Sebagai jurnalis olahraga, saya suka heran dengan komentar-komentar nyinyir terkait prestasi perempuan atlet. Beberapa komentar itu, misalnya, “Ih, tuh atlet hormonnya pasti laki-laki, makanya kuat banget larinya,” atau “Busyet, tenaga cowok! Muka dan fisiknya juga cowok banget!! Nggak kelihatan feminim! Pantesan juara!” atau ada juga yang sibuk ngurusin orientasi seksual si atlet, “Gayanya matcho, pasti dia suka cewek. Pasti dia lesbian.” –__–“
Tambah heran karena komentar-komentar itu sering keluar dari sesama perempuan. Saya pikir kejamnya budaya dan pemikiran patriarki sudah mendarah daging hingga anggapan bahwa laki-laki selalu lebih hebat, lebih kuat, lebih jago, diamini hampir semua lapisan masyarakat, termasuk perempuan.
Itulah sebabnya, ketika ada perempuan atlet berprestasi, dianggapnya apa yang ada pada tubuhnya, seperti hormon, tenaga, dan pikiran, adalah milik laki-laki. Nggak pernah tuu (ato jarang) saya mendengar komentar mengenai laki-laki atlet, yang sukses dalam olahraga yang mengutamakan kelenturan tubuh, seperti senam atau wushu, dinyinyiri bahwa dia mewakili hormon perempuan.
Anggapan bahwa laki-laki lebih hebat, lebih kuat, lebih jago, dari perempuan, membuat masyarakat tidak menghargai perjuangan perempuan atlet sebagai mana mestinya. Bukankah di balik prestasi seorang atlet, ada kerja keras, usaha, disiplin, perjuangan, pengorbanan, tidak hanya ketika latihan, tetapi juga ketika melawan budaya dan pemikiran NGEHE yang biasanya lebih menempatkan perempuan berada di ruang domestik, daripada di ruang publik.
Termasuk ketika ada perempuan atlet yang menikah, hamil, dan melahirkan, mostly prestasinya akan terhambat atau bahkan berhenti sama sekali karena si atlet selanjutnya memutuskan untuk stay di rumah, membesarkan anak, dan merawat suami. Itu memang pilihan si atlet, I know, tetapi bukankah budaya dan pemikiran patriarki, sekali lagi sudah menyusup di sendi-sendi otak sebagian besar masyarakat, termasuk si atlet itu sendiri, sehingga secara sadar-gak-sadar dia akhirnya “mengorbankan” prestasinya demi memenuhi tuntutan peran gender berada di ruang domestik.
((Awal Januari lalu, saya menulis artikel tentang mendesaknya regenerasi atlet dayung mengingat sejumlah pedayung Indonesia, terutama pedayung putri, banyak yang mengundurkan diri dari pelatnas karena menikah. Baca artikel:https://kompas.id/baca/olahraga/2019/01/11/pedayung-yunior-dipanggil-ke-pelatnas/Tuntutan regenerasi juga mendesak di tim angkat besi karena salah satu lifter putri andalan Indonesia untuk Olimpiade Tokyo 2020 menikah dan selanjutnya cuti dari pelatnas karena tengah mengandung. Baca artikel:https://kompas.id/baca/olahraga/2019/01/07/tuntutan-regenerasi-atlet-mendesak/))
Sekarang bandingkan dengan laki-laki atlet, berapa banyak yang mengundurkan diri dari pemusatan latihan karena menikah?? Banyak laki-laki, malah beranggapan dengan berkeluarga mereka lebih fokus untuk mengembangkan diri. Artinya adalah, selain kemauan keras dari si atlet untuk berprestasi, serta dukungan fasilitas latihan dari federasi olahraga dan pemerintah, dibutuhkan lingkungan yang menunjang untuk membuat seorang atlet mencapai puncak penampilannya.
