Author's Posts

Penghilangan paksa oleh negara bukan sekadar peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang telah menghapus jejak seseorang dari kehidupan, tetapi juga menghapus arah bagi keluarga yang ditinggalkan. Di balik setiap nama yang dihilangkan secara paksa, terdapat perempuan-perempuan yang terus mencari dan menunggu anggota keluarga yang hilang agar segera pulang. Mereka juga berjuang agar dapat melanjutkan kehidupan.

Nurhayati (59) masih membawa kenangan tentang ayahnya, Bachtiar, yang tak pernah pulang setelah peristiwa kerusuhan pecah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 12 September 1984. Dokumen Komnas HAM menyebutkan, tragedi Tanjung Priok 1984 sebagai salah satu luka terdalam dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam tragedi itu, sebanyak 79 orang menjadi korban, 55 korban luka dan 23 meninggal.

Saat terjadi, Nurhayati masih berusia 19 tahun. Malam itu, ia mendengar letusan senjata api di sekitar rumahnya. Banyak orang berlari untuk menyelamatkan diri. Rumah-rumah dibakar oleh orang tak dikenal. Keesokan harinya, Nurhayati berusaha mencari sang ayah yang sejak malam tidak terdengar kabarnya. Namun, pencariannya tak membuahkan hasil. Hingga kini, ia tak pernah lagi bertemu ayahnya.

Kehilangan sang ayah meninggalkan trauma, mengubah arah hidup, sekaligus membawa stigma berkepanjangan bagi Nurhayati dan keluarganya. Sang ibunda, yang kala itu kerap diteror dan diintai aparat tak dikenal, terpaksa menjual rumah dan melarikan diri ke Padang. ”Orang datang, tanya ’Bapak di mana’, entah siapa. Ibu jadi trauma,” kenang Nurhayati, dalam Diskusi dan Pernyataan Bersama Kongres ”Perempuan dalam Penghilangan Paksa di Indonesia” di Jakarta, Kamis (16/10/2025).

Pengungsian itu bukan akhir dari penderitaan. Di tanah kelahiran, keluarga Nurhayati justru menghadapi stigma dan penolakan dari keluarga dan kerabat. Dalam situasi keluarga yang kehilangan figur ayah, ibunda Nurhayati harus menjadi tulang punggung sekaligus pencari keadilan dengan mencari suaminya yang hilang. Demi bertahan hidup, sang ibu harus bekerja serabutan, seperti menjadi asisten rumah tangga.

Adapun bagi Nurhayati, penghilangan paksa ayahnya berarti juga hilangnya kesempatannya untuk menjalani hidup normal. Sesaat setelah peristiwa terjadi, beasiswa pendidikan Nurhayati dicabut dan ia sulit dapat pekerjaan. Cap sebagai ”Lulusan Tanjung Priok” terus melekat seperti kutukan. ”Sudah lima kali tes kerja, tapi begitu dilihat ijazah saya dari Tanjung Priok, langsung ditolak,” katanya.

Tak hanya mengalami stigma dan diskriminasi, penghilangan paksa anggota keluarga dalam tragedi kelam juga menciptakan trauma lintas generasi dan mengakar dalam dalam ingatan kolektif keluarga. Perasaan trauma dan takut berbicara dengan orang asing, hingga sikap menutup diri jamak ditemui di antara keluarga korban. ”Dulu ngomong aja takut, kalau ngomong salah takut kami kami diculik,” ujarnya.

Adapun bagi Nur Aini (50), kehidupannya berubah total sejak 1991. Saat itu, usianya belum genap 20 tahun ketika ayahnya dihilangkan secara paksa di tengah konflik antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sejak hari itu, ibunya yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa mendadak menjadi segalanya, yakni mencari suami yang tak pernah kembali, menjadi tulang punggung keluarga bagi sembilan anak yang harus bertahan hidup, dan menerima stigma dan diskriminasi dari tetangga dan keluarga.

”Saya melihat ibu saya harus kuat di depan anak-anak, padahal batinnya tidak kuat. Dia menangis diam-diam, lalu besoknya bangun lagi untuk bekerja, mencari makan, mencari kabar ayah,” ujar Nur.

Beban berlapis itu, pelan-pelan juga berpindah ke pundak Nur. Ia kehilangan masa mudanya karena harus menggantikan peran ibu di rumah, yakni mengurus adik-adik, memastikan mereka tetap makan dan sekolah, sambil menahan rasa takut setiap kali ada di dekat rumah.

Di masa konflik, perempuan Aceh hidup dalam dilema yang nyaris tanpa ruang aman. Di satu sisi, mereka bisa dicurigai sebagai simpatisan TNI jika menolak membantu kelompok bersenjata Aceh. Di sisi lain, mereka bisa dituduh ”orang GAM” oleh aparat jika terlihat terlalu akrab dengan pihak lawan.

”Kadang hanya karena memberi sebatang rokok (kepada anggota GAM), malamnya orang itu hilang. Masyarakat sipil terjepit, tak tahu mana yang bisa dipercaya,” ujarnya.

Stigma menjadi luka tambahan yang sulit sembuh. Di masa itu, keluarga korban kerap dicap sebagai anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) oleh para tetangga dan aparat. Banyak keluarga korban dikucilkan oleh para tetangga, bahkan keluarga sendiri. ”Adik saya yang masih SD diejek, ’kamu anak GPK’. Sampai sekarang trauma itu masih membekas,” ucap Nur.

Hingga kini, jumlah total kasus penghilangan paksa belum dapat dipastikan. Kontras mencatat terdapat 32.774 orang hilang dalam peristiwa 1965–1966, 1.935 orang hilang selama periode Daerah Operasi Militer di Aceh (1989–1998), dan 23 orang hilang dengan hanya 9 orang yang telah kembali pada peristiwa 1997–1998. 

Penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM juga menemukan terjadinya penghilangan orang secara paksa dalam peristiwa-peristiwa lain, yaitu Penembakan Misterius 1982–1985, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1989-1998, Timor Timur 1999, Wasior 2001-2002, dan Timang Gajah 2001. 

Di luar peristiwa pelanggaran berat HAM, penghilangan paksa terjadi di berbagai peristiwa, termasuk Sentani 1970, peristiwa 27 Juli 1996, dan tragedi Biak Berdarah 1998. Peristiwa penghilangan paksa terus terjadi, data terbaru Kontras menerima 44 laporan orang hilang terkait demonstrasi pada akhir Agustus 2025.

Dalam peristiwa penghilangan paksa, perempuan keluarga korban, seperti Nurhayati dan Nur Aini kerap memikul peran berlapis, yakni merawat luka pribadi dan memperjuangkan keadilan. Selama bertahun-tahun mereka berusaha mencari anggota keluarga yang hilang sambil terus bertahan hidup. Kini, sebagian besar saksi dan korban peristiwa itu telah tiada. Hanya segelintir tersisa, termasuk Nurhayati dan Nur Aini, yang terus menjaga ingatan agar sejarah tak dikubur dalam diam.

Selama dua hari, pada Rabu dan Kamis, 15 dan 16 Oktober 2025, Kontras bersama bersama IKOHI dan AJAR dan jaringan keluarga korban penghilangan paksa menggelar serangkaian kegiatan yang berpuncak pada Kongres Perempuan dalam Penghilangan Secara Paksa. Dalam kongres itu, perempuan korban dan keluarga korban penghilangan paksa di Indonesia menyuarakan sembilan tuntutan kepada negara.

Tuntutan itu, mulai dari ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED) dan penyesuaian KUHAP agar sejalan dengan prinsip HAM dan CEDAW, hingga penegakan keadilan dan perlindungan bagi korban. 

Menurut Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Jane Rosalina, Kongres Perempuan mempertemukan para perempuan dari berbagai daerah dan peristiwa pelanggaran HAM berat, mulai dari Aceh, Timor Timur, tragedi 1965, hingga 1998. ”Kongres ini bertujuan menyerukan pernyataan sikap bersama terkait tuntutan perempuan dalam perlindungan dari praktik penghilangan paksa,” ujar Jane.

Ia menekankan bahwa hingga kini negara belum menuntaskan pelanggaran berat tersebut secara komprehensif, sementara para perempuan korban terus menanggung beban berlapis. Jane juga menyesalkan perspektif perempuan yang masih jarang muncul dalam penyelesaian kasus-kasus penghilangan paksa. Padahal, perempuan menjadi kelompok yang sangat terdampak.

Ia mencontohkan, banyak istri korban 1998 yang kehilangan hak-hak sipil seperti status perkawinan, waris, hingga akses ekonomi karena negara belum mengatur status hilang dalam konteks pelanggaran HAM berat.

Jane juga menyoroti berulangnya praktik penghilangan orang, termasuk kasus mahasiswa yang hilang baru-baru ini. Menurut dia, hal itu terjadi karena praktik impunitas masih mengakar. ”Negara tidak menuntut pelaku, tidak mereformasi sektor keamanan, dan tidak menjamin ketidakberulangan,” ujar Jane.

