Bola Pernikahan

“Jadi, kapan nikah?” tanya saya kepada Ridwan, di sebuah kedai makan cepat saji.

Ketika saya menanyakan hal itu, Ridwan sedang menegak koka-kola. Dia langsung terbatuk-batuk kecil. “Awal tahun depan, nihh… Kok lo tau?” jawab dia.

“Gue…..” jawab saya, sok bangga.

Ridwan adalah teman saya, sesama wartawan. Saya mengenalnya, sekitar setengah tahun lalu. Saat itu kami sama-sama meliput persidangan di pengadilan negeri. Sejak awal bertemu, kami langsung menjadi teman akrab. “Oya, lupa gue… lo kan wartawan gosip,” kata Ridwan, mencemooh.

“Hahahaa…. Sial!”

Ridwan lalu meletakkan gelas koka-kola di atas baki. Selama beberapa saat kami terdiam. Saya melanjutkan membolak-balik kertas rilis konfrensi pers, dan mengetik berita dengan menggunakan ponsel. Ridwan menatap saya. “Gue sudah lama pacaran. Sudah enam tahun. Enggak mungkin mundur,” jawab Ridwan, tanpa ditanya.

“Jadi, lo nikah karena sudah lama pacaran dan tidak mungkin mundur?”

Ridwan menyumpal telinganya dengan earphones. Dia menyetel musik melalui ponselnya, lalu membolak-balik kertas rilis dan mulai mengetik berita. Tak ada tanggapan, saya lalu mengambil kentang goreng rasa keju di baki Ridwan. Rasanya asin.

Alasan Ridwan menikah mengingatkan saya pada Santo, anak teman ayah saya.

Pekan lalu, Santo dan keluarganya datang dari Semarang ke Jakarta. Kata ayah, Santo dan keluarganya datang ke Jakarta untuk berkenalan dengan keluarga pacar Santo.

Santo berusia 26 tahun, lulusan arsitektur, baru satu bulan kerja di Semarang. “Wah, umurnya lebih muda dari gue, baru satu bulan kerja, berani banget nikah?” ujar kakak saya.

“Sudah diminta keluarga perempuannya,” jawab ayah.

Bagi saya, kisah Ridwan dan Santo punya kemiripan. Yakni, alasan pernikahan yang tidak biasa. Selama ini banyak orang mengira alasan pernikahan selalu: karena sudah sama-sama cocok, karena sudah saling mengerti, karena saling mencintai dan lain-lain…… Ternyata, di luar alasan mainstream itu ada banyak alasan lainnya……. Seperti alasan sudah lama pacaran (daripada enggak dinikahin ntar dikira enggak tanggung jawab), sudah dikejar-kejar keluarga perempuan, disuruh orang tua, dll.

“Untuk pasangan yang sudah lama pacaran, memang ada beban tersendiri untuk menikah. Kalau tidak segera menikah, dikira enggak serius. Sedangkan kalau menikah, mungkin juga belum sreg,” terngiang kata-kata Vandi, teman saya, tadi malam.

Kami berdua baru saja pulang dari acara pernikahan seorang kawan. Saya, yang saat itu sedang mengemudikan mobil, hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, coba memahami.

Menurut Vandi, banyak alasan orang menunda pernikahan. Selain masalah finansial, bisa juga masalah cita-cita yang belum kesampaian. “Kadang banyak hal yang pengen kita lakukan yang enggak mungkin bisa dilakukan saat sudah menikah. Makanya sekarang gue puas-puasin ngelakuin semua hal yang gue mau, kalau udah nikah ya, stop….” kata dia.

Vandi sudah pacaran lima tahun. Tahun depan, dia dan pacarnya akan menikah. “Kak denty, kalau saya nikah datang ya!” kata dia.

“Siap! Kirimin aja undangan plus tiket pesawatnya….. Nikah di Jambi kan?”

“Hahahaa…. tekor, saya, kak!” kata dia, sebelum turun dari mobil.

*

Siang sudah bergerak semakin terik. Saya menyeruput jus jeruk. Saya dan Ridwan memutuskan berpisah. Ridwan harus kembali ke kantor untuk rapat, sedangkan saya punya waktu beberapa jam sebelum melakukan aktivitas rutin saya akhir-akhir ini: lari sore. Saya memutuskan untuk ke daerah Kebayoran Baru, menungu matahari turun.

Dalam perjalanan, saya memikirkan makna pernikahan. Kebetulan, kotbah misa Minggu kemarin tentang sakramen pernikahan. Kata Romo yang memimpin misa di Gereja Otista, “Dalam agama katolik, kita mengenal “sakramen pernikahan”. Tanda keselamatan Allah, melalui pernikahan….”  kata Romo. “Allah bersabda, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia.”

Romo lalu menggaris bawahi kata “penolong” dan “sepadan”, yang bermakna saling menolong, saling mengasihi, saling membahagiakan. Tidak ada siapa memimpin siapa atau siapa dipimpin siapa karena sepadan, berarti setara…… Ahh…. betapa indah, makna pernikahan…… eits, tapi….. tunggu, seindah itukah pernikahan?

