Author's Posts

Ketika mendapatkan diagnosis tumor payudara, sebenarnya saya sedang dalam kondisi cukup terang. Saya baru menerbitkan buku, mendapatkan penghargaan dari sebuah lembaga pendidikan yang cukup bergengsi, mengamankan funding yang nilainya lumayan untuk jatah ngopi selama setahun, dan sedang menyiapkan beberapa project public speaking hingga pertengahan tahun.

Singkat kata hidup saya sedang bunga-bunga. Begitu saya menemukan benjolan di payudara, awan kelabu menggantung di atas kepala. Dokter meminta agar saya segera operasi mengingat ukuran tumor cukup besar. Tiba-tiba ritme kehidupan yang tadinya bak pelangi langsung berguncang. Saya ‘dipaksa’ untuk pause sejenak untuk memperhatikan kesehatan. Beberapa project harus ditunda.

Tentu sajaaa seperti kebanyakan orang lain yang lagi ketiban durian montong, eh musibah maksudnya, saya bertanya-tanya: kenapa bisa sakit? Apa salah saya? Kenapa saya? Apakah karena makanan saya yang asal-asalan? Atau ada faktor genetik?

Pita kaset di kepala kemudian berputar. Memutar ulang kejadian yang telah berlalu. Saya meyakini fisik dan mental saling berkaitan. Sakit fisik bisa mengguncang mental. Demikian juga sakit mental mempengaruhi fisik.

Saya ingat 2023 bukan tahun yang mudah. Saya sering menangis histeris tengah malam. Kepala terasa pening dan dada sesak. Saat itu untuk pertama kali saya harus mengakses layanan kesehatan mental karena mulai merasa ada yang konslet di otak saya.

Setelah tahun yang berat itu, kehidupan saya berjalan lebih baik. Saya menyadari terhadap beberapa hal memang kenyataan tidak bisa diubah. Mau marah-marah pun hanya menghabiskan energi. Saya mulai berdamai dengan keadaan. Mulai bangkit dan mulai menjalani ritme hidup ini.

Memasuki bulan kedua, tiba-tiba harus bedrest karena sakit fibroadenoma mammae. Saya langsung berpikir mungkin secara mental saya sudah lebih baik. Tetapi, fisik saya merekam semua kesedihan dan duka. Inilah yang mungkin saja membuat timbulnya benjolan di tubuh saya.

Bersyukur, operasi berjalan lancar. Saya dipertemukan dengan Dokter Andre yang bantu saya melewati sakit ini. Juga teman-teman yang sangat perhatian selama saya dalam masa pemulihan.

Meski sakit fisik sudah diatasi, tetapi saya sadar sebenarnya semua gejala ini meminta saya istirahat sejenak. Memberi waktu sejenak pada diri ini untuk didengar kehendaknya. Maka sepanjang Februari dan Maret saya off dari pekerjaan untuk pemulihan fisik dan mental.

Dalam masa hibernasi ini, saya merasakan hal-hal di luar nurul yang saya enggak kebayang saya akan merasakannya. Dari saya yang terbiasa multitasking dan melakukan banyak hal sekaligus, seketika tidak berproduksi. Tidak liputan. Tidak menulis berita. Jujur saja ada perasaan ganjil melihat jurnalis lain bikin berita, saya enggak. Apalagi pemilu lagi rame-ramenya. Ada keinginan terjun di lapangan, tapi fisik dan mental, saya memberontak. Setiap memikirkan kerjaan badan saya terasa sakit dan ngilu. Dada terasa sesak.

Yaweslahh akhirnyaa saya beneran istirahat. Pekan pertama di rumah saya cuma main sosmed. HAHA. Scrolling sana dan sini. Merdeka banget. Lama lama bosan. Apalagi video gak jelas muncul bikin emosi. Minggu kedua saya mulai menyibukkan diri dengan memasak. Menata buku-buku. Menyetrika. Melap debu-debu yang menempel di atas meja.

Ada perasaan suwung, kekosongan yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Di antara rak buku yang sudah jadi sarang laba-laba, saya menemukan majalah yang berisikan artikel tentang paman saya, Marsekal Muda Djoko Poerwoko. Dalam satu tulisan, paman mengatakan “Kita itu wayang kehidupan, berarti ada dalangnya. Harus siap ketika dimainkan. Harus siap ketika tidak dimainkan.”

Kata-kata pakde meresonansi dalam hidup saya. Tiba-tiba air mata merembes di pipi, ada penerimaan di sana. Untuk pertama dalam 10 tahun berkarya sebagai jurnalis, ini kali pertama saya break dari rutinitas. Tidak melakukan apa-apa. Rasanya tidak berfungsi normal seperti biasanya. Tetapi, inilah kenyataan yang saya hadapi. Saya Menerima kenyataan bahwa saya manusia bukan robot. Saya manusia yang enggak selalu bisa membuat karya terbaik. Saya manusia yang selain punya kemampuan dan kehendak diri, juga punya rasa sakit hati, trauma, sedih, dan duka.

Mungkin Nanti ada saatnya bangkit lagi, dan berkarya lagi. Tetapi, sekarang istirahat dulu. Wayangnya break dulu. Enggak main dulu. Its okay if you are not okay. Saya menerima diri saya ketika ia bisa naik tangga pencapaian diri, juga ketika ia merasa lelah, loyo, lunglai, dan tidak pasti.

Pst: Setelah baca artikel tetang pakde, saya merasa lega. Sekaligus saya merasa rindu. 🙁 Makasih pakde bahkan ketika pakde tidak ada bersamaku, pakde membukakan jalan dan memberikan terang.

Read more

“Hi, Ann, saya ingin membeli dekorasi natal. Mau ikut?” saya mengirim pesan singkat ke Ann, mahasiswi asal China, sekaligus flatmate saya di London.

“Saya di Angel nih. Kalau kamu mau, saya bisa menunggu kamu di sini,” jawabnya.

Saya melirik jam tangan. Saat itu sudah tengah hari, tapi suasananya masih seperti pukul 06.30 pagi. London memang sering berkabut akhir-akhir ini, tanda datangnya musim dingin. Warna langit jadi abu-abu seperti masih pagi.

Daripada suntuk di rumah, saya memutuskan menyusul Ann yang sedang berada di pusat perbelanjaan Angel, yang jaraknya hanya sekitar 10 menit jalan kaki dari flat.

Di Angel, Ann dan saya saya membeli dekorasi natal seperti lampu hias, topi santa clause dan bando rusa. Rencananya, dekorasi natal ini akan dipakai untuk menghias dapur. Malam ini, bersama Ann, dan tiga flatmates lainnya, yaitu Camila (Amerika Serikat), David dan Bill (Inggris), kami akan makan malam untuk merayakan natal.

Bill janji masak menu tradisional Inggris. Agar acara makan malam terasa  semakin berkesan saya berinisiatif memasang dekorasi natal. Seusai berbelanja, Ann dan saya melihat seorang pedagang menjual pohon natal. Harganya hanya 5 pounds.

“Gimana kalau kita beli?” kata Ann.

“Kamu mau beli?” saya bertanya. Ann mengangguk.

Akhirnya saya memboyong pohon cemara setinggi satu meter, sementara Ann membawa dekorasi natal. Saya memegang pohon dengan kedua tangan saya. Ukurannya yang besar menutupi badan saya sehingga terlihat seperti pohon hidup yang berjalan. Di saat-saat seperti ini, saya jadi rindu dengan layanan pesan antar di Indonesia. Kalau di Inggris, belanja apapun harus dibawa sendiri. “Saya tidak bisa melihat. Mata saya tertutup pohon,” kata saya.

“Nanti saya kasih aba-aba kembali ke flat,” kata Ann, sambil tertawa.

Di flat, saya dan Ann sibuk menghias pohon natal. Sementara Bill memasak makan malam tradisional khas Inggris, terdiri dari ayam panggang, kentang, gravy, pig in blankets, dan sayur-sayuran, termasuk sproutsyang bentuknya menyerupai wortel dengan warna kuning seperti kentang. Ia juga menyiapkan makan malam penutup berupa menu tradisional Christmas pudding.