Selama tidak ada efek jera, negara akan terus terjebak dalam lingkaran kesalahan yang membuat penghilangan paksa terus berulang. Dan di balik setiap nama yang dihilangkan paksa, ada perempuan-perempuan yang bertahan, menjadi ibu, pencari nafkah, dan penjaga gerbang keadilan. (Kompas/Denty Piawai Nastitie)

Read more

JawaPos – Esai menjadi salah satu komponen penting dalam pendaftaran beasiswa luar negeri. Hal ini disampaikan oleh penerima Beasiswa Chevening, Denty Piawai Nastitie, dalam webinar yang digelar Jawa Pos Learning Hub bertajuk Menulis Esai untuk Beasiswa Luar Negeri pada Sabtu (23/8).

Menurut Denty, keberhasilan dalam menulis esai berawal dari refleksi diri. “Sebenarnya siapa sih saya? Apa mimpi besar saya? Apa kekuatan dan kelemahan saya? Dari refleksi diri itu, ternyata membantu saya ketika saya menyusun beasiswa Chevening” ungkapnya.

Ia pun menekankan bahwa Chevening tidak hanya mencari kandidat dengan ambisi besar, melainkan mereka yang mengenal diri sendiri dan mampu memanfaatkan potensi beasiswa untuk berkembang.

“Jadi beasiswa Chevening itu tidak sekedar kamu punya ambisi yang kuat gitu ya buat dapat beasiswa, tetapi beasiswa ini menguji seberapa kita mengenal diri kita, dan bagaimana kita mendapatkan potensi yang lebih baik dengan beasiswa ini” sambungnya.

Lebih lanjut, Denty menekankan pentingnya memiliki mimpi besar yang relevan, bukan sekadar pencapaian setinggi langit. Yang dicari, menurutnya, justru adalah sosok yang mampu menempatkan diri pada posisi strategis sesuai dengan kebutuhan program.

“Karena yang dicari itu justru sebenarnya bukan orang yang punya pencapaian setinggi langit, tetapi bagaimana sih kita bisa punya posisi strategis dan sesuai dengan kebutuhan Chevening” ujar penerima beasiswa di SOAS University ini.

Untuk itu, riset mengenai kampus, jurusan, hingga situasi terkini di negara tujuan menjadi sangat penting. Setiap tahun, program beasiswa akan menilai sejauh mana aplikasi yang diajukan memiliki relevansi dengan isu-isu terbaru. “Setiap tahun beasiswa akan mencoba relevansi mereka dengan kebutuhan-kebutuhan terkini” lanjut Denty.

Pengalaman organisasi yang sesuai dengan bidang studi juga menjadi nilai tambah dalam esai. Keterlibatan ini akan memperkuat profil serta menambah bobot esai yang dituliskan. “Dengan pengalaman yang terus bertambah ini akan memperkuat esai kita atau profile kita ketika mendaftar beasiswa” ungkapnya.

Denty juga mengingatkan bahwa banyak esai gagal karena tujuan yang ditulis terlalu abstrak dan kurang spesifik. “Aku sering baca, ketika aku review esai dari temen-temen, membangun Indonesia, ini kan terlalu abstrak, bagaimana cara ngukurnya kita tidak tahu, sebaiknya kalau nulis esai lebih spesifik, membangun Indonesia caranya seperti apa, di bidang apa dan bagaimana konkritnya” ujarnya.

Selain isi, struktur esai juga tak kalah penting. Kerangka yang kuat akan membuat tulisan lebih enak dibaca dan mudah dipahami. Ia menyarankan menggunakan metode STAR (Situation, Task, Action, Result) maupun SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound) agar pengalaman yang dituliskan dalam esai lebih sistematis.

Bahasa yang digunakan pun harus profesional. Kalimat perlu ditulis dengan jelas, ringkas, dan tidak bertele-tele. Kosakata harus dipilih secara tepat, informasi yang tidak relevan sebaiknya dihapus, dan esai perlu ditinjau kembali agar sesuai dengan pertanyaan yang diminta. Denty juga menyarankan agar esai dibaca ulang oleh orang lain sebagai masukan sebelum dikirimkan.

“Pastikan kalimatnya jelas, ringkas, dan tidak bertele-tele, gunakan kosakata yang tepat dan profesional, dan tinjau kembali apakah jawaban itu sesuai dengan pertanyaan atau tidak, terus buang informasi yang tidak relevan, dan jangan segan untuk memberikan esai kalian ke orang lain untuk dibaca” beber Denty.

Menurutnya, esai beasiswa adalah ruang untuk “menjual diri” kepada lembaga pemberi beasiswa. Esai tidak hanya berisi daftar prestasi, tetapi juga menggambarkan latar belakang, alasan memilih program studi, serta rencana kontribusi setelah lulus. Dengan persiapan matang, refleksi mendalam, serta strategi penulisan yang tepat, peluang lolos beasiswa luar negeri pun akan semakin terbuka. (Jelita Indriana Putri, Senin, 25 Agustus 2025 | 12:22 WIB)

Read more

Selama ini, perempuan dalam jaringan terorisme kerap dipandang hanya sebagai korban atau pelaku. Padahal, ada sisi lain yang jarang terlihat, perempuan juga bisa menjadi agen perubahan. Inilah kisah para istri mantan narapidana terorisme yang berjuang melawan stigma, membesarkan anak-anak di tengah trauma, sekaligus mencegah keluarga mereka kembali terjerat paham radikal.

Bagi Putri Ariasti (44), ingatan paling mencekam itu terjadi tepat pada 17 Agustus 2016, sembilan tahun silam. Hari kemerdekaan yang semestinya dirayakan dengan sukacita justru berubah menjadi titik kelam dalam hidupnya. Pagi itu, di tengah semarak karnaval dan kibaran bendera Merah Putih, sebuah barakuda berhenti di depan rumahnya.

Beberapa pria berbadan tegap lengkap bersenjata turun dengan langkah cepat dan langsung menggeledah rumah. Putra sulungnya, Sultan, yang kala itu berusia 12 tahun, berlari sambil menangis ketakutan. Pada hari yang sama, Detasemen Khusus 88 Anti Teror menangkap suaminya, Munir Kartono (42), atas dugaan keterlibatan kasus terorisme.

Sejak detik itu, Putri tidak hanya kehilangan suami yang digelandang aparat, tetapi juga seolah kehilangan separuh hidupnya. ”Saya gemetar. Di satu sisi ingin mengejar suami saya, di sisi lain anak-anak saya menangis ketakutan,” kenang Putri dengan mata berkaca-kaca saat ditemui di rumahnya di Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/8/2025).

Pascapenangkapan, stigma langsung menghantam Putri. Ia, yang selama ini dikenal sebagai guru TK, tiba-tiba dipandang curiga. Gosip beredar ke mana-mana, dari tuduhan menyembunyikan uang hasil kejahatan, hingga cibiran bahwa keluarganya bagian dari jaringan teror. Selama seminggu, Putri tidak keluar rumah karena malu. Apalagi, ayahnya sempat marah besar dan tidak mau bicara dengan Putri.

Munir, suami Putri, kemudian divonis 5 tahun penjara. Ia terbukti mendukung pendanaan aksi bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta pada Juli 2016. Saat itu, Munir menjadi penggalang dana andal untuk mendukung aksi teror, kegiatan terlarang yang ia tutupi dari orang lain, termasuk istri dan keluarganya.

Sembilan tahun berlalu. Munir telah bebas sejak 2020 setelah menjalani 3 tahun 8 bulan masa hukuman. Tetapi, trauma masih menghantui Putri dan keluarga. Selain itu, Putri juga sering merasa malu dan tidak percaya diri untuk bergaul. Label sebagai istri eks narapidana teroris mengganggu pikirannya.

Namun, Putri tak larut dalam keterpurukan. Sejak suaminya menjalani hukuman penjara, Putri berjuang menata ulang hidup bersama empat anaknya. Dengan bantuan modal dari keluarga, ia membuka warung di dekat rumah yang menjadi titik balik hidupnya.

Selain menopang ekonomi keluarga, warung menjadi bukti resiliensi menghadapi tekanan psikologi, ekonomi, dan sosial. Perlahan, tetangganya kembali menyapa, bahkan membantu keluarga ini melanjutkan kehidupan.

Pengalaman pahit menjadikan Putri lebih waspada. Bagi Putri, perjuangan terbesar bukan sekadar menghadapi stigma, melainkan menjaga anak-anaknya agar tidak ikut terseret pada jejak kekerasan. Putri berusaha menekankan nilai-nilai sederhana, seperti tanggung jawab, saling menghormati, dan terbuka pada perbedaan. Ia juga mendampingi anak-anak saat stigma menimpa. Contohnya, ketika si sulung sempat minder dan enggan sekolah karena ayahnya dipenjara, Putri memotivasi. Hasilnya, sang anak justru meraih juara umum di sekolah.

Putri mengaku sempat menutup diri dari kegiatan keagamaan karena takut dicurigai. Namun, kini, ia memilih jalan tengah, yakni tetap beribadah dengan tenang, tanpa terjebak pada ajakan eksklusif.
Putri dan suaminya juga memutuskan agar anak-anak tidak dimasukkan ke sekolah eksklusif berlabel agama tertentu. Mereka memilih sekolah negeri agar anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang beragam.

Kalau dulu Putri dikenal sebagai guru, sekarang ia memilih jadi pendidik untuk keluarga sendiri. Dari rumah, ia menjaga agar anak-anak tidak mengulang kesalahan ayahnya dan masuk dalam lingkungan kekerasan. Bukan hanya kepada anak-anak, Putri juga tidak pernah bosan mengingatkan suami agar tidak lagi terjebak pada kesalahan yang sama.

