Beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang teman. Seperti biasa, kami membicarakan banyak hal, mulai dari keseharian, pekerjaan, dan pandangan-pandangan terhadap berbagai peristiwa. Saya juga mengabarkan kepadanya tentang kemajuan aplikasi beasiswa pendidikan di luar negeri.
Bagi saya, ini kemajuan karena untuk pertama kali saya benar-benar mengerti apa yang menjadi kegelisahan, kekurangan, kelebihan, dan kekuatan saya. Untuk pertama kali pula, saya menyadari apa yang hendak saya tuju. Alam seolah menjawab, karena progress aplikasi beasiswa saya cukup menjanjikan di bandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Saya sudah menerima offering dari kampus, sudah mengikuti wawancara dengan lembaga beasiswa. Saya tinggal menunggu pengumuman hasilnya. Terlepas saya berhasil kuliah di luar negeri atau tidak, saya senang karena bisa menemukan diri saya,” kata saya.
Dia agak menunduk mendengar penjelasan saya. Entah mengapa, saya memahami kenapa dia terlihat tidak begitu antusias. “Tidak mungkin seseorang memperoleh beberapa keberhasilan bersamaan. Satu keberhasilan, pasti bersamaan dengan kegagalan di bidang lain,” katanya.
Saya mengerti apa yang dimaksudkan dengan “kegagalan” versinya, yaitu berkaitan dengan status saya sebagai perempuan lajang, alias belum menikah. Baginya, keberhasilan perempuan di dalam karir dan pendidikan, biasanya diiringi kegagalan untuk berelasi dengan laki-laki.
Percakapan serupa pernah saya hadapi dengan beberapa orang lainnya, mulai dari obrolan dengan teman, keluarga, dan rekan kerja. Misalnya, seorang teman pernah mengomentari perempuan penulis yang karya-karyanya mendapatkan beberapa penghargaan jurnalistik semata-mata hanya karena ia tidak menikah. Seorang rekan kerja pernah menceramahi saya agar segera menikah dan tidak mengutamakan karir. “Lihat tuh, teman-teman perempuan yang karirnya bagus, mereka tidak menikah,” kata ia sinis, waktu itu.
“Mengapa perempuan lajang dianggap sebagai kegagalan?” tanya saya. “Bukankah ini mengabaikan semua pencapaian yang dimiliki perempuan itu? Setiap orang punya cara mengukur keberhasilan. Bagaimana kalau dibalik, mengukur keberhasilan dengan sudut pandang saya, bukannya sudut pandang orang lain?” lanjut saya, lagi.
Teman saya terlihat berpikir. Kemudian ia segera menarik kata-katanya, “Ya, memang ukuran keberhasilan seseorang berbeda-beda dan tidak bisa dipukul rata,” katanya.
Lantas mengapa perempuan tidak menikah sering dianggap suatu kegagagalan?
Menurut saya, setidaknya ada dua alasan mengapa orang demen banget menjadikan status lajang sebagai bahan becandaan dan senjata untuk menjatuhkan. Pertama, masyarakat Indonesia tidak terbiasa menghadapi keberhasilan wanita. Kalau ada perempuan yang berhasil, selalu ada celah untuk untuk mengkritik dan menjatuhkan pencapaian perempuan itu.
Seringnya, status lajang dijadikan sasaran empuk karena ia mudah terdeteksi. Apalagi, di tengah kondisi masyarakat yang selalu mengaggung-agungkan pernikahan sambil menutup mata pada tingginya peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, kian maraknya perceraian, pernikahan dini, dan pemiskinan perempuan. Fakta perempuan belum menikah sulit dipatahkan dan selalu dijadikan kambing hitam untuk disate disalahkan.
Kalaupun ada perempuan berprestasi, misalnya hebat dalam karir dan ia sudah menikah, selalu ada celah lainnya untuk menjatuhkan mereka, misalnya terkait apakah perempuan itu sudah memiliki anak, apakah ia memberikan ASI eksklusif untuk anaknya, apakah ia mengutamakan pekerjaan di bandingkan keluarga, apakah ia memasak untuk suami dan keluarga, dst. Di masyarakat heteronormatif ini, perempuan berkarya di ruang publik rasanya nggak akan pernah dicatat pencapaiannya selama belum terjun di dunia domestik. Beban yang sama tidak untuk laki-laki.
Padahal, kalau kita mau mengintip data sebentar saja keberadaan perempuan yang belum menikah telah berkontribusi besar terhadap negara, keluarga, dan bahkan perusahaan tempat ia bekerja. Di Amerika Serikat, perempuan lajang telah mengubah wajah ekonomi. Pada 2019, negara itu mencatat sejarah lebih banyak wanita lajang dalam angkatan kerja. Mereka telah berkontribusi terhadap pemasukan negara sebesar 7 triliyun USD.
Coba lihat di sekitar Anda, bukankah mereka yang lajang lebih sering diminta lembur saat akhir pekan di bandingkan pekerja berkeluarga? Berapa rekan perempuan di sekitar Anda yang menjadi sumber pendapatan utama keluarga terutama untuk membiayai kebutuhan orang tua yang pensiun dan menyokong biaya pendidikan adik dan keponakan.
Kedua, menurut saya ini adalah bentuk pertahanan diri seseorang untuk merasa tidak terlalu ketinggalan dengan pencapaian orang lain. Saya ingat seorang teman yang sudah menikah menggambar borgol dan jeruji besi di selembar kertas ketika saya tanya apa makna pernikahan baginya. Seorang teman lainnya pernah mengatakan bahwa saya bebas melakukan sesuatu karena saya masih hidup sendiri. Bukankah dengan kata lain ia hendak mengatakan bahwa hidupnya jadi serba terbatas setelah berkeluarga?
Kalau pernikahan justru membuat seseorang merasa terampas hak-haknya, merasa keahliannya tidak terasah, merasa peluangnya jadi berkurang, ada apa di dalam sana? Kadang-kadang, orang tidak mengakui ada sesuatu yang tidak lengkap dalam hidupnya. Lalu, ketika melihat orang lain selangkah lebih maju, maka bentuk pertahanan diri paling yahud adalah dengan menyerang orang lain agar dirinya tidak merasa jauh tertinggal.
Kalau Anda meluapkan ketidakpuasan pada kehidupan yang Anda jalani dan menjadikan status lajang untuk menjatuhkan saya, mohon maaf, Anda tidak berhasil. Kenapa? Karena saya mengukur keberhasilan dengan kacamata saya, tidak dengan kaca mata kuda Anda yang sangat sempit itu. 🙂
Jakarta, 11 Maret 2021