. Lebih dari sepuluh kali dia bilang “Sedikit lagi… ”. Tetapi, bukannya semakin dekat, puncak Gunung Pangrango justru terasa semakin jauh… dan abstrak (seperti masa depan hahaha).
Dalam perjalanan menuju puncak Gunung Pangrango, saya sadar… keberadaan akar dan batang pohon tumbang adalah rintangan, sekaligus sumber pertolongan. Beberapa kali saya kesulitan melewati jalur, bahkan hampir terperosok ke jurang, namun akar-akar pohon justru menyelamatkan nyawa saya! Ketika hampir terjerumus dalam bahaya, saya berpegangan pada akar-akar pohon atau mencoba bertahan dengan memegang batang pohon tumbang… Perjalanan ini mengingatkan saya bahwa tak selamanya rintangan dalam kehidupan itu buruk… dengan adanya rintangan justru membawa kita ke tempat yang lebih tinggi, dan lebih berarti.
Dalam perjalanan ini, saya juga melihat tanaman anggrek hutan yang memberi warna pada jalur pendakian. Bukankah dalam kesulitan sekalipun, selalu ada hal-hal sederhana yang memberi warna? 🙂
Pukul 17.30 warna langit mulai berubah menjadi kuning kemerahan, tanda senja mulai datang. Sesaat, Wahyu, Rico, dan saya menatap matahari yang tenggelam. Pupus sudah harapan melihat sunset di Lembah Mandalawangi. Langit yang mulai gelap menghadirkan tantangan selanjutnya, yaitu perjalanan malam menembus hutan belantara.
Perjalanan malam itu nggak enak, karena membuat manusia jadi tak punya kuasa untuk mengontrol sesuatu di luar dirinya. Jarak pandang mata kian terbatas. Energi semakin terkuras. Dingin semakin menusuk tulang. Harapan pelan-pelan tenggelam. Perjalanan tambah terasa panjang. Sempat muncul keinginan menyerah, tetapi berbalik arah sama sulitnya dengan melanjutkan perjalanan.
“Ayo, Mandalawangi menunggu!!” kata Wahyu, saat melihat saya kepayahan.
Kata-kata itu sedikit menghibur. Selama bertahun-tahun saya menantikan perjumpaan dengan Mandalawangi, yang berada di dekat puncak Gunung Pangrango. Mengetahui Mandalawangi sedang menunggu (kehadiran saya), membuat hati ini berseri-seri.
Penantian ini, semoga tidak bertepuk sebelah tangan.
Pukul 19.30, di antara kabut tipis yang menuruni lembah dan di antara remah-remah harapan yang bentuknya sudah tidak keruan, saya melihat tugu triangulasi Pangrango. “Welcome to Puncak Pangrango… Maaf ya, jalurnya berat,” kata Wahyu.
Rico dan saya tertawa. “Hahaha! Maaf juga sudah hampir menyerah…” kata saya.
Bertiga kami lalu berjalan di tanah setapak yang agak menurun, menembus semak belukar. Samar-samar, pandangan mata saya melihat ke arah kelopak bunga putih di tengah tanah lapang,… gumpalan bunga edelweis terlihat seperti awan putih di langit hitam… “Mandalawangi…” saya berbisik di antara embusan angin malam. Spontan, air mata menetes. Ada rasa haru dan syukur yang menjadi satu. Perjalanan selama 14 jam yang menantang dan menyengsarakan, terbayar dengan keheningan malam Mandalawangi.
–
Keesokan harinya, begitu keluar dari tenda, saya melihat Mandalawangi dengan lebih jelas. Sebuah daerah dataran tinggi kesayangan Soe Hok Gie yang dihiasi dengan bunga-bunga edelweis dan cantigi. Matahari pagi perlahan muncul, memberi cahaya kuning kemerahan pada tanaman yang tumbuh liar dan abadi.
Sambil membaringkan tubuh di atas rerumputan, saya memandang awan yang berarak di langit. Mendengarkan suara aliran air di sungai kecil. Merasakan angin pegunungan yang bertiup sejuk. Di Lembah Kasih Mandalawangi, saya menikmati waktu yang bergerak lambat,… mengurai semua rasa yang akhir-akhir ini mengganjal hati. Di Lembah Kasih Mandalawangi, manusia, rasa, dan semesta terasa menjadi satu. Saya menikmati kesepian dan kesunyian tanpa harus takut kehilangan.
Ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi, saya terkenang kata-kata Gie:
“Mandalawangi-Pangrango”
Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup
Djakarta 19-7-1966
Soe Hok Gie
“Gimana, asyik ‘kan ada di sini?” kata Wahyu, sambil bikin sarapan mewah ala anak gunung: homemade spaghetti sauce bolognaise plus chicken nuggets kebanggaan! 😛
“Iyaa Kak, pengen balik lagi! Tapi next time, kalau gue ke sini lagi, gue bawa “ransel kosong” yaa… jalurnya berat banget… kalau bawaan minim kan jadi lebih enak jalannya,” kata saya.
“Boleh! Tapi, malam tidur di luar tenda yaaa…. Ya gak, Co??” kata Wahyu.
“Iyaa… setuju gue bang, biarin aja dia tidur di luar tenda… pakai bivak sekalian,” sahut Rico.
“Sial! Tega bener!!” %£$^$£*&%^^%* wkwkkk
Di Mandalawangi, satu cerita tersimpan untuk dikenang kemudian…..
Jakarta, sepekan seusai pendakian ke Gunung Pangrango.
Denty Piawai Nastitie (http://rambutkriwil.com/)
Pictures by: Denty Piawai Nastitie; Wahyu Adityo Prodjo (foto cover, foto denty lagi ngeteh); foto team by tripod, and a stranger we met in Mandalawangi.
PS: Ket. foto terakhir: Ini ceritanya… rombongan kloter 1 sudah sampai puncak, sudah bikin tenda, sudah tidur, sudah bangun, lalu tidur lagi, lalu bangun lagi, sudah sarapan, sudah foto-foto, baru rombongan kloter 2 (Rakhmat, Inang, Agnes) datang… wkwkwkkk dagdigdugduer sempat khawatir dengan kabar teman-teman kloter 2, akhirnya senanggg karena semua bisa kumpul di Mandalawangi 🙂
Baca ini.. aku serasa ikutan di journey menuju Mandalawangi- Pangrango juga Den… ada bagian tulisanmu yang sangat menyentuh.. mgkn karena saat ini situasiku lg butuh pengingat itu yaaaa… soal rintangan yg bisa bawa kita ke tempat yg lebih tinggi dan lbh berarti… thanks for writing this beautiful journey… ❤
yup, bener… perjalanan ini juga mengingatkan saya bahwa rintangan tak selamanya buruk. tetap semangat kak! 🙂
huft..belum kesampean ke Mandalawangi..
yukk agendakaan!!