Sementara itu, Munir memilih bersikap terbuka kepada anak-anaknya. ”Saya jelaskan bahwa saya pernah melakukan kesalahan, dan saya menanggung akibatnya. Saya tidak ingin anak-anak mengalami kejadian serupa,” kata Munir, yang kini telah meninggalkan ideologi radikal dan kembali aktif berkegiatan di tengah masyarakat.

Penyangga keluarga

Pengalaman traumatis juga dialami Nurwahidah (38), istri eks narapidana terorisme yang selama lebih dari satu dekade berjuang mempertahankan keluarga, mendidik anak-anaknya, sekaligus menjadi penyangga agar lingkaran radikalisme tidak terus berulang di dalam keluarga.

Nurwahidah bertemu suaminya ketika sama-sama kuliah di Jakarta. Sang suami, sejak masa SMA, sudah mengenal tokoh agama yang menyelipkan ajaran jihad dalam setiap pertemuan keagamaan. Jaringan pertemanan dan lingkungan makin menguatkan keyakinan suaminya untuk masuk dalam tindakan kekerasan.

Sebagai istri muda, Nurwahidah kerap menentang keinginan suaminya untuk ikut berkegiatan di lingkaran tersebut. Namun, suaminya tidak mendengarkan masukan dari Nurwahidah. Sang suami tetap aktif di jaringan radikal.

Puncaknya, pada Juni 2013, suaminya ditangkap Densus 88 Anti Teror di Poso, Sulawesi Tengah, wilayah yang kala itu dikenal rawan konflik. Selama suaminya menjalani hukuman penjara, Nurwahidah menghadapi stigma, tekanan sosial, bahkan ancaman langsung, tetapi tetap berusaha menjaga keluarga tetap utuh.

Kini, suaminya telah bebas dan menyatakan setia ke NKRI. Nurwahidah bersama suami dan anak-anaknya tinggal di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Di tengah hidup yang serba menantang, Nurwahidah menemukan makna baru dalam hidupnya, yakni membesarkan anak-anak dengan pemahaman agama yang damai dan moderat. Ia percaya, pengalaman getirnya bisa menjadi pelajaran bagi perempuan lain agar tidak terjebak dalam siklus yang sama.

Sementara itu, Nuraeni (38) menghadapi kenyataan pahit bahwa sang suami terlibat dalam jaringan kekerasan setelah sang suami ditembak mati oleh Densus 88 Anti Teror pada Oktober 2012. Selama ini, Nuraeni tidak mengetahui kegiatan sang suami.

Jaringan terorisme

Nuraeni hanya mengetahui suaminya sering pergi ke luar kota. Setelah penembakan itu, Nuraeni baru mengetahui bahwa suaminya terlibat dalam jaringan terorisme.

Penembakan itu bukan hanya merenggut nyawa suaminya, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi dirinya dan anak-anak. Apalagi, ia tidak diperkenankan melihat jenazah suami untuk terakhir kalinya.

Di tengah luka kehilangan sang suami, Nuraeni berusaha berdiri tegak. Ia bertahan dengan berjualan makanan ringan di pasar dan menjadi staf TK. Kini, Nuraeni sudah menikah lagi. Bersama suami dan anak-anaknya, ia tinggal di Kabupaten Bima, NTB.

Nuraeni menyadari bahwa masa depan anak-anaknya harus diselamatkan dari jejak masa lalu ayah mereka. Untuk memutus mata rantai kekerasan dari tingkat keluarga, Nuraeni memilih jalur pendidikan. Ia percaya bahwa dengan belajar, membaca, dan bergaul sehat, anak-anak bisa lepas dari bayang-bayang kekerasan.

”Saya perhatikan, mereka yang terlibat dalam kelompok keras itu tidak suka membaca. Mereka hanya lulusan SD, SMP, atau paling tinggi SMA. Saya ingin menyekolahkan anak-anak saya setinggi-tingginya agar mereka bisa punya banyak bacaan dan tidak terlibat dalam jaringan kekerasan,” kata Nuraeni, dalam wawancara daring, Kamis (14/8/2025).

Dari seorang istri yang dulu tidak tahu-menahu soal pemahaman radikal, kini ia menjadi sosok yang aktif menasihati, mengarahkan, dan memastikan generasi berikutnya tidak mengulang jejak serupa. Selain memastikan pendidikan untuk anak-anaknya, Nuraeni juga kerap mengajak anak-anak dari keluarga radikal di lingkungan rumahnya untuk ke sekolah.

”Dengan mengajak anak-anak sekolah, saya berharap mereka tidak terpengaruh ajaran radikal dari orangtua mereka,” katanya.

Direktur Eksekutif Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Indonesia Siti Darojatul Aliah menegaskan, perempuan dalam lingkaran terorisme menempati posisi yang kompleks, yakni sebagai korban, pelaku, sekaligus agen perubahan.

”Perempuan sebagai pelaku juga sebenarnya merupakan korban indoktrinasi dan perekrutan yang berbeda-beda antara kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan ISIS,” kata Siti, di Jakarta, Senin (18/8/2025).

Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebanyak 65 perempuan divonis terkait pidana terorisme dari tahun 2000 hingga 2023. Sebelumnya, pada periode 2016-2020, tercatat 32 perempuan diduga terlibat jaringan terorisme, meningkat dari 8 perempuan pada 2002-2015. Keterlibatan perempuan ini sering kali melalui modus operandi sederhana, seperti bom bunuh diri atau serangan pisau, bahkan dilakukan bersama anak-anak.

Siti menjelaskan, dalam jaringan JI, perempuan direkrut bukan untuk aksi kekerasan, melainkan diposisikan sebagai istri para anggota. Mereka kerap tidak mengetahui aktivitas suami, bahkan banyak yang baru menyadari setelah terjadi penangkapan oleh aparat. Sebaliknya, pada jaringan ISIS, perempuan justru menjadi bagian aktif, mendukung bahkan mendorong suami mereka dalam aksi.

Dampak keterlibatan ini, lanjutnya, sangat besar bagi keluarga. Saat suami atau ayah ditangkap aparat, banyak perempuan dan anak-anak yang mengalami trauma dan kehilangan figur suami atau ayah sebagai tulang punggung keluarga, hingga tekanan sosial dari masyarakat.

Dalam banyak kasus, perempuan yang ditinggalkan harus menanggung peran berlipat ganda, yakni sebagai ibu, bapak, dan individu pencari nafkah. Selain itu, stigma dan diskriminasi juga menjadi beban berat.

Anak-anak kerap mengalami perundungan, sedangkan perempuan yang ditinggalkan harus berpindah-pindah tempat tinggal karena penolakan masyarakat. Kondisi ini berpotensi membuat mereka kembali rentan terhadap ideologi radikal.

Siti juga menyoroti lemahnya program deradikalisasi bagi perempuan. Ia menilai, selama ini pendekatan pemerintah dan lembaga terkait masih berpusat pada sosok laki-laki. Sementara perempuan kurang diperhatikan. Padahal, perempuan punya posisi sentral dalam mencegah dan menanggulangi kasus terorisme.

Untuk itu, Siti mendorong agar program deradikalisasi dan pencegahan radikalisme lebih sensitif terhadap isu jender serta melibatkan organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan narasi yang lebih adil terhadap perempuan.

Menurut dia, edukasi di tingkat keluarga dan komunitas harus diperkuat, termasuk memberi peran lebih besar kepada perempuan sebagai agen kontra-narasi. ”Perempuan adalah garda terdepan dalam mencegah ideologi kekerasan. Kalau mereka berdaya, mereka bisa menjadi benteng terkuat bagi keluarga dan masyarakat untuk mencegah paham radikal berkembang,” ujar Siti.

Kisah Putri, Nurwahidah, dan Nuraeni memperlihatkan bahwa di tengah stigma dan luka masa lalu, mereka memilih untuk tetap berdiri, menjaga keluarga agar tak terjerat lingkar yang sama. Dari ruang-ruang domestik yang sederhana, para istri eks narapidana terorisme membuktikan bahwa melawan terorisme bisa dimulai dari lingkar paling kecil, yakni keluarga. (KOMPAS/Denty Piawai Nastitie)

Read more

Ketika mendapatkan diagnosis tumor payudara, sebenarnya saya sedang dalam kondisi cukup terang. Saya baru menerbitkan buku, mendapatkan penghargaan dari sebuah lembaga pendidikan yang cukup bergengsi, mengamankan funding yang nilainya lumayan untuk jatah ngopi selama setahun, dan sedang menyiapkan beberapa project public speaking hingga pertengahan tahun.

Singkat kata hidup saya sedang bunga-bunga. Begitu saya menemukan benjolan di payudara, awan kelabu menggantung di atas kepala. Dokter meminta agar saya segera operasi mengingat ukuran tumor cukup besar. Tiba-tiba ritme kehidupan yang tadinya bak pelangi langsung berguncang. Saya ‘dipaksa’ untuk pause sejenak untuk memperhatikan kesehatan. Beberapa project harus ditunda.

