Sambil mengamati patung St. Francis Xavier di dekat St. Paul’s Church yang tua dan bersejarah, teringat bagaimana Thiago mengolok-olok saya. “Looser! looser!” begitu katanya menertawakan saya yang gagal mencapai garis finish penelusuran hutan damar minyak di puncak bukit Bendera tempo hari.
“You’re looser!” jawab saya tak mau kalah. Sebenarnya yang diolok-oloknya adalah dirinya sendiri karena kami jalan bersama, maka gagal bersama.
Candaan saya dan Thiago membuat Tika berpikir, “Sepertinya kita harus membuat tingkatan seorang pecundang.” Looser pertama adalah untuk mereka yang berbalik arah karena tak kuat melangkah di Penang Hill. Looser kedua adalah untuk mereka yang lari meninggalkan Singapura lebih awal karena mahal yang menjerat (Hahaha, saya dan Tika juaranya!). Dan nampak-nya hari ini, saya menemukan looser tingkat tiga, yakni: bagi mereka yang takut pada perjalanan pulang. Ketiganya muncul bergantian pada diri ini, namun saya belum berhasil menemukan mana di antara ketiganya yang paling kuat melekat.
*
Awan kelabu menyelimuti langit sungai Melaka keesokan hari-nya. “It’s rain…” kata saya pada Mr. Germany, seorang kawan baru, sama-sama pendatang di tanah Melaka. Dia menjawab, “Ah, just rain..”
Hujan masih rintik-rintik membasahi kota ketika kami memulai berjalan to explore around. Menyusuri sungai Melaka mengingatkan saya pada sebuah perjalanan yang hakikatnya adalah sebuah perpindahan meninggalkan zona nyaman.
Melaka adalah kota tua, salah satu pusat perdagangan Asia. Dulunya kota ini dipenuhi oleh orang-orang Portugis yang membangun berbagai zona pertahanan. Orang-orang Portugis berlalu, digantikan orang-orang Inggris yang menyempurnakan berbagai tatanan untuk melindungi masa depan. Untuk apa semua pertahanan-pertahanan ini? Semata-mata untuk melindungi diri dari musuh-musuh yang mungkin datang menyergap sewaktu-waktu.
Orang-orang Portugis dan Inggris berpindah, dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari sebuah zona nyaman, ke zona lainnya yang antah berantah. Sampai pada suatu kota, suatu Negara, memulai orientasi, beradaptasi, lalu tinggal mendiami. Itulah drama penjajahan yang terjadi.
Di pinggir sungai Melaka, saya sempat berpikir, apa arti kehadiran saya di sini? Ini adalah sebuah perjalanan dalam mencapai daftar-daftar destinasi yang dinanti. Setelah meninggalkan rumah sebagai zona nyaman, saya menemukan zona nyaman lainnya, yakni: perjalanan itu sendiri. Namun saya tahu, keberadaan saya di sini hanya untuk sementara waktu. Setelah ini saya akan berpindah, tak lagi menatap pagi di antara kepak sayap burung-burung yang menghiasi langit kota.
Malam tadi ibu mengirim pesan, “Kapan pulang?” Dalam hati saya menjawab, akankah pulang. Pada pinggir sungai Melaka saya telah menambatkan hati. Ingin rasanya melanjutkan perjalanan ini, mencapai daftar-daftar destinasi yang selama ini menjadi mimpi. Vietnam, Myanmar, India, Nepal, Peru……
*
Tawa Thiago masih berbekas, “Looser. Looser.” Ya, betapa pecundangnya saya bila menyerah dalam langkah ini. Bukankah pulang juga bagian dari sebuah perjalanan? Sambil menatap gelombang air yang menuju Selat Melaka, saya berharap suatu saat bisa kembali menyusuri waktu dalam sebuah perjalanan menuju tempat-tempat yang dituju.