Ketika Bill sedang sibuk menyiapkan ayam panggang, David menata meja makan. Ia menyiapkan piring, gelas, garpu, dan pisau makan. Selama tinggal di Inggris, saya menyadari urusan dapur itu bukan hanya milik perempuan. Laki-laki di Inggris banyak yang jago masak, seperti Bill dan David. Untuk urusan kebersihan dan kerapian di dapur, saya juga banyak belajar dari mereka. Setiap kali masak, mereka selalu mencuci peralatan masak dan membersihkan kompor. Setelah semua bersih, baru deh menikmati makanan. Jadi, enggak ada tuh cucian piring menumpuk.

Begitu makanan sudah siap, empat teman dan saya duduk bersama mengelilingi meja makan. “Ini namanya, natalan! Ketika semua orang berkumpul di meja makan,” kata Camila, mahasiswa asal Amerika Serikat keturunan Palestina.

Makan malam diawali dengan menikmati white winesambil melahap aneka camilan sebagai makanan pembuka. Selanjutnya, menikmati hidangan utama yang sangat lengkap terdiri dari karbohidrat, protein, dan sayuran. Rasanya lezat sekali! Apalagi ketika Ann menawari saya sambal yang dia bawa dari China, sempurna sudah!

Saya agak terkejut ketika David menyodori cranberry source untuk campuran makanan utama. “Hah, cranberry sauce untuk makanan utama?” tanya saya polos. Setahu saya, cranberry sauce biasa dipakai untuk olesan roti tawar, bukannya digabung dengan daging dan sayuran. Meski awalnya terasa agak tidak biasa, tapi ternyata cranberry sauce terasa nikmat bercampur dengan salad, ayam panggang, dan sambal. Pedas, asin, asam, manis. Nano-nano rasanya, tapi menyatu sempurna.

Setelah menikmati hidangan utama, saatnya melahap makanan penutup, yaitu cheesecake dan Christmas pudding. Untuk membuat makanan penutup tambah berkesan, Bill menuang brandy di atas pudding. Ia menyalakan korek sehingga muncullah api di atas pudding. Semua orang bersorak takjub dan bahagia.

Sambil menikmati makan malam, teman-teman dan saya membicarakan banyak hal, mulai dari kebiasaan natal di masing-masing negara, makanan favourite, hingga astronomi. Di meja makan, semua membaur seperti keluarga. Warna kulit berbeda-beda, aksen dan intonasi ketika bicara juga punya warna dan coraknya sendiri, tapi natal menyatukan yang berbeda-beda ini menjadi saudara.

Saya jadi teringat tahun lalu, ketika merayakan natal dengan keluarga dalam hati saya membantin: “Mungkin tahun depan saya tidak ada di Indonesia. Mungkin tahun depan saya akan studi di luar negeri dan merayakan natal dengan teman-teman baru.” Kata-kata adalah doa. Kesempatan kuliah di Inggris dan menjalin persahabatan dengan mahasiswa-mahasiswa internasional menjadi kenyataan.

Read more

Negara Indonesia dan Inggris mempunyai banyak kesamaan, salah satunya dalam hal keberagaman agama dan etnis. Keberagaman ini adalah bukti kekayaan manusia, meski tak jarang justru menimbulkan kekerasan dan kekacauan. Untuk mengingatkan pentingnya kerukunan, seorang seniman menggambar mural di Shoreditch, London, yang fenomenal dan membuat daerah ini menjadi terkenal.

Daerah Shoreditchdulunya adalah tempat tinggal kelas pekerja dan termasuk daerah termiskin di London. Kini, Shoreditch menjelma menjadi daerah pertokoan yang unik dan nyentrik. Di daerah ini terdapat banyak pub, kafe, dan restaurant.

Sejak dari Shoreditch Overground Station, karya seni jalanan berupa gambar dan tulisan sudah terlihat. Dari stasiun, apabila belok ke kiri terlihat deretan pertokoan yang menjual barang-barang vintage. Sementara di sebelah kanan, pemandangan karya seni jalanan menemani sepanjang jalur di bawah terowongan dari Braithwaite Street menuju Spitalfields.

Karya seni dibuat dengan berbagai macam teknik, bentuk, dan warna. Ada karya berupa tempelan stiker di halte bus, rambu-rambu jalan, atau pagar. Ada juga deretan kata dan coretan gambar yang saling menumpuk dengan karya lainnya.

Teknik melukis dibuat beraneka macam, ada yang menggunakan cat tembok dan kuas rol, ada pula yang diciptakan dengan menggunakan cat semprot. Sementara karya yang menempel berbentuk tulisan, foto wajah, kartun, dan masih banyak lagi.

Berdasarkan sejarahnya, lukisan di dinding atau yang biasa disebut mural sudah muncul sejak ribuan tahun lalu. Di Shoreditch, mural dan graffiti muncul pada akhir 1990-an. Dulunya, gambar-gambar di daerah ini dianggap vulgar dan kotor. Lambat laun, satu gambar menggantikan gambar lainnya hingga terciptalah coretan-coretan dinding seperti sekarang.

Karya seni jalanan di Shoreditch menjadi ciri khas daerah tersebut. Karya dibuat seiring pergolakan politik dan kondisi sosial masyarakat lokal maupun internasional. Lukisan-lukisan dinding ini dibuat sebagai ruang komunikasi, serta bentuk eskspresi dan kreativitas.

Jalur yang paling terkenal di Shoreditch bernama Brick Lane, yang merupakan surga karya seni jalanan. Di daerah ini terdapat karya yang cukup terkenal berupa gambar dua orang berwarna hitam dan putih yang bergandengan tangan. Orang yang berwarna hitam dibuat seperti memakai cadar, mewakili komunitas Islam. Sementara orang yang putih mewakili kelompok Kristen Inggris. Mural karya Stik ini menggambarkan persahabatan antara agama.

Karya itu menjadi penting karena di Inggris sering muncul peristiwa diskriminasi dan rasisme terhadap kelompok minoritas Muslim. Seperti di banyak tempat lainnya, agama selalu dianggap sumber perselisihan. Padahal, kalau mau dirunut, selalu ada hal lain yang melatar belakangi konflik. Di Inggris, konflik terhadap komunitas Islam sudah muncul sejak perang dunia kedua. Saat itu, banyak orang kulit putih yang kesulitan memperoleh lapangan pekerjaan seusai kembali dari perang. Kedatangan orang-orang Somalia yang beragama Islam dianggap telah merebut peluang masyarakat lokal. Konflik ini, ditambah dengan perubahan iklim politik global, dan dinamika nasional, termasuk meningkatkan Islamophobia, membuat diskriminasi terus berlanjut dan dampaknya bisa dirasakan sampai sekarang.

Apalagi, sejak ada peristiwa global, seperti serangan 11 September 2001 di New York, ledakan bom 2004 di Madrid, dan ledakan bom 2005 di London, orang-orang Islam yang tinggal di negara-negara barat, sering mengalami pelecehan dan diskriminasi. Karya yang dibuat oleh Stik pada Mei 2010 itu kemudian menjadi oase di tengah padang gurun kemanusiaan. Karya itu cukup ikonik karena membawa pesan penting yaitu harmoni dan integrasi yang menjadi ciri khas negara Inggris. Meski usia gambar sudah lebih dari satu dekade, tapi pesannya tetap relevan hingga kini.

Karya yang ada di Shoreditch banyak yang menonjolkan hiburan dan kreativitas, tapi tak jarang ada karya yang mempunyai pesan mendalam. Karya-karya itu dibuat sebagai sarana menggalang solidaritas. Sejak muncul gerakan Black Live Matters, para seniman juga merespons isu tersebut dengan menciptakan karya di jalanan.