Tentu sajaaa seperti kebanyakan orang lain yang lagi ketiban durian montong, eh musibah maksudnya, saya bertanya-tanya: kenapa bisa sakit? Apa salah saya? Kenapa saya? Apakah karena makanan saya yang asal-asalan? Atau ada faktor genetik?

Pita kaset di kepala kemudian berputar. Memutar ulang kejadian yang telah berlalu. Saya meyakini fisik dan mental saling berkaitan. Sakit fisik bisa mengguncang mental. Demikian juga sakit mental mempengaruhi fisik.

Saya ingat 2023 bukan tahun yang mudah. Saya sering menangis histeris tengah malam. Kepala terasa pening dan dada sesak. Saat itu untuk pertama kali saya harus mengakses layanan kesehatan mental karena mulai merasa ada yang konslet di otak saya.

Setelah tahun yang berat itu, kehidupan saya berjalan lebih baik. Saya menyadari terhadap beberapa hal memang kenyataan tidak bisa diubah. Mau marah-marah pun hanya menghabiskan energi. Saya mulai berdamai dengan keadaan. Mulai bangkit dan mulai menjalani ritme hidup ini.

Memasuki bulan kedua, tiba-tiba harus bedrest karena sakit fibroadenoma mammae. Saya langsung berpikir mungkin secara mental saya sudah lebih baik. Tetapi, fisik saya merekam semua kesedihan dan duka. Inilah yang mungkin saja membuat timbulnya benjolan di tubuh saya.

Bersyukur, operasi berjalan lancar. Saya dipertemukan dengan Dokter Andre yang bantu saya melewati sakit ini. Juga teman-teman yang sangat perhatian selama saya dalam masa pemulihan.

Meski sakit fisik sudah diatasi, tetapi saya sadar sebenarnya semua gejala ini meminta saya istirahat sejenak. Memberi waktu sejenak pada diri ini untuk didengar kehendaknya. Maka sepanjang Februari dan Maret saya off dari pekerjaan untuk pemulihan fisik dan mental.

Dalam masa hibernasi ini, saya merasakan hal-hal di luar nurul yang saya enggak kebayang saya akan merasakannya. Dari saya yang terbiasa multitasking dan melakukan banyak hal sekaligus, seketika tidak berproduksi. Tidak liputan. Tidak menulis berita. Jujur saja ada perasaan ganjil melihat jurnalis lain bikin berita, saya enggak. Apalagi pemilu lagi rame-ramenya. Ada keinginan terjun di lapangan, tapi fisik dan mental, saya memberontak. Setiap memikirkan kerjaan badan saya terasa sakit dan ngilu. Dada terasa sesak.

Yaweslahh akhirnyaa saya beneran istirahat. Pekan pertama di rumah saya cuma main sosmed. HAHA. Scrolling sana dan sini. Merdeka banget. Lama lama bosan. Apalagi video gak jelas muncul bikin emosi. Minggu kedua saya mulai menyibukkan diri dengan memasak. Menata buku-buku. Menyetrika. Melap debu-debu yang menempel di atas meja.

Ada perasaan suwung, kekosongan yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Di antara rak buku yang sudah jadi sarang laba-laba, saya menemukan majalah yang berisikan artikel tentang paman saya, Marsekal Muda Djoko Poerwoko. Dalam satu tulisan, paman mengatakan “Kita itu wayang kehidupan, berarti ada dalangnya. Harus siap ketika dimainkan. Harus siap ketika tidak dimainkan.”

Kata-kata pakde meresonansi dalam hidup saya. Tiba-tiba air mata merembes di pipi, ada penerimaan di sana. Untuk pertama dalam 10 tahun berkarya sebagai jurnalis, ini kali pertama saya break dari rutinitas. Tidak melakukan apa-apa. Rasanya tidak berfungsi normal seperti biasanya. Tetapi, inilah kenyataan yang saya hadapi. Saya Menerima kenyataan bahwa saya manusia bukan robot. Saya manusia yang enggak selalu bisa membuat karya terbaik. Saya manusia yang selain punya kemampuan dan kehendak diri, juga punya rasa sakit hati, trauma, sedih, dan duka.

Mungkin Nanti ada saatnya bangkit lagi, dan berkarya lagi. Tetapi, sekarang istirahat dulu. Wayangnya break dulu. Enggak main dulu. Its okay if you are not okay. Saya menerima diri saya ketika ia bisa naik tangga pencapaian diri, juga ketika ia merasa lelah, loyo, lunglai, dan tidak pasti.

Pst: Setelah baca artikel tetang pakde, saya merasa lega. Sekaligus saya merasa rindu. 🙁 Makasih pakde bahkan ketika pakde tidak ada bersamaku, pakde membukakan jalan dan memberikan terang.

Read more

Keindahan naik gunung terletak bukan semata-mata ketika seorang pendaki mencapai puncak dan melihat pemandangan, melainkan saat ia menoleh ke belakang dan melihat dirinya telah melewati lembah dan jurang kesulitan.” (Eiji Yoshikawa, yang tertuang dalam prolog buku Hari-hari di Bloomsbury)

Kata-kata tersebut dikutip sebagai ungkapan perasaan kebahagiaan dan kepuasan oleh sang penulis, Denty Piawai Nastitie, dalam buku Hari-hari di Bloomsbury (Penerbit Buku Kompas, 2023). Buku ini menceritakan dinamika kehidupan sebagai mahasiswa sekaligus jurnalis di Eropa, yakni Inggris.

Penulis menerima program beasiswa Chevening dari Pemerintah Inggris yang sudah ada sejak 1983. Melalui beasiswa ini, penulis dibiayai mulai dari kebutuhan sehari-hari, tempat tinggal, hingga transportasi. Denty telah menelan sembilan kali pahitnya kegagalan sebelum akhirnya mendapatkan beasiswa Chevening. Berkat beasiswa Chevening, petualangan menjelajahi kota London dapat dinikmati sambil mengoleksi pengalaman, pengetahuan dan memperluas jaringan.

Buku setebal 250 halaman ini bermula saat penulis berangkat dari Jakarta ke London. Perjalanan diiringi dengan pikiran yang positif dan menyenangkan karena baginya perjalanan kali ini merupakan kesempatan untuk eksplorasi berbagai tempat dan pengalaman baru.

Setelah resmi menerima beasiswa S-2 di SOAS University of London, Denty berangkat di tengah suasana pandemi masih berlangsung. Karena itu, perempuan kelahiran Yogyakarta ini harus singgah di hotel karantina. Pada masa pandemi, singgah di hotel karantina selama 10 hari merupakan kewajiban yang diterapkan di London.

Selama masa karantina, penulis mengisi kesehariannya dengan memotret orang-orang yang sedang berjemur dan berolahraga. Penulis pun dapat membuat foto cerita tentang kehidupan penduduk di London. ”Lenggak-lenggok London” dimuat harian Kompas pada 7 November 2021. Tulisan tersebut menjadi saksi petualangan penulis sebagai mahasiswa di London.

Setelah melewati masa karantina, akhirnya tiba waktunya sebagai mahasiswa di London. Penulis sempat merasa kaget dengan sistem belajar di sana. Perbedaan sistem belajar di sana adalah saat sebelum memulai kelas, mahasiswa diwajibkan untuk membaca materi kuliah. Lalu, jika di Indonesia pekan pertama diisi dengan perkenalan guru dan siswa, di London langsung masuk ke materi kuliah.

Hari demi hari dilewati penulis, hingga tiba masanya penulis mendapatkan tugas pertama dengan nilai 58. Di Inggris, mendapat nilai 58 masuk dalam golongan pass. Meski mentalnya terguncang, penulis perlahan membaca komentar dosen mengenai tugasnya. Komentar dosen tersebut, penulis kurang kritis dalam memahami teori dan tidak berani mengungkapkan pendapat.

Bagi penulis, momen tersebut membuatnya tersadar dengan perbedaan antara tulisan jurnalistik dan akademik. Dalam penulisan akademik, penulis harus fokus pada teori, bukti-bukti, dan argumentasi yang jelas. Seiring berjalannya waktu, meski sistem belajar agak padat, penulis mampu beradaptasi. Baginya, jika orang lain bisa, maka ia juga pasti bisa. Hal itu terbukti dengan nilai kuliah yang meningkat pada tugas akhir dengan nilai distinction atau nilai tertinggi dalam sistem penilaian Inggris.

Hidup sebagai mahasiswa di London tidak selamanya membahagiakan dan berlangsung dengan mulus. Denty hampir menjadi gelandangan karena kesulitan mencari tempat tinggal setelah masa tinggal kontrak di flat mahasiswa berakhir. Beragam aplikasi sewa properti, seperti Zoopla, Spareroom, dan Facebook Market, telah dicoba. Denty bahkan aktif bertanya kepada teman dan kenalan. Namun, dari ratusan pesan yang dikirimkannya kepada landlord, hanya dua pesan penolakan yang diterimanya, sisanya tiada balasan. Ia harus berpindah-pindah sari satu hostel ke hostel lain. Tak hanya itu, ia juga sempat menumpang di tempat tinggal teman seperjuangannya, Mirzca.

Saat menumpang di flat temannya, penulis merasa suasana seperti berada di rumah sendiri, bukan sedang merantau. Hal itu terasa ketika masuk ke dapur, ada kecap, saus tiram, bumbu nasi goreng, pempek, rendang, dan lainnya. Selain itu pula, Mirzca dan kawan lainnya sering masak dan makan bersama sehingga suasana kekeluargaan sangat bisa dirasakan.