*

Di Kebayoran Baru, saya berjumpa beberapa kawan. Salah satunya Rian, ayah satu anak. Pria itu bercerita tentang para TTM-an nya yang kebanyakan sudah punya suami dan anak. TTM alias teman tapi mesra (Rian menolak pacar gelapnya itu disebut selingkuhan).

“Kami sama-sama tahu kok. Pacar gue tahu gue udah punya istri dan anak. Gue juga tahu mereka sudah punya suami dan anak,” kata Rian.

“Kalau sudah punya keluarga kenapa harus menjalin hubungan gelap?” tanya saya.

“Dentehhhh…… Abis elo nikah, bayang-bayang keindahan yang lo bayangkan sebelum nikah itu buyar. Apa yang dulu dianggap asik, jadi enggak asik. Apa yang dulu bikin semangat, jadi enggak bikin semangat lagi! Semuanya jadi hambar…. Lo butuh sesuatu yang bikin lo semangat lagi, seru lagi…..” kata Rian.

“Dan itu dengan mencari pacar gelap?”

“Betuuul sekali denteeh….”

“What if……. ternyata istri lo juga punya TTM-an?”

“Enggak mungkin denteeeh!! Enggak mungkinnnn!!! Gue tahu gimana istri gue, enggak mungkin dia punya TTM,” kata dia yakin.

“What if?” tanya saya, sekali lagi.

“What if ya?” dia memutar bola matanya. “Enggak apa-apa selama gue enggak tahu.” jawab dia.

“Jadi enggak apa-apa kalau istri lo punya selingkuhan asal elo enggak tahu, sama seperti enggak apa-apa elo punya selingkuhan asal istri elo enggak tahu?”

“Dentehhh….. gua tahu kebiasaan istri gue. Gue tahu kapan istri gue bohong. Dan gue bisa bikin istri gue enggak tahu kalau gue bohong,” kata Rian, sambil terkekeh.

“Elo enggak takut ketahuan dan keluarga lo hancur?”

“Enggak! Karena gue tahu gimana bikin ini enggak ketahuan….. kalaupun ketahuan dan hancur, gue tahu gimana memperbaikinya biar enggak begitu hancur….. bisalah diatur-atur, tinggal bagaimana ngaturnya aja biar enggak apes,” kata Rian sambil terbahak.

Ahhh…… Sedih, apakah Rian sudah lupa tujuan mulia dan sakral dari sebuah pernikahan yang harus saling melengkapi, membahagiakan, dan memuliakan pasangan. “Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia….” sekali lagi kalimat itu terngiang-ngiang dalam kepala saya.

Bagaimana bisa saling menolong dan membahagiakan apabila pernikahan diwarnai dusta dan kebohongan-kebohongan yang ditanam dan dipupuk?

Rian menunjukkan saya video putrinya yang mengenakan kaos berwarna merah jambu dan rok ballet putih susu. Bocah perempuan yang imut, manis, dan manja. “Gue takut anak gue digangguin cowok enggak bener…….. cowok yang enggak bener kayak bapaknya,” kata Rian, sendu.

Percakapan dengan Rian memunculkan satu konsep “Bola Pernikahan” di kepala saya. Ibarat sebuah permukaan bola yang bersih dan kinclong, pernikahan dapat terlihat bahagia dan baik-baik saja apabila dilihat dari suatu sudut tertentu. Namun, ketika bola diputar, entah ke atas, kebawah, ke samping kanan, dan samping kiri……… bola bisa terlihat kotor, penuh percak tanah, penuh sayat, dan kerikil yang menempel. Kita percaya pernikahan seseorang itu bahagia…… tanpa tahu apa yang tersembunyi di baliknya. Kebohongan apa yang ada di sana. Kesedihan dan luka seperti apa yang coba ditutupi seseorang. “Tepat sekaliiii dentehhh!! Begitulah pernikahan……. ” kata Rian.

Saya lalu pamit untuk lari sore.

*

Matahari bersinar terang, angin bertiup semilir. Sambil berlari kecil mengelilingi GBK, saya ingat percakapan dengan Angin. Nama aslinya Airlangga.

Suatu hari Angin berkata,”Gue terjebak. Enam tahun pacaran, akhirnya menikah. Tapi ternyata, pernikahan tidak berjalan sebagaimana yang gue harapkan……… mau cerai pun susah, karena anak gue masih kecil, baru berumur 1,5 tahun.” kata Angin.

Untuk melampiaskan kesedihannya, Angin jarang pulang ke rumah.”Apapun gue lakuin biar gue sibuk. Biar gue enggak harus lama-lama di rumah,” kata dia.

Entah di sudut mana, dalam hati, saya bersyukur belum menikah…… setidaknya untuk saat ini, saya tidak harus berhadapan dengan masalah pelik dalam bola pernikahan. Apakah segitu parah dan seramnya sebuah pernikahan?