Neequaye Dreph Dsane, atau yang biasa disapa “Dreph”, misalnya, menciptakan serangkaian potret yang menampilkan wanita kulit hitam yang tinggal di lingkungan tempat mural mereka berada. Foto-foto yang digambar bukanlah wajah orang terkenal, tapi masyarakat biasa. Fitur wajah yang digambar sebagain terlibat dalam pendidikan, advokasi, desain, atau karya kreatif dari kelompok masyarakat minoritas. Dari wajah-wajah ini, sang seniman ingin memberi inspirasi mengenai pahlawan sehari-hari yang ada dan tinggal di antara kita.

Ketika mural dan graffiti banyak dihapus di berbagai tempat di dunia, di Shoreditch, keberadaan karya seni jalanan justru dirayakan. Coretan dinding dipelihara sebagai identitas kota, ruang untuk menumpahkan keresahan, panggung seni dan kreativitas, serta sarana menjaga solidaritas sebagai sesama manusia.

Read more

Beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang teman. Seperti biasa, kami membicarakan banyak hal, mulai dari keseharian, pekerjaan, dan pandangan-pandangan terhadap berbagai peristiwa. Saya juga mengabarkan kepadanya tentang kemajuan aplikasi beasiswa pendidikan di luar negeri.

Bagi saya, ini kemajuan karena untuk pertama kali saya benar-benar mengerti apa yang menjadi kegelisahan, kekurangan, kelebihan, dan kekuatan saya. Untuk pertama kali pula, saya menyadari apa yang hendak saya tuju. Alam seolah menjawab, karena progress aplikasi beasiswa saya cukup menjanjikan di bandingkan tahun-tahun sebelumnya.

“Saya sudah menerima offering dari kampus, sudah mengikuti wawancara dengan lembaga beasiswa. Saya tinggal menunggu pengumuman hasilnya. Terlepas saya berhasil kuliah di luar negeri atau tidak, saya senang karena bisa menemukan diri saya,” kata saya.

Dia agak menunduk mendengar penjelasan saya. Entah mengapa, saya memahami kenapa dia terlihat tidak begitu antusias. “Tidak mungkin seseorang memperoleh beberapa keberhasilan bersamaan. Satu keberhasilan, pasti bersamaan dengan kegagalan di bidang lain,” katanya.

Saya mengerti apa yang dimaksudkan dengan “kegagalan” versinya, yaitu berkaitan dengan status saya sebagai perempuan lajang, alias belum menikah. Baginya, keberhasilan perempuan di dalam karir dan pendidikan, biasanya diiringi kegagalan untuk berelasi dengan laki-laki.

Percakapan serupa pernah saya hadapi dengan beberapa orang lainnya, mulai dari obrolan dengan teman, keluarga, dan rekan kerja. Misalnya, seorang teman pernah mengomentari perempuan penulis yang karya-karyanya mendapatkan beberapa penghargaan jurnalistik semata-mata hanya karena ia tidak menikah. Seorang rekan kerja pernah menceramahi saya agar segera menikah dan tidak mengutamakan karir. “Lihat tuh, teman-teman perempuan yang karirnya bagus, mereka tidak menikah,” kata ia sinis, waktu itu.

“Mengapa perempuan lajang dianggap sebagai kegagalan?” tanya saya. “Bukankah ini mengabaikan semua pencapaian yang dimiliki perempuan itu? Setiap orang punya cara mengukur keberhasilan. Bagaimana kalau dibalik, mengukur keberhasilan dengan sudut pandang saya, bukannya sudut pandang orang lain?” lanjut saya, lagi.

Teman saya terlihat berpikir. Kemudian ia segera menarik kata-katanya, “Ya, memang ukuran keberhasilan seseorang berbeda-beda dan tidak bisa dipukul rata,” katanya.

Lantas mengapa perempuan tidak menikah sering dianggap suatu kegagagalan?

Menurut saya, setidaknya ada dua alasan mengapa orang demen banget menjadikan status lajang sebagai bahan becandaan dan senjata untuk menjatuhkan. Pertama, masyarakat Indonesia tidak terbiasa menghadapi keberhasilan wanita. Kalau ada perempuan yang berhasil, selalu ada celah untuk untuk mengkritik dan menjatuhkan pencapaian perempuan itu.

Seringnya, status lajang dijadikan sasaran empuk karena ia mudah terdeteksi. Apalagi, di tengah kondisi masyarakat yang selalu mengaggung-agungkan pernikahan sambil menutup mata pada tingginya peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, kian maraknya perceraian, pernikahan dini, dan pemiskinan perempuan. Fakta perempuan belum menikah sulit dipatahkan dan selalu dijadikan kambing hitam untuk disate disalahkan.

Kalaupun ada perempuan berprestasi, misalnya hebat dalam karir dan ia sudah menikah, selalu ada celah lainnya untuk menjatuhkan mereka, misalnya terkait apakah perempuan itu sudah memiliki anak, apakah ia memberikan ASI eksklusif untuk anaknya, apakah ia mengutamakan pekerjaan di bandingkan keluarga, apakah ia memasak untuk suami dan keluarga, dst. Di masyarakat heteronormatif ini, perempuan berkarya di ruang publik rasanya nggak akan pernah dicatat pencapaiannya selama belum terjun di dunia domestik. Beban yang sama tidak untuk laki-laki.

Padahal, kalau kita mau mengintip data sebentar saja keberadaan perempuan yang belum menikah telah berkontribusi besar terhadap negara, keluarga, dan bahkan perusahaan tempat ia bekerja. Di Amerika Serikat, perempuan lajang telah mengubah wajah ekonomi. Pada 2019, negara itu mencatat sejarah lebih banyak wanita lajang dalam angkatan kerja. Mereka telah berkontribusi terhadap pemasukan negara sebesar 7 triliyun USD.

Coba lihat di sekitar Anda, bukankah mereka yang lajang lebih sering diminta lembur saat akhir pekan di bandingkan pekerja berkeluarga? Berapa rekan perempuan di sekitar Anda yang menjadi sumber pendapatan utama keluarga terutama untuk membiayai kebutuhan orang tua yang pensiun dan menyokong biaya pendidikan adik dan keponakan.

Kedua, menurut saya ini adalah bentuk pertahanan diri seseorang untuk merasa tidak terlalu ketinggalan dengan pencapaian orang lain. Saya ingat seorang teman yang sudah menikah menggambar borgol dan jeruji besi di selembar kertas ketika saya tanya apa makna pernikahan baginya. Seorang teman lainnya pernah mengatakan bahwa saya bebas melakukan sesuatu karena saya masih hidup sendiri. Bukankah dengan kata lain ia hendak mengatakan bahwa hidupnya jadi serba terbatas setelah berkeluarga?

Kalau pernikahan justru membuat seseorang merasa terampas hak-haknya, merasa keahliannya tidak terasah, merasa peluangnya jadi berkurang, ada apa di dalam sana? Kadang-kadang, orang tidak mengakui ada sesuatu yang tidak lengkap dalam hidupnya. Lalu, ketika melihat orang lain selangkah lebih maju, maka bentuk pertahanan diri paling yahud adalah dengan menyerang orang lain agar dirinya tidak merasa jauh tertinggal.

Kalau Anda meluapkan ketidakpuasan pada kehidupan yang Anda jalani dan menjadikan status lajang untuk menjatuhkan saya, mohon maaf, Anda tidak berhasil. Kenapa? Karena saya mengukur keberhasilan dengan kacamata saya, tidak dengan kaca mata kuda Anda yang sangat sempit itu. 🙂

 

Jakarta, 11 Maret 2021

Read more

“Bagaimana pandemi mengubah hidup kamu?” saya bertanya padanya.

Ia berpikir sesaat, melihat botol cairan pembersih tangan dan tissue basah anti bakteri yang ada di atas meja. “Jadi lebih bersih, lebih sehat… Sama seperti orang-orang lain.” katanya.