Setelah sebulan mengembara tanpa tempat tinggal yang pasti, penulis akhirnya dapat menyewa flat di rumah keturunan Bangladesh. Baginya, tinggal di sana serasa tinggal di rumahnya sendiri. Pemilik rumah begitu terasa hangat karena selalu perhatian.

Salah satu pengalaman menarik yang diulas dalam buku ini adalah ketika penulis menjadi saksi sejarah saat Inggris berkabung. Ratu Elizabeth II meninggal pada 8 September 2022. Setelah informasi tersebut beredar, dimulailah Operasi London Bridge berupa serangkaian prosedur selama sepuluh hari. Operasi tersebut mencakup pengumuman berita kematiannya, masa berkabung, proses pemakaman, hingga rencana pemahkotaan ahli waris takhta selanjutnya.

Perempuan lulusan Universitas Sanata Dharma ini memiliki kesempatan menarik dan menantang. Ia didapuk sebagai reporter televisi untuk melaporkan secara langsung persemayaman dan pemakaman Ratu Elizabeth II.

Penulis sempat merasa terperangah menerima tantangan sebagai reporter televisi. Sebab, saat ditanyakan kesiapannya, waktu menunjukkan pukul 00.05 di Inggris. Denty masih mengenakan piyama dan wajah tanpa polesan make-up. Namun, tak ada waktu untuk memoles wajah, saat itu pula Denty langsung menuju lokasi yang ditunjuk untuk menjabarkan suasana di London kala itu.

Tak hanya itu, pengalaman menantang lainnya saat hari deklarasi putra sulung sang Ratu sebagai Raja Inggris menggantikan kedudukan Ratu Elizabeth II. Nasib kurang baik terjadi pada hari itu saat akan melakukan siaran langsung program Kompas TV. Kereta yang ia tumpangi ternyata mengalami gangguan pada mesin. Walhasi,l Denty harus menunggu kereta selanjutnya. Padahal, dalam waktu kurang dari 30 menit dia harus on air.

Ketika menuju St James Palace, ternyata penulis lupa membawa tripod. Hatinya semakin tidak tenang, selain dikejar waktu, situasi juga tidak kondusif untuk siaran langsung. Penulis memutar otak, hingga akhirnya Green Park dipilih sebagai lokasi untuk siaran langsung.

Lalu, bagaimana dengan tripod sebagai penyangga ponselnya? Tong sampah yang terbuat dari kayu setinggi 1 meter dengan permukaan atas datar dan kokoh dipilih menjadi penyangga laptop sebagai pengganti ponselnya. Siaran langsung berjalan dengan lancar, meski saat melakukan reportase bau sampah ”semerbak” tak dapat dilupakan.

Perempuan yang memiliki lesung pipi ini pernah mendapatkan penghargaan dari Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend atas tulisannya yang inspiratif dengan judul ”Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan”.

Meraih penghargaan, mendapatkan beasiswa S-2, hingga merasakan tinggal dan menjadi jurnalis di Inggris merupakan bagian pengalaman hidup yang penuh gejolak. Buku ini ditutup dengan semangatnya bahwa kuliah memang berakhir, tapi hidup harus berjalan. Dengan kekuatan dan keberanian, Denty menyatakan siap untuk menempuh petualangan selanjutnya. Ganbatte kudasai! (LITBANG KOMPAS)

JudulHari-hari di Bloomsbury: Petualangan #studentjournalist di London, Inggris

Penulis: Denty Piawai Nastitie

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tahun terbit: 2023

Jumlah halaman: xxii + 244 halaman

ISBN: 978-623-160-156-8

Read more

“Hi, Ann, saya ingin membeli dekorasi natal. Mau ikut?” saya mengirim pesan singkat ke Ann, mahasiswi asal China, sekaligus flatmate saya di London.

“Saya di Angel nih. Kalau kamu mau, saya bisa menunggu kamu di sini,” jawabnya.

Saya melirik jam tangan. Saat itu sudah tengah hari, tapi suasananya masih seperti pukul 06.30 pagi. London memang sering berkabut akhir-akhir ini, tanda datangnya musim dingin. Warna langit jadi abu-abu seperti masih pagi.

Daripada suntuk di rumah, saya memutuskan menyusul Ann yang sedang berada di pusat perbelanjaan Angel, yang jaraknya hanya sekitar 10 menit jalan kaki dari flat.

Di Angel, Ann dan saya saya membeli dekorasi natal seperti lampu hias, topi santa clause dan bando rusa. Rencananya, dekorasi natal ini akan dipakai untuk menghias dapur. Malam ini, bersama Ann, dan tiga flatmates lainnya, yaitu Camila (Amerika Serikat), David dan Bill (Inggris), kami akan makan malam untuk merayakan natal.

Bill janji masak menu tradisional Inggris. Agar acara makan malam terasa  semakin berkesan saya berinisiatif memasang dekorasi natal. Seusai berbelanja, Ann dan saya melihat seorang pedagang menjual pohon natal. Harganya hanya 5 pounds.

“Gimana kalau kita beli?” kata Ann.

“Kamu mau beli?” saya bertanya. Ann mengangguk.

Akhirnya saya memboyong pohon cemara setinggi satu meter, sementara Ann membawa dekorasi natal. Saya memegang pohon dengan kedua tangan saya. Ukurannya yang besar menutupi badan saya sehingga terlihat seperti pohon hidup yang berjalan. Di saat-saat seperti ini, saya jadi rindu dengan layanan pesan antar di Indonesia. Kalau di Inggris, belanja apapun harus dibawa sendiri. “Saya tidak bisa melihat. Mata saya tertutup pohon,” kata saya.

“Nanti saya kasih aba-aba kembali ke flat,” kata Ann, sambil tertawa.

Di flat, saya dan Ann sibuk menghias pohon natal. Sementara Bill memasak makan malam tradisional khas Inggris, terdiri dari ayam panggang, kentang, gravy, pig in blankets, dan sayur-sayuran, termasuk sproutsyang bentuknya menyerupai wortel dengan warna kuning seperti kentang. Ia juga menyiapkan makan malam penutup berupa menu tradisional Christmas pudding.

Ketika Bill sedang sibuk menyiapkan ayam panggang, David menata meja makan. Ia menyiapkan piring, gelas, garpu, dan pisau makan. Selama tinggal di Inggris, saya menyadari urusan dapur itu bukan hanya milik perempuan. Laki-laki di Inggris banyak yang jago masak, seperti Bill dan David. Untuk urusan kebersihan dan kerapian di dapur, saya juga banyak belajar dari mereka. Setiap kali masak, mereka selalu mencuci peralatan masak dan membersihkan kompor. Setelah semua bersih, baru deh menikmati makanan. Jadi, enggak ada tuh cucian piring menumpuk.

Begitu makanan sudah siap, empat teman dan saya duduk bersama mengelilingi meja makan. “Ini namanya, natalan! Ketika semua orang berkumpul di meja makan,” kata Camila, mahasiswa asal Amerika Serikat keturunan Palestina.

Makan malam diawali dengan menikmati white winesambil melahap aneka camilan sebagai makanan pembuka. Selanjutnya, menikmati hidangan utama yang sangat lengkap terdiri dari karbohidrat, protein, dan sayuran. Rasanya lezat sekali! Apalagi ketika Ann menawari saya sambal yang dia bawa dari China, sempurna sudah!

Saya agak terkejut ketika David menyodori cranberry source untuk campuran makanan utama. “Hah, cranberry sauce untuk makanan utama?” tanya saya polos. Setahu saya, cranberry sauce biasa dipakai untuk olesan roti tawar, bukannya digabung dengan daging dan sayuran. Meski awalnya terasa agak tidak biasa, tapi ternyata cranberry sauce terasa nikmat bercampur dengan salad, ayam panggang, dan sambal. Pedas, asin, asam, manis. Nano-nano rasanya, tapi menyatu sempurna.

Setelah menikmati hidangan utama, saatnya melahap makanan penutup, yaitu cheesecake dan Christmas pudding. Untuk membuat makanan penutup tambah berkesan, Bill menuang brandy di atas pudding. Ia menyalakan korek sehingga muncullah api di atas pudding. Semua orang bersorak takjub dan bahagia.

Sambil menikmati makan malam, teman-teman dan saya membicarakan banyak hal, mulai dari kebiasaan natal di masing-masing negara, makanan favourite, hingga astronomi. Di meja makan, semua membaur seperti keluarga. Warna kulit berbeda-beda, aksen dan intonasi ketika bicara juga punya warna dan coraknya sendiri, tapi natal menyatukan yang berbeda-beda ini menjadi saudara.

Saya jadi teringat tahun lalu, ketika merayakan natal dengan keluarga dalam hati saya membantin: “Mungkin tahun depan saya tidak ada di Indonesia. Mungkin tahun depan saya akan studi di luar negeri dan merayakan natal dengan teman-teman baru.” Kata-kata adalah doa. Kesempatan kuliah di Inggris dan menjalin persahabatan dengan mahasiswa-mahasiswa internasional menjadi kenyataan.