Atlet yang saya suka, yang sudah mendobrak pemikiran-pemikiran patriarki, salah satunya Serena Williams. Saat dia mengandung, Serena tetap bermain tenis bahkan menjadi juara di Australia Terbuka. Setelah melahirkan sekali pun, dia tetap berlaga. Masih inget ‘kan dengan foto Serena bertanding, sementara suami dan anaknya duduk di pinggir lapangan memberi dukungan? 🙂
Serena mengatakan, my power is sexy!! But once again, lagi-lagi sering dibilangnya: Serena mah cowok, hormon cowok, muka juga cowok. Duhh plis, kenapa kita nggak pernah menghargai perjuangan perempuan sebagaimana adanya?? (Garuk-garuk tembok!)
Sebagai jurnalis olahraga, — selain heran dengan pemikiran-pemikiran lawas yang meremehkan peran perempuan — saya bersyukur karena baru-baru ini mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa karena tulisan saya “Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan” dinilai telah menunjukkan keterampilan jurnalistik yang sangat baik, dibuat dengan penelitian mendalam, dan menceritakan kisah-kisah menawan. Tulisan saya bersama empat jurnalis lainnya dianggap relevan dalam usaha meningkatkan kesadaran publik di Indonesia tentang universalitas hak asasi manusia dan mempunyai relevansi dengan nilai-nilainya, yaitu non-diskriminasi, kesetaraan gender, toleransi dan keragaman.
Artikel saya juga dinilai punya peran penting dalam meningkatkan kesadaran bagi warga negara dan pemerintah untuk mengambil langkah yang berarti untuk memerangi diskriminasi dan menjamin pemenuhan hak asasi manusia untuk semua warga. Pengumuman pengharagaan: https://eu4wartawan.id Beberapa artikel terkait penghargaan:https://kompas.id/baca/utama/2019/02/08/suarakan-kesetaraan-bagi-difabel-wartawati-kompas-raih-penghargaan/ada juga di web kampushttps://www.usd.ac.id/berita.php?id=3904&fbclid=IwAR2Jfp4x8LZkEyJlBbuwHzXbrmXhxJn_q7JWkGDIH73zJd0ERHUhrFvsmjQ
Ini adalah pengharagaan saya pertama setelah MH Thamrin (2016) dan pengharagaan sebagai penulis travel terbaik dari Kementerian Pariwisata (2015). Tentu saja, saya merasa senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka dengan pengharagaan ini. Penghargaan ini penting untuk “faktor pendukung” di sekeliling saya yang sudah memberikan ruang saya untuk berkarya, mulai dari tempat saya bekerja di harian KOMPAS, juga keluarga yang akhirnya nyerah dan mengizinkan saya pergi-pagi-pulang-pagi atas nama cinta kerjaan. Hahahha. Karya dan penghargaan ini saya dedikasian untuk KALEAN!! Juga untuk countless narsum yang sudah rela saya kontak gak kenal waktu demi lahirnya karya ini.
Minggu lalu, saya bertemu teman yang bertanya, gimana sih caranya bisa pengharagaan?? “Gue suka malas ikut-ikut lomba, tapi akhirnya suka bete sendiri kalau lihat ada teman yang bisa menang lomba karya atau dapat penghargaan,” kata dia.
Kalau gitu jawabannya jelas! Pertama, jangan malas, termasuk jangan malas ikutan lomba jurnalistik. Karya sebagus apa pun gak akan menang lomba kalau dewan juri gak lihat atau baca karya itu. (Kecuali ada kasus lain, seperti punya gebetan super baik hati yang mengirimkan karya kita ke suatu lomba secara diam-diam, trus kita bisa TERKEJYUT MANTJA karena tiba-tiba saja menang lomba… atau mungkin emang ada dewan juri yang mau ngulik-ngulik media massa untuk mencari penulis yang layak diberi pengharagaan – saya pernah sekali mengalami hal itu, nggak ikutan lomba tau-tau dapat hadiah hehehe). Kedua, jangan malas berkarya! Kalau suka menulis, maka menulislah. Kalau suka memotret, maka memotetlah! Kalu suka sama seseorang, uangkapkanlah! (*Ehhh… gimanaa… hahhaa) Lebih baik punya ide sederhana tapi berwujud karya, dari pada ide briliant tapi masih di angan-angan. Demikian random thought malam ini.
Jakarta, pas tanggal tua ditulis menggunakan hendpon jadul.
Denty Piawai Nastitie
(Foto2: Grandyos Zafna)