Pagi-pagi benar saya sudah dibangunkan warga. “Ayo teh, ikut ziarah leluhur.”
Angin dingin berhembus dari sela-sela jendela. Dingin yang membekukan tulang gemulang hingga ulu hati. Saya merapatkan selimut, bergulung sesaat di atas matras tipis yang saya bawa dari Jakarta. Jari tangan dan kaki seperti kaku-kaku. Dari balik bilik kamar bambu ini saya mendengar hujan rintik-tintik jatuh membasahi tanah. Tes… tes… suaranya mendamaikan jiwa.
Perlu waktu beberapa saat sebelum saya betul-betul membuka mata dan melemaskan pergelangan kaki dan tangan. “Jauh nggak?” tanya saya.
“Ada dua tempat, yang jauh dan dekat. Boleh pilih yang mana.”
Sambil menguap saya menjawab, “Ah, saya yang dekat saja!” Bukankah jauh atau dekat keduanya akan berakhir pada satu destinasi yang sama, satu akhir yang sama. Sebuah makam. Saya lalu bangun, membuka jendela… Selamat pagi Sindangbarang!
Namun saya lupa menanyakan satu hal. Bukan soal jarak atau waktu yang akan saya lewati! Bukan, bukan itu! Yang saya lupa tanyakan adalah soal medan yang akan saya tempuh. Bagaimana medannya?
Belum sempat saya menanyakan hal tersebut, di hadapan saya sudah terhampar semak belukar dengan jalan setapak. Pohon-pohon tinggi menjulang ke atas. Glek, saya menelan ludah dan mengeringkan keringat di pelipis mata. Selamat datang Gunung Salak!
*
Sudah hampir dua jam saya mendaki. Rasanya ingin menangis. Dimana akhir yang dinanti? Sementara kaus semakin basah berkat hujan yang semakin deras dan peluh yang menjadi satu.
Saya menoleh ke belakang. Warga tersenyum. Mereka tahu penderitaan saya. Mereka tahu mungkin saja saya tak sanggup berjalan lagi dan mencapai akhir yang dinanti. Tapi warga setia menemani. Dari pancaran matanya, mereka percaya kami akan sampai bersama-sama.
“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau medannya curam begini?” keluh saya. Ini pertama kalinya saya mendaki gunung. Saya merasa tertipu. Seharusnya saya tahu lebih awal, ketika mereka bilang dekat bukan tak mungkin berarti berat. Muka saya memerah, menahan letih tak terkira.
“Kalau dikasih tau, nanti teteh malah nggak sampai sini.” Jawab warga sambil terkekeh.
Tubuh saya semakin kesakitan. Beberapa kali saya terpeleset. Kaus putih saya pun sudah berubah warna menjadi kecoklatan, serupa dengan lumpur yang membalut luka dan lecet di tangan dan kaki.
Setelah jalan, terpeleset, jatuh, bangkit, jalan lagi, terpleset lagi, berpegangan pada akar dan rerumputan, akhirnya saya sampai pada sebuah akhir. Makam leluhur!
Bersama warga, saya bersujud. Di hadapan saya terlihat segumpal tanah yang dipercaya sebagai makam leluhur. Makam ini dikelilingi pohon jati yang tinggi menjulang ke angkasa. Saya menengadah. Hujan turun membasahi tanah. Tanah yang dipercaya sebagai leluhur, nenek moyang, asal muasal warga Sindangbarang berada.
Doa-doa dilagukan. Alam sungguh agung, Tuhan maha besar. Di hadapan alam ini, saya melihat keindahan maharencana. Keindahan tak terbandingkan. Hujan dan kabut turun memberi kesan mistis, seolah leluhur sungguh hadir. Menyapa setiap anak dan cucunya yang berjuang mendaki gunung demi menemuinya.
Saya langsung menyesali keluhan yang tadi saya lontarkan. Letih tak sebanding dengan keagungan ini. Ah, mengapa seringkali kita manusia tak mensyukuri nikmat yang diberikan alam. Bersama warga Sindangbarang, Bogor, saya belajar sebuah makna kehidupan. Kehidupan adalah perjuangan yang tak pernah usai untuk sampai pada sebuah akhir (DPN, 2013).