Read more

Negara Indonesia dan Inggris mempunyai banyak kesamaan, salah satunya dalam hal keberagaman agama dan etnis. Keberagaman ini adalah bukti kekayaan manusia, meski tak jarang justru menimbulkan kekerasan dan kekacauan. Untuk mengingatkan pentingnya kerukunan, seorang seniman menggambar mural di Shoreditch, London, yang fenomenal dan membuat daerah ini menjadi terkenal.

Daerah Shoreditchdulunya adalah tempat tinggal kelas pekerja dan termasuk daerah termiskin di London. Kini, Shoreditch menjelma menjadi daerah pertokoan yang unik dan nyentrik. Di daerah ini terdapat banyak pub, kafe, dan restaurant.

Sejak dari Shoreditch Overground Station, karya seni jalanan berupa gambar dan tulisan sudah terlihat. Dari stasiun, apabila belok ke kiri terlihat deretan pertokoan yang menjual barang-barang vintage. Sementara di sebelah kanan, pemandangan karya seni jalanan menemani sepanjang jalur di bawah terowongan dari Braithwaite Street menuju Spitalfields.

Karya seni dibuat dengan berbagai macam teknik, bentuk, dan warna. Ada karya berupa tempelan stiker di halte bus, rambu-rambu jalan, atau pagar. Ada juga deretan kata dan coretan gambar yang saling menumpuk dengan karya lainnya.

Teknik melukis dibuat beraneka macam, ada yang menggunakan cat tembok dan kuas rol, ada pula yang diciptakan dengan menggunakan cat semprot. Sementara karya yang menempel berbentuk tulisan, foto wajah, kartun, dan masih banyak lagi.

Berdasarkan sejarahnya, lukisan di dinding atau yang biasa disebut mural sudah muncul sejak ribuan tahun lalu. Di Shoreditch, mural dan graffiti muncul pada akhir 1990-an. Dulunya, gambar-gambar di daerah ini dianggap vulgar dan kotor. Lambat laun, satu gambar menggantikan gambar lainnya hingga terciptalah coretan-coretan dinding seperti sekarang.

Karya seni jalanan di Shoreditch menjadi ciri khas daerah tersebut. Karya dibuat seiring pergolakan politik dan kondisi sosial masyarakat lokal maupun internasional. Lukisan-lukisan dinding ini dibuat sebagai ruang komunikasi, serta bentuk eskspresi dan kreativitas.

Jalur yang paling terkenal di Shoreditch bernama Brick Lane, yang merupakan surga karya seni jalanan. Di daerah ini terdapat karya yang cukup terkenal berupa gambar dua orang berwarna hitam dan putih yang bergandengan tangan. Orang yang berwarna hitam dibuat seperti memakai cadar, mewakili komunitas Islam. Sementara orang yang putih mewakili kelompok Kristen Inggris. Mural karya Stik ini menggambarkan persahabatan antara agama.

Karya itu menjadi penting karena di Inggris sering muncul peristiwa diskriminasi dan rasisme terhadap kelompok minoritas Muslim. Seperti di banyak tempat lainnya, agama selalu dianggap sumber perselisihan. Padahal, kalau mau dirunut, selalu ada hal lain yang melatar belakangi konflik. Di Inggris, konflik terhadap komunitas Islam sudah muncul sejak perang dunia kedua. Saat itu, banyak orang kulit putih yang kesulitan memperoleh lapangan pekerjaan seusai kembali dari perang. Kedatangan orang-orang Somalia yang beragama Islam dianggap telah merebut peluang masyarakat lokal. Konflik ini, ditambah dengan perubahan iklim politik global, dan dinamika nasional, termasuk meningkatkan Islamophobia, membuat diskriminasi terus berlanjut dan dampaknya bisa dirasakan sampai sekarang.

Apalagi, sejak ada peristiwa global, seperti serangan 11 September 2001 di New York, ledakan bom 2004 di Madrid, dan ledakan bom 2005 di London, orang-orang Islam yang tinggal di negara-negara barat, sering mengalami pelecehan dan diskriminasi. Karya yang dibuat oleh Stik pada Mei 2010 itu kemudian menjadi oase di tengah padang gurun kemanusiaan. Karya itu cukup ikonik karena membawa pesan penting yaitu harmoni dan integrasi yang menjadi ciri khas negara Inggris. Meski usia gambar sudah lebih dari satu dekade, tapi pesannya tetap relevan hingga kini.

Karya yang ada di Shoreditch banyak yang menonjolkan hiburan dan kreativitas, tapi tak jarang ada karya yang mempunyai pesan mendalam. Karya-karya itu dibuat sebagai sarana menggalang solidaritas. Sejak muncul gerakan Black Live Matters, para seniman juga merespons isu tersebut dengan menciptakan karya di jalanan.

Neequaye Dreph Dsane, atau yang biasa disapa “Dreph”, misalnya, menciptakan serangkaian potret yang menampilkan wanita kulit hitam yang tinggal di lingkungan tempat mural mereka berada. Foto-foto yang digambar bukanlah wajah orang terkenal, tapi masyarakat biasa. Fitur wajah yang digambar sebagain terlibat dalam pendidikan, advokasi, desain, atau karya kreatif dari kelompok masyarakat minoritas. Dari wajah-wajah ini, sang seniman ingin memberi inspirasi mengenai pahlawan sehari-hari yang ada dan tinggal di antara kita.

Ketika mural dan graffiti banyak dihapus di berbagai tempat di dunia, di Shoreditch, keberadaan karya seni jalanan justru dirayakan. Coretan dinding dipelihara sebagai identitas kota, ruang untuk menumpahkan keresahan, panggung seni dan kreativitas, serta sarana menjaga solidaritas sebagai sesama manusia.

Read more

Pe-es-be-be ini bikin saya melakukan banyak hal yang tidak terbayangkan sebelumnya, mulai dari tiba-tiba pindah kos, masak, latihan nyanyi, main ukulele, sampai cat rambut sendiri!!! Kadang-kadang saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan kehidupan setelah virus korona berakhir. Tetapi, dari pada memusingkan masa depan, lebih baik menikmati apa yang tersedia, selagi masih bisa. 🙂

Beberapa hari lalu, ibu menelpon untuk memberitahu bahwa keponakan saya yang masih berusia tiga tahun ada di rumah. Sudah tiga pekan terakhir, saya tidak pulang. Saya lebih memilih untuk tinggal di kamar kosan daripada pulang. Saya selalu punya alasan untuk tidak di rumah. Tetapi, begitu tahu keponakan saya di rumah, saya menjadi lemah. Tak bisa menolak, saya memutuskan pulang.

Dalam perjalanan pulang, saya memikirkan apa komentar orang rumah melihat warna rambut saya kuning gonjreng! Ini pertama kali saya mewarnai rambut. Keinginan mengecat rambut tentu sudah ada sejak lama. Tetapi, saya tidak pernah mengeksekusi keinginan itu karena takut orang tua marah. Jangankan mengecat rambut, untuk memotong rambut saja saya selalu berpikir seribu kali karena mempertimbangkan komentar orang rumah.

Saya menyadari bahwa dalam mengambil keputusan seringkali saya lebih condong mempertimbangkan pendapat atau kenyamanan orang lain, di bandingkan diri sendiri. Setiap kali mau memotong atau mewarnai rambut misalnya, saya selalu khawatir dengan pendapat orang lain: Bagaimana kalau ada yang mengatakan potongan rambut saya jelek? Bagaimana kalau potongan atau warna rambut tidak cocok dengan bentuk wajah saya, dengan warna kulit saya?

Tentu ini tidak masalah, toh memotong rambut hanya masalah sepele. Tetapi, kalau ditarik melalui perspektif yang lebih luas, ini menunjukkan dalam membuat keputusan kadang-kadang saya tidak otentik. Tidak menjadi diri sendiri. Tidak membuat keputusan berdasarkan hal yang benar-benar saya inginkan.

Memikirkan pendapat orang tua, membuat saya merasa seram kalau nantinya mereka memarahi penampilan baru dengan rambut berwarna kuning gonjreng! (BTW, niatnya rambut saya mau dicat warna abu-abu, tetapi entah kenapa keluarnya jadi warna kuning! HAHAHAHA).

Ketika saya sampai di rumah, ibu melihat saya dan  langsung beteriak: “Yaaampuuunn!! Itu rambutnya diapainnn??” katanya sambil mencampur adonan nastar di dapur. Sementara itu, ayah saya berkomentar: “Neko-neko wae!” Kakak saya berkomentar: “Koyo wong edan! (Seperti orang gila)” Adapun keponankan saya, Mas Dio, menjerit: “Uti (baca: aunty) rambutnyaaa IJOOOO”. Saya membalas komentar itu: “Ini coklat, bukan IJOOO!” 😀

Beberapa teman dan sepupu menyampaikan reaksi yang berbeda. Sepupu saya mengatakan saya mirip anggota Trio Macan (syit!). Ada pula yang bilang saya seperti bule hunters, mbak-mbak di pinggir Pantai Kuta. Ada juga yang memuji: Cocok, Keren, Nggak Aneh! (WHATT NGGAK ANEH ITU SEMACAM KOMENTAR SETINGKAT DI BAWAH BAGUS, TAPI JUGA ENGGAK JELEK! HAHA). Seorang teman di Bali menelpon. “Aku kaget. Aku lihat kamu nggak seperti biasanya. Kamu gak pernah neko-neko,” katanya dengan nada prihatin.