Ia kemudian tersadar sesuatu. Tubuhnya digerakkan mendekat ke arah saya. Wajahnya tampak serius, juga curious. “Memang seberapa besar pandemi mengubah hidupmu?” pertanyaan yang sama dilontarkan.

Malam itu ia dan saya janjian bertemu untuk ngopi, membicarakan pekerjaan, juga bertukar kabar. Krisis Covid-19 membuat kafe dan restaurant tutup lebih cepat. Belum pukul delapan malam, pramusaji sudah bergerak-gerak gelisah. “Segeralah kaliah enyah,” mungkin begitu yang ada dipikiran mereka, mengusir tamu yang masih betah.

Perut saya bergejolak. Saya melewatkan makan siang, sehingga lapar terasa lebih panjang. Selain alasan perut keroncongan, sebenarnya masih ada alasan lain yang mengunci pikiran, yakni kebersamaan yang enggan dilepaskan dan cerita-cerita yang belum sepenuhnya disampaikan.

“Mau cari makan di tempat lain?” ia bertanya, seperti bisa membaca pikiran. “Setuju!”

Berjalan kaki mencari makan di tengah pandemi cukup membuat tidak tenang. Jalanan kota sudah senyap. Hanya satu dua motor melintas dengan kecepatan sedang. Beberapa orang berjalan kaki, nyaris tidak ada yang jalan berdua bersisian. Semua orang bergerak dengan tetap menjaga jarak aman. Saya sempat berpikir, di balik wajah-wajah yang ditutup masker ini, apakah saya mengenali seseorang? Apakah seseorang mengenali saya?

Saya menoleh, menatap wajahnya. “Tidak masalah pergi sampai larut?” saya bertanya.

Ia mengangguk. “Aman,” katanya.

Lalu sampailah ia dan saya di sebuah tempat yang masih buka hingga lewat tengah malam. Saya berjalan pelan memasuki tempat dengan nuansa gelap ini. Ada ingatan bersama seseorang tak jauh dari tempat ini yang sempat membuat nafas tidak tenang. Butuh waktu beberapa saat untuk menerapkan metode pernafasan 4-7-8 agar saya kembali fokus dengan apa yang sedang saya lalui.

Di dalam bar, saya memesan pizza keju. Saya bersyukur bar ini hanya menyediakan dua jenis pizza, yaitu keju dan jamur. Semuanya tanpa potongan daging. Ini memudahkan saya memilih. Hampir satu tahun menjalani hidup sebagai vegetarian, saya selalu reflek mencari makanan tanpa daging.

“Apa perubahan hidup kamu?” ia bertanya, sekali lagi.

Agak sempoyongan saya meninggalkan meja bar, lalu kembali dengan sebuah cerita panjang.

“Banyak sekali perubahan dalam hidup saya… termasuk bagaimana setiap harinya saya memilih ‘keberanian atas kenyamanan’,” kata saya, mengutip Brene Brown.

Pikiran saya kemudian mengembara ke waktu-waktu sebelum pandemi. Kehilangan sesuatu yang berarti lengkap dengan perasaan dikhianati, diikuti dengan ditemukannya kasus Covid-19 pertama di Indonesia, saya tidak tahu mana yang lebih menyiksa: hati rekah, atau pandemi pecah?

Saya ingat, masa awal-awal pandemi saya bisa menghabiskan waktu berhari-hari di dalam kamar kosan menelaah pengalaman hidup yang naik dan turun seperti gelombang. Setiap hari saya menangis hingga wajah bengkak (kalau kata teman saya, wajah saya berubah seperti keracunan seafood).

Saya juga mengalami insomnia parah, hanya baru bisa tidur setelah fajar merekah. Setiap bangun tidur, saya merasakan perih di dada (KEMUDIAN BARU SADAR: OH INI RASANYA PUNYA HATI HAHAHAA). Saat makan, saat mandi, bahkan saat menonton berita di stasiun televisi, air mata deras mengalir seperti sungai.

Beruntunglah, pandemi membuat saya tidak harus beraktivitas di luar rumah. Sehingga saya punya waktu yang panjang untuk recovery, melewati Five Steps of Grief tanpa harus dikejar-kejar jadwal liputan atau keharusan rapat redaksi di kantor.

Di antara hari-hari yang menantang, saya punya cukup waktu merenung, memproses diri, menemukan kekuatan diri, menentukan hal-hal penting dan terpenting dalam hidup, mengenal dan menemukan bagian diri sendiri yang selama ini jarang disapa.

Di tengah kesulitan ini saya melihat pandemi berperan memberikan jeda untuk penyembuhan diri. Ia berperan menumbuhkan keberanian mengambil keputusan di tengah berbagai ketidakpastian. Lebih dari itu, pandemi mereformasi kebiasaan sehari-hari serta mempengaruhi perspektif dan prioritas hidup.

Kalau dulu saya berambisi keluar dari rutinitas untuk melalang buana (bahkan saya sudah menabung untuk perjalanan panjang keliling semesta), kini saya sadar bahwa segala sesuatu yang kita cari sebenarnya ada di dalam diri sendiri.

Pernah saya haus mencari. Tidak pernah puas kalau tidak pergi. Sekarang saya merasa perlu mencari jalan kembali. Lagi pula, pengembaraan di tengah pandemi akan menambah perasaan yang tak pasti. Saya juga sadar, gunung dan lautan tidak pernah meninggalkan lokasi di mana mereka kokoh berdiri. Sehingga selalu ada waktu, untuk sebuah perjalanan di masa depan.

“Saya memutuskan menetap. Setidaknya untuk saat ini, saya tidak akan pergi,” kata saya kepadanya.

“Bagus dong. Settle down bagus,” ia merespons.

“Bagus ya?” saya bertanya, meyakinkan diri sendiri.

“Iya, bagus. Kita ‘kan tidak tahu apa yang menghadang di perjalanan. Makanya ada pandemi, agar kamu tidak pergi,…” ujarnya.

Entah kenapa ada kelegaan di sana… kelegaan mendengar kata-kata yang diucapkan. A glimpse of light. Mungkin ini closure dari perjalanan berliku, perjalanan panjang, penuh debu, dan sering terasa buntu, yang telah saya tempuh sekitar satu tahun terakhir ini.

 

Jakarta, 15 September 2020

 

Read more

Pe-es-be-be ini bikin saya melakukan banyak hal yang tidak terbayangkan sebelumnya, mulai dari tiba-tiba pindah kos, masak, latihan nyanyi, main ukulele, sampai cat rambut sendiri!!! Kadang-kadang saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan kehidupan setelah virus korona berakhir. Tetapi, dari pada memusingkan masa depan, lebih baik menikmati apa yang tersedia, selagi masih bisa. 🙂

Beberapa hari lalu, ibu menelpon untuk memberitahu bahwa keponakan saya yang masih berusia tiga tahun ada di rumah. Sudah tiga pekan terakhir, saya tidak pulang. Saya lebih memilih untuk tinggal di kamar kosan daripada pulang. Saya selalu punya alasan untuk tidak di rumah. Tetapi, begitu tahu keponakan saya di rumah, saya menjadi lemah. Tak bisa menolak, saya memutuskan pulang.

Dalam perjalanan pulang, saya memikirkan apa komentar orang rumah melihat warna rambut saya kuning gonjreng! Ini pertama kali saya mewarnai rambut. Keinginan mengecat rambut tentu sudah ada sejak lama. Tetapi, saya tidak pernah mengeksekusi keinginan itu karena takut orang tua marah. Jangankan mengecat rambut, untuk memotong rambut saja saya selalu berpikir seribu kali karena mempertimbangkan komentar orang rumah.

Saya menyadari bahwa dalam mengambil keputusan seringkali saya lebih condong mempertimbangkan pendapat atau kenyamanan orang lain, di bandingkan diri sendiri. Setiap kali mau memotong atau mewarnai rambut misalnya, saya selalu khawatir dengan pendapat orang lain: Bagaimana kalau ada yang mengatakan potongan rambut saya jelek? Bagaimana kalau potongan atau warna rambut tidak cocok dengan bentuk wajah saya, dengan warna kulit saya?

