Sejak berabad-abad lalu, langit, beserta benda-benda langit, dan pergerakan benda-benda langit, mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Dengan memahami langit, manusia mencoba mengerti fenomena-fenomena alam, mempelajari perkembangan semesta, dan berujung pada pemahaman terhadap diri sendiri. Maka, saat seseorang sedang memandang langit, kemungkinan besar dia tidak sekedar menikmati keindahannya, tetapi juga berusaha menangkap makna keberadaannya di dunia.
Saking pentingnya langit, di Danau Tekapo, Selandia Baru, sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu, penghuni pertama Suku Maori, telah mengembangkan sistem penerangan khusus untuk melestarikan kejernihan langit malam. Sistem penerangan yang dikembangkan di daerah Cekungan Mackenzie itu berhasil meminimalisir polusi cahaya dan mempertahankan kejernihan langit.
Berada di daerah dataran tinggi dan di antara pegunungan, juga memaksa awan rendah terbang jauh sehingga langit menjadi lebih cerah. Secara turun temurun, daerah yang termasuk dalam Cagar Langit Gelap Internasional Aoraki Mackenzie (Aoraki Mackenzie International Dark Sky Reserve) ini pun menjelma menjadi salah satu tempat terbaik untuk mengamati gugusan bintang di langit.
Keunikan itulah yang membuat Narastika dan saya tertarik untuk mengamati langit dan berburu gugus bintang (stargazing) di Danau Tekapo. Di sini, ada banyak pilihan paket wisata yang menawarkan kegiatan pengamatan gugus bintang. Beberapa wisata stargazing juga dikemas sekaligus dengan paket makan malam, mandi air hangat, dan workshop memotret gugus bintang. Harga paket wisata ini bervariasi. Salah satunya menawarkan paket stargazing selama dua jam seharga 186 NZD (sekitar Rp 1.860.000).
Setelah dipikir-pikir, banyak artikel di internet yang menjelaskan tentang gugus bintang dan bagaimana memotret gugus bintang. Selain itu, ada banyak pilihan aplikasi di telepon genggam yang dapat menunjukkan nama-nama rasi bintang yang terhampar di langit. Jadi, untuk memahami langit dan segala isinya (baca: berhemat), Narastika dan saya memutuskan tidak ikut paket wisata.
Hari itu, langit Tekapo sedang cerah. Sebelum mulai stargazing, Narastika dan saya berencana menyusuri Danau Tekapo yang airnya berwarna biru kehijauan. “Siap-siap bawa pakaian hangat yaa… Sepertinya kita akan pulang larut malam,” kata Narastika.
Selanjutnya, saya memasukkan lima lapis pakaian ke dalam ransel. Saya juga membawa kamera, tripod, dan batere kamera cadangan. Langit sedang cerah, tak sabar rasanya bisa melihat Bima Sakti! Setelah semua siap, petualangan dimulai!
Narastika dan saya berjalan menyusuri pinggir Danau Tekapo. Dari kejauhan terlihat pegunungan Soutern Alps berpuncak salju. Terlihat juga deretan hutan cemara. Burung-burung terbang bebas. Angin berhembus sejuk.
Menjelang matahari tenggelam, saya mengunjungi gereja ikonik, the Church of the Good Shepherd. Gereja ini sangat unik karena terbuat dari tumpukan batu. Gereja yang dibangun pada 1935 ini dirancang untuk memberikan kesan kekuatan dan kesederhanaan.
Baru saja hendak menikmati keindahan bangunan gereja, petugas meminta semua pengunjung keluar dari halaman karena waktu berkunjung sudah habis. Setiap hari, halaman gereja memang hanya dibuka pada pukul 08.00 – 17.00.
Sebenarnya, saya sempat kecewa karena hanya sebentar berada di gereja. Tetapi, mau bilang apa. Saya hanya pengunjung di tempat ini, tentu saja, saya harus mematuhi aturan setempat.
Setelah menutup dan menggembok pagar gereja, petugas itu menghampiri saya. Mulanya, saya pikir saya akan dimarahi karena terlalu lama berada di halaman gereja. Tetapi, prasangka itu buyar setelah petugas tersenyum ramah. “Nanti malam, kamu ke belakang gereja. Kamu bisa lihat Milkyway dari sana,” katanya.