Komentar-komentar memang berdatangan, kemudian saya berpikir: So what? Saya hanya tertawa menanggapi komentar mereka. Toh apa pun yang dikatakan orang lain, entah itu pujian, celaan, atau bahan bercandaan, tidak akan mengubah warna rambut saya dari kuning menjadi ungu atau oranye.

Ini mungkin sangat berbeda dengan sikap saya beberapa tahun lalu. Selama ini, saya terlalu sering mendengarkan komentar orang lain sehingga jarang mengambil keputusan ekstrem. Untuk memilih model pakaian, potongan rambut, tas dan sepatu, sebisa mungkin saya melakukan dengan hati-hati karena tidak ingin menjadi pusat perhatian. Apalagi untuk keputusan-keputusan lain yang lebih penting seperti memilih pendidikan dan pekerjaan.

Dulu, kalau saya mendengar komentar orang lain yang tidak sesuai harapan, saya mudah tersinggung, marah, keloro-loro (sakit hati). Kini saya sadar, ketika mengambil keputusan dalam kehidupan, dari hal-hal sepele hingga hal besar, paling penting adalah bertanya pada diri sendiri: “Apakan ini yang saya inginkan? Apakah keputusan yang akan saya ambil ini adalah sesuatu yang benar-benar yang saya inginkan?”

Kalau saja apa yang saya lakukan tidak sesuai dengan “norma masyarakat” seperti ngecat rambut warna gonjreng ini, misalnya, reaksi orang lain hanya terbatas memuji, mengomentari, mencela, atau mungkin tidak peduli sama sekali. Saya rasa sekeras apa pun reaksi orang lain terhadap keputusan yang saya buat, tidak ada yang berani menjambak rambut saya karena warnanya kuning. Ini rambut saya. Beli cat sendiri, ngecat di kosan sendiri pula! 😛

Kadang kita ragu melakukan sesuatu karena takut mendengar omongan orang lain. Itu membuat kita tidak memanfaatkan seluruh potensi. Terlalu memikirkan orang lain, membuat kita hanya memanfaatkan sebagian potensi yang luar biasa. Tentu tidak semua orang senang atau setuju dengan keputusan yang kita buat. Namun, dunia akan adjust (menyesuaikan) dengan setiap keputusan itu.

Virus koronce, mengajarkan bahwa banyak hal yang selama ini saya rasa tidak sanggup dilakukan, ternyata bisa. Hal-hal yang terasa sulit, menjadi lebih ringan. Rasa takut dan ragu, bertransformasi menjadi keberanian dan kepercayaan diri. Hal-hal yang saya khawatirkan, tidak terlalu menakutkan.

Setelah mewarnai rambut, reaksi orang tua ternyata tidak semengerikan yang saya bayangkan. Reaksi orang tua hanya sebentar saja. Mereka juga tidak ambil pusing dengan warna rambut anaknya. Orang tua dan kakak saya lebih sibuk memikirkan, saat Lebaran nanti kita akan masak apa? Siapa yang tugas berbelanja beli ketupat?

Bahagianya menyambut Lebaran, dengan warna rambut baru! 🙂

 

Picture 1 by Theodora Agnes, Picture 2 and 3 by Deri Nugraha

Read more

Perjalanan memang tidak selamanya mulus. Ada kalanya apa yang kita harapkan tak menjadi kenyataan, atau sebaliknya, apa yang tidak dipikirkan malah memberi kegembiraan. Lalu, pilihannya hanya ada dua: menikmati sebaik-baiknya apa yang kita miliki sambil berharap badai segera berlalu, atau sekedar merutuki nasib yang toh tidak akan membawa kita kemana-mana.

Situasi itu, saya rasakan ketika mendarat di Quenstown, New Zealand, April lalu. Siapa sih yang tidak bahagia membayangkan akan segera menyusuri sungai dan hutan di Negeri Kiwi, bermain dengan biri-biri yang lucu menggemaskan, juga memandang bintang-bintang di bumi the Lord of the Rings. Saking bahagianya, begitu mendarat di Quenstown saya lompat-lompat bahagia.

Teman saya, Narastika, sangat menyadari perubahan suasana hati saya. “Di North Island, muka kamu biasa saja. Begitu mendarat di South Island, girang banget,” kata dia. Hahahahha.

Beberapa hari sebelum mendarat di Quenstown, Narastika dan saya memang sudah menjelajah di Pulau Utara. Beberapa tempat yang dikunjungi adalah Hobbiton Movie Set dan Waitomo Caves. Narastika dan saya juga sempat berjalan-jalan di Auckland.

Bagi saya, tidak ada yang salah dengan perjalanan di Pulau Utara. Semua serba baik-baik dan senang-senang saja. Tetapi, saya lebih tertarik berpetualang di Pulau Selatan karena bersentuhan dengan alam bebas. Berbeda dengan di Pulau Utara, tempat-tempat yang kami kunjungi kebanyakan destinasi favorit turis asing, sehingga somehow membuat saya kurang antusias. Sebaliknya, perjalanan di Pulau Selatan benar-benar bikin saya nggak sabar!

Foto perjalanan di South Island

Semangat 45 untuk segera menjelajah di South Island, berubah drastis jadi penuh ketidakpastian ketika saya menyadari koper yang saya bawa dari Jakarta tidak keluar dari baggage claim. Hilang! Lenyap! Nggak tahu di mana! Sialan! Perasaan gembira langsung beralih menjadi bingung, merasa tidak aman, marah, juga sedih. Narastika dan saya segera melapor kepada maskapai penerbangan.

Maskapai berjanji akan mencari koper itu dan kalau ketemu akan mengirimkan ke penginapan. “Tetapi nggak mungkin malam ini, ya, karena sudah nggak ada penerbangan,” kata si mas-mas dari maskapai penerbangan yang mukanya datar kayak setrikaan. WHAT?!!

 

 

 

Saking terkejutnya, saya tidak sempat meminta kompensasi dari kemalangan ini kepada petugas itu. Hidup penuh ketidakpastian dan keterbatasan baru terasa ketika untuk membeli sikat gigi saja, saya harus merogoh kocek pribadi sampai Rp 70 ribu. “Ah, ini mah di Indomart juga paling mahal 10 rb,” kata saya kesal, dalam hati. Saya juga harus membeli satu stel pakaian baru. Untuk jaket, terpaksa mengandalkan yang menempel di badan. “Nanti kamu pinjem sampo dan sabun aku aja. Kalau mau pakai tabir surya aku juga ada. Nggak usah beli,” kata Narastika, melihat wajah melas saya.

Dari peristiwa ini, saya sadar manusia itu sangat mood-swing. Perasaan-perasaan kita mudah terpengaruh dengan apa yang kita miliki. Ketika saya mempunyai koper, misalnya, saya merasa hidup aman dan nyaman karena saya tahu apa pun yang saya butuhkan ada di dalam kotak ajaib itu. Saya tidak akan takut kedinginan karena saya tahu telah menyimpan pakaian tebal dan sarung tangan di dalam koper. Saat saya ngantuk, saya mempunyai piyama yang nyaman dipakai. Di dalam koper juga ada peralatan mandi yang bisa membuat saya segar setiap waktu.

Tetapi, begitu saya kehilangan barang itu, semua terasa tidak ada artinya. Hidup penuh ketidakpastian. Saya jadi merasa takut beraktivitas karena tidak membawa barang-barang yang dibutuhkan. Perasaan tidak nyaman dan tidak aman ini membuat saya harus menolak ajakan Erika, teman dari Perancis, yang mengajak tracking di Queenstown.

Erika, Narastika, dan saya 😀

Ketika Erika mengajak mendaki bukit, saya jadi berpikir ulang seribu kali. Banyak pertanyaan muncul di kepala, seperti bagaimana kalau hujan dan pakaian saya basah, bagaimana kalau nanti saya kedinginan padahal saya nggak punya baju berlapis yang cukup? Bagaimana kalau ini… kalau itu… dengan perasaan-perasaan tak menentu, akhirnya saya menolak perjalanan ke bukit. Narastika dan saya akhirnya hanya berjalan-jalan santai saja di sekitar penginapan.

Sebagai manusia, sepertinya memang kita tidak pernah siap untuk hidup tidak nyaman. Apalagi, kalau hidup dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, bukannya hidup lebih tenang, hampir setiap hari kita justru dihadapkan pada perasaan takut gagal, takut jatuh, takut tidak mempunyai tempat tinggal, takut tidur yang biasanya di atas kasur empuk berubah menjadi di atas tikar, takut uang tabungan habis, takut kelak tidak bisa membayar uang sekolah anak-anak, takut nggak bisa makan enak lagi, takut nggak bisa liburan sama teman-teman segank, takut nggak punya teman, takut hidup dan mati seorang diri tanpa teman menemani, takut nggak bisa eksis di acara-acara hits.