Tentu ini tidak masalah, toh memotong rambut hanya masalah sepele. Tetapi, kalau ditarik melalui perspektif yang lebih luas, ini menunjukkan dalam membuat keputusan kadang-kadang saya tidak otentik. Tidak menjadi diri sendiri. Tidak membuat keputusan berdasarkan hal yang benar-benar saya inginkan.

Memikirkan pendapat orang tua, membuat saya merasa seram kalau nantinya mereka memarahi penampilan baru dengan rambut berwarna kuning gonjreng! (BTW, niatnya rambut saya mau dicat warna abu-abu, tetapi entah kenapa keluarnya jadi warna kuning! HAHAHAHA).

Ketika saya sampai di rumah, ibu melihat saya dan  langsung beteriak: “Yaaampuuunn!! Itu rambutnya diapainnn??” katanya sambil mencampur adonan nastar di dapur. Sementara itu, ayah saya berkomentar: “Neko-neko wae!” Kakak saya berkomentar: “Koyo wong edan! (Seperti orang gila)” Adapun keponankan saya, Mas Dio, menjerit: “Uti (baca: aunty) rambutnyaaa IJOOOO”. Saya membalas komentar itu: “Ini coklat, bukan IJOOO!” 😀

Beberapa teman dan sepupu menyampaikan reaksi yang berbeda. Sepupu saya mengatakan saya mirip anggota Trio Macan (syit!). Ada pula yang bilang saya seperti bule hunters, mbak-mbak di pinggir Pantai Kuta. Ada juga yang memuji: Cocok, Keren, Nggak Aneh! (WHATT NGGAK ANEH ITU SEMACAM KOMENTAR SETINGKAT DI BAWAH BAGUS, TAPI JUGA ENGGAK JELEK! HAHA). Seorang teman di Bali menelpon. “Aku kaget. Aku lihat kamu nggak seperti biasanya. Kamu gak pernah neko-neko,” katanya dengan nada prihatin.

Komentar-komentar memang berdatangan, kemudian saya berpikir: So what? Saya hanya tertawa menanggapi komentar mereka. Toh apa pun yang dikatakan orang lain, entah itu pujian, celaan, atau bahan bercandaan, tidak akan mengubah warna rambut saya dari kuning menjadi ungu atau oranye.

Ini mungkin sangat berbeda dengan sikap saya beberapa tahun lalu. Selama ini, saya terlalu sering mendengarkan komentar orang lain sehingga jarang mengambil keputusan ekstrem. Untuk memilih model pakaian, potongan rambut, tas dan sepatu, sebisa mungkin saya melakukan dengan hati-hati karena tidak ingin menjadi pusat perhatian. Apalagi untuk keputusan-keputusan lain yang lebih penting seperti memilih pendidikan dan pekerjaan.

Dulu, kalau saya mendengar komentar orang lain yang tidak sesuai harapan, saya mudah tersinggung, marah, keloro-loro (sakit hati). Kini saya sadar, ketika mengambil keputusan dalam kehidupan, dari hal-hal sepele hingga hal besar, paling penting adalah bertanya pada diri sendiri: “Apakan ini yang saya inginkan? Apakah keputusan yang akan saya ambil ini adalah sesuatu yang benar-benar yang saya inginkan?”

Kalau saja apa yang saya lakukan tidak sesuai dengan “norma masyarakat” seperti ngecat rambut warna gonjreng ini, misalnya, reaksi orang lain hanya terbatas memuji, mengomentari, mencela, atau mungkin tidak peduli sama sekali. Saya rasa sekeras apa pun reaksi orang lain terhadap keputusan yang saya buat, tidak ada yang berani menjambak rambut saya karena warnanya kuning. Ini rambut saya. Beli cat sendiri, ngecat di kosan sendiri pula! 😛

Kadang kita ragu melakukan sesuatu karena takut mendengar omongan orang lain. Itu membuat kita tidak memanfaatkan seluruh potensi. Terlalu memikirkan orang lain, membuat kita hanya memanfaatkan sebagian potensi yang luar biasa. Tentu tidak semua orang senang atau setuju dengan keputusan yang kita buat. Namun, dunia akan adjust (menyesuaikan) dengan setiap keputusan itu.

Virus koronce, mengajarkan bahwa banyak hal yang selama ini saya rasa tidak sanggup dilakukan, ternyata bisa. Hal-hal yang terasa sulit, menjadi lebih ringan. Rasa takut dan ragu, bertransformasi menjadi keberanian dan kepercayaan diri. Hal-hal yang saya khawatirkan, tidak terlalu menakutkan.

Setelah mewarnai rambut, reaksi orang tua ternyata tidak semengerikan yang saya bayangkan. Reaksi orang tua hanya sebentar saja. Mereka juga tidak ambil pusing dengan warna rambut anaknya. Orang tua dan kakak saya lebih sibuk memikirkan, saat Lebaran nanti kita akan masak apa? Siapa yang tugas berbelanja beli ketupat?

Bahagianya menyambut Lebaran, dengan warna rambut baru! 🙂

 

Picture 1 by Theodora Agnes, Picture 2 and 3 by Deri Nugraha

Read more

Beberapa waktu lalu, saya merasa kelelahan luar biasa. Ini bukanlah kelelahan fisik karena akhir-akhir ini aktivitas saya tidak terlalu banyak. Kegiatan liputan tidak begitu padat. Saya juga mengurangi olahraga atau pertemuan-pertemuan yang kurang penting. Dengan situasi aktivitas yang tidak terlalu padat, sudah pasti kelelahan saya ini bukan sekedar fisik, melainkan mental atau psikis.

Saya ingat suatu hari saya hanya bisa meringkuk di atas tempat tidur, sambil merasakan dada sesak. “I am so tired. The healing process is so tiring, kapan saya bisa bebas dari persaan-perasaan melelahkan ini,” kata saya, sambil meneteskan air mata.

Ketika itu, saya memang sedang dalam masa pemulihan diri. Saya melakukan berbagai cara untuk bisa bangkit dari kenangan buruk masa lalu seperti dengan meditasi, yoga, memasak, membersihkan kamar, menuliskan kata-kata syukur, dan sebagainya… tetapi penyembuhan diri terasa tak berkesudahan.

Setiap hari, saya merasakan mood naik turun. Tentu saja, saya merasa baik-baik saja saat sedang beraktivitas atau bertemu dengan teman-teman pada siang hari. Tetapi, begitu malam hari kembali ke kamar tidur dan merasakan kembali kesendirian, penyiksaan sesungguhnya sedang menanti.

Saya kembali merasakan kesedihan, kemarahan, kekecewaan. Ada goresan-goresan luka yang terasa perih di dalam relung hati saya. Peristiwa-peristiwa buruk yang telah berlalu kembali muncul di pikiran. Kenangan buruk, hal-hal tidak terselesaikan, serta pertanyaan-pertanyaan tak terjawab, semakin membenamkan saya pada rasa sedih dan amarah yang mendalam.

Saya sadar, semakin saya marah, semakin saya merasa bersalah. Semakin saya marah, semakin saya menyakiti diri sendiri. Saya menyalahkan orang lain, menyalahkan lingkungan, menyalahkan diri sendiri. Ada pergulatan besar dalam hati saya: Seharusnya saya tidak perlu marah! Seharusnya saya bisa segera melupakan peristiwa ini! Seharusnya saya bisa segera bangkit! Tetapi, kenapa saya masih merasa seperti ini? Bagaimana cara melepaskan diri saya dari perasaan-perasaan menyebalkan ini!

Dalam situasi demikian, saya hanya bisa menangis. Bukan lagi menangis karena saya sedih atau marah, tetapi menangis karena saya merasa tidak mampu melewati  proses penyembuhan ini. Saya menangis karena merasa tidak berdaya. Saya menangis karena merasa tidak mampu menanggung duka. Saya menangis karena saya merasa sendiri.