Narastika dan saya saling memandang, terkejut sekaligus senang. Wah, baik sekali petugas itu memberi tahu lokasi terbaik melihat gugusan bintang!! Mungkin dia kasihan melihat kami berdua yang belum puas berada di halaman gereja. Alhamdulilove… 🙂
—
Sekitar pukul 7 malam, proses memotret gugus bintang dimulai. Narastika dan saya berjalan ke arah belakang gereja. Beberapa kali saya tersandung kerikil karena tidak bisa melihat jalur perjalanan yang gelap gulita. Narastika dan saya mengandalkan cahaya dari telepon genggam untuk menerangi jalur.
Begitu mendapatkan spot yang asik, Narastika dan saya mulai memotret.
Malam itu, langit gelap tak berawan. Terlihat rasi bintang berkilauan di atas sana. Saya berusaha mengabadikan keindahan langit malam dengan menggunakan kamera mirorless. Untuk mendapatkan hasil maksimal, saya mengubah pengaturan kamera menjadi manual. Saya mengatur bukaan diafragma, kecepatan rana, juga ISO.
Setelah beberapa kali memotret, foto yang dihasilkan terlalu terlalu gelap!
Setelah dicoba lagi, hasilnya terlalu terang!
Selanjutnya, saya mendapatkan racikan pengaturan kamera sesuai, tiba-tiba ada seseorang melintas sambil membawa lampu sehingga menciptakan garis gelombang berwarna di foto. “Ah, siaul!” kata saya.
“Ayo, coba lagi!” kata Nararstika, memberi semangat.
Saya kemudian mencoba mengubah pengaturan kamera, dan meminta bantuan Narastika untuk menambahkan cahaya ke arah gereja dengan menggunakan cahaya telepon genggam. Setelah berkali-kali dicoba, akhirnya, pengaturan cahaya yang lumayan pas mulai ditemukan!
Cahaya itu berasal dari headlamp yang diarahkan ke beberapa bagian gereja sehingga ada terang yang merata. Di samping itu, taburan bintang yang membentuk Bima Sakti juga terlihat. Ada samar tipis yang menunjukkan semburat warna ungu, biru, kuning, dan merah di langit. “Yeaay!! Berhasil!!” Narastika dan saya bersorak gembira.
Selain memotret gugus bintang, saya juga berusaha memahami susunan bintang dengan menggunakan aplikasi di telepon genggam. Sayangnya, tak sampai 10 menit digunakan, tiba-tiba saja telepon genggam itu mati. Saya berusaha menyalakan kembali, tetapi sia-sia. Rupanya, telepon genggam saya tidak suka dingin. Telepon genggam itu langsung menggigil di antara suhu tiga derajat selsius. Saking dinginnya, telepon genggam pun padam!
Semakin malam, udara dingin juga semakin menusuk tulang, dan membuat kaku jari-jari tangan dan kaki. Tiba-tiba saja, saya merasa takut mati! Ditambah lagi, badan saya terasa sulit digerakkan karena kedingian. Bahkan, untuk memencet shutter count kamera jari-jari ini diajak sulit berkompromi. Untuk berbicara juga sulitnya setengah mati karena bibir terasa beku. Akhirnya, sekitar pukul 11 malam, Narastika dan saya menyerah! Kami memutuskan kembali ke penginapan karena sudah tidak tahan dingin!
Bagi saya, memotret gugus bintang di Danau Tekapo memberi banyak pelajaran berarti. Pertama, saat hendak memotret tentukan lokasi terbaik untuk mengambil gambar. Caranya, bisa dengan riset atau bertanya kepada penduduk lokal. Saya beruntung karena kebetulan dapat informasi dari penjaga gereja, kalau tidak entah sudah memotret random di mana. Kedua, siapkan peralatan memotret agar siap digunakan. Jangan sampai batere kamera atau telepon genggam yang hendak digunakan tiba-tiba rusak seperti milik saya. Ketiga, siapkan pakaian dingin yang cukup. Tidak mau kan kalau jadi headline berita di koran lokal: “Viral! Wisatawan asal Indonesia Ini Tewas Kedinginan saat Memotret Bintang di Danau Tekapo” atau “Inilah Akhir Mengenaskan Wisatawan asal Indonesia usai Memotret Bintang” 😀 😀 Wahahhaha… *bercandaan receh sama Tika niihh*
Begitu sampai kamar, saya menutupi seluruh bagian tubuh dengan berlapis-lapis selimut tebal.
Saya berusaha memejamkan mata. Di balik kelopak mata yang tertutup, tak terasa gelap pun jatuh….
Diujung malam…
menuju pagi yang dingin…
Terima kasih Danau Tekapo, untuk langit yang cerah 🙂
—
Baca lainnya: Dari Queenstown ke Danau Tekapo
[instagram-feed]