Kemudian rasa takut itu dilawan dengan bekerja lebih keras. Tujuannya cuma satu, agar punya penghasilan yang lebih besar, sehingga bisa membayar tempat tinggal, mengisi saldo tabungan agar punya uang untuk liburan, agar bisa traktir pacar makan enak, agar bisa bayar sekolah anak, agar bisa bawa orang tua mengunjungi tempat yang diinginkan. Kerja lebih keras lagi, lagi, dan lagi, karena bukankah setiap individu bertanggung jawab atas kesejahteraannya masing-masing, lalu kesibukan membuat lupa menikmati apa yang dimiliki. Lupa mensyukuri semua pengalaman suka dan duka yang tersaji. 🙁

Di tengah segala kepanikan, saya berusaha menikmati sebaik-baiknya perjalanan. Apalagi, sebelum tidur, ibu saya mengirim pesan: “Gimana kopernya? Tenang saja… Berdoa. Nikmati perjalanan,” tulis ibu. Nyes, rasanya! Iya jugaa yaa.. kenapa saya jadi nggak menikmati perjalanan gini? 🙁

Menyadari hal ini, saya berusaha tetap tenang meski hidup tanpa koper menemani. Saya jadi teringat kalimat: Tuhan tak pernah janji langit selalu biru, tetapi dia berjanji akan selalu menyertai. *mendadak relijius hahahha* Jadi apa pun yang terjadi, terjadilah… Saya berusaha ikhlas… Saya nggak mau bohong, sejatinya mulut ini nggak tahan untuk tidak mengumpat, serta pengen nangis sambil garuk-garuk aspal (KENAPAA KOPER GUE ILAANG WOYY KENAPAA), tetapi sesungguhnya hati ini sudah legowo kok. Saya tahu, situasi terburuknya adalah koper saya benar-benar hilang dan saya benar-benar hidup nelangsa di negeri orang. HAHAHA.

Keesokan harinya, sambil menunggu koper, Erika, Narastika, dan saya, jalan-jalan ke Glenorchy! (((Gaisss… asli tempat ini indah banget!! Instagramable cuyyyy!!!))) Glenorchy terletak di utara Danau Wakatipu, sekitar 45 menit dari Quenstown. Situs perjalanan Newzealand.com mendeskripsikan tempat ini sebagai: pintu masuk menuju jalur lintas alam dan keajaiban Middle-earth. Magical! Bentangan alam Glenorchy yang spektakuler menjadi lokasi utama shooting film trilogi The Lord of the Rings dan Narnia.

Erika, Narastika, dan saya, menyusuri jalur lintas alam. Kebetulan ketika itu gerimis membasahi rumput, tanah, dan pepohonan. Senang sekali bisa berjalan kaki dengan aroma tanah basah. Langit berwarna abu-abu, tetapi tidak membuat hati menjadi kelabu 🙂 Sejauh mata memandang, terlihat bentang alam yang memanjakan sanubari. Percakapan-percakapan dengan Erika dan Narastika, menjadi penghibur hati yang resah. Pertemuan dengan penduduk lokal yang sedang berkuda atau berjalan-jalan santai seperti kami, memberikan pengalaman yang menyenangkan. Dengan segala yang sudah diberikan alam dan kehidupan, nikmat mana yang hendak kau dustakan, Ferguzoooo!!!

Menjelang senja, Erika, Narastika, dan saya, kembali ke penginapan. Di hostel, saya melihat koper pink yang dinanti-nantikan sudah datang. Aaaaaahhhh senang sekali!!! Sesuatu yang biasa saja, terasa menjadi sangat berharga! Selanjutnya, kawan-kawan dan saya merayakan malam dengan makan pizza lezat yang dinikmati bersama-sama di dekat tungku api yang hangat. Terima kasih perjalanan yang memberi banyak perjalanan berharga 🙂

Jakarta, 21 September 2019

Denty Piawai Nastitie

Foto2 oleh: Narastika (silakan gais yang mau kenalan ^^,)

Ps: kehilangan koper membuat saya ingat seorang teman yang pernah kehilangan koper saat perjalanan ke Inggris. Saat itu, koper dia kebawa penumpang lain sampai Bahrain

((I feel you, Yog! HAHAHAHHAHA)

Baca kisah sebelumnya: Extrovert vs Introvert, Kepribadian yang Tertukar

[instagram-feed]

Read more

Sumber tulisan: Universitas Sanata Dharma (usd.ac.id)

Denty Piawai Nastitie, alumnus Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma (USD), pada hari Jumat 8 Februari 2019 menerima penghargaan dari Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend, atas tulisannya yang inspiratif dengan judul “Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan”, di Restoran Seribu Rasa, Jakarta.

Denty, demikian ia sering disapa, ketika dihubungi via telepon (14/2/18), kembali mengucapkan terima kasih kepada Uni Eropa karena telah memberikan penghargaan terhadap tulisannya yang dimuat di Harian KOMPAS (5/10/2018). “Saya mengucapkan terima kasih banyak buat penghargaan ini kepada Uni Eropa.” ucap Denty. Ia juga kembali mengucapkan terima kasih kepada tempatnya bekerja, Harian KOMPAS, karena telah memberikan ruang baginya untuk menuliskan kisah dan karya jurnalistik yang menarik. “Kepada tempat saya bekerja, Harian KOMPAS, yang sudah memberikan saya ruang buat menuliskan kisah-kisah yang menarik.” sambung Denty.

Denty, dalam tulisannya yang diberi penghargaan oleh Uni Eropa tersebut, hendak menyampaikan kepada publik bahwa kaum disabilitas dan non-disabilitas memiliki hak-hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Hak-hak tersebut dapat berupa aksesibilitas, fasilitas, kesempatan bekerja, dan pendidikan untuk mengembangkan dan menunjukkan potensi yang ada di dalam diri. “Orang-orang disabilitas maupun kita yang non-disabilitas itu sebenarnya punya hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Selama ini, orang-orang dengan kebutuhan khusus itu sering mendapatkan kesulitan dalam beraktivitas sehari-hari karena minimnya aksesibilitas, fasilitas, kesempatan bekerja, kesempatan pendidikan, sehingga sulit membuat mereka berkembang. Kebanyakan orang-orang dengan kebutuhan khusus memilih untuk bersembunyi dari pada menunjukkan potensi diri.” ungkap Denty.

Denty, yang secara intens mengikuti persiapan hingga penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games 2018, juga menyampaikan bahwa Asian Para Games (6-13/10/2018) telah menunjukkan bahwa ketika kaum disabilitas diberikan kesempatan yang sama seperti ketika kaum non-disabilitas berperan dalam Asian Games (18/8-2/9/2018), kaum disabilitas pun dapat menunjukkan potensi yang ada dalam diri mereka. “Dari Asian Para Games kemarin, kita bisa melihat bahwa orang-orang yang dengan kebutuhan khusus itu, ketika mereka punya mimpi, punya cita-cita, terus diiringi dengan kerja keras, mereka bisa menunjukkan potensi dirinya.” lanjut Denty.

Denty, yang ditugaskan di bidang olahraga Harian KOMPAS sejak 2016, mengungkapkan perasaannya yang senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka ketika tulisannya mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa. “Perasaan saya tentu saja senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka.” ungkap Denty. Namun, Denty yang diangkat menjadi wartawan Harian KOMPAS sejak 2014 memberi catatan terhadap penghargaan yang diberikan oleh Uni Eropa bahwa semangat kesetaraan dan semangat anti diskriminasi harus terus menggema dan tidak berhenti. “Buat saya yang lebih penting adalah bagaimana tulisan saya, karya-karya jurnalistik saya, dan teman-teman lainnya yang juga mendapat penghargaan, terutama terkait disabilitas ini, bisa terus menggema. Jadi, jangan sampai begitu Asian Games dan Asian Para Games selesai, semangat kesetaraan dan semangat anti diskriminasi itu berhenti.” tegas Denty.

Denty, yang memulai karirnya dengan magang di Harian KOMPAS sejak lulus dari USD pada 2013, tidak lupa mengucapkan terima kasih untuk pengalaman-pengalaman yang dialaminya selama kuliah di USD. “Terima kasih juga buat pengalaman-pengalaman selama kuliah di Universitas Sanata Dharma. Saya belajar banyak di Universitas Sanata Dharma, terutama nilai-nilai kemanusiaan dan semangat kesetaraan yang selalu saya dapatkan dari dosen-dosen di Universitas Sanata Dharma.” ucap Denty.

Tidak lupa pula, Denty yang aktif di dalam dan di luar kelas perkuliahan ketika menjadi mahasiswi USD, memberi harapan dan pesan kepada ‘adik-adik’nya yang masih berkuliah di USD dalam mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja. “Saya berharap dengan adanya penghargaan ini, mahasiswa-mahasiswi USD bisa memanfaatkan waktu dan kesempatan selama kuliah dengan sebaik-baiknya. Dan, enggak cuma aktif di kelas tetapi juga mencari pengalaman dan ilmu di luar kelas, di organisasi-organisasi yang lain. Karena, pengalaman-pengalaman selama kuliah, baik di kelas maupun di luar kelas, menurut saya akan sangat bermanfaat ketika masuk di dunia kerja.” harap dan pesan Denty. Denty pun melanjutkan harapan dan pesannya bahwa interaksi dengan masyarakat luas adalah ilmu yang tidak boleh dilupakan begitu saja. “Ketika kita kuliah, harus diimbangi dengan banyak berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat luas, Interaksi kita dengan masyarakat luas itu akan menambah ilmu kita.” lanjut Denty.

(AH & YS)

Read more