Pada Sabtu (15/2/2020), pada perayaan ulang tahun Kompas Muda, saya bertemu dengan konselor, Asta Dewanti. Pertemuan dengan pendiri Ada di Kamu itu membuka pandangan saya bahwa tidak ada yang salah dengan perasaan marah, sedih, dan kecewa. Perasaan-perasaan yang selama ini kita anggap negatif itu seharusnya kita rangkul menjadi bagian dari kita, sama seperti ketika kita merasa bahagia, puas, lega. “Perasaan-perasaan itulah yang membentuk kita sebagai manusia biasa,” kata Asta.

Asta menjelaskan, ada tiga proses seseorang untuk menyembuhkan diri. Pertama adalah sadar (aware) terhadap setiap emosi yang dirasakan. Kedua, menerima (accept) bahwa suatu persitiwa pernah terjadi di kehidupan seseorang tanpa kita perlu menghakimi atau menyalahkan diri sendiri. Selanjutnya, adalah proses penyembuhan diri (heal) yang bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti self-reflection dan meditasi.

Kata-kata Asta mencerahkan pikiran saya. Saya sadar kenapa selama ini saya merasakan kelelahan luar biasa dalam proses penyembuhan diri. Lelah itu saya rasakan karena saya berusaha menolak rasa marah, sedih, dan kecewa.

Dalam lubuk hati, saya merasa marah luar biasa. Tetapi, otak saya memerintahkan untuk memaafkan semua peristiwa, dan memaafkan seseorang yang telah meninggalkan luka. Isi kepala dan perasaan yang tidak selaras inilah yang membuat saya merasa lelah sehingga akhirnya justu menghambat proses penyembuhan diri.

Sering kali saya mendengar pernyataan bahwa sebagai manusia, kita harus memaafkan orang lain. Tetapi, ketika kita sedang mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan hati, bagaimana kita bisa memaafkan orang lain? Rasa amarah itu sungguh nyata dan menguasai, kenapa kita justru menolak rasa itu? Kenapa kita menolak memahami diri sendiri?

Saya sadar, selama ini saya memang menuntut diri saya segera bangkit dari keterpurukan. Saya memaksa diri saya untuk mengabaikan rasa marah, sedih, dan kecewa. Tetapi, tubuh dan hati ini tidak bekerja demikian. Ia punya proses penyembuhan diri yang selaras dengan gerak semesta. Tubuh ini mengajak pemiliknya untuk meresapi seluruh emosi, agar ia bisa menyembuhkan diri sendiri.

Setelah mendengar penjelasan Asta, saya mulai merasakan dan merangkul setiap emosi. Setiap kali saya mulai merasa gelisah, sedih dan kecewa, saya menyapa diri sendiri, “Hai Denty, apa yang sedang kamu rasakan? Oh, hari ini kamu sedang marah ya? Iya, saya tahu kamu sedang marah. Kenapa kamu marah? Peristiwa apa yang membuat kamu marah? Bagian mana dari peristiwa itu yang membuat kamu marah? Apa yang hendak kamu sampaikan kepada diri kamu sendiri? Apa yang hendak kamu sampaikan kepada orang lain yang membuat kamu marah?”

Saya berbicara dengan diri sendiri selayaknya sedang berbicara pada sahabat. Saya mendengarkan suara hati, tanpa menghakimi atau menyalahkan diri sendiri. Sebaliknya, saya mencoba merangkul emosi, dengan penuh kasih sayang. Mengakui setiap rasa tanpa harus membenci.

Malam itu, saya menangis lagi. Tetapi, kali ini bukan menangis karena kelelahan. Saya menangis karena untuk pertama kali saya merasa bisa jujur pada diri sendiri.

“Tidak apa-apa Denty kalau kamu belum bisa memaafkan seseorang yang telah menyakiti hati kamu. Saya mengerti, rasa sedih dan marah itu begitu nyata. Mungkin memang bukan sekarang saatnya kamu memafkan, tetapi suatu hari nanti kamu pasti bisa memaafkan… Bersabarlah… suatu hari nanti, semua ini pasti berlalu,” kata saya.

Keesokan harinya saya bangun seperti biasa, lalu beraktivitas biasa. Ajaibnya, pada malam hari saya justru merasa biasa-biasa saja. Amarah yang membara, tidak lagi singgah di sana. Sedih dan kecewa, juga berkurang. Padahal, biasanya malam adalah waktu yang paling menyiksa karena pikiran-pikiran negatif bermunculan.

Sebelum tidur, saya kembali berdialog dengan diri sendiri: “Gimana kabar kamu Denty? Apakah merasa lebih baik?” Diri saya yang lain menjawab: “Ya, saya merasa lebih baik. Ada suatu peristiwa menyakitkan yang terjadi. Peristiwa itu menjadi bagian dari diri saya, tetapi peristiwa itu tidak lagi menguasai saya.”

Sekarang, setiap kali saya kembali merasakan sedih, marah, dan kecewa… saya tidak menolak perasaan itu. Saya akan menerima perasaan-perasaan itu sebagai bagian dari diri sendiri yang harus dipahami. Setelah mendengar dan memahami diri sendiri, malam itu, saya tidur nyenyak sekali. (Denty Piawai Nastitie)

Read more

Perjalanan memang tidak selamanya mulus. Ada kalanya apa yang kita harapkan tak menjadi kenyataan, atau sebaliknya, apa yang tidak dipikirkan malah memberi kegembiraan. Lalu, pilihannya hanya ada dua: menikmati sebaik-baiknya apa yang kita miliki sambil berharap badai segera berlalu, atau sekedar merutuki nasib yang toh tidak akan membawa kita kemana-mana.

Situasi itu, saya rasakan ketika mendarat di Quenstown, New Zealand, April lalu. Siapa sih yang tidak bahagia membayangkan akan segera menyusuri sungai dan hutan di Negeri Kiwi, bermain dengan biri-biri yang lucu menggemaskan, juga memandang bintang-bintang di bumi the Lord of the Rings. Saking bahagianya, begitu mendarat di Quenstown saya lompat-lompat bahagia.

Teman saya, Narastika, sangat menyadari perubahan suasana hati saya. “Di North Island, muka kamu biasa saja. Begitu mendarat di South Island, girang banget,” kata dia. Hahahahha.

Beberapa hari sebelum mendarat di Quenstown, Narastika dan saya memang sudah menjelajah di Pulau Utara. Beberapa tempat yang dikunjungi adalah Hobbiton Movie Set dan Waitomo Caves. Narastika dan saya juga sempat berjalan-jalan di Auckland.

Bagi saya, tidak ada yang salah dengan perjalanan di Pulau Utara. Semua serba baik-baik dan senang-senang saja. Tetapi, saya lebih tertarik berpetualang di Pulau Selatan karena bersentuhan dengan alam bebas. Berbeda dengan di Pulau Utara, tempat-tempat yang kami kunjungi kebanyakan destinasi favorit turis asing, sehingga somehow membuat saya kurang antusias. Sebaliknya, perjalanan di Pulau Selatan benar-benar bikin saya nggak sabar!

Foto perjalanan di South Island

Semangat 45 untuk segera menjelajah di South Island, berubah drastis jadi penuh ketidakpastian ketika saya menyadari koper yang saya bawa dari Jakarta tidak keluar dari baggage claim. Hilang! Lenyap! Nggak tahu di mana! Sialan! Perasaan gembira langsung beralih menjadi bingung, merasa tidak aman, marah, juga sedih. Narastika dan saya segera melapor kepada maskapai penerbangan.

Maskapai berjanji akan mencari koper itu dan kalau ketemu akan mengirimkan ke penginapan. “Tetapi nggak mungkin malam ini, ya, karena sudah nggak ada penerbangan,” kata si mas-mas dari maskapai penerbangan yang mukanya datar kayak setrikaan. WHAT?!!