Ibarat bola pernikahan, apa yang terlihat susah, mustahil, enggak mungkin, dan penuh kesulitan pun, bisa penuh bahagia di baliknya. Itu mungkin terjadi pada pasangan Dd dan Nz.

Dd adalah pelukis, tinggal di Jogja. Nz adalah penulis, tinggal di Jakarta. Saya yang memperkenalkan mereka karena waktu itu keduanya curhat desperate nggak punya pacar padahal usia sudah sangat matang. Setelah dikenalkan, mereka rajin sms-an. Apapun perkembangan hubungan mereka, selalu disampaikan kepada saya.

Hingga suatu hari, saya mendapat telepon jarak jauh dari Nz. “Dd ngelamar gue!!” kata Nz.

“What?!!! Selamat yaaa!!!” kata saya sangat-sangat bahagia.

Pernikahan dilaksanakan di Bandung, kota kelahiran Nz. Pernikahan sederhana yang diadakan di rumah orang tua Nz. Pernikahan itu hanya dihadiri keluarga terdekat. Dari foto yang saya lihat, Nz mengenakan rok panjang, kebaya encim wana putih dengan kerudung putih. Dd mengenakan kemeja putih dengan peci hitam. Kata Nz, “Dulu gue pernah mau nikah, tapi batal. Padahal undangan udah disebar. Gue enggak mau malu lagi….. gue trauma, makanya gue bikin pernikahan sederhana aja,” kata dia.

“Apapun sayang……… apapun yang membuat kamu bahagia,” kata saya beberapa minggu setelah pernikahan digelar.

Kami bertemu di sebuah kedai kopi di Jogja. Suasana kedai kopi temaram dengan cahaya lampu yang samar-samar. Saya lihat mata perempuan bernama Nz itu berkaca-kaca. Atau mata saya sendiri yang berair karena ikut merasakan kebahagiaan seorang teman?

Setelah perjumpaan itu, saya disibukkan dengan berbagai aktivitas mahasiswa….. seabrek tugas, persiapan KKN, ngerjain skripsi, bimbingan dosen, dan banyak hal lainnya…… saya hampir putus kontak dengan Nz.

Lalu, suatu hari saya mendapat pesan pendek dari Dd. “Den, Nz sakit……. jenguk ya. Dirawat di RS,” kata Dd.

Tergopoh-gopoh saya ke RS. Begitu memasuki kamar Nz, saya melihat perempuan kurus dengan rambut cepak duduk di atas kasur. Di bawah matanya ada cekung berwarna hitam. Bahunya melorot, tak ada semangat. Pandangan matanya kosong. Tangannya terkulai di atas kasur. Meski di kelilingnya ada suami, keluarga, dan teman-teman dekat, Nz terlihat memiliki dunianya sendiri. Dunia yang sulit dikenali. Sore itu, Nz terlihat begitu berbeda………

“Nz, ini gue…..” kata saya. Perempuan itu tak menanggapi. Tapi, saya melihat air mata mengalir di pipinya. Dia menangis. Saya juga menangis.

Dd mengajak saya ke luar kamar.

“Ada virus di otaknya. Sudah sebulan dia tidak kenal orang-orang. Tapi, di lubuk hatinya, dia pasti ingat kamu……” kata Dd. Kalimat yang membuat saya bertambah sedih dan patah.

Saya terisak, saya memikirkan betapa tidak bergunanya saya, betapa bodohnya saya karena tidak tahu bagaimana saya bisa menolong dia. Beberapa teman, memeluk saya, memberi ketabahan…..

Beberapa bulan kemudian, Nz sudah boleh pulang ke rumah. Dia tidak kembali seperti Nz yang dulu, tetapi dia menjadi Nz yang baru dan sungguh-sungguh berbeda.

Dd, begitu perhatian padanya. Terakhir kali saya bertemu mereka, Dd memasak untuk Nz. Dia membelai kepala Nz. Dia memijat kaki Nz. Mereka berdua menunjukkan foto rumah yang sedang mereka bangun. Rumah anti gempa di daerah Bantul. Terbuat dari beton yang dibangun menyerupai rumah teletubbies. “Nanti, rumahnya mau diisi banyak lukisan biar enggak monoton,” kata Dd yang dijawab senyum istrinya.

“Den, terimakasih ya udah ngenalin Nz ke aku…… aku bahagia dan sangat berterimakasih punya Nz di hidup aku,” kata Dd. Sebuah pernyataan yang sungguh di luar dugaan.

Ibarat bola pernikahan, apa yang terlihat susah, mustahil, enggak mungkin, dan penuh kesulitan pun, bisa penuh ketulusan, kebahagiaan, kesungguhan, di baliknya. Melalui pasangan Nz dan Dd saya belajar akan makna kasih sayang yang tidak berkesudahan……….

Matahari sore berwarna kuning keemasan.  Saya menegak air putih dan menyeka keringat di dahi.
Saya berhenti berlari untuk sementara waktu, …….

Ah Nz, tiba-tiba gue kangen lo…… <3 <3

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*