 

 

 

Saking terkejutnya, saya tidak sempat meminta kompensasi dari kemalangan ini kepada petugas itu. Hidup penuh ketidakpastian dan keterbatasan baru terasa ketika untuk membeli sikat gigi saja, saya harus merogoh kocek pribadi sampai Rp 70 ribu. “Ah, ini mah di Indomart juga paling mahal 10 rb,” kata saya kesal, dalam hati. Saya juga harus membeli satu stel pakaian baru. Untuk jaket, terpaksa mengandalkan yang menempel di badan. “Nanti kamu pinjem sampo dan sabun aku aja. Kalau mau pakai tabir surya aku juga ada. Nggak usah beli,” kata Narastika, melihat wajah melas saya.

Dari peristiwa ini, saya sadar manusia itu sangat mood-swing. Perasaan-perasaan kita mudah terpengaruh dengan apa yang kita miliki. Ketika saya mempunyai koper, misalnya, saya merasa hidup aman dan nyaman karena saya tahu apa pun yang saya butuhkan ada di dalam kotak ajaib itu. Saya tidak akan takut kedinginan karena saya tahu telah menyimpan pakaian tebal dan sarung tangan di dalam koper. Saat saya ngantuk, saya mempunyai piyama yang nyaman dipakai. Di dalam koper juga ada peralatan mandi yang bisa membuat saya segar setiap waktu.

Tetapi, begitu saya kehilangan barang itu, semua terasa tidak ada artinya. Hidup penuh ketidakpastian. Saya jadi merasa takut beraktivitas karena tidak membawa barang-barang yang dibutuhkan. Perasaan tidak nyaman dan tidak aman ini membuat saya harus menolak ajakan Erika, teman dari Perancis, yang mengajak tracking di Queenstown.

Erika, Narastika, dan saya 😀

Ketika Erika mengajak mendaki bukit, saya jadi berpikir ulang seribu kali. Banyak pertanyaan muncul di kepala, seperti bagaimana kalau hujan dan pakaian saya basah, bagaimana kalau nanti saya kedinginan padahal saya nggak punya baju berlapis yang cukup? Bagaimana kalau ini… kalau itu… dengan perasaan-perasaan tak menentu, akhirnya saya menolak perjalanan ke bukit. Narastika dan saya akhirnya hanya berjalan-jalan santai saja di sekitar penginapan.

Sebagai manusia, sepertinya memang kita tidak pernah siap untuk hidup tidak nyaman. Apalagi, kalau hidup dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, bukannya hidup lebih tenang, hampir setiap hari kita justru dihadapkan pada perasaan takut gagal, takut jatuh, takut tidak mempunyai tempat tinggal, takut tidur yang biasanya di atas kasur empuk berubah menjadi di atas tikar, takut uang tabungan habis, takut kelak tidak bisa membayar uang sekolah anak-anak, takut nggak bisa makan enak lagi, takut nggak bisa liburan sama teman-teman segank, takut nggak punya teman, takut hidup dan mati seorang diri tanpa teman menemani, takut nggak bisa eksis di acara-acara hits.

Kemudian rasa takut itu dilawan dengan bekerja lebih keras. Tujuannya cuma satu, agar punya penghasilan yang lebih besar, sehingga bisa membayar tempat tinggal, mengisi saldo tabungan agar punya uang untuk liburan, agar bisa traktir pacar makan enak, agar bisa bayar sekolah anak, agar bisa bawa orang tua mengunjungi tempat yang diinginkan. Kerja lebih keras lagi, lagi, dan lagi, karena bukankah setiap individu bertanggung jawab atas kesejahteraannya masing-masing, lalu kesibukan membuat lupa menikmati apa yang dimiliki. Lupa mensyukuri semua pengalaman suka dan duka yang tersaji. 🙁

Di tengah segala kepanikan, saya berusaha menikmati sebaik-baiknya perjalanan. Apalagi, sebelum tidur, ibu saya mengirim pesan: “Gimana kopernya? Tenang saja… Berdoa. Nikmati perjalanan,” tulis ibu. Nyes, rasanya! Iya jugaa yaa.. kenapa saya jadi nggak menikmati perjalanan gini? 🙁

Menyadari hal ini, saya berusaha tetap tenang meski hidup tanpa koper menemani. Saya jadi teringat kalimat: Tuhan tak pernah janji langit selalu biru, tetapi dia berjanji akan selalu menyertai. *mendadak relijius hahahha* Jadi apa pun yang terjadi, terjadilah… Saya berusaha ikhlas… Saya nggak mau bohong, sejatinya mulut ini nggak tahan untuk tidak mengumpat, serta pengen nangis sambil garuk-garuk aspal (KENAPAA KOPER GUE ILAANG WOYY KENAPAA), tetapi sesungguhnya hati ini sudah legowo kok. Saya tahu, situasi terburuknya adalah koper saya benar-benar hilang dan saya benar-benar hidup nelangsa di negeri orang. HAHAHA.

Keesokan harinya, sambil menunggu koper, Erika, Narastika, dan saya, jalan-jalan ke Glenorchy! (((Gaisss… asli tempat ini indah banget!! Instagramable cuyyyy!!!))) Glenorchy terletak di utara Danau Wakatipu, sekitar 45 menit dari Quenstown. Situs perjalanan Newzealand.com mendeskripsikan tempat ini sebagai: pintu masuk menuju jalur lintas alam dan keajaiban Middle-earth. Magical! Bentangan alam Glenorchy yang spektakuler menjadi lokasi utama shooting film trilogi The Lord of the Rings dan Narnia.

Erika, Narastika, dan saya, menyusuri jalur lintas alam. Kebetulan ketika itu gerimis membasahi rumput, tanah, dan pepohonan. Senang sekali bisa berjalan kaki dengan aroma tanah basah. Langit berwarna abu-abu, tetapi tidak membuat hati menjadi kelabu 🙂 Sejauh mata memandang, terlihat bentang alam yang memanjakan sanubari. Percakapan-percakapan dengan Erika dan Narastika, menjadi penghibur hati yang resah. Pertemuan dengan penduduk lokal yang sedang berkuda atau berjalan-jalan santai seperti kami, memberikan pengalaman yang menyenangkan. Dengan segala yang sudah diberikan alam dan kehidupan, nikmat mana yang hendak kau dustakan, Ferguzoooo!!!

Menjelang senja, Erika, Narastika, dan saya, kembali ke penginapan. Di hostel, saya melihat koper pink yang dinanti-nantikan sudah datang. Aaaaaahhhh senang sekali!!! Sesuatu yang biasa saja, terasa menjadi sangat berharga! Selanjutnya, kawan-kawan dan saya merayakan malam dengan makan pizza lezat yang dinikmati bersama-sama di dekat tungku api yang hangat. Terima kasih perjalanan yang memberi banyak perjalanan berharga 🙂

Jakarta, 21 September 2019

Denty Piawai Nastitie

Foto2 oleh: Narastika (silakan gais yang mau kenalan ^^,)

Ps: kehilangan koper membuat saya ingat seorang teman yang pernah kehilangan koper saat perjalanan ke Inggris. Saat itu, koper dia kebawa penumpang lain sampai Bahrain

((I feel you, Yog! HAHAHAHHAHA)

Baca kisah sebelumnya: Extrovert vs Introvert, Kepribadian yang Tertukar

[instagram-feed]

Read more

Sumber tulisan: Universitas Sanata Dharma (usd.ac.id)

Denty Piawai Nastitie, alumnus Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma (USD), pada hari Jumat 8 Februari 2019 menerima penghargaan dari Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend, atas tulisannya yang inspiratif dengan judul “Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan”, di Restoran Seribu Rasa, Jakarta.

Denty, demikian ia sering disapa, ketika dihubungi via telepon (14/2/18), kembali mengucapkan terima kasih kepada Uni Eropa karena telah memberikan penghargaan terhadap tulisannya yang dimuat di Harian KOMPAS (5/10/2018). “Saya mengucapkan terima kasih banyak buat penghargaan ini kepada Uni Eropa.” ucap Denty. Ia juga kembali mengucapkan terima kasih kepada tempatnya bekerja, Harian KOMPAS, karena telah memberikan ruang baginya untuk menuliskan kisah dan karya jurnalistik yang menarik. “Kepada tempat saya bekerja, Harian KOMPAS, yang sudah memberikan saya ruang buat menuliskan kisah-kisah yang menarik.” sambung Denty.

Denty, dalam tulisannya yang diberi penghargaan oleh Uni Eropa tersebut, hendak menyampaikan kepada publik bahwa kaum disabilitas dan non-disabilitas memiliki hak-hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Hak-hak tersebut dapat berupa aksesibilitas, fasilitas, kesempatan bekerja, dan pendidikan untuk mengembangkan dan menunjukkan potensi yang ada di dalam diri. “Orang-orang disabilitas maupun kita yang non-disabilitas itu sebenarnya punya hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Selama ini, orang-orang dengan kebutuhan khusus itu sering mendapatkan kesulitan dalam beraktivitas sehari-hari karena minimnya aksesibilitas, fasilitas, kesempatan bekerja, kesempatan pendidikan, sehingga sulit membuat mereka berkembang. Kebanyakan orang-orang dengan kebutuhan khusus memilih untuk bersembunyi dari pada menunjukkan potensi diri.” ungkap Denty.

Denty, yang secara intens mengikuti persiapan hingga penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games 2018, juga menyampaikan bahwa Asian Para Games (6-13/10/2018) telah menunjukkan bahwa ketika kaum disabilitas diberikan kesempatan yang sama seperti ketika kaum non-disabilitas berperan dalam Asian Games (18/8-2/9/2018), kaum disabilitas pun dapat menunjukkan potensi yang ada dalam diri mereka. “Dari Asian Para Games kemarin, kita bisa melihat bahwa orang-orang yang dengan kebutuhan khusus itu, ketika mereka punya mimpi, punya cita-cita, terus diiringi dengan kerja keras, mereka bisa menunjukkan potensi dirinya.” lanjut Denty.

Denty, yang ditugaskan di bidang olahraga Harian KOMPAS sejak 2016, mengungkapkan perasaannya yang senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka ketika tulisannya mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa. “Perasaan saya tentu saja senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka.” ungkap Denty. Namun, Denty yang diangkat menjadi wartawan Harian KOMPAS sejak 2014 memberi catatan terhadap penghargaan yang diberikan oleh Uni Eropa bahwa semangat kesetaraan dan semangat anti diskriminasi harus terus menggema dan tidak berhenti. “Buat saya yang lebih penting adalah bagaimana tulisan saya, karya-karya jurnalistik saya, dan teman-teman lainnya yang juga mendapat penghargaan, terutama terkait disabilitas ini, bisa terus menggema. Jadi, jangan sampai begitu Asian Games dan Asian Para Games selesai, semangat kesetaraan dan semangat anti diskriminasi itu berhenti.” tegas Denty.

Denty, yang memulai karirnya dengan magang di Harian KOMPAS sejak lulus dari USD pada 2013, tidak lupa mengucapkan terima kasih untuk pengalaman-pengalaman yang dialaminya selama kuliah di USD. “Terima kasih juga buat pengalaman-pengalaman selama kuliah di Universitas Sanata Dharma. Saya belajar banyak di Universitas Sanata Dharma, terutama nilai-nilai kemanusiaan dan semangat kesetaraan yang selalu saya dapatkan dari dosen-dosen di Universitas Sanata Dharma.” ucap Denty.

Tidak lupa pula, Denty yang aktif di dalam dan di luar kelas perkuliahan ketika menjadi mahasiswi USD, memberi harapan dan pesan kepada ‘adik-adik’nya yang masih berkuliah di USD dalam mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja. “Saya berharap dengan adanya penghargaan ini, mahasiswa-mahasiswi USD bisa memanfaatkan waktu dan kesempatan selama kuliah dengan sebaik-baiknya. Dan, enggak cuma aktif di kelas tetapi juga mencari pengalaman dan ilmu di luar kelas, di organisasi-organisasi yang lain. Karena, pengalaman-pengalaman selama kuliah, baik di kelas maupun di luar kelas, menurut saya akan sangat bermanfaat ketika masuk di dunia kerja.” harap dan pesan Denty. Denty pun melanjutkan harapan dan pesannya bahwa interaksi dengan masyarakat luas adalah ilmu yang tidak boleh dilupakan begitu saja. “Ketika kita kuliah, harus diimbangi dengan banyak berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat luas, Interaksi kita dengan masyarakat luas itu akan menambah ilmu kita.” lanjut Denty.

(AH & YS)

Read more

Sumber tulisan: Kemenpora
Jakarta: Sebagai perempuan yang berprofesi seorang jurnalis, Denty Piawai Nastitie memiliki cara sendiri dalam memaknai Hari Kartini yang tepat diperingati pada tanggal 21 April. Dengan sebuah karya tulis, Denty ingin perempuan muda Indonesia harus merdeka dan bebas.
“Sosok Kartini masa kini adalah perempuan-perempuan merdeka yang bisa bebas berekspresi, bebas menyatakan pendapat, punya pemikiran terbuka, punya wawasan luas, bisa mengakses pendidikan berkualitas, bisa mengakses layanan kesehatan dan reproduksi berkualitas,” tutur Denty.
Terjun ke dunia jurnalisme bagi Denty bukan tanpa alasan, perempuan yang menyukai fotografi ini mengaku bahwa ia memang gemar menulis. Denty sendiri telah banyak meliput dan menulis kegiatan-kegiatan olahraga baik di dalam maupun di luar negeri.
Salah satu tulisannya yang berjudul “Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan” bahkan mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa pada tahun 2018, karena dinilai sebagai sebuah karya jurnalistik yang mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender dan anti diskriminasi. Bagi Denty, pencapaian yang paling membanggakan adalah ketika tulisan yang Ia buat bisa membawa dampak positif bagi orang lain.
Lewat karya tulisnya Denty konsisten menyuarakan pemikiran-pemikiran dan konsep kebebasan perempuan. Ia kerap menulis artikel berkaitan dengan masalah gender dan diskriminasi. Denty membahas bagaimana atlet-atlet perempuan dihadapkan dengan sikap diskriminatif dari kaumnya sendiri.
Denty tak pernah lupa meluangkan waktu untuk menjalani hobi traveling dan memotret. Pengalaman dan pelajaran yang ia peroleh dalam perjalanannya juga dituangkan dalam blog pribadinya http://rambutkriwil.com. Melalui perjalanan karir dan passionnya Denty menyampaikan bahwa pemikiran tentang kebebasan perempuan baginya bukan retorika semata. Ia berhasil merealisasikannya lewat pilihan yang ia buat, yaitu berkarir sambil menikmati hidup.
Oleh karena itu, perayaan Hari Kartini penting untuk membangun kekuatan sesama perempuan agar dapat saling mendukung dalam berbagai aspek kehidupan.“Kartini masa kini hendaknya mempunyai otoritas penuh terhadap tubuhnya, punya cita-cita dan berdaya mewujudkan cita-cita itu. Perempuan masa kini seharusnya tidak saling berkompetisi, tetapi memanfaatkan energi dan jaringan untuk berkolaborasi membangun negeri,” tambah Denty.
“Perempuan seharusnya dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk meningkatkan kualitas diri. Jangan jadikan media sosial sebagai tempat mengeluh. Sosial media akan lebih bermanfaat bila tidak digunakan untuk bertukar gosip atau saling menjatuhkan sesama perempuan. Sebaliknya manfaatkan kemajuan teknologi untuk maju bersama. Misalnya untuk mengembangkan bakat, untuk mengakses pengetahuan berkualitas, untuk membuka jaringan usaha dan lain-lain,” harap Denty.(uci/sin)
Read more